Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.
Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada. Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya. "Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada temannya, diikuti oleh tawa kecil. “Biasa, orang dari kalangan bawah. Dulu buat makan saja susah, apalagi buat beli baju,” celetuk perempuan yang lainnya, diikuti suara gelak tawa yang sangat merendahkan. “Jadi sekarang, dia punya baju bagus langsung buat andalan. Dipakai di semua acara.” Lila, yang mendengar bisikan-bisikan tersebut, berusaha tenang. Dia menyadari bahwa di dunia yang penuh dengan kemewahan kehidupan kalangan atas, pakaian yang dikenakan adalah sebuah prestise tersendiri. “Dengar-dengar katanya dia mandul.” Terdengar suara lain menimpali, menambah sesak rasa hati Lila. Ingin rasanya mengabaikan suara-suara sumbang itu, tetapi telinganya sudah terlanjur mendengar, dan hatinya terasa tersayat dan berdarah. “Untuk acara perusahaan sepenting ini, bisa-bisanya kamu datang terlambat.” Sekar langsung menyambut kedatangan Lila dengan cibiran. Sekar mengernyitkan dahinya menatap Lila dengan saksama, dari ujung rambut sampai ujung kaki. Lalu dia mendengus kesal melihat penampilan menantunya. Lila tetap cantik, elegan dan berkelas seperti biasanya. satu kesalahannya, dia mengenakan pakaian yang sudah pernah digunakan. “Jangan seperti orang susah! Apa kau tidak punya uang untuk membeli baju baru? Apa uang yang diberikan Sean kepadamu masih kurang?” cecar Sekar dengan suara lirih tetapi penuh penekanan. Dia sadar saat ini mereka sedang menjadi sorotan. “Maaf.” Satu kata lolos dari bibir Lila. Tidak ada pembelaan, bahkan untuk menyalahkan Sean yang memberi tahu secara mendadak pun hanya akan membuat Lila semakin tersudut. “Lady Di dan Kate Middleton sebenarnya pernah menggunakan pakaian yang sama dalam acara yang berbeda, tapi mereka pinter dalam mix and match. Nggak seperti kamu, plek ketiplek jadi kaya pakai pakaian usang. Nggak malu sama IPK?” Lila hanya mendesah pasrah membiarkan ibu mertuanya mengeluarkan segala kata hinaan untuk dirinya. Membantah hanya akan memperparah masalah. Awalnya Lila menganggap salah kostum adalah sebuah kesalahan kecil, tetapi ternyata hal itu membuka lebar pintu hinaan untuk dirinya. Hingga tiba saat acara puncak, dengan gagah dan penuh kharisma Sean naik ke panggung dan memulai pidatonya. Di sana, Sean menjadi pribadi berbeda dengan yang Lila kenal setiap hari, penuh kehangatan dan ramah dengan orang-orang di sekitarnya. “Para hadirin yang terhormat, dengan bangga saya memperkenalkan brand ambassador baru kami, Miranda Manuella,” ucap Sean dengan suara penuh antusiasme. “Sebagai artis berbakat dan penuh talenta, Miranda telah menunjukkan dedikasi dan profesionalisme yang luar biasa di setiap karyanya. Kami yakin, dengan kehadiran Miranda, produk terbaru kami akan semakin dikenal dan dicintai oleh masyarakat luas.” Tepuk tangan riuh mengiringi langkah Miranda saat ia naik ke panggung, senyum cerahnya menyapa seluruh hadirin dengan pesona yang tak terbantahkan. Gemuruh tepuk tangan bersahutan dengan puja-puji untuk Miranda. Pesona ragawi yang sangat memukau, adalah pilihan tepat untuk mempromosikan produk baru perusahaan Wismoyojati. “Kau tahu siapa dia?” tanya Sekar di tengah keriuhan, reflek Lila mengangguk karena Miranda adalah artis yang sedang naik daun. “Miranda Manuella, dia cantik, pinter juga. Lulusan luar negeri, IPK-nya pun nggak kalah sama kamu, summa cumlaude.” Tidak henti Sekar memuji brand ambassador baru perusahaannya. “Ayahnya seorang pengusaha sukses, memiliki perusahaan tambang di beberapa daerah. Selevel dengan keluarga Wismoyojati. Lihatlah perawakannya, dia terlihat begitu subur dan sepertinya tidak mandul. Berbeda dengan anak sopir taksi. Mungkin karena kurang gizi dan stunting, jadinya mandul.” Ternyata hinaan untuk hari ini belum berakhir. Sekar masih memiliki segudang kosakata untuk menghancurkan mental Lila. Dan tampaknya