Lila duduk di kursi kerjanya, membuka laci, dan mengambil botol multivitamin yang selalu ia simpan. Dengan cepat, dia mengambil sebutir dan menelannya bersama seteguk air. Lila berharap vitamin itu akan membantunya mengatasi rasa lelah yang semakin hari terasa semakin mengganggu aktifitasnya. Pekerjaan yang menumpuk akhir-akhir ini memang menuntut banyak tenaga dan konsentrasi. Kondisi tubuh yang dirasa kurang bersahabat itu, dipupusnya hanya sebagai efek dari kelelahan biasa. “Aku harus bisa mengalahkan rasa lelah ini,” gumam Lila pelan, seolah menyemangati diri sendiri. Dia berusaha menepis semua ketakutan yang sedikit demi sedikit mengusik benaknya. Namun, hari ini sangat berbeda. Rasa lelah yang Lila rasakan terasa semakin tidak terkendali. Matanya terasa berat, kepalanya berdenyut nyeri, dan tubuhnya seakan tidak berdaya sama sekali. Sambil memijit pelipisnya, Lila memutuskan untuk ke kamar mandi sejenak. Entah apa tujuan Lila sebenarnya, mungkin dia sekedar ingin menenangkan
Dokter Arman berdiri di dekat sofa tempat Lila berada, mengamati pasiennya yang masih terbaring lemah. Ryan duduk di sisi lain, menunggu dengan gelisah. Dokter Arman terdiam sejenak menatap Ryan yang menunjukkan kekhawatirannya terhadap Lila. Sesuatu yang selama ini hanya Dokter Arman lihat saat Ryan Bersama ibunya. Dokter Arman bersiap menyampaikan apa yang sebenarnya terjadi pada Lila. Namun, ada sedikit keraguan yang tampaknya menyergap hatinya. Sebelum dia membuka mulut, terdengar suara lembut Lila yang tampaknya mulai tersadar. Dengan perlahan Lila membuka matanya dan memandang sekeliling dengan bingung, tetapi setelah beberapa saat dia mulai mengenali tempatnya berada saat ini. Rina yang sejak tadi sudah berada di dekat Lila, segera mendekat ke arah Lila untuk membantunya duduk. “Syukurlah, kamu sudah sadar,” ucap Rina terdengar tulus, suaranya penuh rasa lega. Lila mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apa yang terjadi. “Apa yang terjadi kepadaku? Kenapa aku merasa sangat
Sean memasuki rumah besar milik keluarganya dengan langkah berat. Pikirannya masih dipenuhi oleh banyak hal, terutama percakapannya dengan Miranda beberapa hari yang lalu. Setiap kali ia berusaha melupakan, percakapan tentang pernikahan dan anak selalu kembali menghantuinya. Memasuki ruang tamu, Sekar sudah menunggunya dengan anggun, seperti biasa. Wanita paruh baya itu tersenyum tipis ketika melihat putranya masuk. “Akhirnya kau datang juga,” ucap Sekar sambil menepuk sofa di sebelahnya, seolah memberi kode kepada Sean untuk duduk di sampingnya. “Kita harus bicara,” sambung Sekar dengan seulas senyum untuk merayu putranya. Sean tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang mama. Sekar tidak pernah setengah-setengah jika sudah berbicara tentang masa depan keluarganya, dan dalam hal ini, tentang hubungannya dengan Miranda. “Kapan kamu akan mengumumkan hubunganmu dengan Miranda di depan publik?” Sekar memulai dengan nada lembut, namun penuh tekanan. “Sudah waktunya, Sean. Semua orang su
“Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Sean?” tanya Andreas, papa Miranda, dengan wajah yang terlihat penuh kecemasan. Apalagi setelah putrinya menggelengkan kepala. Ruang kerja yang menjadi tempat pembicaraan yang sangat pribadi antara ayah dan anak itu terasa begitu menegangkan. Sedari tadi Miranda duduk dengan tatap mata cemas ke arah sang papa yang berjalan mondar-mandir di hadapannya. Andreas adalah seorang pengusaha tambang yang sepertinya saat ini sedang menghadapi masalah serius. Gurat kecemasan terlihat jelas di wajahnya yang sudah dipenuhi kerutan itu. "Masalah ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut lagi," ucap Andreas yang tidak bisa menutupi ketegangan dan kecemasan yang akhir-akhir menderanya. "Perusahaan kita sedang dalam masalah besar. Papa berharap, pernikahanmu dengan Sean akan membantu kita keluar dari masalah ini." Miranda menghela napas dalam-dalam. "Hubungan kami sebenarnya sudah banyak kemajuan, apalagi dengan dukungan Tante Sekar. Tetapi ... kalau untuk
Rasa penasaran menuntun Ryan sampai di poli tempat praktek Dokter Arman. Ryan duduk dengan gelisah di ruang tunggu. Jemarinya saling bertautan dengan erat, menunjukkan rasa khawatir yang tidak bisa lenyap dari benaknya begitu saja. Dia harus memastikan jika Lila dalam keadaan baik-baik saja. Dokter Arman baru saja selesai dengan pasien terakhirnya hari itu. Dan kini, mereka bisa duduk berhadapan, berbicara secara pribadi. "Saya ingin tahu keadaan Lila yang sebenarnya," ujar Ryan dengan suara rendah yang menyiratkan rasa penasaran. "Saya merasa ada yang lebih dari sekadar kelelahan. Saya khawatir kalau ini ... penyakit yang serius. Mungkin mematikan." Dokter Arman mengangkat alisnya sedikit, menatap Ryan dengan tatap mata tajam penuh tanya. Sebagai dokter keluarga yang sudah lama saling mengenal, Dokter Arman merasa pernah melihat tatap mata penuh kekhawatiran di mata Ryan, dan itu terjadi hanya saat menyangkut keadaan ibu kandungnya. “Ryan, sebelum kita membicarakan hal ini le
Sebagai seorang model sebenarnya Miranda cukup mahir memoles wajahnya sendiri, tetapi untuk acara gala dinner malam ini dia ingin tampil sempurna di hadapan Sean. Sehingga dia rela mengeluarkan budget lebih dengan memanggil perias professional. Tangan lincah perias professional itu mempertegas garis wajah Miranda yang sudah cantik alami. Gaun warna merah anggunnya tergantung rapi di dekat ranjang, menanti dikenakan untuk gala dinner yang akan segera dimulai. Miranda menatap cermin, mengamati setiap sentuhan pada wajahnya. Ketika dandanan hampir selesai, pintu kamar terbuka perlahan. Andreas melangkah masuk dengan tatap mata langsung tertuju kepada putrinya yang tengah berdandan. "Kau terlihat luar biasa, Miranda," puji Andreas sambil berjalan mendekat. "Papa harap kau tidak gagal malam ini.” Miranda menatap perias yang baru saja melakukan sapuan terakhir di wajahnya, dia memberi kode agar perias itu keluar sebentar karena ada hal penting yang harus dia bicarakan dengan sang papa.
