Bab 5
Bekerja Di Cafe"Kamu yakin mau kerja di cafe, Kay?" tanya pria itu padaku. Dicky menatapku lurus sembari menaikturunkan alisnya tanda keheranan. Lewat Icha, tentu saja dia tahu apa pekerjaanku sekarang.
"Aku hanya ingin punya penghasilan tetap, Mas. Penghasilan sebagai pembuat konten cerita itu tidak menentu. Ya, kalau performa ceritanya naik terus. Kalau jeblok, ya wassalam." Aku mengakhiri kalimat sembari tersenyum kecut.
Dicky dan Icha tidak perlu tahu bagaimana sebenarnya lika-liku pembuat konten cerita sepertiku. Sekarang aku boleh dikatakan beruntung, karena beberapa novelku yang booming di beberapa aplikasi sekaligus, sehingga bisa meraih penghasilan yang cukup lumayan. Namun semua itu tidak menjamin. Salah satu novelku bahkan ada yang performanya jeblok dan sama sekali tidak mendapat penghasilan. Jadi semuanya bergantung pada banyaknya pembaca.
"Tapi sampai saat ini penghasilan kamu setiap bulan kan lumayan?" kejar Dicky. Dia melirik istrinya sekilas. Icha hanya memutar bola matanya, lalu mengangkat bahu.
Aku hanya tersenyum lantas mengangguk.
"Gimana, Mas? Ada nggak lowongan di cafe?" desak Icha.
"Soal lowongan sih ada terus, Sayang. Cuma apakah Kay-nya mau? Soalnya aku nggak bisa gaji banyak loh, apalagi pekerjaan yang aku tawarkan pun bukan pekerjaan yang enak, seperti pekerjaan membuat konten cerita yang bisa dikerjakan sembari guling-guling di kasur." Pria itu terkekeh.
"Nggak apa-apa, Mas, yang penting aku punya pekerjaan. Aku hanya ingin menunjukkan kepada Mas Gilang jika aku bisa mandiri. Jika aku tidak terlihat bekerja, maka dia akan semakin menghinaku, menganggapku tidak bisa apa-apa. Meskipun sampai saati ini aku masih bisa memenuhi kebutuhan Keisha, tetap saja dia akan menganggapku sebagai wanita yang tidak bekerja dan selalu bergantung kepadanya. Dia seperti mengharapkan aku terpuruk setelah perceraian kami, Mas. Mungkin dengan begitu, dia mengira aku akan mengemis-ngemis minta rujuk." Dadaku seketika plong saat menguraikan kalimat demi kalimat. Hanya Icha dan suaminya yang paling mengerti tentangku saat ini.
"Sabar, Kay. Kamu percaya nggak, hukum karma itu ada? Suatu saat keadaan pasti akan berbalik," ujar Icha.
"Iya, Cha. Tapi aku ingin menunjukkan kepada Mas Gilang jika aku dan Keisha baik-baik saja meskipun tanpa dia."
"Aku ngerti, Kay. Aku dan Mas Dicky pasti akan bantu kok."
Suami Icha itu benar-benar menepati janji. Dia mempekerjakan aku di cafenya dengan posisi sebagai kasir. Memang gajinya tidak banyak, tetapi itu cukup lumayan, sehingga bisa memenuhi kebutuhanku dengan Keisha. Sementara uang dari hasil membuat konten cerita bisa aku tabung untuk membeli sebuah rumah.Bagaimanapun buruknya hubungan pernikahanku dengan mas Gilang, Keisha tetap harus memiliki masa depan. Aku butuh uang banyak untuk masa depan Keisha, bukan cuma rumah, tetapi juga untuk biaya pendidikannya nanti ke depan.
Kupandangi bayiku dalam-dalam. Keisha yang sudah tertidur setelah menyusu dari botol.
Dua hari yang lalu kami sudah pindah ke rumah baru, rumah kontrakan yang tidak terlalu besar. Memang sengaja kupilih rumah sederhana. Aku juga tidak butuh rumah kontrakan besar, karena kami hanya tinggal berdua. Di samping itu, aku tidak mau biaya sewa rumah menguras uang tabunganku, meskipun pada awalnya Icha menawariku untuk membayarkan sewa rumah di enam bulan pertama.
