Ryan mengemudikan mobilnya perlahan melewati jalan yang mulai lengang menjelang malam. Lampu-lampu kota berpendar di kaca depan, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Ryan merasa janggal, bahkan dengan dirinya sendiri. Dulu, hampir setiap hari dia bertemu Rina selama bertahun-tahun, di ruang rapat, di kantor, atau di tengah diskusi panjang tentang strategi perusahaan. Semuanya berjalan profesional, tanpa ada rasa yang melampaui batas.Namun sekarang, setiap pesan dari Rina, bahkan yang sesederhana “terima kasih,” bisa membuatnya tak tenang. Sosoknya yang dulu hanya sekadar bawahan kini terasa begitu mengganggu pikirannya. Ryan menghela napas, matanya menatap lurus ke jalan, tapi bayangan wajah Rina terus terlintas di benaknya.“Apa yang salah dengan aku?” gumamnya lirih, sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir.Ryan menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, karena mobilnya sudah memasuki kompleks tempat tinggalnya. Dia tidak ingin sang mama nantinya mengetahui ad
“Ada yang bisa saya bantu?”Rina menoleh menuju ke sumber suara, dia sangat tertegun melihat keberadaan Ryan di hadapannya menggunakan apron dengan bordir nama restaurant tempat mereka berada saat ini. Penampilan pria itu tetap memikat, meski tak lagi berbalut setelan mahal seperti saat masih memimpin di Mahendra Securitas.“Sekarang Pak Ryan bekerja di sini?”Rina menatapnya tajam, ada campuran rasa heran dan kagum dalam pandangannya. Suara gemericik air mancur dari sudut ruangan mengalun lembut, seakan menjadi latar bagi momen tak terduga ini.“Jangan panggil ‘Pak’, panggil Ryan saja,” katanya sambil tersenyum kecil, nyaris canggung.Rina mengangguk ragu, membalas dengan senyum tipis. Canggung menjalar di antara mereka, seperti bayangan tak kasat mata yang mengisi celah.“Mungkin butuh camilan atau minuman hangat untuk menemani bekerja,” tawar Ryan dengan nada santai, berusaha mencairkan suasana.“Itu masih ada,” jawab Rina, sambil melirik secangkir wedang sereh yang tinggal setenga
Lila duduk di tepi ranjang, matanya tak lepas menatap wajah kecil Brilian yang terlelap pulas. Napas bayi itu teratur, bibir mungilnya sedikit terbuka, memberi kesan lucu yang membuat Lila menjadi semakin sulit untuk meninggalkanya.Lila tersenyum kecil, tapi senyumnya mengandung rasa pahit. Cahaya lampu tidur yang redup menerangi ruangan dengan hangat, tapi di hatinya terasa sebaliknya, dingin, penuh kebingungan.Dia menghela napas panjang, mengusap lembut kepala Brilian. Bagaimana mungkin aku meninggalkanmu untuk bekerja? pikirnya. Brilian masih terlalu kecil untuk mengerti, dan waktu bersama anak itu adalah sesuatu yang tak akan pernah kembali.Tetapi Lila juga sadar, ada tanggung jawab besar sebagai menantu di keluarga Wismoyojati. Dia tidak bisa hanya ongkang-ongkang kaki menikmati kekayaan yang keluarga itu, ada kontribusi yang harus dia berikan.Dahulu, setelah menikah dengan Sean, Sekar langsung memberi Lila tanggung jawab untuk mengurus Yayasan amal yang didirikan keluarga Wi