berhasil, menyinggung pekerjaan orang tuanya, adalah penghinaan terdalam yang harus Lila telan. Lila sadar, dahulu dia hanya gadis miskin yang dipungut dan dilambungkan oleh Sekar, dan dia harus bersiap jika sewaktu-waktu dihempaskan begitu saja. Acara malam ini berlangsung dengan sukses. Lila ikut bahagia, melihat rasa bangga dan kelegaan di wajah Sean saat para tamu undangan tampak puas dan antusias dengan produk barunya. Satu per satu tamu mulai pergi termasuk Sekar, tetapi Sean masih berdiri di panggung, berbincang dengan beberapa kolega dan Miranda. Niat hati menghampiri Sean untuk mengajak pulang bersama, tetapi Lila justru disuguhi pemandangan yang menyesakkan dada. Lila yakin ini bukan lagi bagian dari profesionalitas, saat Sean dan Miranda berbincang sambil bercanda dengan romantisnya. Lengan Sean melingkar di pinggang ramping Miranda, saat berbicara dia mendekat dan menempelkan bibirnya di telinga Miranda membisikkan sesuatu. Miranda tertawa lebar sambil mendongakkan kepala, hingga bibir Sean menyentuh leher jenjang artis cantik itu. “Private party?” Suara Miranda merdu mendayu, terdengar manja dan menggoda. “Sepertinya sangat menyenangkan.” Sean hanya mengangguk sambil tersenyum tipis kepada Miranda. Marah? Cemburu? Lila merasa tidak berhak saat menyaksikan kedekatan Sean dan Miranda yang begitu intim. Seakan-akan mereka berdua adalah pasangan yang sesungguhnya, bukan Lila dan Sean. Sean tertawa, suaranya yang berat terdengar akrab dan nyaman. Sebagai seorang istri, Lila tidak pernah merasakan keakraban seperti itu. Sean selalu serius, dingin, dan menjaga jarak. Tetapi bersama Miranda, Sean berubah menjadi sosok yang hangat dan begitu romantis. Lila menghentikan langkahnya. Napasnya terhela panjang dan terasa sesak. Hingga memunculkan praduga, mungkin ini penyebab Sean selalu bersikap dingin dan tidak ingin memiliki anak darinya. Sean sudah memiliki cinta yang lain, dan dia tidak ingin mengkhianati hatinya. Dengan tatap mata nanar, Lila menyaksikan Sean dan Miranda yang semakin menjauh. Pintu lift terbuka, lalu keduanya memasuki dengan langkah seirama dan tangan saling bertautan. Sean dan Miranda membalikkan tubuh hingga menatap pintu lift yang perlahan mulai menutup. Tanpa sengaja tatap mata Lila dan Sean saling beradu. Tidak ada rasa bersalah, Sean justru semakin mengencangkan lengannya yang membelit erat pinggang Miranda. Sebelum pintu tertutup sempurna, dengan senyum lebar Miranda bersandar manja di bahu Sean. Lila terpaku di posisinya berdiri. Setelah berjuang tetap tegar dengan segala hinaan dari Sekar, Lila menutup hari ini dengan tetesan air mata. Pemandangan yang menghancurkan hatinya, kehangatan yang ditunjukkan Sean kepada Miranda adalah sesuatu yang sangat dia rindukan. Namun, Sean memberikan kepada perempuan lain. “Mungkin sudah waktunya untuk mengakhiri semua,” ucap Lila pada dirinya sendiri.Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Sekar tiba di apartemen putranya dengan perasaan campur aduk. Lila menghubunginya meminta tolong sambil menangis hingga. Firasatnya mengatakan ada sesuatu hal genting sedang terjadi.Benar saja, saat membuka pintu apartemen, Sekar langsung disambut oleh pemandangan yang memprihatinkan. Lila duduk di sofa dengan wajah pucat, bekas lebam menghiasi wajahnya, membuat Sekar tercekat."Lila, apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini padamu?" tanya Sekar dengan suara pelan tapi penuh emosi. “Apa Sean yang melakukan ini semua?”Lila mengangguk lemah. "Ya Ma. Sean yang melakukannya." Lila menunduk menyeka air matanya.Sekar terdiam, hatinya bergetar. Ia tidak bisa langsung percaya bahwa putranya, yang selalu dia banggakan, bisa memperlakukan istrinya seperti ini. Tapi apartemen mereka memiliki sistem keamanan yang sangat ketat. Tak mungkin ada orang lain yang masuk tanpa izin Sean."Apa maksudmu, Lila?" Sekar bertanya, setengah berharap ada penjelasan lain yang masuk akal.Lila menghela napas
