Beranda / Fantasi / Kembalinya Sang Dewa Pedang / Intrik Di Balik Peti Mati

Share

Intrik Di Balik Peti Mati

Penulis: Aspasya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-04 15:00:12

Manor Wu, pusat kota Chunyu, tampak sunyi. Di dalam aula besar yang mewah, Wu Zhengting duduk dengan anggun di atas kursi tinggi berukir. Jari-jarinya yang ramping dengan lembut memegang cangkir teh porselen giok. Tatapannya, meski terlihat tenang, menancap tajam pada lantai dingin di depannya.

Di hadapannya, beberapa bawahan berlutut dalam ketakutan yang terpendam, kepala mereka tertunduk dalam-dalam, seolah takut menatap penguasa Kota Chunyu itu.

Turnamen bela diri yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi panggung kejayaan kota Chunyu justru berakhir dalam kekacauan memalukan. Di depan pejabat penting seperti Perdana Menteri kiri Chu Wang dan Kasim Zheng, serta para tamu kehormatan, insiden itu telah mencoreng nama baik Chunyu. Kabar tentang peristiwa ini akan segera mencapai telinga kaisar di ibu kota, dan Tuan Wu tahu benar bahwa ini bisa memicu masalah politik besar. Kesalahan ini berbahaya.

Meski begitu, Tuan Wu tetap menampilkan ketenangan yang luar
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Nona Xue Xue

    Wisma Empat Musim, Jalan KenanganDi ruang yang sunyi, aroma teh melati bercampur harum krisan mengisi udara, menenangkan sekaligus mengisi keheningan yang menyelimuti. Xue Xue duduk diam, matanya menatap kosong pada meja di depannya, seolah terhanyut dalam pikirannya yang dalam. Angin musim gugur yang lembut menyusup melalui jendela, membawa dedaunan kering yang jatuh perlahan di atas lantai kayu yang berderit halus. Ujung lengan hanfu-nya yang putih lembut berpadu biru muda tersentuh angin, tetapi tubuhnya tetap tak bergeming, seolah angin pun tak bisa menyentuh kegelisahan dalam hatinya.Di sebelahnya, seorang murid wanita muda, A Yao, berdiri dengan tegang, memegang teko perak berukir. Setiap gerakannya sangat hati-hati, seolah takut suara air teh yang mengalir ke dalam cangkir akan mengganggu ketenangan Xue Xue. Suasana masih tetap hening, hanya ada suara tetesan teh yang tenang, menyatu dengan hembusan angin yang menggerakkan tirai tipis di jendela.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kawan Lama

    Beberapa hari berlalu sejak insiden di turnamen bela diri yang berakhir dengan kekacauan. Dalam upaya memperbaiki citra dan menenangkan suasana, Tuan Wu Zhengting menawarkan kompensasi yang mencolok bagi empat petarung di babak final. Tak hanya itu, ia juga meminta maaf secara langsung kepada seluruh peserta, tamu, dan penonton, suatu tindakan yang tak diduga banyak orang.Tak lama setelah itu, Tuan Wu menggelar festival musim gugur yang meriah di pusat kota Chunyu, terbuka untuk semua orang yang kebetulan berada di sana. Kemeriahan festival ini berhasil mengalihkan perhatian publik dari insiden sebelumnya.Sikap ramah Tuan Wu dan kesediaannya mengakui bahwa dirinya pun tertipu membuat banyak pihak enggan memperpanjang masalah. Bahkan, ia dengan bijaksana untuk tidak menyalahkan pihak-pihak terkait seperti Sekte Pedang Langit dan Biro Kupu-kupu Emas. Akibatnya, suasana kembali damai dalam waktu singkat. Kisah peti mati giok lavender, yang sebelumnya menjadi sumber

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Reuni

    Suasana di dalam kereta yang ditumpangi Chu Wang dan Kasim Zheng terasa hening. Seolah angin malam yang dingin sengaja menghindari celah-celah jendela tertutup rapat. Aroma kayu cendana samar-samar tercium, mengisi ruang yang sempit namun mewah itu. Junjie duduk dengan tenang, berhadapan dengan Chu Wang. Untuk pertama kalinya, ia bertemu kembali dengan teman masa kecilnya yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri kiri, pilihan Kaisar. Meski usia mereka tak terpaut jauh, dunia politik telah menjauhkan mereka dalam cara yang tak terucapkan. Dulu, mereka berdua belajar bersama di bawah asuhan Grand Tutor Liu, mempelajari seni pemerintahan dan strategi militer. Hari itu, meski bisa disebut sebuah reuni, pertemuan mereka dibayangi ketegangan. Situasi di Kota Chunyu yang mencekam membuat kepercayaan menjadi barang langka. Setiap orang, tanpa kecuali, saling mengawasi satu sama lain. Wajah Chu Wang yang tenang namun serius memecah keheningan.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-05
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Bunga-bunga Yang Punah