Suara rintik hujan menenggelamkan desah dan erang di dalam kamar mewah. Di atas ranjang king size Sean dan Lila memburu kenikmatan bersama, sebelum putra mereka terbangun nanti.Setelah hampir satu jam, akhirnya keduanya terkapar setelah mencapai puncak bersama. Sean dan Lila tidak langsung tidur, tapi melanjutkan dengan berbincang ringan tentang rencana ke depan untuk rumah tangga mereka.Lila bersandar di dada Sean, tubuh polos mereka terbungkus selimut hangat. Aroma hujan yang samar tercium dari jendela yang sedikit terbuka.“Lila.” Sean memulai dengan suara pelan, nyaris berbisik, seolah takut mengganggu keheningan. “Aku tahu, mungkin kamu kadang tidak setuju dengan keinginanku supaya kamu lebih banyak di rumah, fokus sama anak-anak.”Lila mengangkat wajahnya sedikit, menatap Sean yang terlihat menerawang ke langit-langit. “Aku hanya ingin memastikan Brilian tumbuh dalam keluarga yang utuh, tidak seperti aku dulu.”Sean mengeratkan pelukannya, menghela napas panjang sebelum melanj
Motor Ryan berhenti perlahan di depan tempat kos Rina. Udara dingin menusuk kulit, aroma aspal basah tercium kuat. Rina turun dengan hati-hati, melepas helm yang masih melekat di kepalanya, dan menyerahkannya kembali pada Ryan.“Terima kasih,” ucap Rina pelan dan terdengar tulus.Ryan mengangguk kecil, tapi sebelum sempat menjawab, hujan tiba-tiba kembali turun dengan deras, menampar jalanan tanpa ampun.“Sh*t!” Tanpa sadar Ryan mengeluarkan umpatan kasar yang langsung membuatnya tampak sedikit kikuk.Rina cukup terkejut mendengar Ryan mengumpat. Selama bekerja bersama di Mahendra Securitas mantan atasannya itu selalu terlihat kalem dengan gaya bahasa yang santun, tetapi mungkin situasi hari ini cukup membuatnya tidak nyaman.Tetapi Rina mencoba mengabaikannya, dia segera membuka gerbang kos memberi jalan masuk untuk Ryan.“Masuk saja, berteduh dulu. Hujannya deras banget,” katanya, suaranya sedikit mengalahkan suara hujan.Ryan menatapnya ragu, tapi akhirnya memarkirkan motor di depa
Akhir pekan itu, suasana cerah menyambut kedatangan Sean dan Lila di rumah Sekar. Mobil berhenti perlahan di depan rumah dengan halaman luas yang dikelilingi pohon-pohon rindang.Sekar yang sejak tadi menunggu di teras langsung bangkit dengan senyum mengembang, begitu melihat Lila turun dari mobil sambil menggendong Brilian, cucunya yang baru berusia enam bulan.“Cucu oma sudah datang!” seru Sekar dengan penuh semangat.Lila menyerahkan Brilian pada ibu mertuanya, dan Sekar langsung memeluk bayi itu erat, mengajak bicara dengan nada lembut penuh kasih sayang.“Gantengnya oma. Sudah besar ya sekarang? Lihat, kamu makin gemuk!” ucapnya sambil mencium pipi Brilian yang montok.Meski Brilian belum mampu memberi jawaban, tetapi Sekar terus berbicara sendiri dengan penuh antusias. Sean dan Lila hanya tersenyum, mengikuti di belakangnya sambil membawa tas perlengkapan bayi.Kebahagiaan terpancar jelas di wajah mereka saat melihat Sekar begitu ceria bersama cucunya.Dan kini, mereka duduk di
Mahendra Securitas sedang dipenuhi kasak-kusuk. Di sudut-sudut kantor, pembicaraan tentang pengganti Sekar menjadi topik utama.Beberapa karyawan menduga Andika dan Ryan, dua nama lama yang pernah menjadi bagian perusahaan, akan kembali memimpin. Namun, Nadya, yang dikenal sebagai tangan kanan Sekar, menepis rumor tersebut.Dengan senyuman penuh rahasia, Nadya hanya berkata, “Tunggu saja, kalian akan tercengang.”Di salah satu ruangan, Delisa mendengar percakapan itu. Rasa ingin tahunya memuncak, dan dengan hati-hati, ia mendekati Nadya. Dalam hati Delisa merasa senang saat mendengar jika Sekar akan digantikan. Gadis mud aitu sudah merasa tidak betah dengan sikap keras Sekar kepadanya.“Kak Nadya,” katanya dengan nada penuh harap, “apa benar akan ada pemimpin baru? Siapa dia?”Nadya menatap Delisa, senyumnya penuh teka-teki. “Kamu akan tahu nanti, Delisa. Ini kejutan besar,” jawabnya singkat, meninggalkan Delisa semakin penasaran.Semua karyawan diminta berkumpul di aula perusahaan se