Waktu tidak bisa mengikis amarah di hati Sean. Mengawali hari dengan buruk membuat Sean tidak bisa bekerja dengan baik. Kepalanya masih dipenuhi dengan peristiwa tadi malam, sehingga tidak bisa maksimal dalam bekerja.Sean tidak pernah menduga istrinya yang selama ini selalu patuh dan penurut tiba-tiba meminta cerai darinya. Dan itu terjadi setelah pertemuan Lila dengan pria lain. Hingga dia sampai melakukan sesuatu yang diluar batas. Meskipun tumbuh dalam didikan yang keras, tetapi Sean tidak pernah diajarkan untuk ringan tangan terhadap perempuan.Apakah ini semua karena cemburu? Hati Sean menyangkalnya. Tetapi sebagai seorang pria, Sean merasa harga dirinya diinjak-injak saat Lila dengan begitu enteng meminta cerai, seolah dirinya adalah pria yang tidak berguna.Keinginan pulang lebih awal agar bisa melihat keadaan Lila tampaknya harus tertunda sementara waktu. Sekar memintanya untuk datang, ada urusan penting katanya.“Apa yang ingin mama bicarakan?” tanya Sean tanpa basa-basi, se
Setelah berbicara panjang dengan sang mama, kini Sean menuju ke rumah sakit tempat Lila di rawat. Berulang kali Sean memukul kemudi untuk meluapkan rasa kesal di hatinya. Pikiran tentang Lila memenuhi kepalanya, membuat jantungnya berdetak kencang. Setiap meter yang dilalui terasa seperti beban yang semakin berat di dadanya."Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya, berulang kali. Kecepatan mobilnya bertambah, seolah waktu tak memberinya pilihan untuk menunggu lebih lama.Setibanya di rumah sakit, Sean bergegas menuju ke ruang perawatan Lila sesuai yang diiformasikan oleh Sekar. Kepala Sean terasa penuh oleh berbagai beban, mulai dari ancaman perceraian hingga ancaman skandal yang bisa menghancurkan reputasinya. Tetapi, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap menjadi prioritas di benaknya, Lila. Sean bertekad untuk berbicara dengan istrinya, mencari solusi atas kekacauan ini. Sean tidak ingin pernikahan mereka berakhir dengan cara seperti ini.Namun, kala Sean tiba di depan ruang p
Setelah memasuki mbilnya, Ryan mengirim pesan kepada Rina jika dia pulang terlambat hari ini. Tanpa menunggu balasan, dia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Ryan mematikan mesin mobilnya begitu tiba di halaman rumah Sean. Petugas keamanan sudah membuka gerbang tanpa banyak tanya, mengenali mobilnya sebagai salah satu yang sering keluar-masuk rumah ini.Begitu Ryan keluar dari mobil, suara langkah kecil terdengar berlari mendekat. Brilian, dengan wajah penuh antusias, langsung menghampirinya.“Om Ryan!” seru Brilian penuh antusias dan keceriaan. Namun, begitu ia melihat ke dalam mobil dan tidak menemukan sosok yang diharapkannya, ekspresinya berubah kecewa. “Om Ryan nggak ajak Renasya?”Ryan tersenyum tipis, berlutut di hadapan Brilian. “Maaf, Brili. Renasya lagi di rumah sama Bunda.”Brilian mendengus kecil, menundukkan kepala, lalu tanpa berkata-kata lagi berbalik masuk ke dalam rumah. Ryan hanya bisa menghela napas, memahami kekecewaan bocah itu.Saat ia melangkah ke
Sean keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah. Lila duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan tatapan lembut tapi penuh kekhawatiran.Tanpa berkata apa-apa, Sean berjalan mendekat dan merengkuh Lila ke dalam pelukannya. Erat. Seolah-olah jika dia melepaskannya, sesuatu yang buruk akan terjadi."Aku takut kehilangan kalian." Suara Sean terdengar serak.Lila membalas pelukannya, mengusap punggung suaminya dengan lembut."Kami baik-baik saja, Sean." Meski sebenarnya dia juga merasakan kekhawatiran yang sama.Sean memejamkan mata, menghirup aroma tubuh istrinya, mencari ketenangan yang sepertinya sulit ia dapatkan. Kabar Miranda keguguran menghantamnya lebih keras dari yang dia kira. Itu bukan sekadar tragedi bagi Miranda, tapi juga pengingat betapa rapuhnya kehidupan. Betapa mudahnya kehilangan.Setelah beberapa saat, Lila berkata dengan lembut, "Sekarang Miranda sudah tidak di apartemen. Chiara membawanya ke tempat penampungan di kantor LSM-nya. Dia akan lebih aman di sana.