Untuk kali ini tampaknya Lila tidak bisa menolak semua kebaikan yang berikan oleh Ryan. Dari membayar semua belanjaan, membawakannya sampai ke apartemen, hingga membuat Lila akhirnya membalasnya dengan memasak makan malam untuk mereka berdua.Sambil menikmati makan malam, Lila dan Ryan terlibat obrolan ringan penuh basa basi tentang pekerjaan. Setelah sendok diletakkan menyilang di atas piring obrolan berubah menjadi serius dan begitu pribadi.“Apa rencanamu dengan bayi itu?” tanya Ryan tiba-tiba. Suaranya lembut, tetapi bernada menginterogasi seolah ingin mengetahui lebih jauh apa yang akan Lila lakukan. “Aku sudah tahu soal kehamilanmu dari Dokter Arman.”Lila terdiam sejenak, menatap Ryan dengan tatapan penuh keraguan. Dia sudah tahu? Lalu, mengapa tidak mengatakannya lebih awal?Lila menghela napas dalam sebelum menjawab, “Saya akan melahirkannya, merawatnya, dan mendidiknya.”Ryan menatap Lila dalam-dalam. "Meski tanpa ayah?"Lila tersenyum getir, terasa seperti sebuah kepahitan
Detik demi detik berlalu, dan untuk sesaat, Sean merasa dia bisa melepaskan semua kekhawatirannya. Bibir yang bersatu itu saling berbalas kuluman penuh Hasrat, bahkan tangan Sean mulai bergerilya menapaki inci demi inci lekuk tubuh Miranda.Sejenak keduanya hanyut dalam sentuhan yang memabukkan. Sean yang sudah lama puasa sejak perceraiannya dengan Lila, dan Miranda yang sejak dahulu begitu mendambakan Sean, seolah mencapai titik temu yang penuh gairah.Namun semua tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, ingatan tentang mimpi itu melintas di benak Sean. Bayi kecil yang tersenyum kepadanya kembali mengganggu pikirannya.Sean terhuyung mundur dari ciuman itu, napasnya tersengal-sengal. Dia memejamkan matanya, menyadari bahwa dia sedang berada di ambang batas yang berbahaya. Jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya, segalanya bisa berakhir dengan konsekuensi yang tidak dia inginkan."Maaf." Sean membuka matanya, menatap Miranda dengan rasa bersalah yang mendalam. "Seharusnya kita tidak melak
Pagi itu, Lila terbangun dengan rasa mual yang hebat. Perutnya terasa melilit, dan kepalanya berdenyut. Begitu mencoba bangun dari tempat tidur, tubuhnya limbung, nyaris terjatuh jika Sean tidak sigap memapahnya.“Kamu nggak usah ke kantor hari ini,” ujar Sean tegas sambil membantu Lila duduk kembali di tepi ranjang.“Tapi hari ini ada rapat penting...” Lila mencoba membantah, meski suaranya lemah dan wajahnya pucat.Dia menggenggam botol kecil obat anti mual yang tadi sempat diminumnya. Sayangnya, efeknya nyaris tidak terasa sama sekali. Mual itu terus menghantam tanpa ampun.Sean menggeleng. “Aku nggak peduli seberapa penting rapat itu. Kondisimu seperti ini, mana mungkin kamu bisa fokus.”“Tapi...”“Nggak ada tapi-tapian, La.” Suara Sean tegas, namun matanya memancarkan kekhawatiran. Dia menyentuh dahi Lila, memastikan suhu tubuh istrinya. “Kamu istirahat di rumah. Aku bakal ngabarin kantormu dan bilang kamu nggak bisa datang.”Lila hanya bisa menghela napas pasrah. Mual itu semaki
Sekar berdiri tegak dengan ekspresi tegas di wajahnya. “Aku tidak akan pergi melayat. Dan Lila juga tidak perlu datang.”Lila terdiam, menatap Sean dengan bingung. Ia ingin menunjukkan rasa hormat, tapi tidak berani melawan keputusan mertuanya.“Mama...” Sean mencoba berbicara dengan hati-hati. “Bagaimanapun, Risda sudah tiada. Rasanya tidak pantas jika kita tidak datang sama sekali.”Sekar menoleh, tatapannya tajam. “Perempuan itu sudah menghancurkan hidupku. Kau pikir kematiannya menghapus semua luka itu? Tidak, Sean. Dan aku tidak akan membiarkan istrimu pergi ke sana.”Lila meremas ujung bajunya, ingin bicara namun kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya.Sean melihat ketakutan di mata Lila. Dia tahu Lila hanya ingin melakukan hal yang benar, tapi dia tidak ingin Lila harus bermasalah dengan mamanya.“Baiklah, Ma. Lila tidak akan pergi,” ucap Sean dengan suara tenang. “Biar aku saja yang datang.”Sekar mendengus, lalu berbalik meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.Sean mena
