SuzyAku sedang mengosongkan isi perutku di toilet di sebuah sekolah dasar. Itu adalah sekolah swasta yang hanya dihadiri oleh anak-anak dari keluarga elit. Seminggu lewat beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sekolah itu. Tentu saja aku tidak memiliki referensi untuk melakukan pekerjaan itu selain hanya menyelesaikan pendidikan utama, tapi aku telah memuaskan direkturnya dan dia menerimaku untuk bekerja di sana. Namun, tidak ada satu pun yang mengetahui apa niatanku sebenarnya ketika aku ingin bekerja di sana.Itu adalah tempat belajar gadis yang harus aku culik. Dia adalah anak kecil yang berumur sekitar enam tahun dan seorang wanita elegan selalu datang untuk mengantarnya ketika kelas akan dimulai dan menjemputnya ketika kelasnya berakhir, jadi aku berakhir menyadari bahwa wanita elegan itu adalah ibu dari anak itu. Aku juga menyadari bahwa banyak sekali pekerja di sekolah itu, terutama karena anak-anak yang menghadiri sekolah itu memiliki orang tua
SuzySangat dilarang untuk merokok di hadapan anak-anak di sekolah itu, jadi staf yang ingin merokok harus pergi ke halaman ketika tidak ada anak-anak di sana atau masuk ke dalam mobil mereka supaya mereka bisa merokok tanpa dilihat siapa pun, tapi aku terlalu gugup untuk mengikuti peraturan itu sekarang.Aku sedang berjalan bolak-balik di dalam gimnasium itu, menunggu Anna untuk datang dan menemuiku seperti yang telah kubilang padanya untuk datang ketika kita di kafetaria, tapi dia cukup terlambat dan aku hanya memiliki sisa waktu sedikit sebelum jam istirahat berakhir.“Astaga, di mana bocah itu?” umpatku pada diriku sendiri seraya mencari-carinya dengan mataku. Itu adalah saat yang tepat bagiku untuk meninggalkan sekolah itu dengan gadis itu tanpa diketahui seseorang. Aku selalu berhati-hati beberapa jam belakangan, sampai ke rincian terkecil. Aku tahu bahwa di belakang gimnasium itu tidak ada kamera dan temboknya mudah untuk dipanjat karena kelalaian mereka, para petugas kebersi
Aku menghela nafas dan masuk ke mobil juga, pergi dari sana secepat mungkin.**** Gadis itu benar-benar anak yang banyak bicara, dia membicarakan semua hal dan semua orang, tidak menyadari sedikit pun betapa gugupnya aku.“Agak aneh akan ada Papa di taman hiburan bersamaku dan Mama karena dia selalu bilang kalau dia tidak punya waktu. Dia memiliki perusahaan yang besar dan memiliki banyak karyawan. Dia bilang suatu hari aku akan bekerja dengannya, tapi aku tidak suka memakai pakaian orang-orang yang dikenakan karyawan di kantornya. Aku ingin gaun merah muda. Mama bilang aku bisa menjadi apa pun yang aku inginkan ketika aku sudah besar. Kamu bisa menjadi apa pun yang kamu inginkan, Suzy,” ocehnya.Aku makin merasa tidak enak badan, rasa mual membuat wajahku berubah menjadi hijau. Aku harus memberhentikan mobil di sisi jalan, membuka pintu mobil, dan mengeluarkan makan siang yang tadi kumakan.“Apakah kamu baik-baik saja, Suzy?” tanya gadis itu dan aku memutar bola mataku, mengelap
LauraBeberapa pekan telah berlalu sejak Jason telah menjadi pemilik sebagian besar dari Hextec, jadi dia telah melakukan beberapa perubahan drastis pada perusahaan, seperti memindahkan kantor perusahaan ke Jakarta Selatan dan memberikan aku posisi sebagai CEO dari perusahaan.“Perusahaan ini lebih cocok menjadi milikmu dibandingkan aku. Aku tidak tahu siapa pun yang bisa mengatur tempat ini lebih baik darimu. Lagi pula, aku sudah memiliki kerajaan bisnis yang harus aku kuasai. Aku tidak ingin menambah beban pada diriku sendiri,” katanya ketika aku menghampirinya untuk menanyakan mengenai hal itu.Jelas-jelas, aku marah padanya karena dia membeli saham Richard tanpa mendiskusikannya denganku dulu, tapi semuanya sudah terlanjur terjadi dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Richard pasti sedang bersenang-senang di Bali saat ini, seperti yang dia katakan.Sampai di titik ini, tampaknya semua hal sudah selesai ditangani, jadi aku memindahkan Anna ke rumah besar di Jakarta dan Jason d