Miranda menatap dokter muda di hadapannya dengan mata membelalak, bibirnya bergetar tanpa suara. Lila yang berdiri di sampingnya refleks menggenggam tangan Miranda, berusaha menyalurkan ketenangan."Apa maksud dokter?" suara Miranda terdengar lirih, hampir tak terdengar.Dokter menarik napas dalam, lalu menjelaskan dengan nada tenang namun tegas."Dari hasil USG, tampak bahwa kehamilan Anda tidak berkembang. Ini berarti Anda mengalami keguguran. Saya menyarankan untuk segera melakukan kuretase agar tidak terjadi komplikasi yang lebih serius."Miranda menunduk, bahunya bergetar. Sejak kapan dia hamil? Sejak kapan dia membawa nyawa kecil dalam tubuhnya tanpa ia sadari? Dan sekarang, semuanya sudah hilang.Rasanya ujian hidup masih enggan pergi dari hidup Miranda. Model cantik itu sudah dijauhkan dari kedua anaknya, dan kini dia harus kehilangan janin tidak berdosa dalam rahimnya.Lila menatap dokter dengan wajah penuh tanya. Dia mengusap perutnya yang membesar dan sejak tadi terasa kenc
“Ya, Sayang,” ucap Sean saat menyapa Lila menghubunginya melalui ponsel.“Aku sedang menuju ke rumah sakit.”“Ada masalah dengan baby-baby, atau kau ….”“Tidak,” sergah Lila agar tidak membuat suaminya semakin khawatir. “Aku dan Chiara akan menemani Miranda untuk visum.Sean menggenggam ponselnya erat, rahangnya mengatup rapat. Dia menarik napas dalam, mencoba meredam kekhawatiran yang mulai merayapi pikirannya. Lila sedang hamil, dan sekarang dia ada di tengah masalah yang bisa meledak kapan saja.“Hati-hati, ya! Kabari setiap perkembangannya! Kamu jangan terlalu capek!”Sean menghujani istrinya dengan berbagai pesan. Bukan hanya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri, tetapi lebih pada rasa khawatir yang tidak bisa dia kendalikan.Setelah pembicaraan selesai, Sean kembali meletakkan ponselnya.Theo yang duduk di depannya langsung menangkap perubahan ekspresi Sean. "Apa yang terjadi?" tanyanya cepat."Miranda sedang menjalani visum," jawab Sean singkat.Theo menghela napas. "Kala
Sean menatap foto itu dengan rahang mengeras. Sosok Satrio Wibisono terlihat jelas, duduk santai dengan seorang perempuan cantik bersandar di bahunya. Mereka berada di sebuah vila mewah, tampak begitu mesra."Beberapa waktu lalu," gumam Sean sambil melempar foto ke meja, "pihak marketing sempat menyodorkan nama perempuan ini sebagai kandidat brand ambassador untuk perusahaan kita."Theo mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Dan sekarang, artis itu sedang hamil."Sean mengangkat alisnya. "Hamil?""Ya. Dan ini yang membuat semuanya semakin rumit. Miranda tidak mau dipoligami, tapi dia juga tidak mau diceraikan begitu saja. Satrio sudah menguasai seluruh harta keluarganya. Jika dia pergi, dia tidak punya apa-apa."Sean menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan frustrasi. Dia tidak menduga mantan kekasihnya yang dahulu terlihat mandiri dan memiliki karir cemerlang akan memiliki kehidupan rumah tangga yang mengenaskan.Sean berusaha menekan rasa kasihan yang mulai ti
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara isakan Miranda yang mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritanya. Lila, Chiara, dan Ari Nugraha menunggu dengan sabar, membiarkan Miranda mengambil waktu untuk membuka luka yang selama ini dia pendam sendiri."Semuanya berubah sejak Papa meninggal." Suara Miranda bergetar kala berbicara dibarengi tangis. "Aku pikir Mas Satrio akan menjadi suami yang melindungiku. Tapi aku salah. Dia mengambil alih perusahaan Papa dan menyingkirkan adik-adikku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menyalahkanku. Mereka menganggap aku berpihak pada Mas Satrio."Lila menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Keluarga adalah harta yang tidak ternilai, setelah kehilangan sang papa, Miranda dipisahkan dengan keluarganya.Lelehan air mata Miranda jatuh semakin deras, seolah menunjukkan luka mendalam di hatinya."Mereka membenciku. Adik-adik yang selama ini aku perjuangkan ... mereka bahkan tidak mau melihat wajahku lagi. Aku mencoba menjelaskan, tapi m
