Share

Teror

"Pak!" panggil Najwa lirih.

Pak Kuswan menepuk punggung tangan anaknya, mencoba menenangkan. Gadis itu duduk bergeser ke samping bapaknya dan tidur dengan menggenggam tangannya erat, takut jika ditinggal sendirian. 

****

Hari ini, Najwa enggan keluar dari rumah. Memilih menghabiskan waktu bersama Emak dan mereka pun tidak dapat melarangnya. Ada beberapa tetangga datang untuk berkunjung, bertanya keadaan Najwa dan mempertanyakan apa yang dilihatnya, benar atau tidak. 

"Kamu enggak bohong, 'kan Wa?" tanya ibu-ibu yang berkunjung, Najwa menggelengkan kepalanya. 

"Bukan karena kamu ingin dibilang baik, karena enggak bisa ngasih tau Wulandari. Sampai teman kamu itu mati!"

Jleb. 

Najwa mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkannya, hanya bisa diam. Sedangkan Mak Darmani tidak mau membalas, karena mereka memang biang gosip di desa. 

"Maaf, ibu-ibu. Najwa biar istirahat dulu, baru minum obat. Untuk apa yang dilihatnya, enggak mungkin dia mengada-ngada!" Akhirnya, Mak Darmani kesal mendengar pertanyaan yang enggak ada hentinya. 

Dengan kesal para ibu-ibu itu pulang dengan menyindir, tanpa peduli perasaan tuan rumah. Emak Darmani dan Najwa bernapas lega, setelah mereka semua pergi. 

****

Malam menjelang, Bapak Kuswan dan kedua adik Najwa yang lain sudah fokus di depan televisi. Ada acara Opera Van Java kesayangan mereka, acara yang bikin perut keram karena tingkah para pemainnya. Najwa hanya diam di dalam kamar, enggan berbaur bersama mereka. Memilih membuka buku pelajaran sekolah.

"Ratih, Surya, ini sudah malam." Pak Kuswan menegur anaknya yang masih asik nonton. "Najwa, sudah malam! Tidur!" tambahnya mengingatkan anak-anaknya. 

"Iya, Pak." Sahut Ratih dan Surya. Akan tetapi Najwa tidak menjawab. 

Malam semakin larut, mata Najwa belum mengantuk juga. Masih terbayang tawa melengking dan wajah Wulandari yang menyeringai. Sosok itu masih teringat jelas di ingatanku. Apalagi nada suaranya saat menyanyi lagu nina bobo sambil menepuk-nepuk sesuatu di gendongannya.

"Iiih," Najwa bergidik ngeri. 

Apa mungkin itu adalah bayi dalam kandungan Wulandari yang ikut meninggal? Tapi bagaimana mungkin sudah terlihat sebesar bayi yang besar? Najwa ingat betul saat Surya, adik laki-lakinya yang baru lahir dulu, dia sangat kecil. Tidak banyak bergerak, hanya tidur saja kerjanya.

"Emak, temani Najwa tidur malam ini, ya?" Dengan nada merengek, Najwa memasang wajah memelas.

Mak Darmani menatap Najwa dengan iba, lalu menyelimuti tubuh anaknya dengan sarung hingga ke dada," ndak ada apa-apa Najwa, jangan takut!" Emak Darmani mengelus-elus rambut di kepala anaknya. 

"Najwa, 'kan sudah besar? Sebentar lagi juga mau masuk SMP!"

"Tapi Najwa, takut, Mak!"

Najwa meraih jemari Emaknya, menahannya agar tidak pergi. Memasang muka lebih memelas agar ia kasihan dan menemani Najwa melewati malam. 

"Emak panggilkan Ratih, ya, biasanya juga berani tidur berdua? Setelah ini Emak panggilkan Ratih," kata Emak padaku.

"Ya, Mak." Najwa mengangguk menyetujui, pikirnya yang penting ada teman. Najwa tidak berani jika harus sendirian di dalam kamar malam ini.

Emak Darmani berlalu menuju pintu keluar kamar.

