"Ahmad, ajari istrimu untuk bersopan santun dengan siapapun. Orang nggak punya etika sama sekali. Bagaimana nanti kalau kalian punya anak, pasti kelakuan anak kalian akan mengikuti orang tuanya," kata Bu Wulan dengan emosi. Sesaat setelah Novi dan anak-anaknya pulang, mereka masih berkumpul di ruang keluarga. "Tapi semua yang aku katakan itu kan benar, Bu. Keenakan Novi, kalau masih mendapatkan nafkah dari Mas Ahmad. Sedangkan kami masih belajar hidup berumah tangga dari nol," sahut Indah tak mau kalah."Nafkah itu bukan untuk Novi tapi untuk anak-anaknya. Kamu kan baru beberapa hari berumah tangga, ya wajar saja kalau masih serba kekurangan. Mulailah hidup dari Nol, biar kamu merasakan artinya berjuang." Bu Wulan menimpali."Tapi tetap saja Novi yang akan menggunakannya. Semakin keenakan dia. Istri tidak dinafkahi, mantan istri malah mendapatkan nafkah. Mas Ahmad kan anak Bapak dan Ibu, kenapa kok Bapak dan Ibu selalu membela mantan menantu. Novi itu hanya memanfaatkan kebaikan kelu
Indah pun berjalan menuju ke kamar Ahmad dan berbaring di tempat tidur. Ia sedang memikirkan cara arah mertuanya membenci Novi. Istri Ahmad itu akan tetap mengompori suaminya supaya meminta haknya sebagai anak dari Pak Harno dan Bu Wulan yang cukup kaya di daerah ini."Mas kok diam saja sih! Aku tuh sedang berjuang untuk mendapatkan keadilan. Masa menantu sendiri tidak diperhatikan, malah mantan menantu begitu diistimewakan," kata Indah ketika Ahmad masuk ke dalam kamar. "Hak apa sih, Dek? Aku sudah tidak punya hak apa-apa. Aku sudah dibelikan tanah untuk membangun rumah lama itu.""Berarti Mas masih punya hak atas rumah itu. Kenapa rumahnya nggak dijual saja, terus uangnya dibagi dua dengan perempuan penjilat itu.""Novi pasti tidak akan setuju. Lagipula kalau dijual, aku akan mendapatkan seperempat bagian saja. Hasil penjualan itu dibagi empat. Anak-anak juga berhak atas rumah itu.""Kenapa sih setiap keputusan selalu berpihak pada Novi? Keenakan Novi kalau mendapat tiga perempat b
Sementara itu, Ahmad melajukan kendaraan tanpa arah yang jelas. Tahu-tahu ia sudah mengarah ke rumah Novi. Dengan kecepatan yang pelan, ia melewati rumah Novi dan mengamatinya. Ia baru tahu kalau Novi membuka usaha ayam geprek. Ada beberapa motor yang berhenti di depan warung ayam geprek. Ahmad melewati rumah Novi dengan perasaan sedih dan hatinya sangat sakit. Novi yang selama ini selalu diabaikannya, ternyata malah mampu membuktikan diri kalau ia mampu menghidupi dirinya sendiri dan anak-anaknya. Mata Ahmad menjadi berkaca-kaca. Betapa jahatnya dirinya pada istri dan anak-anaknya."Seandainya aku tidak tergoda dengan Indah. Pasti hidupku sekarang bahagia bersama anak-anak," kata Ahmad dalam hati.Ia pun melajukan kendaraannya menjauh dari rumah orang tuanya Novi."Sekarang aku mau kemana ya? Ke rumah Bapak pasti nanti dimarahi. Ngumpul dengan teman-teman, aku nggak punya uang. Apa aku ke rumah Mas Alif ya? Sekedar menjenguk Mbak Vera. Tapi kalau Mbak Vera menagih hutangnya bagaiman
Pagi ini Pak Harno dan Bu Wulan datang ke rumah Alif. Mereka mencemaskan kondisi anak sulung mereka yang sedang mengalami masalah dalam rumah tangganya. Sejak dari rumah sakit itu, orang tua Alif belum sempat mengunjungi Alif. Alif yang begitu baik dan tidak pernah membuat masalah dalam hidupnya, malah menerima cobaan yang diluar dugaan.Sampailah mereka di rumah Alif yang tampak sepi. Mereka jarang ke rumah ini, terutama Bu Wulan, karena ia kurang cocok dengan Vera, menantunya ini. Walaupun tidak pernah sampai ribut dan berantem. Vera yang lahir dan dibesarkan di keluarga yang mampu, membuatnya sering bersikap angkuh dan menyepelekan orang lain."Bapak, Ibu," sapa Ahmad dengan sangat terkejut, ketika ia membukakan pintu. Kemudian mempersilahkan orang tuanya untuk masuk ke dalam rumah Alif. Mereka duduk di ruang keluarga, tempat mereka biasa ngobrol kalau sedang disini. Ahmad tadi malam menginap di rumah Alif. Kakak beradik itu berbicara hampir sepanjang malam, istilah kerennya salin