Icha memang berasal dari kalangan menengah ke atas, bahkan modal awal usaha Dicky pun berasal dari orang tua Icha. Namun Dicky yang pandai berbisnis berhasil mengembangkan modal yang diberikan oleh mertuanya, orang tua Icha, sehingga berkembang menjadi beberapa Cafe, bahkan sekarang Gian Parfum pun memiliki outlet di mana-mana. Kehidupan Icha jauh berada di atasku. Dia pun memiliki suami yang setia.
Berbeda denganku yang harus merasakan sakitnya diselingkuhi suami dan rumah tangga kami berakhir dengan perceraian.
Tapi aku bersyukur memiliki Icha yang suka rela membantuku di saat sulit.
"Semangat! Aku harus kuat demi anakku," gumamku.
Setelah puas menatap buah hatiku, aku pun merebahkan diri di samping tubuh mungil itu.
***Cafe yang dikelola oleh Dicky di desain ramah anak, bahkan di samping cafe ada area khusus permainan untuk anak, sehingga aku tidak segan membawa Keisha ke cafe. Tidak mungkin aku meninggalkan Keisha bersama dengan Icha, karena akan merepotkan sahabatku itu yang juga harus mengurus bayinya.Namun, Keisha jarang rewel saat di cafe, mungkin dia mengerti jika dia hanya tinggal dengan mamanya dan mamanya harus mencari nafkah sendirian. Aku bisa melakukan pekerjaanku nyaris tanpa halangan, meski harus sambil menjaga Keisha.
"Boleh minta nomor kontaknya nggak Mbak?" Aku seketika tertegun menatap pria bertubuh tinggi besar yang berdiri di hadapanku. Pria itu baru saja selesai melakukan transaksi dengan kartu kreditnya.
"Maaf Mas, tapi buat apa ya?" Aku menjawab dengan sopan.
"Perkenalkan, nama saya Ibra." Pria itu lantas mengulurkan tangan.
Aku mengangguk sembari menangkupkan tangan di dada.
"Saya Kayla, Mas," balasku yang dibarengi dengan sebuah gelengan saat pria itu menatap ke arah ponsel yang tengah aku genggam.
Aku tidak bisa memberikan nomor kontak pribadiku kepada sembarang orang, takut disalahgunakan. Lagi pula aku memang tidak berminat untuk berkenalan dengan seorang laki-laki. Urusan dengan mas Gilang saja masih dalam proses dan surat cerai belum aku terima. Aku tidak mau dianggap sebagai janda kegatelan yang dengan mudah bergaul akrab dengan pria lain, padahal belum resmi bercerai dari mas Gilang.
Pria itu mengangguk, mungkin paham dengan ekspresi wajahku.
"Oh, ya sudah. Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau kasih nomor sekarang. Tapi kamu mau kan, jika kita berteman? Aku suka dengan putrimu. Dia sangat menggemaskan." Ucapannya terdengar terus terang. Tatapannya beralih kepada Keisha yang tengah anteng di dalam stroller. Mata bulat dan bening milik putri kecilku nampak menatap pria bertubuh tinggi besar itu. Terlihat begitu lucu.
Apakah Keisha berpikir jika pria bertubuh tinggi besar yang barusan mengobrol dengan mamanya itu adalah papanya?