Setelah acara pengumuman berakhir, suasana di Mahendra Securitas mulai kembali tenang. Sekar terlihat tenang tetapi penuh perhatian ketika menggendong Brilian yang tertidur pulas di pelukannya.Langkahnya mantap menuju mobil, sementara Lila berjalan di sampingnya dengan raut wajah yang terlihat berat melepas kepergian putranya. Untuk pertama kalinya dia akan terpisah dalam waktu yang lama dengan putranya.Sekar tersenyum lembut, menatap menantunya dengan penuh pengertian. “Lila, Brilian akan baik-baik saja. Aku akan merawatnya dengan baik, seperti dulu waktu merawat Sean. Kamu fokus saja pada tugasmu di sini. Percayalah, ini juga untuk kebaikan Brilian.”Meskipun hatinya masih ragu, Lila akhirnya mengangguk. Dia tahu Sekar memiliki pengalaman dan kasih sayang yang luar biasa. Saat Sekar bersiap memasuki mobil bersama Brilian, Lila dan Sean mendekat untuk memberikan kecupan perpisahan kepada putra kecil mereka.Lila mencium kening Brilian dengan lembut, air mata hampir jatuh dari sudut
Pagi itu, Lila terbangun dengan rasa mual yang hebat. Perutnya terasa melilit, dan kepalanya berdenyut. Begitu mencoba bangun dari tempat tidur, tubuhnya limbung, nyaris terjatuh jika Sean tidak sigap memapahnya.“Kamu nggak usah ke kantor hari ini,” ujar Sean tegas sambil membantu Lila duduk kembali di tepi ranjang.“Tapi hari ini ada rapat penting...” Lila mencoba membantah, meski suaranya lemah dan wajahnya pucat.Dia menggenggam botol kecil obat anti mual yang tadi sempat diminumnya. Sayangnya, efeknya nyaris tidak terasa sama sekali. Mual itu terus menghantam tanpa ampun.Sean menggeleng. “Aku nggak peduli seberapa penting rapat itu. Kondisimu seperti ini, mana mungkin kamu bisa fokus.”“Tapi...”“Nggak ada tapi-tapian, La.” Suara Sean tegas, namun matanya memancarkan kekhawatiran. Dia menyentuh dahi Lila, memastikan suhu tubuh istrinya. “Kamu istirahat di rumah. Aku bakal ngabarin kantormu dan bilang kamu nggak bisa datang.”Lila hanya bisa menghela napas pasrah. Mual itu semaki
Sekar berdiri tegak dengan ekspresi tegas di wajahnya. “Aku tidak akan pergi melayat. Dan Lila juga tidak perlu datang.”Lila terdiam, menatap Sean dengan bingung. Ia ingin menunjukkan rasa hormat, tapi tidak berani melawan keputusan mertuanya.“Mama...” Sean mencoba berbicara dengan hati-hati. “Bagaimanapun, Risda sudah tiada. Rasanya tidak pantas jika kita tidak datang sama sekali.”Sekar menoleh, tatapannya tajam. “Perempuan itu sudah menghancurkan hidupku. Kau pikir kematiannya menghapus semua luka itu? Tidak, Sean. Dan aku tidak akan membiarkan istrimu pergi ke sana.”Lila meremas ujung bajunya, ingin bicara namun kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya.Sean melihat ketakutan di mata Lila. Dia tahu Lila hanya ingin melakukan hal yang benar, tapi dia tidak ingin Lila harus bermasalah dengan mamanya.“Baiklah, Ma. Lila tidak akan pergi,” ucap Sean dengan suara tenang. “Biar aku saja yang datang.”Sekar mendengus, lalu berbalik meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.Sean mena