Miranda meronta di dalam dekapan Ari Nugraha, tetapi pria itu tidak melepaskannya begitu saja. Tangannya yang kokoh menahan bahu Miranda agar tidak bergerak liar. Napas Miranda memburu, tangisnya semakin keras."Lepaskan aku! Aku tidak bisa lagi! Aku sudah habis!" serunya dengan suara pecah.Chiara bergegas mengambil pisau yang telah terjatuh ke lantai, lalu menjauhkannya dari Miranda. Dengan hati-hati, dia meletakkannya di meja dapur, jauh dari jangkauan.Sementara itu, Lila perlahan melangkah mendekati Miranda. Dia melihat luka-luka samar di lengan perempuan itu, sisa lebam yang belum sepenuhnya memudar. Lila tidak tahu pasti apa yang telah dialami Miranda, tetapi dia tahu satu hal, perempuan di depannya sedang berada di ujung keputusasaan.Tanpa ragu, Lila merengkuh Miranda ke dalam pelukannya. Miranda menegang sejenak, tetapi begitu merasakan kehangatan Lila, tubuhnya melemas. Isaknya semakin memilukan, bahunya terguncang hebat."Kami di sini, Miranda. Kamu tidak sendiri," bisik L
Belum sempat salah satu dari mereka berbicara, pintu masuk apartemen terbuka secara otomatis, dan cahaya dari dalam memantulkan bayangan mereka ke lantai marmer.Pak Slamet melirik Lila dengan penuh tanya."Mbak, kita langsung masuk?" tanya Pak Slamet, tak menyadari kegelisahan yang kini memenuhi dada Lila.Lila tetap diam. Matanya masih terpaku pada dua sosok itu.Lila menarik napas dalam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Masalah Miranda ternyata bukan sekadar pelarian dari seseorang, tetapi sudah menyentuh ranah hukum. Itu sebabnya Sean melibatkan Chiara dan Ari Nugraha.Dia menatap Chiara dengan penuh tanya. "Kenapa tidak bersama dengan Pak Cyrus?” Bukan bermaksud mengabaikan keberadaan Ari Nugraha yang juga berprofesi sebagai pengacara, tetapi Lila bertanya karena Chiara adalah istri dari Cyrus.Chiara tersenyum tipis. "Cyrus sedang menangani kasus lain di luar negeri. Lagipula, aku datang bukan sebagai istri Cyrus, tapi sebagai perwakilan LSM yang selama ini aku urus.
“Aku tidak mungkin melakukan hal itu.”Ruangan itu mendadak sunyi setelah Sean mengangkat suaranya. Napasnya memburu, matanya menyala penuh kemarahan.Selo Ardi dan Theo saling pandang, menyadari betapa seriusnya Sean dalam hal ini."Lila sedang hamil kembar, Sel!" Sean mengulang dengan suara lebih rendah, tapi penuh tekanan. "Membawa tubuhnya saja dia sudah kepayahan, kau pikir aku tega menambah bebannya dengan masalah Miranda?"Bayangan tentang masa lalu kembali menghantam benak Sean. Berulang kali Sean menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan dirinya. Baginya sangat mengerikan saat-saat dia kehilangan jejak Lila yang waktu itu sedang hamil tua.Selo Ardi tetap tenang, menatap Sean dengan mata tajam. "Pikirkan apa yang akan terjadi, saat publik atau orang-orang yang mencari Miranda menemukannya di apartemenmu?"Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang membuat suasana terasa semakin mencekam.“Itu akan menjadi peluang besar untuk menghancurkanmu. Reputasimu, bisnismu, bahkan mung