Bab 6Kepergok Mantan MertuaTingkah Keisha benar-benar menggemaskan. Dia bahkan menatap tanpa berkedip punggung lelaki tinggi besar itu yang dengan segera menjauh menghampiri teman-temannya. Aku mengusap pipi Keisha sekilas, lalu kembali fokus dengan pekerjaanku. Ada beberapa orang pengunjung yang tengah antre untuk membayar. Aku berusaha melakukan pekerjaanku sebaik mungkin, meski sebenarnya masih ingin nenowel-nowel pipi Keisha. Putriku penyemangatku. Kehadirannya membuatku semangat dalam hidup, meski papanya sudah menyakitiku, bahkan juga keluarganya.Hari masih sore. Cafe ini biasa tutup pukul 10.00 malam. Namun mas Dicky memberikan keringanan kepadaku agar aku pulang jam 09.00 malam, karena dia tahu jika aku memiliki bayi dan tidak mungkin pulang larut malam.Terkadang Icha datang menjemputku, lalu mengantarku pulang. Tapi lebih sering aku pulang sendiri dengan menggunakan motor pinjaman dari mas Dicky. Tidak enak merepotkan Icha terus-menerus. Aku cukup tahu diri. Aku berteman
Bab 7TerusirUcapan ibu mertuaku benar-benar keterlaluan Mas Ibra bahkan sampai melotot dengan wajah yang merah padam. Tentu saja pria itu tersinggung. Betapa tidak? Dia hanya seorang pria yang dengan tulus mengantarku pulang, ingin menolongku dengan Keisha, supaya kami bisa selamat sampai di rumah tanpa harus kehujanan. Akan tetapi malah dituduh sebagai pria hidung belang"Kenapa Mama selalu berpikiran buruk tentangku? Jika aku memang memiliki pakaian bagus dan semua yang Mama katakan itu, di mana salahku? Bukannya Mama sendiri tahu berapa uang yang diberikan Mas Gilang kepadaku?!" sambutku dengan menekan intonasi suaraku supaya selembut mungkin. "Bukankah wajar jika aku mengeluh kekurangan uang? Gaji Mas Gilang itu berkali-kali lipat dibandingkan dengan uang yang diberikan Mas Gilang setiap bulan kepadaku. Semua orang juga tahu siapa yang paling banyak menggunakan uang gaji Mas Gilang!" ujarku lagi. Sekalian saja aku buka-bukaan soal kebobrokan ibu dan anak itu, biar semua orang
Bab 8Berbagilah Denganku"Please, sudah ya menangisnya. Aku benar-benar minta maaf, Kay. Aku nggak nyangka kejadiannya jadi kayak gini." Terlihat sekali Mas Ibra nampak kebingungan. Dia mengeluarkan sapu tangan dari saku kemejanya yang dengan segera kuterima untuk menyapu air mataku. Kami sekarang sudah berada di parkiran sebuah hotel. Aku membaca dengan jelas lewat papan nama yang sangat besar.ALMEERA HOTELSelintas aku pernah mendengar hotel itu dan tidak menyangka jika hotel itu begitu luar biasa. Bangunan besar dan megah kini tepat berada di hadapanku. Hotel yang selalu penuh dengan pengunjung, meski harga yang dibanderol selangit, karena dibarengi dengan pelayanan yang memuaskan."Aku juga nggak menyangka Mama Kumala bisa muncul di tempatku yang baru. Sekarang Mas paham, kan, kenapa aku begitu berat menerima tawaran Mas?" ucapku lirih. Aku mengembalikan sapu tangan mas Ibra, tetapi pria itu menolak dengan tegas.Sebenarnya aku ingin sekali marah dan menyalahkan pria itu, tetapi
Bab 9Tanggung Jawab "Aku sudah bilang sama bos kamu agar hari ini izin tidak masuk kerja, karena harus mencari tempat tinggal baru," ucap Mas Ibra membuka pembicaraan setelah keheningan tercipta selama sekian menit kami berdua di dalam mobil ini."Benarkah?" Aku menoleh ke samping. Sama sekali tidak terpikir di benakku untuk menghubungi Icha ataupun Mas Dicky. Tadi malam aku benar-benar kalut."Ya. Aku sudah menghubungi Mas Dicky tadi malam. Jadi jangan khawatir ya."Mobil yang dikemudikan oleh Mas Ibra akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah mungil bertipe minimalis."Nah, kita sudah sampai. Ini tempat tinggalmu sekarang. Lingkungan di sekitar sini pun juga lebih baik. Kamu bisa lihat sendiri." Pria itu membukakan pintu mobil, lalu memintaku keluar.Aku menatap sekeliling tempat ini. Saking asyiknya melamun, aku sampai tidak menyadari jika kini aku tengah berada di sebuah kompleks perumahan."Lingkungan sekitar sini orang-orangnya acuh tak acuh, tapi itu lebih baik daripada tempa
