"Chloe? Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Raymond menyelidik.Remaja lelaki itu berjalan masuk ke kamar adik kembarnya. "Menyingkirlah," ucap Raymond dengan tegas.Karena merasa takut, Chloe pun menuruti perintah kembarannya. Layar PC menampilkan semua data terkait Cassiel Smeraldo membuat Raymond mengerutkan keningnya bingung. "Untuk apa kau mencari tahu Cassie?"Dengan gugup Chloe menggaruk tengkuknya dan menyelipkan rambut pendeknya ke belakang telinga. "Tentu saja karena aku harus memastikan calon kakak ipar berasal dari latar belakang yang baik."Raymond menyipitkan kedua matanya. "Hm ... benar juga katamu. Lalu, apa yang kau dapatkan?""Cassie berasal dari keluarga seniman. Ayahnya seorang pelukis senior. Ibunya memiliki toko roti di Venesia. Tapi keduanya bercerai saat Cassie berumur lima belas tahun. Ayahnya menikah lagi dan kembali ke Indonesia. Sementara ibunya memutuskan untuk tidak menikah lagi dan menetap di Venesia." Jelas Chloe dengan lancar, seolah dia sedang mempre
"Kalian stop pura-pura profesional. Maaf James, sepertinya aku tidak bisa berbicara formal denganmu." Ucap Cassie berterus terang.Lihat saja saat Terra mengedipkan matanya dan James tertawa. Mereka berdua memang tidak memiliki bakat akting karena terlalu mudah tertawa.Setelah Terra keluar dari ruangan, James mengalihkan perhatiannya pada Cassie. "Untuk apa terlalu formal. Lagi pula kedatanganku hanya untuk bermain dan membahas sedikit masalah hotel di Positano." Balas James santai, kemudian dia menyesap expresso-nya."Ngomong-ngomong, dimana kau membeli biji kopi ini? Rasanya tidak bisa kutemui di sini," rasa penasaran James membuncah. Dia sungguh merasa expresso CS Studio sangatlah enak.Cassie tertawa remeh. "Kenapa? Kau mau mencuri resep untuk restoran hotel dan resortmu?" tanya Cassie dengan maksud bercanda.James mengangkat dagunya dengan angkuh. "Jika bisa, kenapa tidak?"Mendengar jawaban James yang terlalu terus terang membuat Cassie mendesis lirih dan tak sengaja mengumpat.
"Ralph ...." suara Cassie terdengar lirih. Terbesit rasa khawatir di hati Ralph. "Ada apa?" Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Ralph tidak mendengar balasan dari sana. "Tolong aku ..." suara Cassie kembali terdengar setelah detik ke lima. Reflek Ralph menegakkan punggungnya dan tanpa sadar dia telah meraih kunci mobilnya. "Dimana? Kirim lokasimu," tanya Ralph yang sekarang terburu-buru keluar dari kamarnya. Dia bahkan tidak mengganti baju tidurnya. Carlo yang masih duduk di ruang tamu pun kebingungan saat melihat tuannya turun dengan pakaian tidur sambil bertelepon dan tangannya menenteng kunci mobil. Dengan segera dia ikut berdiri dan menghampiri Ralph untuk menanyakan kondisinya. Ralph melewati Carlo saat suara Cassie kembali terdengar. "Aku ..." "Aku tidak tahu ini dimana. Tadinya aku berencana akan mencari makan malam sebelum pulang, tapi mobilku diikuti, jadi aku pergi menghindarinya dan terus berjalan tanpa arah. Sekarang aku tidak tahu ada dimana dan mobilku mogok." J