Sean menatap layar ponselnya sejenak sebelum menjawab panggilan itu. Ia menghela napas, mencoba menenangkan dirinya.“Halo?” suaranya terdengar lemah, serak karena emosi yang tertahan.“Sean, kamu di mana? Sebentar lagi waktunya makan malam,” suara Lila terdengar cemas di seberang sana. “Aku khawatir. Kamu baik-baik saja?”Sean terdiam sejenak. Ia memandang papanya yang terbaring tak bergerak, napasnya teratur namun lemah. “Aku... di rumah sakit, Lil.”Lila diam sejenak, merasakan nada kesedihan yang dalam pada suara suaminya. “Bagaimana kondisi Papa?”Sean menarik napas panjang. “Stabil... Dokter bilang keadaannya masih sama. Tidak memburuk, tapi juga belum membaik.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha keras terdengar tenang. “Aku akan segera pulang.”Lila menghela napas lega. “Baiklah... Aku tunggu di rumah.”Belum sempat Sean memutus sambungan telepon, suara lain terdengar. Ya suara Sekar yang menggelegar.“Sean?” Suara Sekar menggema, tajam dan penuh emosi. “Apa yang kamu lakukan
Ryan terhenti di ambang pintu, matanya terbelalak. Di dalam ruang perawatan, dokter dan perawat tampak bergerak cepat, wajah mereka tegang. Monitor detak jantung berdenging keras, grafiknya melonjak tak beraturan. “Tekanan darahnya turun drastis!” seru seorang perawat, suaranya penuh kepanikan. “Siapkan adrenalin! Cepat!” perintah dokter dengan nada tegas. Tangan terampilnya memompa dada sang mama, mencoba mengembalikan detak jantung yang mulai melemah. Ryan merasakan kakinya gemetar. Ia ingin masuk, mendekat, tetapi tubuhnya kaku seakan tertancap ke lantai. Di sudut ruangan, Rina memeluk Rena erat-erat. Mata mereka basah oleh air mata, wajah mereka pucat pasi. “Mama...” bisik Rena, suaranya nyaris tak terdengar, tubuh mungilnya bergetar ketakutan. Ryan mengepalkan tangan, kukunya menancap ke telapak tangan hingga terasa perih. Napasnya tersengal, dadanya sesak melihat orang yang paling dicintainya terbaring lemah di antara kabel-kabel dan selang infus. “Jangan menyerah! Ti
Mata Nadya membulat. “Kembar?” serunya nyaris tak percaya. “Jadi waktu kamu muntah di kantor itu bukan karena asam lambung?”Lila menggeleng sambil tersenyum. “Aku merasa bodoh percaya sama diagnosa kamu.”“Kamu habis curhat tentang Pak Sean yang berubah, lalu muntah-muntah. Ya aku pikir kamu kena asam lambung karena banyak pikiran.” Nadya mencoba membela diri, tidak tidak ingin disalahkan. “Terus Pak Sean?”“Dia sangat bahagia, mau punya anak lagi, apalagi langsung dua.”“Bukan itu maksudku,” sahut Nadya, tetapi dia tampak ragu untuk mengungkapkannya. “Tapi …”“Tentang perselingkuhan?” tanya singkat Lila yang langsung mendapat jawaban berupa anggukan kepala dari Nadya.“Itu hanya salah paham,” sambung Lila menjawab pertanyaannya sendiri. Mata Nadya membulat. “Jadi Pak Sean nggak selingkuh?”Lila menggeleng tegas. “Tidak. Dia nggak pernah selingkuh atau punya anak dari perempuan lain.”Nadya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata sahabatnya. “Tapi waktu itu... kau bilang Bu Seka
Sean berdiri membeku di ambang pintu, hatinya berdegup kencang. Ryan berdiri di sana, di samping ranjang Andika, menatap wajah ayah mereka yang pucat dan lemah.Perlahan, Ryan menoleh. Mata mereka bertemu, dan seketika itu juga waktu seakan berhenti. Dua pasang mata yang penuh luka, penuh kenangan pahit, namun tak bisa mengingkari darah yang mengalir dalam tubuh mereka.Sekian lama mereka saling membenci, menyalahkan takdir yang memisahkan mereka sejak lahir. Sean, anak dari istri sah Andika, dibesarkan berbalut luka sebuah pengkhianatan. Sementara Ryan, anak dari wanita lain, tumbuh dalam bayang-bayang merasa tak terlihat dan diabaikan.“Mengapa kalian meninggalkan Papa di saat dia terpuruk?” Sean melontarkan pertanyaan dengan suara serak karena menahan tangis.Tidak ada kemarahan, dendam pun rasanya sudah sirna. Situasi seperti ini bukan lagi waktunya mengumbar amarah. Bagi Sean, kemunculan Ryan adalah sebuah berkah, setelah pencariannya selama ini tidak menemukan hasil.Ryan membuk