Sean menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab panggilan itu. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya.“Halo?” suaranya terdengar lemah, serak karena emosi yang tertahan.“Sean, kamu di mana? Sebentar lagi waktunya makan malam,” suara Lila terdengar cemas di seberang sana. “Aku khawatir. Kamu baik-baik saja?”Sean terdiam sejenak. Ia memandang papanya yang terbaring tak bergerak, napasnya teratur namun lemah. “Aku... di rumah sakit, Lil.”Lila diam sejenak, merasakan nada kesedihan yang dalam pada suara suaminya. “Bagaimana kondisi Papa?”Sean menarik napas panjang. “Stabil... Dokter bilang keadaannya masih sama. Tidak memburuk, tapi juga belum membaik.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha keras terdengar tenang. “Aku akan segera pulang.”Lila menghela napas lega. “Baiklah... Aku tunggu di rumah.”Belum sempat Sean memutus sambungan telepon, suara lain terdengar. Ya suara Sekar yang menggelegar.“Sean?” Suara Sekar menggema, tajam dan penuh emosi. “Apa yang kamu lakukan
Ryan terhenti di ambang pintu, matanya terbelalak. Di dalam ruang perawatan, dokter dan perawat tampak bergerak cepat, wajah mereka tegang. Monitor detak jantung berdenging keras, grafiknya melonjak tak beraturan. “Tekanan darahnya turun drastis!” seru seorang perawat, suaranya penuh kepanikan. “Siapkan adrenalin! Cepat!” perintah dokter dengan nada tegas. Tangan terampilnya memompa dada sang mama, mencoba mengembalikan detak jantung yang mulai melemah. Ryan merasakan kakinya gemetar. Ia ingin masuk, mendekat, tetapi tubuhnya kaku seakan tertancap ke lantai. Di sudut ruangan, Rina memeluk Rena erat-erat. Mata mereka basah oleh air mata, wajah mereka pucat pasi. “Mama...” bisik Rena, suaranya nyaris tak terdengar, tubuh mungilnya bergetar ketakutan. Ryan mengepalkan tangan, kukunya menancap ke telapak tangan hingga terasa perih. Napasnya tersengal, dadanya sesak melihat orang yang paling dicintainya terbaring lemah di antara kabel-kabel dan selang infus. “Jangan menyerah! Ti
Mata Nadya membulat. “Kembar?” serunya nyaris tak percaya. “Jadi waktu kamu muntah di kantor itu bukan karena asam lambung?”Lila menggeleng sambil tersenyum. “Aku merasa bodoh percaya sama diagnosa kamu.”“Kamu habis curhat tentang Pak Sean yang berubah, lalu muntah-muntah. Ya aku pikir kamu kena asam lambung karena banyak pikiran.” Nadya mencoba membela diri, tidak tidak ingin disalahkan. “Terus Pak Sean?”“Dia sangat bahagia, mau punya anak lagi, apalagi langsung dua.”“Bukan itu maksudku,” sahut Nadya, tetapi dia tampak ragu untuk mengungkapkannya. “Tapi …”“Tentang perselingkuhan?” tanya singkat Lila yang langsung mendapat jawaban berupa anggukan kepala dari Nadya.“Itu hanya salah paham,” sambung Lila menjawab pertanyaannya sendiri. Mata Nadya membulat. “Jadi Pak Sean nggak selingkuh?”Lila menggeleng tegas. “Tidak. Dia nggak pernah selingkuh atau punya anak dari perempuan lain.”Nadya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. “Tapi waktu itu... kau bilang Bu Seka