"Maaf, nona. Kami kehilangan jejaknya." Ucap seseorang di telepon itu membuat seorang perempuan menggeram marah. Wajahnya yang sedang dirias dengan make up bold itu memerah karena menahan amarah. "Kau yang tidak becus, bodoh! Bisa-bisanya kau kehilangan jejak gadis sialan itu!" seru perempuan itu dengan kesal. Tangan perempuan itu mengepal hingga kuku panjangnya menekan erat telapak tangannya. "Pendapatanmu hanya kuberi limapuluh persen dari perjanjian awal," ucapnya kemudian menutup panggilan suara itu secara sepihak. Dengan penuh kekesalan perempuan itu menendang sofa di depannya. Namun, bukannya sofa itu yang berpindah, yang ada justru kakinya sakit. Dia pun semakin kesal. Bersamaan dengan itu, seseorang membuka pintu ruang makeup. "Abigail, Romeo sudah menunggumu sejak tadi." ---- Cassie tidak sadar semalam setelah dia mendengar jawaban Ralph, tiba-tiba kantuk menyerangnya. Dia tertid
Tangan kekar itu mengusap permukaan kertas dengan sebuah pensil. Ralph duduk di atas kursi dan menatap serius pada drafting table di depannya. Sesekali tangannya berhenti, tapi tatapannya tidak pernah lepas dari gambar di depannya. Tak terasa sudah tiga jam dirinya duduk di sana. Carlo mengetuk pintu ruang gambar. Ralph mendongak, kemudian berkata. "Masuklah."Carlo masuk ke ruang gambar dengan membawa tabnya. Lelaki itu memang selalu membawa tab ke mana-mana, antisipasi bila Ralph tiba-tiba menanyakan jadwal atau ada yang perlu dicatat. "Permisi, Tuan. Izin menyampaikan, Nona Cassie sudah bangun dan sedang sarapan di ruang makan." Ucap Carlo menyampaikan informasi mengenai Cassie.Gerakan tangan Ralph terhenti. Dahinya mengernyit, kemudian menatap Carlo yang juga sedang menatapnya. "Ruang makan? Kenapa dia keluar dari kamar?""Nona Cassie yang meminta makan di ruang makan, Tuan. Karena Nona tidak terbiasa makan di dalam kamar." Ungkap Carlo yang disambut anggu
Sejak Ralph meninggalkannya sendirian di ruang makan, Cassie hanya duduk terdiam seraya memandangi ponselnya yang diletakkan di atas meja. Permintaan Ralph tadi membuat Cassie bimbang untuk mengutarakan pada ibunya. Dia harus mengatakan apa nanti apabila ibunya bertanya tentang keberadaannya yang tidak lagi tinggal di apartemen.Tiba-tiba layar ponselnya menyala, ada telepon masuk dari ibunya. Semua ini diluar kendalinya. Cassie tertegun sejenak sebelum mengangkat panggilan itu dengan pasrah, dia tidak lagi bisa menyembunyikannya dari ibunya."Halo, Madre.""Puji Tuhan, akhirnya kau mengangkat panggilanku juga," suara Iris yang berucap syukur di seberang sana membuat Cassie meringis sesaat. Rasa bersalah hinggap di hatinya.Iris tinggal di Venesia, hanya sesekali menjenguk Cassie ke Roma. Semalam tentu saja Iris tidur di apartemen Cassie, tetapi putrinya itu malah tidak pulang semalaman hingga membuatnya khawatir."Aku baik-baik saja, Madre." Ucap Cassie setelah
Lelaki itu menaikkan salah satu alisnya dan tersenyum miring. "Kau sudah membuat keputusan?" Ekspresi Ralph terlihat sangat menyebalkan di mata Cassie. Gadis berpiyama itu memutar bola matanya dengan malas. Sesungguhnya dia tidak suka bila harus merendahkan dirinya di depan Ralph, tapi apa boleh buat. Meski menyebalkan begitu, kekasihnya itulah yang menolongnya semalam. "Baiklah, aku akan menuruti permintaanmu." Ucap Cassie pada akhirnya. Dia tidak lagi melawan Ralph. Senyum miring itu semakin lebar. Kedua mata biru laut milik Ralph nampak berseri-seri seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan permen gratis. "Good girl." Ralph menghubungi Carlo, meminta asistennya itu untuk membantu kepindahan Cassie. Dia berencana akan memindahkan Cassie hari ini juga. Tentu saja hal itu tidak luput dari pandangan Cassie. Gadis itu berdiri dengan berkacak pinggang dan menatap Ralph dengan tajam. Setelah panggilan berakhir, Ca