"Jangan dimatikan, Mak, lampunya!" Pekik Najwa saat melihat Emak Darmani akan menyentuh saklar lampu. 

Mak Darmani berhenti dan menoleh pada anaknya."Biasanya Najwa, gak bisa tidur kalau lampu menyala?" ujar Emak pada Najwa. 

Gadis itu menggelengkan kepala, "jangan!"

Kemudian Mak Darmani berlalu dari kamar, dia menutup pintu kamar perlahan.

"Biarlah untuk hari ini aku tidur dengan lampu menyala saja, daripada tidur dalam gelap dan ketakutan. Takut jika tiba-tiba arwah Mbak Wulandari menampakkan diri lagi!" Najwa berguman namun, bulu halus di tangannya sudah meremang. 

Tok … tok … tok.

Terdengar pintu kamar berbunyi. Seperti diketuk dari luar, pasti itu Ratih, pikir Najwa

"Ratih …," panggil Najwa dengan nada sedikit bergetar, mencoba memastikan siapa yang mengetuk. Namun hening, tidak ada jawaban. Pintu itu masih tertutup, tidak bergerak.

Kembali suasana yang sama seperti tadi sore saat berada di samping rumah Wulandari. Ada hawa panas dan dingin hadir bersamaan di sekujur tubuh gadis remaja itu. 

"Ya Tuhan, apa lagi ini? Jangan-jangan itu arwah Mbak Wulandari yang kembali datang untuk menggangguku?" ocehnya. 

Tok … tok … tok.

Pintu diketuk lagi. Jika itu Ratih, dia sukses untuk menakuti Najwa."Ratih, jangan bercanda, ah!" ujar Najwa kesal. 

Dan lagi-lagi tidak ada jawaban.

Najwa bergidik ngeri, lebih menaikkan sarung ke kepala. Hingga tak terlihat lagi suasana kamar. Lampu masih menyala, dia masih bisa mengamati keadaan kamar, dibalik sarung tipis yang menutupi kepalanya.

Dok … dok … dok!

Najwa terloncat, kali ini pintu terdengar diketuk dengan lebih keras dan cepat. Detak jantung Najwa ikut seirama dengan ketukan itu. Was-was, matanya menatap arah pintu sedari tadi. Apa? Siapa yang akan memasuki pintu itu.

Di bawah sarung tipis keringat wajah Najwa menetes terus. Entah karena cuaca yang panas atau karena dia benar-benar ketakutan sekarang ini.

"Emak, tolong Najwa, Mak!" 

"Ya, Tuhan, tolong Najwa!"

Mulutnya kembali meracau, memanggil Emak Darmani dan Tuhannya. Berharap salah satunya datang menolong untuk kali ini.

Najwa mengamati pintu kamar dengan seksama, kemudian pintu itu sedikit terbuka, hanya sejengkal tangan lebarnya. Bulu halus kembali meremang bersama detak jantung yang semakin cepat.

"Ratih! Jangan main-main." bentak Najwa. 

Beberapa detik kemudian pintu terbuka lebih lebar, tanpa ada seseorang yang berdiri atau masuk melewatinya. Angin dingin masuk ke dalam kamar menerpa wajahnya yang mulai pias.

"Siapa!" teriak Najwa namun tidak ada balasan. 

Gadis itu mengusap bulu halus di belakang tengkuk. Sepi, seakan-akan hanya Najwa sendiri di dalam rumah ini. Tak terdengar suara gelak tawa Emak, Bapak juga adik-adiknya seperti biasanya dari arah ruang televisi.

"Ke mana semua orang!" gumamnya lirih. 

Najwa kembali berbaring di atas ranjang, sambil terus menatap pintu kayu yang mulai usang itu dari balik sarung. Pintu terbuka makin lebar seukuran orang dewasa, tanpa ada seseorang yang melewatinya.

Beringsut perlahan, Najwa menggeser posisi duduk bersandar pada dinding kamar. Masih dengan menutup wajah di balik sarung.