Sean berdiri membeku di ambang pintu, hatinya berdegup kencang. Ryan berdiri di sana, di samping ranjang Andika, menatap wajah ayah mereka yang pucat dan lemah.Perlahan, Ryan menoleh. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga waktu seakan berhenti. Dua pasang mata yang penuh luka, penuh kenangan pahit, namun tak bisa mengingkari darah yang mengalir dalam tubuh mereka.Sekian lama mereka saling membenci, menyalahkan takdir yang memisahkan mereka sejak lahir. Sean, anak dari istri sah Andika, dibesarkan berbalut luka sebuah pengkhianatan. Sementara Ryan, anak dari wanita lain, tumbuh dalam bayang-bayang merasa tak terlihat dan diabaikan.“Mengapa kalian meninggalkan Papa di saat dia terpuruk?” Sean melontarkan pertanyaan dengan suara serak karena menahan tangis.Tidak ada kemarahan, dendam pun rasanya sudah sirna. Situasi seperti ini bukan lagi waktunya mengumbar amarah. Bagi Sean, kemunculan Ryan adalah sebuah berkah, setelah pencariannya selama ini tidak menemukan hasil.Ryan membuk
Sean duduk di kursi kerjanya, ponsel di tangan, menatap nomor kontak ayah mertua di layar. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol panggil.“Halo, Sean?” Suara Waluya terdengar hangat seperti biasa di seberang sana.“Ya, Pak,” jawab Sean dengan nada tenang dan santai. “Saya ingin mengabari Bapak sesuatu.”“Ada apa, Sean?”“Lila... saat ini Lila sedang hamil, Pak,” ucap Sean, suaranya sedikit bergetar. “Dan... kali ini kembar.”Hening sejenak di ujung telepon, sebelum akhirnya Waluya tertawa kecil. “Syukurlah. Ini kabar baik, Sean! Bapak sangat bahagia mendengarnya.”Sean menghela napas lega. Sean berharap kabar bahagia ini bisa memperbaiki hubungan Lila dengan keluarganya yang sempat merenggang karena masalah yang ditimbulkan oleh Delisa.Suara Waluya terdengar sedikit lirih. “Bapak sangat merindukan kalian. Brilian pasti sangat senang mengetahui kalau dia akan punya adik. Semoga Brilian mendapat adik perempuan seperti yang dia inginkan.”“Amin,” sahut Sean dengan sen
Pagi itu, Lila berlari tergesa-gesa ke kamar mandi, menahan rasa mual yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan perutnya melilit seperti terpilin. Begitu sampai di wastafel, dia memuntahkan isi perutnya. Cairan asam menggores tenggorokannya, meninggalkan rasa pahit yang menjalar hingga ke lidah.Sean berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dan cemas. Dia mendekat, mengusap punggung Lila dengan lembut, membiarkan tangannya bergerak perlahan untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanyanya untuk kesekian kali, suaranya penuh kekhawatiran.Lila menggeleng lemah, mengusap bibirnya dengan tisu. “Dokter Amira sudah memberi obat anti mual. Ini pasti hanya sementara.” Tapi suaranya terdengar rapuh, nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Sean membantu Lila berdiri, memapahnya ke tempat tidur. Dia ingat saat Lila mengandung Brilian, saat itu mereka belum rujuk, sehingga Sean tidak bisa mendampingi Lila menghadapi mual atau kelelahan. Saat itu, dia
Sean menatap Lila dengan mata terbelalak. “Kamu bertemu Ryan? Kapan? Di mana?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur tanpa jeda. Nafasnya sedikit tertahan, napas seseorang yang menunggu kepastian dari masa lalu yang belum tuntas.“Di rumah sakit.”“Di rumah sakit?” Suaranya terdengar tak percaya. Mereka selalu bersama saat di rumah sakit. Dia tak pernah melihat tanda-tanda kehadiran Ryan.Lila mengangguk pelan. “Tadi aku melihat keadaan Papa. Saat aku mau pulang, tidak sengaja bertemu dengan Ryan.”Sean mengerutkan kening. “Ryan di rumah sakit? Apa mungkin selama ini dia mengawasi Papa secara diam-diam?” Ada kilat di matanya, seolah-olah puzzle yang lama berserakan mulai menyatu.Lila menggeleng lemah. “Mamanya Ryan sedang sakit.”Sean mengusap wajahnya. Ia mencoba mencerna informasi itu, mencoba memahami kehadiran Ryan di rumah sakit yang sama. Dunia memang sempit, tapi takdir bisa lebih kejam.“Apa saja yang kalian bicarakan?” Kali ini suaranya lebih lembut, seakan tak ingin melewatkan