Sore ini Cassie berangkat dari vila Ralph dengan memakai gaun pesta yang sudah disiapkan olehnya. Karena dresscode acara itu adalah biru gelap, sehingga pilihan Cassie jatuh pada dress mermaid berwarna biru gelap tanpa lengan yang terdapat kombinasi blink silver di bagian dadanya. Gaun tersebut menjuntai panjang hingga menyapu lantai. Namun, terdapat belahan sampai paha, sehingga ketika dia melangkah, kaki jenjang yang ramping dan mulus itu akan terlihat. Soal mobilnya, ternyata Ralph juga sudah membantu memanggil mekanik semalam. Jadi, sore ini mobilnya sudah bisa dipakai kembali. Sebenarnya Ralph cukup pengertian padanya, Cassie akan mempertimbangkan untuk tidak menyulitkan lelaki itu kedepannya. Oh, dan juga masalah siang tadi. Sejujurnya Cassie sangat malu dan berharap tidak bertemu Ralph lagi. Tapi tentu saja mustahil, mereka sekarang sudah serumah, bahkan satu kamar. Setiap hari Cassie akan melihat Ralph dan kejadian tadi siang begitu memalukan baginya. Saa
Sinar mentari yang menyelinap melalui tirai kamar membuat Ralph mengerang rendah. Dia masih butuh mengistirahatkan tubuhnya, energinya terkuras habis semalam karena mengurus masalah James dan Grace.Cassie melihat Ralph yang hanya berbalik badan dan kembali tertidur. Ia pun berinisiatif untuk menutup tirai kamar hotel dengan gordennya. Lalu, ia kembali ke meja kerja dan melanjutkan aktivitasnya, apalagi jika bukan revisi desain.Fokusnya tidak lagi terpecah. Ia harus segera menyelesaikan revisiannya, karena sore nanti ia harus membawa Ralph pergi ke rumahnya. Ia belum membicarakan hal itu dengan Ralph, tapi Cassie yakin kekasihnya akan mengiyakan.Ketika jemarinya sedang sibuk dengan mouse, tiba-tiba sepasang tangan memeluknya dari belakang. Aroma musky bercampur woody mengenai penciuman Cassie. Tak perlu menoleh, Cassie sudah hafal itu adalah Ralph."Selamat pagi," sapa Ralph dengan nada rendah.Cassie mengusap tangan itu dengan lembut dan tersenyum hangat. Kepalanya menoleh ke atas,
Jemari Grace bergerak, perlahan kelopak matanya terbuka. Dilihatnya langit-langit ruangan yang berwarna putih, juga sedikit aroma obat-obatan khas rumah sakit yang mulai dirasakan oleh indra penciumannya. Matanya berkedip, kemudian menoleh pada sebuah sofa panjang yang ada di sebelah ranjang pasien. Seorang lelaki tertidur dengan tangan kiri menutupi kedua matanya, napasnya terlihat naik turun secara teratur. Tentu saja Grace mengenali sosok tersebut, Arthur. Karena tak ingin mengganggu, Grace berinisiatif memencet bel, agar perawat segera mendatangi kamarnya. Setidaknya harus ada orang yang mengetahui dirinya telah siuman. Benar saja, tak membutuhkan waktu yang lama untuk seorang perawat mendatanginya. Grace tersenyum dan mengangguk saat perawat tersebut meminta izin untuk memeriksanya. "Silakan." Katanya. "Untuk saat ini kondisi Nona sudah stabil, namun Nona masih dalam masa observasi dokter. Nanti dokter akan datang