    Malam itu, bulan tampak malu-malu, tersembunyi di balik selimut awan kelabu. Ren Hui melangkah perlahan, nyaris tanpa suara di atas rumput yang basah oleh embun. Setiap hembusan angin malam membawa aroma segar daun bambu, membelai wajahnya dan menggoyangkan ujung jubahnya dengan lembut, seakan menyambut kehadirannya di dalam keheningan.Saat ia mendekati rumah beroda itu, sinar lilin samar yang menerobos dari celah-celah jendela memberi pertanda bahwa seseorang masih terjaga. Di tengah keheningan, terdengar suara halus air yang mendidih, seolah ikut menjaga malam yang sunyi.Pintu terbuka perlahan, dan di dalam, Ren Hui mendapati Yingying, berdiri di depan tungku, merebus ramuan obat. Seperti biasanya, kesibukan sehari-harinya.“Yingying,” panggil Ren Hui lembut. Yingying menoleh, tersenyum tipis. “Kau akhirnya kembali. Aku sudah menunggumu,” jawabnya, lembut namun dingin. Ren Hui mendekat, matanya tertuju pada uap yang berputar keluar dari panci

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Ren Hui Dan Chu Wang

    Di dalam rumah beroda berdinding kayu tua, aroma rempah-rempah obat dan teh herbal bercampur di udara, menciptakan wewangian pahit yang menenangkan. Lentera yang tergantung berayun pelan, membentuk bayangan redup di dinding. Ren Hui duduk berhadapan dengan Chu Wang, di antara mereka asap teh tipis bergelung naik, mengisi udara dengan aroma dedaunan teh kering yang baru diseduh. Di sisi lain ruangan, Kasim Zheng berdiri cemas, mengawasi Yingying yang dengan hati-hati menyuapi Junjie, atau Pangeran Yongle, obat herbal dari mangkuk kayu.Dia tampak pucat, racun bunga salju yang bersarang di tubuhnya membuat penyakit dinginnya kambuh. Setiap hembusan napasnya terlihat, seolah musim dingin telah menyergap seluruh nadinya, meninggalkan jejak beku yang tak bisa ia hindari. Mantel tebal dan selimut beludru yang membungkusnya tak mampu menahan serbuan dingin yang merasuki sumsum tulangnya.“Kau tidak perlu khawatir, Kasim Zheng,” kata Yingying, suaranya

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Dewa Arak

    Putri Tian Xing Hui menatap ke dalam kegelapan hutan bambu yang semakin pekat di sekelilingnya. Langit senja telah lama berubah menjadi bayang-bayang kelam, dan hawa dingin yang menusuk mulai meresap ke setiap pori kulitnya. Dia sudah menunggu terlalu lama. Chu Wang dan Kasim Zheng belum juga kembali, dan perasaan cemas perlahan mengikat hatinya. Dengan napas tertahan, dia akhirnya memutuskan untuk menyusul mereka, ditemani oleh beberapa prajurit setia.Saat tiba di depan rumah beroda yang ditunjukkan salah seorang prajurit, Putri Tian Xing Hui langsung menerobos masuk. Aroma kayu lembap dan asap tipis bercampur di udara, menyapa indra penciumannya yang peka. Kasim Zheng menyambutnya dengan cepat, tetapi perhatian Tian Xing Hui segera tertuju pada sosok di sudut ruangan, terbaring tak berdaya di atas dipan sederhana.“Dia…” bibirnya bergetar, suara itu hampir tak terdengar.Tanpa berpikir panjang, dia berlari mendekat, berlutut di samping tempat

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-06
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Salju Pertama Di Musim Dingin