Laura“Dari kamera pengawas, Nona Anna pergi ke arah gimnasium, lalu tidak ada lagi yang melihatnya,” kata kepala sekolah Anna. Aku baru saja menelepon mereka untuk melihat apakah putriku ada di sana, tapi aku mendapatkan respons negatif. “Kami bertanggung jawab atas putrimu. Jika dia telah menghilang, kami akan melakukan cara kami untuk menemukannya. Seharusnya itu bukan sesuatu yang sangat serius. Terkadang anak-anak menghilang tiba-tiba, dia mungkin sedang bermain di halaman,” tambahnya.“Ah, sebenarnya, aku hanya menelepon untuk memastikan sesuatu. Aku telah menyuruh seseorang untuk menjemputnya lebih cepat hari ini, dia akan tiba kemari sebentar lagi,” kataku dalam suara yang tenang supaya wanita itu percaya padaku. Aku tahu jika aku tidak mengatakan itu, dia akan menelepon Jason dan putriku akan ada dalam bahaya yang lebih parah dari sebelumnya. Walaupun aku sangat ingin berteriak meminta tolong, aku tidak bisa melakukan apa-apa sampai anakku aman.“Oh, kalau begitu baguslah.
LauraRuangan itu adalah tempat yang gelap dan redup, furniturnya kuno, dan ada artefak berburu di dinding: pajangan kepala rusa di dinding dan senapan berburu panjang lama yang kuharap hanyalah dekorasi. Anna duduk di meja dengan ekspresi ketakutan dan kebingungan. Ketika dia melihat aku, dia memanggilku dan berlari menghampiriku untuk memelukku.“Mama, aku sangat merindukanmu,” tangisnya dalam pelukanku.“Maafkan aku, sayang. Mama sudah tiba sekarang,” kataku, menepuk punggungnya, mataku tertutup seraya emosi membanjiri hatiku. Aku akhirnya kembali bersama dengan anakku, walaupun dia belum sepenuhnya aman. “Tidak apa-apa, putri kecilku. Mama akan menjagamu,” ujarku, mencium dahinya.“Kurasa reuni antara ibu dan anak ini benar-benar menyenangkan, kalian berdua terlihat menggemaskan bersama,” komentar Richard dengan senyuman yang manis dan lembut, senyuman sama yang selalu dia berikan padaku dan Anna yang memberikan kami rasa nyaman dan aman. Senyumannya sama, hanya saja baru hari
Aku terkesiap, mendengar Anna gemetar ketakutan di hadapanku, menyayat hatiku. “Lihatlah kekacauan yang telah kamu buat, Laura. Astaga,” katanya, mengambil lap dan mengelap anggur yang tumpah di atas meja. “Apakah aku akan selalu membereskan semua kekacauanmu? Kenapa kamu tidak bisa menjaga dirimu sendiri?” komentarnya, lalu dia menatap Anna. “Ayolah, berhenti menangis dan makan kalkunnya. Ayah Ricky telah menyiapkan semua ini untukmu, seperti biasanya. Sekarang berhenti menangis, tuan putri, dan makanlah sebelum makanannya dingin,” katanya pada Anna, mengusap kepalanya dengan lembut, yang untuk pertama kalinya tindakan itu membuatku merasa jijik.Bagaimana aku tidak bisa menyadari niatan sebenarnya pria gila ini? Anna menggenggam pisau dan garpunya dan mulai melahap. “Bagus,” katanya, menikmati melihat Anna makan. Lalu, dia menoleh padaku. “Kamu juga makanlah,” perintahnya.“Aku tidak lapar,” jawabku, suaraku gemetaran.“Lalu? Apakah kamu akan menolak memakan hidangan yang telah ku