Lima menit yang lalu, Ralph sudah pergi ke rumah sakit. Lelaki itu tidak pergi begitu saja, ia mencium kening Cassie terlebih dahulu, dan bertanya apakah dirinya diperbolehkan pergi ke rumah sakit malam ini juga?"Aku akan pergi, jika kau mengizinkan." Kata Ralph sembari mengusap puncak kepala Cassie dengan lembut.Cassie mengangguk. "Pergilah. Sepertinya mereka membutuhkanmu. Tapi kau tetap hutang cerita padaku."Ralph terkekeh mendengarnya. "Iya, aku akan menceritakannya nanti. Tunggu aku, ya ... ah tidak, maksudku, lebih baik kau melanjutkan tidurmu saja. Maafkan aku yang membuatmu terbangun. Saat ada kabar nanti, aku akan segera menghubungimu lagi." Jelas Ralph panjang lebar.Cassie mengangguk lagi. "Ya, pergilah. Hati-hati di jalan, jangan mengebut."Sebuah kecupan mendarat di kening Cassie. "Tentu saja. Aku pergi bersama Carlo, kau tak perlu khawatir. Jika ada hal mendesak segera hubungi Jovan, ia selalu siap sedia 24/7."Cassie tersenyum bila mengingatnya. Ia percaya, Ralph tid
James berlarian menggendong Grace dari depan IGD, para perawat yang melihat kehadiran mereka segera bertindak mengambil bed mobile atau tempat tidur pasien yang dapat digeser."Selamat malam, Tuan. Apa yang terjadi?" seorang dokter IGD menghampiri James setelah berhasil meletakkan tubuh Grace di atas bed mobile."Dia minum alkohol seharian hingga melewati batas wajarnya. Kurasa dia juga tidak memakan apapun hari ini. Aku baru menemukannya dan sudah memberikan obat pengar. Mohon bantuanmu," pinta James yang raut memohon.Dokter tersebut mengangguk. "Baiklah, kau bisa menunggu di sana. Aku akan memeriksa kondisinya lebih dulu.""Dokter! Ada darah yang keluar dari rahimnya!" seru seorang perawat pada dokter IGD.Sontak saja kedua lelaki itu menoleh bersama. James dapat melihat darah merah yang kental keluar membasahi kaki Grace.Dahi James mengernyit. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah Grace memiliki sebuah penyakit serius yang tak ia ketahui? Atau apa? Sekarang apa yang harus ia lakuka
"Apakah semuanya aman, Bambolotta?" suara lembut dari seberang sana cukup membuat rasa penat Cassie berkurang.Gadis itu merebahkan tubuhnya di atas ranjang, masih dengan pakaian yang sama. Ia hanya menanggalkan sepatu hak tinggi dari kedua kakinya."Ya, kurasa." Balas Cassie seraya memijat pelipisnya."Tapi suaramu tidak menunjukkan hal yang sama, Bambolotta. Apakah ada sesuatu yang kau tutupi dariku?" tanya Iris sedikit khawatir.Cassie menggeleng ringan. "Tidak, aku hanya butuh beristirahat karena desain yang kubawa akan direvisi kembali.""Ah, begitu rupanya. Ya, kau memang perlu istirahat putriku. Madre akan pulang besok, mari bertemu di rumah." Ujar Iris yang merasa iba.Cassie mengangguk, kembali melupakan bahwa mereka sedang berbicara melalui telepon."Oh, iya. Kenapa aku bisa melupakannya?" Iris tiba-tiba berseru dan berbicara pada dirinya sendiri.Sementara itu Cassie melenguh kecil, dia sedikit terkejut dengan seruan ibunya. "Ada apa, Madre? Kau mengagetkanku.""Besok janga
"Kalian tidak mungkin saling tertarik satu sama lain, kan?" tiba-tiba saja suara James menginterupsi hingga memutuskan kontak mata antara Cassie dan Ralph. Mendengar itu Cassie langsung tergagap. Entah mengapa ia merasa lidahnya kelu, padahal tadinya ia sangat lancar menjelaskan desain yang dibawanya. Jantungnya juga bereaksi lain, berdegup kencang jauh berbeda dari sebelumnya. "Aku? Kau mungkin sedang bercanda, Tuan James. Mana mungkin aku berani mengencani Tuan Muda Holt." Balas Cassie dengan segera. Ralph menyunggingkan senyuman miringnya. Dalam hal menghindari pertanyaan, Cassie memang jagonya. Tetapi sepertinya gadis itu melupakan satu hal, James Arthur merupakan pembaca mimik wajah yang handal. James terlihat mengernyit setelah mendengar jawaban Cassie. "Oh ya? Tetapi sepertinya aku tidak mengatakan kau berniat mengencani Tuan Holt. Kupikir kau hanya tertarik padanya, karena dia sangat ahli dalam bidang arsitektur