    Musim gugur telah berlalu, meninggalkan jejak dinginnya di udara. Musim dingin datang menjelang. Di Hutan Bambu Emas Berbisik, pagi itu diwarnai keheningan ketika salju pertama turun.Setiap serpihan jatuh dengan lembut, membalut daun-daun bambudengan lapisan putih tipis yang bersinar samar di bawah sinar matahari yang redup. Udara semakin mendingin dan terasa sepi, seolah-olah alam enggan menyambut kedatangan musim baru.Di dalam rumah beroda yang hangat, Ren Hui dan Junjie duduk bersama, menikmati pemandangan salju yang turun untuk pertama kalinya di tahun ini . Ren Hui menghela napas, menceritakan kedatangan Putri Tian Xing Hui beberapa waktu lalu. Wajahnya terlihat sedikit cemas saat berbicara, terutama ketika dia mengutarakan kekhawatirannya akan kondisi Junjie.Junjie, dengan senyuman getir di wajahnya, merespons, “Gadis itu sudah dewasa sekarang. Dia bukan lagi bocah cilik yang bisa aku tipu begitu saja.” Ada nada getir dalam suaranya, namun juga ra

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07
  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Memulai Perjalanan Baru

    Keesokan paginya, seperti yang telah direncanakan, Ren Hui bersiap meninggalkan Hutan Bambu Emas Berbisik. Cahaya fajar yang menyelip di antara daun bambu berlapis salju, membentuk bayang-bayang halus di tumpukan tipis salju yang melapisi tanah, sementara suara angin berdesir bak bisikan-bisikan halus para peri. Sejak dini hari, dia sibuk menyiapkan segala sesuatu dengan teliti. Perbekalan, menurutnya, adalah hal yang paling penting.Selama musim gugur yang lalu, Ren Hui sudah mengantisipasi hari ini. Dia telah membeli arang untuk perapian, bahan makanan yang cukup untuk beberapa minggu, selimut tebal, mantel berlapis, serta pakaian musim dingin yang hangat. Rumah berodanya pun tak luput dari perhatian—diperbaiki agar lebih hangat menghadapi musim dingin yang mulai menggigit. Semua itu dibiayai oleh uang yang diterimanya dari Song Mingyu, setelah pemuda itu memenangkan turnamen bela diri yang digelar beberapa saat lalu dan berakhir ricuh. Ren Hui menerima hadiah i

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-07

Bab terbaru

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pertarungan Baru Saja Dimulai

    Pangeran Luo menatap intens sosok yang berdiri gagah di atas kereta dimana Ren Hui dan adiknya berada. Wajah pria itu tertutup oleh topeng hantu menakutkan, seperti bayangan malam yang mencekam harapan."Apakah benar mereka adalah Pasukan Hantu Kematian?" gumamnya pelan. Matanya cepat melirik para prajurit yang terlibat dalam pertempuran sengit dengan pria-pria berjubah hitam yang muncul tiba-tiba, seperti bayangan kegelapan yang menyerap kehidupan."Kasim Ong, tangani mereka!" serunya pada kasim kepercayaannya, suaranya lantang dan bergema. Ia segera melesat ke atap kereta, menghadapi sosok berjubah hitam yang sejak tadi hanya menyaksikan dengan tenang penuh intimidasi."Wah! Wah! Pangeran Luo, nyalimu sungguh besar!" Pria berjubah hitam itu terkekeh, suaranya terdengar dingin seperti angin malam yang menusuk tulang."Apa tujuanmu?" Pangeran Luo tak menggubris ejekan itu, pandangan tetap tajam penuh determinasi, pedangnya terarah mantap ke leher pria berjubah hitam tersebut."Tujuank

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Serangan Mendadak

    Debu dan pasir yang diterbangkan angin meliuk-liuk bak tarian liar, mengiringi lembaran-lembaran kertas kimcoa yang melayang di udara. Lembaran itu kembali berhamburan, menghujani iring-iringan kereta yang perlahan menuju perbatasan wilayah Kekaisaran Shenguang. Suara gemerisik kertas yang jatuh terdengar seperti bisikan-bisikan gaib, mengisi udara dengan aura ganjil."Kertas-kertas ini lagi?" Pangeran Luo mendongak, menatap langit yang hampir tertutupi serpihan kertas berwarna kuning. Namun, pandangannya kabur, terganggu oleh derasnya lembaran kimcoa yang berputar-putar di udara seperti hujan badai tanpa henti."Kakak, apa semua baik-baik saja?" A Xian bertanya. Kepala mungilnya menyembul dari jendela kereta, rambutnya berkibar seiring tiupan angin. Ada nada khawatir dalam suaranya, seolah firasat buruk tengah mengintai mereka."Aku rasa tidak." Pangeran Luo mengalihkan pandangannya, menatap adiknya dengan sorot mata tajam dan tegas. "A Xian, jaga Tuan Ren."A Xian mengangguk tanpa b

