Di sebuah padang rumput di tepi sebuah rimba, Rangkahasa bersama Yasa baru saja berhasil menangkap dua ekor rusa. Mereka menyeret masing-masing satu rusa hasil tangkapan itu menuju tepi hutan.
Di pinggir hutan itu ada seorang lagi rekan mereka, Yodha, sedang berbaring di bawah sebuah pohon yang rindang. Yasa dan Rangkahasa langsung melemparkan kedua ekor rusa tersebut ke atas tubuh Yodha dan membuatnya terbangun.
“Sudah, kita balik ke markas,” seru Yasa pada temannya tersebut.
Yodha tersenyum hingga matanya nyaris tak kelihatan. Dia berdiri dan langsung memanggul kedua ekor rusa tersebut dan membawanya sendirian. Namun Yasa bergegas menghampiri Yodha, seperti terlupakan akan sesuatu.
“Tunggu sebentar, Yodha,” serunya sebelum akhirnya memegang anak panah yang tertancap di leher rusa tersebut.
Yasa meng
Orang yang selama ini membantunya bertahan hidup, dan menjadi alasan baginya untuk terus hidup, ternyata sedang mempersiapkan dirinya untuk menjadi tumbal. Sebagian dari dirinya ingin berteriak, memberontak ke arah Mergo. Namun kakinya malah membawanya keluar dari rumah tersebut. Karena sebagian besar dari dirinya masih ingin membuat Mergo bangga padanya.“Hey, kenapa denganmu?” tanya Yasa yang baru saja datang, menggoyang bahu Rangkahasa dan menyadarkan dia dari lamunannya.Rangkahasa terkejut, namun dia tak bisa bersuara. Mulutnya tersekat meski dia ingin berpura-pura menanggapi Yasa seperti biasanya.“Di mana Mergo? Ada hal penting yang ingin aku laporkan,” ujarnya sebelum memasuki rumah tersebut.Rangkahasa hanya diam saja, menoleh ke arah Yasa yang baru saja melewatinya masuk ke dalam rumah. Begitu dia melihat
Namun belum jauh dia berbelok, Rangkahasa melihat Yasa dari kejauhan berusaha menjaga jarak dari prajurit-prajurit Adipati Labdajaya. Sudah menjadi kebiasaan Yasa untuk selalu menjaga jarak sembari menembaki musuhnya satu persatu dengan panah. Namun prajurit yang mengejarnya terlalu banyak.Satu prajurit di tembaknya, puluhan prajurit lain datang mengejarnya. Dia terus mendaki bukit itu untuk menghindari mereka. Hingga akhirnya semua persediaan anak panahnya habis tak lagi tersisa setelah membunuh cukup banyak dari prajurit-prajurit tersebut.Yasa pun terpojok saat panik mencoba meraih anak panah di punggungnya yang sudah tak lagi tersisa.“Sialan, habis!” gumamnya mulai panik.Satu prajurit datang menghadang. Yasapun mengeluarkan belati dari pinggangnya, satu-satunya senjata yang tersisa. Meski dia masih bisa menusuk leher satu prajurit itu, namun tubuhnya yan
Diapun tak bisa menyangkal bahwa Mergo jugalah yang telah menyelamatkannya, dan sempat memberinya alasan untuk tetap hidup ketika dulu dia memilih untuk menyerah. Dia semakin kebingungan tak bisa menemukan jawaban atas apa yang harus dilakukannya. “Bu, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya bergumam.“Mungkinkah saat ini aku dibutakan oleh keinginanku sendiri, meski aku sendiri tidak tahu apa yang aku inginkan?” Namun bayangan sahabat-sahabatnya itu akan tewas mengenaskan juga tak bisa hilang dari pikirannya. Meski bimbang, langkahnya tergerak untuk menuruni bukit tersebut. Ketika sampai di markas Panji Keris Bertuah, Rangkahasa melihat sudah begitu banyak prajurit yang bersimbah darah. Namun masih lebih banyak lagi prajurit-prajurit yang belum di kerahkan oleh Adipati Labdajaya. Sementara itu, beberapa rekannya sudah ada yang tewas terlihat olehnya. Rangkahasa melompat dari lereng bukit dan mendarat di salah satu atap rumah. Setelah itu dia kembali melompat, menebaskan parangnya me
