“Ibu bisikin apa ke kamu, Za?” tanya mas Lutfan, kami sudah jalan menuju pasar swalayan terdekat.
“Emm … itu Mas. Kata ibu rahasia,” ucap wanita berambut pendek itu.
“Hm? Rahasia?” Mas Lutfan semakin penasaran. Aku cukup mendengarkan saja.
“Iya, bilangnya gitu. Jadi saya nggak berani kasih tau sama Mas.”
Ya, benar juga sih apa katanya. Dia hanya berusaha menjaga rahasia yang ibu amanatkan kepadanya. Tapi kenapa Eliza yang harus menjaga rahasia itu? Semakin tak mengerti aku dengan kedekatan mereka.
Kini mas Lutfan hanya diam. Mungkin dia akan menanyakannya langsung kepada ibunya.
“Dek, aneh ‘kan?” bisiknya.
Lagi, aku hanya berekspresi tak mengerti dengan mengangkat ke dua pundakku.
“Mau ibu apa sih?” gumam mas Lutfan, namun telingaku masih bisa mendengarnya meski samar.
Sesampainya di pasar swalayan, aku dan mas Lutfan pergi bersama mencari kebutuhanku. Semetara Eliza berjalan sendiri memenuhi daftar belanjaan yang harus dibelinya.
Beberapa saat setelah semua kebutuhanku terbeli, aku pergi mencari Eliza. Supaya cepat juga pulangnya. Sementara mas Lutfan tak tahu entah kemana. Tiba-tiba saja sudah tak ada di belakangku.
“Liza? Kenapa kamu beli bunga mawar segala?” tanyaku saat mendapatinya mengambil beberapa tangkai.
“Eh Mbak … itu Mbak, soalnya dari dulu sudah terbiasa merawat wajah pakai air mawar, Mbak. Jadi bisa buat sendiri di rumah. Nanti saya yang bayar kok Mbak,” ucapnya, senyum tetap manis tersungging di bibirnya.
“Oh, begitu … udah selesai ‘kan, ya? Kita mau cepat-cepat pulang.”
Percaya tak percaya, aku hanya bisa berusaha untuk mempercayainya saja. Lagi pula dia sudah berniat membelinya pakai uangnya sendiri, jadi buat apa kupusingkan.
“Sudah semua, Dek?” tanya mas Lutfan, menyusulku dari belakang.
“Udah yuk.”
Saat itu Eliza sudah menyimpan bunga mawarnya, sehingga mas Lutfan tak melihatnya. Kalau saja dia melihat, sudah pasti dipertanyakan olehnya.
***
Sesampainya di rumah, ibu mertua sepertinya menunggu kami pulang. Beliau sengaja duduk di teras rumah.
“Udah pada pulang? Kamu beli apa aja, Wa?” Mata beliau tertuju pada barang yang sedang kutenteng di tangan.
“Beli sepatu sama kerudung, Bu. Ya, ada keperluan mandi juga sih,” jawabku, santai.
“Eliza nggak kamu beliin juga?” tanya beliau.
“Hm? Beliin, apa ya, Bu?”
Tentu saja aku bingung. Belum ada sebulan kerja, masa iya aku sudah mau membelikan sesuatu. Ya … sebenarnya boleh-boleh saja sih, hanya aku belum terpikir sampai ke situ.
“Ya … sepatu atau apa? Terserah kamu, Wa.”
Aku melirik ke arah mas Lutfan. Aku ingin dia membantuku menjawab pertanyaan ibu yang semakin aneh.
“Itu gampang, Bu. Kalau Eliza sudah lama kerja di sini pasti Salwa akan akrab sama dia. Sudah pasti akan sering membelikan sesuatu untuknya. Semua butuh proses, Bu.”
Syukurlah, mas Lutfan tahu maksudku. Dia bisa memberikan alasan yang masuk akal.
“Iya Ibu, nggak apa-apa. Saya ‘kan masih baru di sini. Permisi.”
Dengan sopan Eliza membelaku, dia pun pergi membawa belanjaannya ke dapur.
“Wa, kamu terakhir datang bulan kapan? Tanggal berapa?”
Aku mengernyitkan keningku. Pertanyaan yang beliau ucapkan kembali terdengar aneh di telingaku. Sebelumnya ibu tak pernah menanyakan soal itu. Apa mungkin karena kemarin mas Lutfan mengatakan ingin segera punya buah hati, jadi sekarang ibu menanyakan hal ini. Entahlah, aku tak tahu maksud beliau apa.
