Bianna berdiri tenang di tepi balkon kamarnya sambil melihat hamparan rumput di halaman depan kediaman mewah Lysander. Dia abaikan embusan angin malam ini yang sebenarnya terasa cukup dingin menusuk kulitnya. Maklum saja karena cuaca di bulan September ini memang sudah memasuki musim gugur akhir yang mana musim dingin pun akan segera tiba. Kedua tangan yang tadinya bertopang pada pagar balkon, kini dia lipat di depan dadanya sambil sedikit mengusap lengan. Kalau mau jujur Bianna sedang kedinginan, tetapi entah kenapa kaki jenjangnya seakan-akan enggan untuk beranjak dari tempat itu. Tiba-tiba saja bulir bening merembes ke atas pipinya yang mulus begitu saja seiring dengan ingatannya yang berputar pada obrolan Bianna dengan Miranda siang tadi. “Nyonya Stella sudah menyuruh orang untuk menyabotase mobil Anda, Nona. Dia tahu kalau hari itu Anda akan datang ke vila mencari Tuan Kevin,” jelas Miranda dari balik telepon. “Ini tidak mungkin, Bik. Mama tidak mungkin melakukan itu padak
Bianna menghela napasnya pelan, pagi ini dia tidak perlu buru-buru bangun karena ini hari libur. Dia pun menyandarkan punggungnya perlahan pada headboard ranjang seakan-akan sedang menikmati waktu luang yang jarang dia dapatkan. Bianna melirik jam digital di atas nakas, sudah jam delapan pagi tetapi dirinya masih enggan beranjak dari tempatnya sekarang. Bianna terkesiap saat rolling door Walk in closet kamarnya terbuka. Damian muncul dari sana sudah dengan pakaian casual celana jeans hitam dan kemeja longgar lengan pendek. Dia menatap Bianna sambil tersenyum. “Sudah bangun?” Lembut dan merdu sekali suaranya pagi ini. Bianna sampai menajamkan telinga seakan-akan memastikan kalau pendengarannya tidak salah. “I-iya, aku pikir kamu sudah tidak di kamar,” ujar Bianna membalas dengan suara senormal mungkin, jujur saja penampilan Damian pagi ini berhasil memesona matanya sampai-sampai dia kehilangan fokus. Damian tersenyum penuh a
Tatapan Damian semakin tajam dan menuntut. Itu membuat Bianna takut sebenarnya, tetapi wanita itu juga tidak berniat bergeming dari tempatnya berdiri. Karena Bianna tidak juga bersuara, pria yang rambutnya selalu rapi itu pun berjalan mendekatinya. Tentu saja tindakan Demian membuat Bianna terkejut dengan serta-merta dia pun mengatakan apa yang dia dengar. “Aku bersumpah tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian. Tapi aku sungguh tidak mendengar nama siapa yang kalian maksud.”Jawaban Bianna pun berhasil menghentikan langkah kaki Demian. “Apa kamu berkata benar?” tanya Damian dengan menatap serius. Bianna pun berdecak. “Buat apa aku bohong? Kalau aku tahu sejak tadi, aku sudah pasti ikut berkomentar.” Bianna berkata tak kalah sinis. Damian tampak sedang berpikir. Namun, sedetik kemudian dia kembali berjalan dengan tangan kanan sudah berada di dalam kantong celana jeans-nya. “Ya, sudah. Kita pergi se
Kalau boleh meminta sungguh Bianna tidak ingin bertemu dengan perempuan yang saat ini sedang berjalan mendekatinya. Tatapan wanita itu terlihat sangat tajam dan juga meremehkan. Senyumnya juga bukanlah senyum yang wajar. Bianna ingat benar dulu dia tidak bisa seperti ini, tetapi lihatlah sekarang, sepertinya Stella–Ibu mertuanya–telah lupa asalnya dari mana. “Lihat ini, siapa yang ada di depanku ini? Orang yang seharusnya mati dalam jurang itu, bukan?” Telak sekali Stella mengucapkan kalimat itu, dia seakan-akan tidak takut kalau perkataannya akan menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Apa maksud Mam … tidak, kamu sama sekali tidak pantas disebut Mama!” ucap Bianna sarkas. Stella berdecih. “Terserah apa penilaianmu yang pasti aku senang karena akhirnya Kevin sudah lepas dari jeratanmu.” Setelah berkata seperti itu, Stella melihat pada Damian. “Tapi hebat juga kamu, Bia. Baru juga berpisah dari Kevin, sudah bisa mendapatkan barang bagus s