SuzyAku belum pulang ke rumah malam itu.Seraya aku tergopoh-gopoh kembali ke mobil dengan dua tas berat yang berisi uang, aku berdiri di sana, memperhatikan Richard mengendarai mobil mahalnya dengan anak yang malang itu dari belakang. Aku sempat berpikir bahwa saat itu akan lebih bijak jika aku kembali ke apartemenku, mengemas barang-barangku, dan meninggalkan kota itu, tapi aku tetap diam di sana seraya tanganku mencengkeram setir mobil dan jantungku berdegup dengan kencang. Ini mungkin satu-satunya kesempatan agar gadis itu bisa selamat.Jadi, dengan berhati-hati, aku menyalakan mobilku dan melaju dengan hati-hati ke jalanan, mengikuti mobil Richard, sangat berhati-hati supaya dia tidak menyadari bahwa aku sedang mengikutinya. Aku merasa bahwa aku mungkin sedang melakukan hal bodoh dan pria itu tidak akan memaafkanku jika dia menyadari keberadaanku, tapi aku harus melakukan sesuatu, setidaknya mengetahui ke mana dia membawa anak itu, lalu pergi untuk mencari bantuan. Aku tidak t
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat
AnnaKetika aku kembali ke mobil dan melihat kaca spion seraya aku melaju menuju pintu masuk sekolahku, aku bisa melihat Ciko dengan tangan di kepalanya dan pundak yang merosot, terlihat sedih tentang apa yang baru saja terjadi. Aku menghela napas pasrah dan memutuskan untuk melihat ke depan dan melanjutkan hidupku. Itu adalah hal terbaik yang bisa kulakukan.“Hei, Anna,” panggil Abel padaku begitu dia melihatku berjalan memasuki aula sekolah.“Hai, Abel.” Aku tersenyum kepadanya saat aku melihat dia, beranjak untuk memeluknya. Abel adalah anak kandung dari Bibi Fia, sahabat ibuku. Dia dan aku tumbuh besar bersama sebagai teman dan selalu terhubung dengan satu sama lain.“Apa yang terjadi? Kamu sedikit terlambat hari ini,” katanya sambil memandangku.“Em … itu karena aku tadi berbicara dengan Ciko di luar,” kataku padanya sambil menyelipkan rambutku di belakang telingaku, merasa tidak nyaman hanya memikirkan tentang Ciko.“Oh! Ciko ada di luar? Astaga, dia manis sekali! Kamu beru
Anna“Aku ingin putus denganmu, Ciko.”Ketika kata-kata itu akhirnya keluar dari mulutku, aku hampir tidak dapat memercayainya. Aku sudah ingin mengatakannya sejak lama sekali hingga aku berpikir bahwa saat ini aku hanya membayangkan diriku sendiri mengatakannya seperti sebelum-sebelumnya. Namun, kali ini, itu sungguhan. Aku bisa melihat wajah Ciko hancur di hadapanku—wajahnya yang sesaat yang lalu penuh harapan, sekarang terkejut dan bahkan merasa jijik dengan kata-kataku.Dia tersenyum dengan lemah, seakan-akan dia tidak memahami apa pun. “Kamu ingin putus denganku? Apa maksudmu? Apa yang kamu bicarakan?” tanyanya, terlihat benar-benar kebingungan.Aku menghela napas, menyadari bahwa aku seharusnya tidak mengatakan itu padanya tanpa pendahuluan apa-apa. Namun, aku bukannya bersikap tidak sensitif, itu hanyalah cinta monyet dan aku berhak mengakhirinya.“Kurasa sebaiknya kita bicara lagi nanti, Ciko,” kataku dan berbalik untuk pergi, tapi dia tidak membiarkan aku pergi menjauh da