Indah tersadar dari lamunannya, hatinya sangat senang, karena ia berharap Ahmad yang datang dan langsung meminta maaf padanya."Nanti kalau ia minta maaf, aku akan pura-pura masih marah. Jual mahal sedikit," kata Indah dalam hati. Ia pun beranjak dari duduk dan memasang wajah yang cemberut.Ceklek! Indah membuka pintu dan harus menelan kekecewaan karena yang ada di depan pintu bukan Ahmad."Tante, ini untuk Tante dari Ibu," kata anak perempuan sambil memberikan sebuah bungkusan. "Terima kasih Lala," ucap Indah."Sama-sama, Tante." Anak perempuan bernama Lala itu pun segera pergi. Indah segera menutup pintu dan membuka bungkusan berupa kotak Styrofoam. Ketika dibuka, sepaket ayam geprek, ada nasi dan sayur asem. "Ini namanya rezeki, disaat emosi dan lapar, ada yang mengantarkan makanan," gumam Indah. Seketika Ia pun melahapnya, untuk sejenak ia melupakan emosinya. Yang dipikirkan sekarang adalah makan untuknya dan bayi yang ada di dalam kandungannya.Tok…Tok"Siapa lagi sih?" gerutu
"Eh ada Bapak dan Ibu. Sudah lama, Bu?" tanya Indah. "Alhamdulillah sudah cukup lama untuk mendengar kamu ngomel kayak kereta api, nggak ada berhentinya sama sekali. Apa kamu itu nggak capek? Apa yang ada di hati dan pikiranmu itu hanya mengeluh terus?" Bu Wulan akhirnya nyerocos juga."Bukannya mengeluh, Bu. Tapi semua ini kan kenyataan. Coba Ibu lihat tempat tinggal kami, berbanding terbalik dengan rumah yang ditempati Bapak dan Ibu." Indah membela diri."Ya tentu saja berbeda dong. Bapak dan Ibu membangun rumah itu dulu dengan banyak usaha, rajin bekerja. Mengumpulkan uang sedikit demi sedikit, bukan hanya mengeluh kayak kamu," sindir Bu Wulan."Namanya baru menikah, semuanya harus dimulai dari nol bersama dan berjuang bersama. Tentu kalian akan lebih menghargai jika berjuang bersama daripada mengharap bantuan dari orang tua. Nikmati saja dulu, kalau kalian ulet nanti akan merasakan hasilnya." Pak Harno menimpali."Kata Mas Ahmad, Novi dulu dikasih modal sama Bapak. Enak sekali d
"Nov, ternyata ayah biologis bayi yang dikandung Weni itu Pak Edi," kata Lastri."Memangnya sudah di tes DNA?" tanya Novi. "Orang tua Weni mengupayakan uang untuk tes DNA, supaya ada yang menikahi Weni.""Terus gimana? Apakah Weni menikah dengan Pak Edi? Istrinya Pak Edi gimana?" selidik Novi."Akhirnya Pak Edi menikah dengan Weni. Istri Pak Edi meminta cerai. Yang lebih parah lagi, selingkuhannya Pak Edi, yang namanya kalau nggak salah Selvi, hamil. Jadi dalam waktu yang berdekatan Pak Edi menikahi dua perempuan." Lastri menjelaskan.Novi hanya geleng-geleng kepala mendengar cerita Lastri."Jadi Pak Edi poligami dong," kata Novi."Iya. O ya, Nov, apa benar kalau Ahmad sudah menikah lagi?" tanya Lastri."Iya Mbak, malah istrinya sudah hamil.""Hah! Mereka kan baru menikah sekitar satu Minggu, kok sudah hamil?" kata Lastri dengan kaget."Masa sih baru satu Minggu?" Gantian Novi yang kaget."Iya, mereka menikah di KUA dan tinggal di bedeng dekat SD. Tetangga bedengan yang bercerita pad