Bianna masih mengulum senyumnya ketika dia menikmati menu makan siang di restoran western food yang ada di dalam Antara Mall–Mall paling terkenal di kota Meksiko–karena dia ingat bagaimana Damian menghindar dari pertanyaannya tadi. Jelas-jelas Bianna melihat wajahnya bersemu merah, tetapi pria itu tetap saja tidak mau mengakui perasaannya pada Bianna. “Kenapa melihatku terus cepat makan makananmu aku akan tinggalkan kamu di sini,” ucap Damian saat menyadari tatapan Bianna padanya. Bianna mencibirkan bibirnya. “Kenapa kamu tidak bisa bicara lebih halus sedikit?” Damian sudah menyelesaikan makannya. Dia letakkan sendok dan garpu ke atas hot plate kemudian mengelap sudut bibirnya menggunakan serbet putih yang sudah tersedia barulah dia menjawab pertanyaan Bianna. “Suka tidak suka, inilah aku. Terserah anggapanmu atau orang lain, yang pasti aku tidak akan merubah diriku demi siapa pun. Paham?” “Aku jadi penasaran, bagaimana hubunganmu dengan pacar-pacarmu dulu.” Bianna juga mengakhi
“Aku rasa idenya Tobias sangat bagus. Tapi dari sekian banyak yang dia sebutkan, aku hanya tahu beberapa saja. Aku benar-benar payah, ya.” Bianna terkekeh melihat daftar perusahaan yang baru saja ditulis oleh rekan kerja Damian di tangannya.“Nggak masalah, Bia. Kamu temui saja yang kamu kenal, untuk sisanya, aku yang akan temui mereka, mungkin Damian juga bisa bantu, iya, kan, Bro?” tanya Tobias sambil melihat pada Damian. “Berikan padaku.” Bianna mengulurkan kertas di tangannya pada suaminya. Mata Damian terlihat serius memperhatikan kertas daftar perusahaan besar yang menjadi rekanan bisnis Kevin selama ini. Tak lama kemudian, seulas senyum terbit di bibir sang pria. “Aku kenal beberapa dari mereka. Ada juga yang jadi pemegang saham di perusahaanku, rasanya tak akan sulit buat mereka memihak kita.”Jelas saja keterangan itu membuat Bianna tersenyum lebar, itu artinya harapan dia untuk menjatuhkan Kevin pun a
Tidak ada obrolan yang terjadi selama dalam perjalanan pulang. Baik Bianna atau Damian sibuk dengan pikirannya masing-masing. Mungkin ponsel-lah satu-satunya benda yang menghibur Bianna saat ini karena pemandangan di luar mobil hampir sama dengan saat tadi dia berangkat. Bianna yang iseng-iseng membaca laman berita online tidak sengaja kembali teringat pada percakapan seseorang di dalam butik tadi. Mungkin mereka karyawan yang sudah lama kerja di sana karena dari obrolan yang tidak sengaja Bianna dengar, mereka cukup mengenal Damian dan Viella. “Sayang banget ya, Nona Viella nggak jadi sama Tuan Damian. Padahal dia lebih cantik dari istrinya, badannya bagus dan terkenal lagi,” ucap salah satu karyawan wanita itu. Saat itu Bianna sedang berada di dalam toilet. “Iya jelas lah, Nona Viella itu kan, model kesayangannya Nyonya Esperanza. Tentu dia lebih cantik dan seksi. Ya, kita nggak tahu apa alasan mereka putus. Tapi sejak itu Nona Viella j
Damian memarkir mobil mewahnya di sembarang tempat di halaman rumahnya. Bianna pun bisa bernafas lega karena apa yang dia takutkan tidak terjadi dan senang akhirnya mereka sampai juga di rumah. Kalau boleh meminta, sepertinya Bianna menyesal keluar jalan-jalan hari ini dengan Damian karena tidak ada satu pun hal menyenangkan yang terjadi. “Aku mau tidur, jangan ganggu aku.” Tiba-tiba Damian berucap setelah mematikan mesin mobilnya lalu tanpa basa-basi dia keluar begitu saja dari mobil meninggalkan Bianna yang kebingungan.“Astaga, ini orang! Sabar, sabar, kalau saja aku tidak membutuhkanmu, mungkin aku sudah lama pergi darinya,” guman Bianna sambil melepas seatbelt-nya. Namun baru saja dia memegang handle, tiba-tiba pintu mobil sudah terbuka dengan sendirinya. Bianna menengok ternyata Sean yang membukakan pintu untuknya. “Makasih, Om. Kok, Om tiba-tiba ada di sini?” tanya Bianna sedikit keheranan. Sean tersenyum kecil, lalu menjawab, “Aku baru saja kembali dari latihan berkuda dan