Setelah meminta izin pada Ralph, Cassie pergi menemui James untuk bertemu dengan kolega yang dimaksud oleh sahabatnya itu. Mereka bertemu langsung di lobby hotel Vetle Venesia, tempat Ralph dan Cassie menginap, sekaligus hotel milik keluarga Murphy. "Hi, James Arthur! What's up!" sapa Cassie pada James yang sedang berbicara dengan salah satu pegawai hotel. James menoleh setelah mendengar sapaan Cassie. Dilihatnya sosok perempuan yang berjalan anggun dengan blouse hitam lengan tiga per empat yang dipadukan loose pants berwarna krem. "Hai, aku baik. Bagaimana denganmu Nona Smeraldo?" James balik bertanya, kemudian mereka tertawa bersama. "Seperti yang kau lihat," balas Cassie seraya memeragakan gerakan melompat meski dirinya memakai heels. "Oh tidak, jangan lakukan itu, Cassie. Aku lebih menyayangkan heels Cristian Louboutin yang kau beli di musim dingin tahun lalu itu." Ungkap James yang menatap miris pada sepatu hak tinggi milik Cassie. "Tidak, ini aman. Tapi kau jahat, ka
"Cassiel?" suara Ralph yang memanggilnya, menyadarkan Cassie pada kenyataan. "Ya?" Cassie mendongak dan lagi-lagi tatapan mereka bertemu. "Ingin mencobanya denganku?" tanya Ralph sungguh-sungguh. Cassie memilin jemarinya, rasa gugup dan ragu masih menyelimuti hati dan pikirannya. "Mencoba apa?" "Menjadi kekasih sungguhan." Ucap Ralph penuh keberanian. Manik matanya tak lepas memandangi Cassie. "Bagaimana jika ..." Cassie menggantung kalimatnya, sedangkan Ralph masih setia menunggu lanjutannya. Entah mengapa, melihat Ralph yang begitu tulus membuat Cassie tak ingin melukai hati pria muda itu. Perasaan ini jelas berbeda dengan perasaannya pada James. Inikah perasaan yang dimiliki oleh ibunya? Yang menjadi buta akan segala hal buruk yang dilakukan oleh ayahnya? Yang menjadi tuli akan cacian semua orang yang ditujukan padanya? Yang selalu siap untuk berkorban dan setia kepada pasangannya. "Apakah ada hal ata
"Jadi, kita mau pergi kemana?" tanya Cassie sembari menatap Ralph dari samping. Lelaki bermarga Holt itu hanya berdeham rendah seraya mengetikkan sesuatu di ponselnya. Hal itu berlangsung beberapa saat, sampai Cassie hampir kesal menunggunya. Ketika Cassie akan membuka suaranya, Ralph sudah lebih dulu berbicara. "Hari ini kau tour guide-nya, nona." "Bagaimana, nona? Tempat apa yang akan kita kunjungi pertama?" Jovan ikut bertanya setelah Ralph selesai berbicara. Cassie mengambil napas, kemudian tersenyum. "Baiklah, akan kuperkenalkan kalian pada kampung halamanku." "Karena waktu sudah siang, kita pergi ke Grand Canal terlebih dahulu." Lanjut Cassie. Mobil Rolls Royce Phantom itu terus melaju di jalanan kota Venesia menuju sebuah destinasi wisata yang menjadi incaran utama para turis. Grand Canal adalah terusan perairan yang berada di kota Venesia. Grand Canal terkenal di seluruh dunia karena istana-istana berusia berabad-abad yang berdiri di kedua sisi air. Sebagian besar beras