“Tanggal lima, Bu. Emmm … kenapa ya, Bu?”
Rasa penasaranku tentu saja terpancing. Aku tanyakan saja kepada beliau.
“Nggak apa-apa sih, Wa. Ibu ingin tau aja. Siapa tau ibu cepat punya cucu. Sekarang ‘kan masih pertengahan bulan, lagi subur-suburnya, Wa. Semoga kamu cepat hamil ya?”
“Ya Bu, amin ….”
Sedikit mengganjal memang, saat ibu mertua seperhatian itu kepadaku. Alhamdulillah deh, kalau ibu memang bahagia jika aku cepat hamil. Berarti masalah yang lalu tentang perdebatan penundaan anak sudah tak lagi berlaku.
“Ibu mau bantu Eliza dulu.”
“Bu, tadi pagi Ibu bisikin apa ke Eliza?” tanya mas Lutfan, mencegah kepergian beliau.
“Emangnya Ibu melakukan itu?”
“Iya Bu. Ibu nggak usah pura-pura lupa ya? Aku tanya Eliza katanya rahasia. Rahasia apa sih, Bu?” Tanpa ragu, mas Lutfan tetap saja mempertanyakan hal itu.
“Bukan apa-apa, Fan. Sudahlah, nggak penting.”
Langkahnya yang tadi tertunda, kini beliau benar-benar meninggalkan kami. Pertanyaan mas Lutfan sama sekali tak mendapatkan jawaban.
“Tuh ‘kan, Dek. Ibu aneh. Kesel deh!”
Aku geli melihat ekspresinya yang kecewa. Benar seperti anak kecil saat tak mendapatkan hal yang dia mau.
“Udahlah, Mas … mungkin benar, semua itu hanya hal sepele. Yang penting ibu sudah kasih lampu hijau buat kita, Mas. Ibu sudah nggak marah kalau kita mau cepat-cepat punya anak. Harus bahagia dong, Sayang ….”
“Iya juga sih, Dek. Jadi tambah sering dong, bikinnya? Biar cepat jadi ‘kan, Dek. Tiap malam ya? Hehe … semangat Sayangku ….”
“Ah, kamu ini Mas. Semangat banget kalau mau begituan.”
“Lho? Ibadah lho Sayang. Enak lagi.”
“Sssttt! Udah Mas, aku malu kalau ada yang dengerin obrolan kita.”
“Kamu ini, masih aja malu-malu.”
“Udah Mas, aku mau nyusul ibu. Mau bantu-bantu juga di sana.”
“Oke Sayangku ….”
Setelah ganti baju, kini aku pergi ke dapur tempat ibu dan Eliza sedang memasak untuk makan siang. Perlahan aku melangkah, siapa tahu mereka sedang membahas rahasia di antara mereka.
“Kamu beli mawarnya ‘kan, Za?”
Tepat sekali, di saat seperti ini aku mendengar percakapan mereka. Ternyata ibu tahu soal bunga mawar itu. Apa Eliza sudah bercerita tentang kebiasaan merawat wajahnya juga kepada ibu mertua? Segitu dekatnya hubungan mereka?
“Ada kok, Bu. Sebentar aku ambil dulu. Tadi mas Lutfan nggak melihatnya, jadi nggak tanya aneh-aneh. Cuma mbak Salwa yang tau.”
Sepertinya Eliza sibuk mencari bunga mawar itu. Terdengar suara plastik kresek yang bertabrakan.
“Terus Salwa tanya apa?”
“Pertanyaan biasa aja sih, Bu. Terus kujelasin, dianya nggak tanya lagi. Ini, Bu ….”
“Oh iya, bagus. Jumlahnya pun pas.”
“Iya Bu. Sesuai pesanan Ibu.”
“Lho? Kenapa jadi pesanan ibu? Bukannya dia beli untuk membuat air mawar sendiri? Kenapa ibu?” gumamku, sungguh heran saat aku mendengar percakapan ini.
“Bagus kamu, Za. Nggak sia-sia Ibu bayar mahal. Kerjamu juga mulus. Siapin pancinya, kita rebus dulu.”
“Siap, Bu.”
Setelah itu, sudah tak ada percakapan yang penting menurutku. Kuputuskan untuk menghampiri mereka. Rasa kecewa pasti ada, semua seperti teka-teki yang sangat rumit bagiku. Sebenarnya mereka sedang merencanakan apa?