AnnaKarena adik-adikku sudah marah padaku, salah satu dari mereka sudah tidak menanggapi apa yang kukatakan ketika aku berusaha berkomunikasi dengannya, dan yang satunya menendang-nendang kakinya ke belakang tempat dudukku berkali-kali dan membuatku merasa tidak nyaman, menyebutku anak yang terlalu dimanja.“Hentikan, Daniel,” pintaku, tapi anak itu tampaknya tidak mau menurut.“Kamu mengatakan sesuatu? Aku tidak bisa mendengarnya, aku tidak mendengarkan anak-anak perempuan menyebalkan seperti dirimu,” katanya padaku, membuatku makin jengkel.Aku hanya mengesampingkannya dan bersabar hingga aku akhirnya tiba di sekolah mereka. Apa yang bisa kulakukan tentang itu? Itu adalah hubungan asmaraku, oke? Mereka seharusnya tidak terlibat dalam hal ini seperti itu. Itu bukan urusan mereka.“Kamu bisa turun sekarang,” kataku pada mereka begitu aku berhenti di depan sekolah mereka.Mereka pergi tanpa bahkan berpamitan, tapi Stefan berbalik ke arahku dan berkata, “Kuharap harimu buruk hari
AnnaAku sedang berada di depan cermin sambil duduk di meja riasku selagi. Dengan penuh konsentrasi, aku mencoba memakai eyeliner di atas mataku, tapi suara adikku yang menyebalkan mengagetkanku ketika dia tiba-tiba memasuki ruang gantiku, berteriak-teriak dan meminta perhatianku. Aku berakhir memiliki garis hitam di wajahku, menghancurkan seluruh riasan wajahku.“Kenapa kamu berteriak-teriak, sih, Daniel Williams Santoso?” tanyaku dengan mata yang setengah terpejam, hampir mencekik lehernya dan menarik kepalanya.“Ew, menjijikkan! Kamu terlihat mengerikan dengan riasan wajah itu. Apakah kamu tidak tahu cara memakainya dengan benar?” ejeknya padaku dengan raut wajah jijik.Aku tidak dapat memercayai perkataannya. Dialah yang menghancurkan momen damaiku ketika aku sedang memakai riasan wajah di kamarku sendiri! Aku tidak mau mendengar hal itu dari anak ini yang tidak mengenal apa yang dimaksud dengan ruang pribadi.“Omong-omong, apa yang kamu inginkan?” tanyaku seraya aku mengambil
LauraJason masih mengeluh tentang Anna, berkata bahwa Anna sebenarnya tidak mencintai pacarnya karena dia tidak ingin memiliki momen intim ini bersamanya, jadi aku sedikit kebingungan karena itu. Jason dan aku masih di kasur, berbincang tentang anak-anak kami, dan hari itu belum lama dimulai.“Apakah menurutmu Anna tidak menyukai dia sampai sejauh itu?” tanyaku dengan suara yang lebih kecil.“Jangan salah paham denganku, sayang. Namun, kita semua pernah mengalaminya,” katanya. “Coba pikirkan, kenapa kamu memberikan dirimu padaku? Lihat, pada saat itu, kita bahkan belum berpacaran.”“Aku memberikan diriku padamu karena aku mencintaimu,” kataku padanya.“Nah. Jika tuan putri kita tidak bisa memiliki momen ini bersama anak itu, itu karena dia tidak mencintainya,” katanya sambil mengangkat bahu.“Namun, itu bisa juga karena Anna belum siap untuk itu. Kamu tahu bagaimana putri kita mendorong dirinya sendiri dengan terlalu keras dan selalu takut untuk membuat kesalahan,” kataku padany
LauraKetika aku meninggalkan kamar putriku, aku kembali ke kamarku, merasa sedikit mengantuk dan lelah. Aku suka merawat anak-anakku, tapi rutinitas ini mulai terasa melelahkan—bukannya aku mengeluh atau semacamnya.“Lihat siapa yang sudah kembali,” kata Jason begitu dia melihatku berjalan memasuki kamar. Dia sedang memainkan ponselnya, mungkin memeriksa berita atau sesuatu. Dia membuka selimut dan mengundangku. “Kemarilah. Kamu butuh pelukan dari suamimu,” katanya sambil tersenyum.Aku tertawa pelan dan mulai berbaring di atasnya dan memeluknya sambil meregangkan tubuhku. “Aduh, aku lelah sekali. Kurasa aku membutuhkan sore hari yang santai,” komentarku dengan mata yang terpejam dan hanya menghirup aroma suamiku seraya dia balas memelukku dan merapatkan dirinya padaku.“Aku setuju, kamu benar-benar membutuhkannya,” katanya dengan suara yang tebal dan tersendat. Aku berpikir untuk mengundang Fia, dia pasti akan senang.“Mungkin aku akan pergi bersama Fia ke spa nanti sore,” pikir