"Si--siapa! Ke-kenapa menggangguku!" 

Terlihat sesuatu, merangkak dengan cepat. Kemudian bayangan itu berkelebat, sebentar di dekat pintu. Sejurus kemudian di samping ranjang. Apa itu?

Najwa beranikan diri membuka sarung yang menutupi wajah. Sekelebatan bayangan itu merangkak, berpindah-pindah tempat dengan cepat.

"Aa-apa itu!" Mata Najwa membulat tidak percaya. 

Tiba-tiba matanya menatap jemari tangan kecil yang terulur dari samping ranjang, mendekat, seakan-akan ingin meraih kakiku. Tangan yang terulur tanpa terlihat badannya.

Jantungnya berdegup kencang. Ingin rasanya menarik kaki. Namun berat, semua anggota tubuh tak dapat digerakkan lagi. 'Najwa takut, Ya Allah!'

'Tolong!"

'Tolong, Najwa!"

Tangan kecil itu hampir menyentuh kaki. Mata Najwa makin terbelalak lebar, beberapa kali menggelengkan kepala. Tidak, jangan mendekat. Dingin, sentuhan tangan kecil itu kurasakan dingin.

"Mbak Najwa!" 

Panggilan suara itu seperti tepat di telinga Najwa. Seseorang memanggil Najwa dengan suara yang keras. Tiba-tiba tangan yang menyentuh kaki Najwa hilang, entah pergi kemana.

"Ra--Ratih … to-tolong, Mbak!" Terbata Najwa berkata. 

"Mbak, kenapa? Emak, Bapak!" Adiknya berteriak memanggil Emak dan Bapaknya beberapa kali.

"Emak …."

Beberapa menit kemudian, Emak datang tergopoh. "Kamu kenapa, Najwa?" Diguncang-guncangnya tubuh anaknya, lalu ditidurkan kembali. 

***

Keesokan paginya tubuh Najwa terasa panas, juga lemas. Emak Darmani membuatkan surat izin tidak mengikuti pelajaran untuk diberikan pada guru di sekolah. Ratih yang menyerahkannya pada teman sekelasnya.

"Ini pasti, ada yang ndak bener ini! Kenapa Arwah Wulandari sama jabang bayinya selalu menampakkan diri sama kamu, Najwa?"

Najwa menggeleng,"Najwa juga, ndak tau, Mak!" katanya dengan suara bergetar. 

"Coba ingat-ingat pada hari kematian Wulandari, apa kamu melihat sesuatu? Atau ada sesuatu yang berkaitan dengan mereka?" Mak Darmani menginterogasi anaknya. Mencoba mencari tahu akar masalah dari gangguan-gangguan arwah Wulandari.

"Ah, Emak! Kepala, Najwa masih pusing rasanya buat inget-inget!" Najwa meremas rambut di kepala. Semalam saja hampir mati ketakutan rasanya. Tiba-tiba melihat penampakan tangan kecil tanpa tubuh. 

Setelah itu, Najwa ketakutan membuat matanya selalu terjaga, tidak berani menutup mata. Akhirnya, berpindah tidur di kamar Emaknya. Jadilah semalam mereka tidur berempat dalam satu kamar. Ada Najwa, Emak, Ratih dan Surya. Sementara Bapaknya memilih tidur di kursi depan televisi.

"Diminum obatnya Najwa," perintah Emak Darmani. Wanita bertubuh gemuk itu menyodorkan sebotol sirup obat panas. Selepas kejadian tangan yang menyentuh kakinya semalam. Tubuh Najwa panas dingin, mungkin dia hanya kaget atau memang sedang dalam kondisi yang tidak baik sehingga langsung demam.

Dengan patuh Najwa membuka botol lalu menuangkan sesendok cairan berwarna merah muda pada sendok takar putih itu dan menelannya hingga habis.

"Jangan-jangan kamu ini kena sawan, Najwa?" kata Mak Darmani, matanya terus menatap wajah anak pertamanya dengan pandangan yang tidak bisa di artikan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status