“Sedang masak apa, Bu?” tanyaku, muncul dari persembunyian yang tak mendapatkan jawaban apa-apa. Justru semakin membuat penasaran.
“Eh kamu, Wa? Kenapa ke sini? Kamu santai saja sana.”
“Lho? Kenapa Bu? Pengin bantu-bantu di sini, Bu.”
“Nggak usah Wa, udah ada Eliza. Kamu istirahat aja biar program hamilmu cepat jadi.”
“Kalau nggak ngapa-ngapain, capek juga lho, Bu? Kalau cuma masak, pasti nggak capek lah, Bu. Itu lagi ngerebus apa, Bu?”
“Dek ….”
“Tuh Wa, kamu dipanggil sama Lutfan. Sana samperin.”
‘Aduh … mas Lutfan, ngapain lagi sih? Nggak tau apa, kalau aku lagi jadi detektif.’ Aku hanya bisa menggeruti di dalam hati, seraya pergi meninggalkan dapur menemui mas Lutfan yang baru saja memanggilku.
“Ada apa sih, Mas?”Nadaku sedikit ketus. Tentu saja, karena aku ke sini—ke dalam kamar, jadi tidak bisa mencari tahu lebih lanjut apa tujuan mereka ‘kan?“Dek … kok gitu sih? Datang-datang malah kayak orang yang lagi marah?”“Lha kamu ngapain panggil aku. Aku lagi mau bantu ibu di dapur lho?”“Kan udah ada Eliza, Dek. Kamu santailah di sini sama aku.”“Tadi ‘kan katanya boleh, aku mau bantu ibu, Mas. Sekarang malah dipanggil ke sini lagi.”Perasaanku menjadi jengkel karena ul
“Mas, jangan marah dong. Mungkin maksud ibu baik, Mas.”Aku duduk menghampirinya setelah menyelesaikan makan.“Ibu keterlaluan, Dek. Masa cuma makan diatur juga. Mau makan banyak atau sedikit, itu terserah aku lah. Aku bukan anak kecil lagi lho, Dek.”“Namanya orang tua, Mas. Pasti tetap menganggap anaknya seperti anak kecil meski dia sudah dewasa. Udah ya, jangan marah.”“Jangan bela ibu terus, Dek. Emang orang tua nggak bisa salah? Mereka egois, Dek.”“Iya, aku tau Mas. Tapi ‘kan itu orang tua kita. Harus tetap dihormati dong. Aku sering lho Mas, digituin sama ibu.
POV Lutfan“Fan, Eliza cantik ‘kan?” tanya ibu tiba-tiba.Beliau tersenyum bangga. Untuk apa ibu bertanya semacam itu? Nggak penting banget sih!“Wanita pasti cantik, Bu. Ibu juga cantik ‘kan?”Tentu saja jawabanku ketus. Pertanyaan ibu benar-benar aneh.“Bukan gitulah, Fan. Maksud Ibu nggak kalah cantik sama Salwa ‘kan? Ibu pintar kalau pilih wanita, pasti cantik.”Beliau kembali membanggakan dirinya sendiri. Apa untungnya ibu melakukan hal semacam itu? Aku sama sekali tak terpengaruh.“Tentu saja cantikan Salwa, Bu. Dia ‘kan istriku. Sedangkan Eliza ….”Sengaja tak kuteruskan perkataanku. Dia ada di belakangku. Meski aku tak suka, bukan berarti aku menyakiti hatinya dengan perkataan kasar menurutku.“Yang penting dia cantik ‘kan? Ibu pintar pilihnya.” Kemba
“Gimana Wa?” Bapak mertua kembali mempertanyakan pencarianku.Sebenarnya aku sudah menemukan peci itu, namun sengaja pura-pura tak melihatnya. Aku belum puas mencari sesuatu yang bisa menjawab rasa penasaranku.“Nggak ada, Pak. Ibu nyimpennya dimana sih? Kok susah banget dicari,” ucapku, mendustai.“Nah ‘kan, apa kata Bapak.”“Coba cari lagi ya? Siapa tau ketemu.”Kini aku pergi ke nakas. Kucari sesuatu di dalam lacinya.‘Eh, air apa ini?’Aku kembali menemukan hal yang janggal. Ada botol bekas air mineral yang tersimpan di dalam laci nakas. Memangnya air apa yang ada di dalam botol bekas itu?‘Hmmm … baunya harum. Warnanya juga pink. Apa ya kira-kira?’Dalam benakku aku hanya bisa menerkanya.‘Eh, apa ini air rebusan mawar tadi? Kenapa ada di laci nakas kamar ibu?&