Satu orang prajurit lain datang, menendang temannya sendiri yang baru dibunuh Mergo. Hal itu membuat Mergo terpaksa melepaskan pedangnya. Dia sedikit panik namun akhirnya memungut pedang lain yang tergeletak di tanah. Tentu pedang itu tak sebagus pedang hitam damaskus kesayangannya. Namun dia tak punya banyak pilihan. Dia mulai nekat, tak lagi berpikir untuk menghemat staminanya. Itupun membuat sebagian prajurit mulai ragu mendekatinya. “Apa yang kalian takutkan?” bentak Adipati Labdajaya.“Itu hanya gertakan anjing yang terjepit. Dia pasti sudah kelelahan.”“Cepat bunuh dia!” perintahnya. Mendengar penjelasan Adipati Labdajaya itu, justru membuat para prajurit itu semakin enggan mendekati Mergo. Pikir mereka, jika memang Mergo sudah kelelahan, biarlah prajurit lain saja yang mengambil resiko untuk menyudutkannya. Anehnya, hampir semua prajurit itu memikirk
Dia masih tak bisa mengabaikan apa yang sudah didengarkannya. Setiap kali dia teringat kata-kata Mergo itu, suara itu kembali menghasutnya untuk segera membunuh Mergo. Sementara itu Mergo semakin panik mengkhawatirkan Rangkahasa yang masih saja tak merespon panggilannya. “Rangkahasa!” teriak Mergo begitu keras, bahkan nampak mulai marah tak bisa menahan kesabarannya.“Sial, sepertinya dia benar-benar tak mendengarkanku,” gumamnya semakin panik, sementara para prajurit itu masih menyibukkannya. Sabdo mulai menyadari keanehan itu, dan tahu hal itu cukup mengganggu ketenangan Mergo. Diapun mengalihkan targetnya ke Rangkahasa, berjalan pelan ke arahnya sembari menyeringai ke arah Mergo. “Hey, Sabdo!” teriak Mergo nampak marah, mulai khawatir dengan apa yang hendak diperbuat oleh Sabdo pada Rangkahasa. Namun keti
Di sebuah curug yang cukup tersembunyi, terdapat sebuah gua kecil yang tertutup oleh derasnya air terjun. Yasa bersama beberapa temannya sudah sampai di tempat persembunyian itu, berdiam diri di sana menunggu kedatangan sahabat yang lainnya. Satu persatu dari mereka datang. Tak seorangpun yang berkata apa-apa. Ini momen paling tragis yang pernah dialami oleh kelompok itu bahkan sejak mereka masih berprofesi sebagai perampok gunung. Seiring waktu, mereka semakin tak bisa mengendalikan diri. Sudah cukup lama tak ada lagi teman mereka yang datang. Hanya ada 9 orang di sana dibandingkan jumlah awal mereka yang hampir mencapai 30 orang. "Bagaimana ini Yasa? Apa kita kembali?" tanya seorang rekannya bernama Lindo Aji. Mereka berdua, bersama Yodha yang berbadan besar, adalah orang yang paling lama bersama Mergo. Empat orang sekawan ini yang dulu menjadi cikal bakal Pera
Setelah itu dia menoleh ke belakang, ke arah satu orang lagi anggota baru itu. Tentu saja itu membuat pemuda itu langsung ketakutan. Yodha pun berbalik ke arahnya, namun ekspresi wajah Yodha masih sangat sulit untuk dibaca. Selama ini dia selalu nampak tenang, entah itu saat bercanda, senang ataupun sedang marah. Pemuda itu benar-benar tak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya. Namun itu justru yang membuat pemuda itu sangat ketakutan, karena satu orang baru saja mati dengan mudahnya. Yodha pun mulai melangkah ke arah pemuda tersebut. "Aku juga penasaran apakah darahmu biru juga," ujarnya sembari berjalan menghampirinya. Pemuda itu mengesot di lantai, mendorong-dorong bokongnya dengan kedua kaki yang sama gemetarannya dengan mulut dan tangannya. Dalam keadaan gemetaran itu, dia mengangkat tangannya ke arah Yodha
Sabdo yang baru pulih dari pingsannya, membuka matanya dengan pandangan yang masih kabur. Dengan tubuh yang masih tergeletak di atas tanah, dia sedikit menegakkan kepalanya melihat keadaan di sekelilingnya.Mayat bergelimpangan ke mana pun dia mengarahkan pandangannya. Tak ada seorangpun yang masih berdiri, kecuali seorang pemuda di depan kuda yang ditunggangi panglimanya.Tiba-tiba, tubuh sang panglima mulai rebah ke arah kanannya, membuat kuda yang ditungganginya kaget dan panik.Teriakan kuda itu menyadarkan Rangkahasa. Dia tersungkur dan menghempaskan pinggulnya di tanah karena kaget oleh kuda yang meringkih keras sembari mengangkat-angkat kakinya.“Apa yang terjadi?” gumamnya dalam hati, nampak sangat kaget dan ketakutan.Sialnya, salah satu kaki Adipati Labdajaya masih tersangkut di pijakan kaki pelana kuda. Tak ayal, tubuh tak berkep