Sean duduk di kursi kerjanya, ponsel di tangan, menatap nomor kontak ayah mertua di layar. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya menekan tombol panggil.“Halo, Sean?” Suara Waluya terdengar hangat seperti biasa di seberang sana.“Ya, Pak,” jawab Sean dengan nada tenang dan santai. “Saya ingin mengabari Bapak sesuatu.”“Ada apa, Sean?”“Lila... saat ini Lila sedang hamil, Pak,” ucap Sean, suaranya sedikit bergetar. “Dan... kali ini kembar.”Hening sejenak di ujung telepon, sebelum akhirnya Waluya tertawa kecil. “Syukurlah. Ini kabar baik, Sean! Bapak sangat bahagia mendengarnya.”Sean menghela napas lega. Sean berharap kabar bahagia ini bisa memperbaiki hubungan Lila dengan keluarganya yang sempat merenggang karena masalah yang ditimbulkan oleh Delisa.Suara Waluya terdengar sedikit lirih. “Bapak sangat merindukan kalian. Brilian pasti sangat senang mengetahui kalau dia akan punya adik. Semoga Brilian mendapat adik perempuan seperti yang dia inginkan.”“Amin,” sahut Sean dengan sen
Pagi itu, Lila berlari tergesa-gesa ke kamar mandi, menahan rasa mual yang tak tertahankan. Tubuhnya terasa lemas, dan perutnya melilit seperti terpilin. Begitu sampai di wastafel, dia memuntahkan isi perutnya. Cairan asam menggores tenggorokannya, meninggalkan rasa pahit yang menjalar hingga ke lidah.Sean berdiri di ambang pintu, wajahnya tegang dan cemas. Dia mendekat, mengusap punggung Lila dengan lembut, membiarkan tangannya bergerak perlahan untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan.“Kau yakin tidak perlu ke dokter?” tanyanya untuk kesekian kali, suaranya penuh kekhawatiran.Lila menggeleng lemah, mengusap bibirnya dengan tisu. “Dokter Amira sudah memberi obat anti mual. Ini pasti hanya sementara.” Tapi suaranya terdengar rapuh, nyaris tak meyakinkan dirinya sendiri.Sean membantu Lila berdiri, memapahnya ke tempat tidur. Dia ingat saat Lila mengandung Brilian, saat itu mereka belum rujuk, sehingga Sean tidak bisa mendampingi Lila menghadapi mual atau kelelahan. Saat itu, dia
Sean menatap Lila dengan mata terbelalak. “Kamu bertemu Ryan? Kapan? Di mana?” Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur tanpa jeda. Nafasnya sedikit tertahan, napas seseorang yang menunggu kepastian dari masa lalu yang belum tuntas.“Di rumah sakit.”“Di rumah sakit?” Suaranya terdengar tak percaya. Mereka selalu bersama saat di rumah sakit. Dia tak pernah melihat tanda-tanda kehadiran Ryan.Lila mengangguk pelan. “Tadi aku melihat keadaan Papa. Saat aku mau pulang, tidak sengaja bertemu dengan Ryan.”Sean mengerutkan kening. “Ryan di rumah sakit? Apa mungkin selama ini dia mengawasi Papa secara diam-diam?” Ada kilat di matanya, seolah-olah puzzle yang lama berserakan mulai menyatu.Lila menggeleng lemah. “Mamanya Ryan sedang sakit.”Sean mengusap wajahnya. Ia mencoba mencerna informasi itu, mencoba memahami kehadiran Ryan di rumah sakit yang sama. Dunia memang sempit, tapi takdir bisa lebih kejam.“Apa saja yang kalian bicarakan?” Kali ini suaranya lebih lembut, seakan tak ingin melewatkan