POV Lutfan“Fan!”Ibu memanggilku dari depan pintu rumah. Aku baru saja selesai video call dengan Salwa dan menyimpan gawai ke dalam saku celana jeans-ku.“Iya, Bu ….” Aku menjawabnya seraya menghampiri beliau.“Ayo pamitan dulu sama bu Susi. Katanya tadi mau ke sini lagi. Kok malah nggak datang-datang. Kamu ini ya? Keburu pulang ini ‘kan?”Lagi, aku kena semprot sang paduka ratu ibunda tercinta. Aku lupa karena tadi asyik video call dengan Salwa. Biarlah, sudah sering ini kena omelan beliau.“Iya Bu, maaf … aku lupa. Tadi video call-an sama Salwa.”“Haduh … kamu ini. Nggak bisa jauh banget ya sama istrimu.”“Biarinlah Bu, Salwa ‘kan istriku.”“Aduh Bu … anakmu satu-satunya ini, kata anak-anak jaman sekarang dibilangnya bucin ya, Bu &hell
“Mas, udah pulang?”Aku bangkit dari rebahan santai dan memenuhi panggilan mas Lutfan. Dia pun berjalan menghampiriku.“Ruang rindu di dalam hatiku sudah penuh dengan dirimu, Sayang ….”Tak ada habisnya mas Lutfan selalu saja membuatku terbuai dengan segala ucapannya.“Sudah mulai nih?”“Mulai apa, Dek?” ucapnya, sembari mencium pipiku.“Gombalnya dong, Sayang ….”Kini aku yang bergelayut manja kepadanya. Kami berjalan ke tempat tidur dan duduk di atas kasur.“Aku nggak pernah gombal sama kamu, Dek. Kuucapkan tulus sepenuh hati, hehe.”“Hehe … iya deh, aku percaya kok, Mas. Udah sore, kamu udah sholat belum?”Dia hanya tersenyum dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu.“Salwa ….”Ibu mertua s
Setelah sholat maghrib, kami bersiap untuk makan malam bersama. Ya … jam waktu makan setiap harinya harus sama. Itu sudah menjadi peraturan yang wajib dipatuhi oleh anggota keluarga di sini. Tentu saja semua peraturan itu dibuat oleh paduka ratu ibu mertua terhormat. Tak ada yang bisa mengganggu gugat.Kecuali hari minggu kami memang tak akan makan siang dan malam di rumah, karena memang kami masih berada di toko belum pulang ke rumah.“Fan, makan yang banyak lho?”Ibu kembali membahas persoalan itu, padahal baru saja tadi siang mas Lutfan ngambek karena hal itu.“Ah Ibu! Nggak usah bikin napsu makanku hilang lagi, Bu!” sentak mas Lutfan, alis tebalnya pun hampir menyatu. Mungkin dia sangat tak suka jika diatur tentang persoalan makannya.“Bu … udah, tidak baik kalau diterusin. Siang tadi Ibu lihat sendiri ‘kan? Lutfan tidak menghabiskan makannya? Ibu mau dia begitu lag
“Dek, kenapa ibu makin ke sini makin nyebelin ya? Atau memang dari dulu begitu? Baru akhir-akhir ini saja aku yang kena terus. Kamu pasti sering begini ya, Dek?”Kami sudah menyendiri di dalam kamar, mendiskusikan semua yang sedang terjadi.Mendengar perkataannya seperti itu, mungkin dia baru menyadari jika selama ini alasanku menginginkan untuk pindah dari rumah ini adalah karena masalah yang sedang dirasakan olehnya saat ini. Ibunya terlalu keras kepala dan selalu berkomentar tentang segala hal.“Iya … emang begitu, Mas. Kamu merasakannya ‘kan sekarang? Semenjak kita memutuskan untuk punya anak, ibu semakin berlebihan gini. Masa iya, kebutuhanmu Eliza yang memenuhi segalanya. Kalau masalah sepele nggak mungkin aku merasa lelah ‘kan Mas.”“Nah itu makanya, Dek. Soal makanku segala, ibu mengomentarinya. Aku makan banyak buat apa coba? Ngomongnya buat kebaikanku. Emangnya selama ini p