"Bernapaslah," perintah Damian dengan suara dalam, matanya tidak melepaskan Bianna sedikit pun."Apa?" Bianna masih terlihat kebingungan."Bernapas. Perlahan." Damian menatapnya dalam, tangannya masih memegang lengannya dengan erat. "Kamu tidak bisa berpikir jernih kalau terus seperti ini."Bianna terdiam, mencoba mencerna kata-kata Damian. Napasnya memang terasa pendek dan tidak teratur, dadanya naik turun cepat. Dia akhirnya menutup mata sejenak, mencoba mengatur napasnya seperti yang Damian katakan."Pelan-pelan," ulang Damian, suaranya sedikit melunak.Bianna menarik napas dalam-dalam, menahannya beberapa detik, lalu menghembuskannya perlahan. Dia mengulanginya beberapa kali, sampai akhirnya perasaan paniknya mulai mereda. Damian tetap menatapnya, memastikan dia benar-benar tenang.Setelah beberapa saat, Bianna akhirnya membuka matanya dan menatap Damian dengan ekspresi lebih terkendali."Aku ….” Bianna mengerjapkan
Saat Damian dan Bianna tiba di depan gedung perusahaan, suasana di sana sudah jauh dari tenang. Puluhan wartawan telah berkumpul, kamera dan mikrofon diarahkan ke arah mereka begitu mobil Damian berhenti di lobi utama.Bianna mengerutkan kening, tidak menyangka pemberitaan itu akan berdampak secepat ini. Dia menghela napas dan bersiap turun dari mobil, tetapi sebelum tangannya sempat menyentuh pegangan pintu, Damian sudah lebih dulu menahannya."Tunggu sebentar," ucapnya pelan, matanya waspada.Bianna menoleh padanya, sedikit bingung. "Aku harus masuk. Mereka tidak mungkin di sini selamanya."Damian mendecak. "Mereka di sini untukmu. Begitu kamu keluar, mereka tidak akan melepaskanmu."Bianna mendesah frustasi. "Aku tidak bisa terus bersembunyi. Aku hanya perlu melewati mereka tanpa bicara apa pun."Damian masih menatapnya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Baiklah. Tetap di dekatku."Begitu pintu mobil terbuka, suar
Dion langsung menghampiri mereka dengan ponselnya, membuat Bianna dan Damian refleks langsung menjauh satu sama lain. Bianna mengusap wajahnya, mencoba mengumpulkan kesadaran, sedangkan Damian berdeham dan kembali ke posisi duduknya dengan santai, meski ada sorot aneh di matanya."Apa sih, Dion? Kenapa pagi-pagi kamu ribut sekali?" tanya Bianna, suaranya masih serak karena baru bangun.Dion dengan ekspresi panik langsung menyerahkan ponselnya pada Bianna."Lihat ini! Seluruh media sosial lagi heboh sama berita ini!"Bianna mengambil ponsel Dion dan melihat layar yang penuh dengan berita yang sedang trending. Matanya menajam begitu melihat judul utama:"WANITA BERSUAMI MENGGODA MANTAN SUAMINYA SENDIRI? SKANDAL BESAR DI DUNIA BISNIS!"Sebuah artikel panjang tertera di sana, membahas tentang seorang wanita yang sudah menikah, tetapi kembali dekat dengan mantan suaminya. Meski inisial yang digunakan adalah B dan K, tetapi di kolom komentar banyak orang yang menduga bahwa ini tentang dirin