Bab 10Perhatian KhususDia tidak mungkin memberitahu Kayla secepat ini atau Kayla akan lari darinya. Dari awal Ibra tertarik dengan Kayla karena paketnya. Bayi mungil bernama Keisha itu begitu menggemaskan. Dia bahkan ingin mengadopsinya andai boleh. Tapi tentu saja tidak boleh. Kayla pasti tidak akan merelakan bayinya untuk diasuh oleh siapapun. Jalan satu-satunya untuk bisa menjadi ayah Keisha adalah menikahi ibunya. Pria itu tersenyum samar, lalu bangkit dari kursi kebesarannya, keluar dari ruang rapat itu. Ya, Ibra keluar paling akhir bersama dengan Evan. "Kenapa Tuan tidak menempatkan Nona Kayla di ruangan terbaik kita di hotel ini?" usik Evan. Saat ini mereka telah berpindah masuk ke dalam ruang kerja Ibra."Karena aku tidak mau membuat wanita itu curiga. Dia belum boleh tahu siapa sebenarnya aku, Evan.""Tapi seandainya Nona Kayla tahu siapa Tuan, pasti dia akan senang sekali karena disukai oleh lelaki sehebat Tuan," sahut Evan.Namun Ibra justru menggeleng."Jika wanita lai
Bab 11Nggak Suka Barang BekasIcha terkekeh. Suara derai tawanya sontak mengalihkan perhatian dua bayi kami. Dua pasang mata bulat dan bening itu menatap Icha. Mungkin mereka kebingungan karena melihat ibu dan tantenya tertawa-tawa. Gaya berbicara Icha memang ceplas-ceplos, tapi itu tak masalah buatku. Icha tipe perempuan yang hangat. Dia pun selalu tanggap menghadapi keluh kesahku."Aku tidak sedang berasumsi, Kay, tapi biasanya dugaanku ini menjadi kenyataan. Aku berani taruhan deh, Mas Ibra memang menaruh hati kepadamu. Hanya saja aku melihatnya kok seperti ragu-ragu gitu." Kali ini suara Icha dipelankan. Mungkin tak mau suaranya kembali menarik perhatian Keisha dan Gian."Kok ragu-ragu? Dilihat dari sisi mana yang membuat kamu menduga seperti itu?" Terus terang saja, di cafe aku memang jarang berbicara panjang lebar dengan mas Ibra. Interaksi kami hanya terjadi saat Mas Ibra akan membayar tagihan makanan dan minumannya. Selebihnya Mas Ibra lebih sering mengajak Keisha ngobrol.
Bab 12Jangan Coba-coba Mengguruiku! "Enggak, Kay. Tapi aku punya keponakan. Namanya Eva. Dia anak Kak Elif. Kak Elif itu saudara tiriku. Dia adalah anak dari ayah tiriku dengan mantan istri pertamanya."Meski mas Ibra menjelaskan secara perlahan, tapi kepalaku pusing dibuatnya. Aku hanya bisa mengangguk dan tak bertanya lagi. Tidak etis rasanya menanyakan soal kehidupan pribadi pria di dekatku ini secara mendetail. Kami belum terlalu dekat dan hubungan kami hanya sebatas karyawan cafe dengan pengunjung. Kebetulan saja dia memang terlihat menyukai Keisha. Namun bukan berarti dia menyukai ibunya, kan?Analisa Icha memang ngawur!Aku selalu mensugesti diriku bahwa mas Ibra memang menyukai anak kecil, sehingga dia pun menyukai Keisha yang memang tiap hari aku bawa dan ada di cafe ini. Bukan cuma mas Ibra, tetapi para pengunjung lain pun juga terlihat menyukai Keisha yang memang cantik dan menggemaskan. Aku patut bersyukur, meskipun ayah kandungnya tidak peduli, tetapi Keisha menerima
Bab 13Ke Kantor Pengacara Pemikiran macam apa ini? Bahkan aku sangsi, apakah mantan suamiku ini masih waras atau tidak. Dia yang seenaknya menceraikanku dan seenaknya pula mengajakku kembali. Memangnya aku barang, yang bisa seenaknya di buang, lalu dipungut kembali?! Aku mengupat dalam hati sembari menatap horor pria yang pernah menghalalkanku atas nama Tuhan itu. "Mas pikir aku mau menerima ajakan Mas?! Mas pikir aku bisa menerima perselingkuhanmu dengan Anggi?! Bahkan Mas dengan gampangnya bilang akan bersikap adil. Keadilan macam apa yang ada di dalam versi Mas? Ini bukan poligami, Mas. Ini perselingkuhan, perzinahan, dan kalaupun Mas menikahi Anggi, tetap saja apa yang Mas lakukan sebelum menikahi Anggi adalah sebuah kesalahan besar. " Tenggorokanku terasa tercekat. Namun kalimat-kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutku."Kamu benar-benar nggak bisa di ajak baik-baik, Kayla. Aku bilang pulang ke rumah, ya pulang!" Pria itu maju selangkah demi selangkah, kian mendekat. Ta