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Para Pria Berjubah Hitam

    Pria-pria berjubah hitam dengan topeng hantu yang menyeramkan itu masih berdiri di puncak bukit pasir merah, menatap iring-iringan kereta pengantin yang bergerak perlahan di kejauhan. Dari balik topeng mereka, hawa dingin seperti menetes ke udara, menyelimuti malam yang mencekam."Bagaimana dengan rumah beroda itu?" Salah satu dari mereka menunjuk ke bawah, ke arah sebuah rumah beroda yang melaju perlahan, seperti siput yang merayap di atas pasir merah yang membara."Pedagang arak itu ya?" gumam sang pemimpin dengan suara serak, nyaris seperti bisikan angin gurun. Dia meraih topeng hantunya, melepasnya dengan gerakan lamban, dan menatap rumah beroda itu lekat-lekat, seakan berusaha mengurai rahasia yang tersembunyi di balik dinding kayunya.Hingga kini, pria itu belum sepenuhnya memahami hubungan rumah beroda aneh itu dengan serangkaian peristiwa yang mengacaukan rencananya selama beberapa waktu terakhir. Yang dia tahu hanyalah bahwa pemilik rumah itu adalah seorang pedagang arak, yan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Hujan Kimcoa Di Gurun Merah

    Ren Hui mendengar keributan di luar kereta. Dengan gerakan perlahan namun waspada, ia menyibak tirai dan menatap keluar jendela. Kertas-kertas kimcoa beterbangan di udara, mengiringi aroma dupa pemakaman yang menyusup menusuk penciumannya. Hembusan angin membawa kertas-kertas itu berputar liar, seolah tarian suram kematian tengah berlangsung di langit gurun merah yang tandus. Jantungnya berdegup lebih kencang, sebuah firasat buruk menyeruak di benaknya."Pasukan Hantu Kematian," gumamnya pelan, seperti bisikan angin yang menyelip masuk ke sela-sela jendela. Namun, suara lirih itu cukup jelas untuk ditangkap oleh A Xian, gadis cantik yang duduk anggun di hadapannya.A Xian menoleh, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar. Matanya membulat, menatap kertas-kertas kimcoa yang melayang-layang seperti hujan di tengah gurun kering. "Wah, apakah ada pemakaman di sekitar sini?" tanyanya dengan nada takjub, menatap keindahan yang kontras dengan suasana mencekam di luar.Ren Hui menyandarkan

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Dari Oasis Merah

    Iring-iringan kereta berjalan perlahan, roda-roda kayunya menggurat pasir merah yang berkilau di bawah sengatan matahari gurun. Bendera-bendera yang berkibar malas diterpa angin panas mengumumkan tujuan mereka, Baili. Di sekeliling kereta, beberapa prajurit Shenguang dan Baili berbaris dengan waspada, tombak mereka memantulkan kilau tajam sinar matahari.Di dalam salah satu kereta, Ren Hui duduk santai dengan gaya yang sama sekali tidak mencerminkan seorang "pengantin". Dari balik tirai tipis, dia menatap kosong ke luar, seolah-olah sinar matahari yang menyilaukan lebih menarik perhatian daripada situasi konyol yang menjeratnya."Tuan Ren, kaki Anda!" tegur seorang wanita muda yang duduk di hadapannya, nada suaranya setengah geli, setengah kesal.Ren Hui mengangkat wajahnya perlahan, melirik wanita itu tanpa banyak emosi, sebelum mengabaikan tegurannya. Dengan sengaja, ia tetap membiarkan kakinya bertengger di bangku kereta. Pose ini begitu bertolak belakang dengan gaun pengantin mewa