Leony menambahkan, "Dia bahkan terang-terangan mengatakan menyesal telah memilihku! Dia membela Bia di hadapanku, Mom! Seolah-olah aku ini tidak ada artinya!""Itulah sebabnya kamu tidak boleh menyerah! Kamu pikir aku akan diam saja membiarkan perempuan licik seperti Bia merebut suamimu? Tidak akan pernah!" Nada suara Stella mulai meninggi. Aura kemarahan pun terlihat jelas di wajahnya. Leony menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada bicara Stella yang membuatnya menggigil, tetapi sekaligus menyalakan bara dalam dirinya. "Tapi bagaimana caranya? Kevin sudah tergila-gila pada Bia lagi. Bahkan aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan!"Stella tersenyum sinis. "Bia memang pintar. Dia tahu bagaimana memainkan peran sebagai wanita lemah dan menggoda untuk menarik perhatian Kevin. Tapi satu hal yang tidak bisa dia lawan adalah fakta bahwa kamu adalah istrinya yang sah. Itu adalah keunggulan terbesarmu."Leony mulai memahami arah pembicaraan Stella. Dia menga
Saat Kevin memasuki rumah, langkahnya terdengar berat dan penuh amarah. Begitu melihat Leony yang tengah duduk di sofa ruang tamu dengan wajah masam, dia langsung menghampirinya dengan tatapan tajam.“Apa yang kamu lakukan pada Bia tadi?” suaranya dingin, tetapi nada kemarahan jelas terasa.Leony, yang awalnya duduk dengan santai, kini menegakkan tubuhnya. Dia menatap Kevin dengan sinis. “Apa maksudmu?”Kevin menghempaskan jas yang masih dia kenakan ke sofa dengan kasar. “Jangan pura-pura bodoh. Kamu tahu maksudku. Buat apa kamu menemui Bia? Apa kamu tidak punya hal lain yang lebih berguna untuk dilakukan?”Leony mendengkus, lalu menyilangkan tangannya di dada. “Oh? Jadi sekarang kamu membela dia? Sejak kapan kamu begitu peduli pada Bia?”Kevin mencengkeram pergelangan tangannya dengan erat, membuat Leony tersentak. “Sejak kamu mempermalukannya di depan umum! Apa kamu tidak punya otak? Apa kamu tidak sadar bahwa semua orang melihatnya? Ka
Damian menatap Bianna dalam diam. Dia tahu bahwa Bianna keras kepala, dan tidak ada gunanya berdebat dengannya sekarang. Bagaimanapun juga, ini adalah permainannya, dan Damian hanya akan mengamati dari samping—setidaknya untuk saat ini.Bianna mengalihkan pandangannya ke meja kecil di sudut ruangan, melihat nampan makan yang masih penuh dan tidak tersentuh. Alisnya mengernyit. “Kamu lagi puasa atau bagaimana?” tanyanya, menatap Damian dengan curiga.Damian, yang sedang bersandar di ranjang sambil memainkan ponselnya, mengangkat alis. “Hah?” Dia mengikuti arah pandangan Bianna dan mendapati nampan makan itu masih di tempatnya sejak tadi. “Oh, itu. Aku tidak sempat makan.”Bianna mendecakkan lidah. “Tidak sempat atau memang tidak mau?”Damian hanya mengangkat bahu, tampak tidak tertarik untuk menjelaskan lebih lanjut.Bianna menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah meja dan mengambil nampan makan itu. Dengan gerakan mantap, ia meletakk
Bianna melangkah masuk ke dalam rumah sakit, melewati lorong-lorong yang mulai sepi. Udara hangat dari penghangat ruangan langsung menyambutnya, tetapi tidak bisa menghangatkan hatinya yang dingin saat ini karena dipenuhi dengan berbagai pikiran. Alih-alih pulang ke rumah, dia lebih memilih datang ke sini. Saat tiba di depan kamar Damian, pintunya sedikit terbuka, dan Bianna bisa melihat sosok pria itu sedang duduk di ranjang dengan ekspresi serius, ponsel menempel di telinganya. Meski sedang sakit, Damian tetap tenggelam dalam pekerjaannya. “Pastikan laporan keuangan bulan ini sudah diaudit sebelum meeting minggu depan.” Suara Damian terdengar tegas. “Dan jangan lupa, aku ingin dokumen merger itu siap secepatnya.” Selesai dengan panggilan pertama, Damian langsung menekan nomor lain. Kali ini, dia menghubungi Inez. “Inez, besok pagi bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani ke rumah sakit. Aku akan pulang besok,” k
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su