"La, kemarin ibumu beli ayam gepreknya dimana?" tanya Indah pada Lala yang kemarin mengantarkan ayam geprek. Hari ini Indah sengaja menunggu Lala pulang dari sekolah, karena ia ingin sekali makan ayam geprek."Oh, diujung desa, Te? Ayam geprek "seleraku" namanya. Murah kok, hanya sepuluh ribu." Lala mempromosikan ayam geprek, "memangnya kenapa?""Enak sekali ayam gepreknya." Indah menjawab dengan mata berbinar karena membayangkan enaknya ayam. Entah ayam gepreknya enak atau karena gratisan. Bisa juga karena bawaan bayi yang menyebabkan makanan itu terasa sangat enak."Kalau Tante mau, sini Lala beliin. Kebetulan Ibu nyuruh Lala beli ayam geprek." Lala menawarkan diri."Wah kebetulan sekali. Nih uangnya, beli dua porsi ya?" kata Indah sambil menyerahkan uang pada Lala.Indah segera masuk ke kontrakannya. Selera makannya sedang tinggi, jadi ia selalu merasa lapar. Untung ada makanan yang dibelikan mertuanya kemarin, jadi stok cemilan lumayan banyak. Tadi setelah memasak Indah sudah maka
Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn
"Mas, kita nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita terlalu banyak. Aku takut nanti akan menjadi masalah besar. Aku…."Drtt…drtt…Belum selesai Novi berbicara, terdengar ponsel Farel berbunyi. Farel melihat sekilas ke arah ponselnya, tapi hanya mengacuhkan saja. Ia fokus lagi menatap Novi.Drtt…drttDrtt…drtt"Angkatlah panggilan itu, siapa tahu penting," kata Novi."Bukan hal penting kok."Drtt…drttAkhirnya Farel menonaktifkan nada deringnya."Kamu takut dengan Mama? Jangan khawatir, aku akan berusaha melunakkan hati Mama.""Kalau tidak berhasil?""Kita tetap menikah, toh aku juga sudah tidak tinggal di rumah Mama. Kita nanti akan memulai rumah tangga dari awal. Mengontrak rumah, menabung untuk membeli rumah.""Mudah sekali Mas bicara seperti itu. Begitu menjalaninya nanti banyak mengeluh.""Asalkan bersamamu, aku yakin mampu menjalani semuanya.""Gombal!""Aku bukan merayu, tapi memang aku sudah siap lahir batin hidup sederhana.""Mas, semua tak seindah dan semudah yang Mas bayan
Farel segera menggandeng tangan Novi dan mengajaknya mendekati anak-anak lagi. Dada Novi bergemuruh, hatinya berbunga-bunga. Tapi masih saja ada sedikit kekhawatiran."Nggak usah grogi kayak gitu, nanti kamu akan terbiasa dengan gandengan tanganku," ledek Farel, Novi hanya tersipu."Kok Ibu gandengan dengan Om, nggak boleh! Itu omnya adek, bukan omnya Ibu," kata Haikal mendekati Farel dan berusaha melepaskan gandengan tangan mereka.Farel semakin terkekeh melihat Haikal yang merasa cemburu dengan ibunya sendiri."Adek sayang sama Om ya?" tanya Farel."Iya! Om tidur di rumah adek ya, biar bisa ngelonin adek."Deg! Novi kaget mendengar jawaban Haikal."Om juga sayang sama adek, Ibu dan Mbak Dina." Farel menanggapi pertanyaan Haikal."Kalau sayang kok nggak mau tinggal di rumah adek?" Haikal masih penasaran dengan jawaban Farel."Nanti kalau Om sudah punya rumah sendiri, Om akan mengajak adek, Ibu dan Mbak Dina tinggal bersama.""Rumahnya bagus nggak Om?" tanya Haikal dengan antusias."
Novi hanya menatap mereka yang sibuk mencari permainan lain. Hatinya masih terasa sakit dengan sikap Irma. Novi memang sudah biasa dihina dan direndahkan orang, tapi yang dilakukan Irma tadi benar-benar menyakiti hatinya karena dilakukan di depan anak-anaknya. Walaupun sebenarnya Dina dan Haikal belum paham dengan apa yang terjadi, tetap saja Novi merasa dipermalukan.Novi menunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes. Kejadian ini tidak luput dari perhatian Farel. Walaupun ia sedang mendampingi Haikal dan Dina bermain, tapi pandangan matanya tidak lepas dari sosok yang dicintainya itu."Maafkan aku, Novi. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi," kata Farel dalam hati.Sementara itu, di mobil Pak Dewa sedang terjadi perdebatan. Tentu saja perdebatan antara Pak Dewa dan Irma."Mama nggak boleh bersikap seperti itu? Kayak orang nggak berpendidikan." Pak Dewa mengomel."Enak saja Papa bilang seperti itu! Yang Mama lakukan tadi benar. Mama kecewa dengan Farel! Farel pasti di