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Pengantin Yang Cantik

    Tiga pria tampan itu saling berpandangan, seolah-olah ada percikan api yang terpantul di antara mereka. Debat kecil di antara mereka berlangsung dengan semangat yang tak bisa dipadamkan. Tidak ada satupun dari mereka yang tampak rela melakukan apa yang kini menjadi perdebatan sengit mereka."Bagaimana kalau kita suit saja?" usul salah satu dari mereka. Suara Song Mingyu yang penuh kegelisahan hampir terdengar seperti desahan angin yang terperangkap di celah-celah kereta pengantin milik Nona Muda Chao Ping. Song Mingyu yang sudah sejak lama ingin lepas dari peranannya, kini merasa peluang itu datang."Baiklah!" sahut dua pria lainnya serempak. Ren Hui dan Junjie pun bersiap untuk adu suit, seakan-akan mereka sedang menghidupkan kembali kegembiraan masa kecil mereka yang lama terkubur."Gunting! Batu! Kertas!" teriak mereka bersamaan dengan penuh semangat. Suara mereka memekik di udara, seperti riuhnya anak-anak yang sedang memilih teman untuk bermain petak

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Xuan Yu dan Lei

    Junjie melangkah perlahan menjejak pasir merah keemasan, langkahnya begitu santai seakan dunia ini tak mampu mengusik ketenangannya. Ujung mantel birunya berkibar lembut diterpa angin gurun, memancarkan kilau di bawah sinar matahari yang garang. Perpaduan pasir merah dan mantel biru itu membentuk pemandangan indah bak lukisan alam yang hidup, seperti guratan halus tinta pada kanvas seorang maestro."Aku tahu, bukan pedagang arak yang menarik perhatianmu, tapi pria itu," bisik Lei, suaranya serupa angin yang berusaha menyusupkan rahasia. Jemarinya dengan hati-hati menunjuk sosok Junjie yang semakin mendekat.Xuan Yu tidak menanggapi. Tatapannya tak beranjak dari pria bermantel biru itu, matanya penuh dengan sorot tajam yang menelisik. Sosok yang tengah berjalan mendekat itu memancarkan aura elegan, seakan-akan waktu berhenti hanya untuk menunggunya. Ketika mantel birunya berkibar, dia tampak seperti langit yang bergemuruh tenang sebelum badai menghantam."L

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Drama Di Pagi Hari

    Tenda besar itu sunyi, lebih sunyi dari biasanya. Sinar matahari pagi menyusup perlahan melalui celah-celah kain, memantulkan bayangan lembut di atas pasir. Tidak ada jejak keramaian yang biasanya menghiasi Oasis Merah saat pagi. Suasana terasa lesu, seakan seluruh oasis tenggelam dalam tidur yang tak terganggu."Aku bosan!" seru Xuan Yu tiba-tiba, suaranya bergema di dalam tenda yang kosong. Ia menguap lebar, tubuhnya bersandar santai di kursi kayu yang sudah aus oleh waktu. Matanya menyapu ruang di sekelilingnya—tidak ada siapa pun kecuali dirinya. Zhu Ling, sang Peramal Ilahi, entah pergi ke mana. Tapi Xuan Yu tidak peduli, kesunyian sudah menjadi teman setianya."Apakah masih lama?" gumamnya, sembari bangkit berdiri. Tubuhnya digerakkan, tangan direntangkan, dan punggungnya diputar, memecah kekakuan yang terasa di setiap sendi.Beberapa hari terakhir, ia hanya bermalas-malasan di tenda itu, menjalani perannya sebagai bawahan Peramal Ilahi yang terkenal

  • Kembalinya Sang Dewa Pedang   Kita Sepakat

    Kedua pria itu kini saling menatap dalam keheningan yang nyaris terasa berat, seolah udara di antara mereka telah mengental. Pak Tua Ong muncul membawa nampan berisi teh dan camilan, memecah kesunyian. Langkahnya ringan, namun ada sesuatu dalam gerak-geriknya yang anggun, kontras dengan jubah lusuh yang dikenakannya."Anak muda, cicipilah teh merah dari Baili," katanya ramah sambil menuangkan cairan hangat berwarna merah tua ke dalam cangkir porselen. Aroma teh itu segera memenuhi udara, memancarkan keharuman yang lembut dan menenangkan, seperti embusan angin musim semi yang membawa wangi bunga mekar.Junjie menerima cangkir itu dengan hati-hati. Dia mengendus aroma teh tersebut, matanya menyipit seolah menganalisis tiap molekul harumnya. "Aromanya sangat harum. Bunga mawar?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.Pak Tua Ong tersenyum kecil. Sebelum dia sempat menjawab, Tuan Luo menimpali, "Baili memang dikenal sebagai penghasil bunga mawar terbes

DMCA.com Protection Status