Share

Bab 9

Dia tidak bisa ke rumah sakit.

Jika dia ke rumah sakit, kehamilannya pasti akan ketahuan.

Mungkin kedengarannya konyol, tetapi dia tidak ingin siapa pun tahu tentang anak ini. Dia ingin mempertahankan sedikit dari harga dirinya yang tersisa.

Meskipun Alya tahu bahwa sejak dia menyetujui pernikahan palsu ini dengan Rizki, harga dirinya sudah menghilang.

Sekarang di hadapan Rizki, juga di hadapan wanita yang dicintai pria itu, harga diri apa yang tersisa pada dirinya?

Meskipun begitu ....

Alya menurunkan pandangannya. Meskipun begitu, dia masih belum bisa mengungkapkan semua hal yang mungkin akan dicemooh oleh orang-orang.

Setelah Rizki mendengar perkataannya, pria itu makin mengerutkan keningnya. Lalu, dia mengemudikan mobilnya ke arah lain dan berhenti di tepi jalan.

Melihat reaksinya, Alya mengira Rizki menyuruhnya untuk keluar, jadi dia mengulurkan tangannya untuk membuka pintu.

Klik.

Seketika, pintu mobilnya dikunci.

Rizki menatapnya melalui spion tengah, tidak diketahui apa makna dari pandangannya.

"Kenapa kamu nggak mau ke rumah sakit?"

Sejak kehujanan kemarin malam, Alya terus bersikap aneh.

Alya tetap bersikap tenang dan menjawab, "Kalau aku sakit, aku akan ke dokter sendiri."

Mendengar jawabannya, Rizki menyipitkan matanya dengan marah.

Hana buru-buru berkata, "Rizki, mungkinkah ini karena aku? Bagaimana ... kalau aku turun di sini saja, lalu kamu bisa bawa Alya ke rumah sakit untuk diperiksa? Lagi pula, kondisinya cukup parah. Kita nggak bisa berlama-lama."

Setelah berbicara, Hana mencondongkan tubuhnya ke dekat Rizki dan hendak menekan tombol kunci.

Kemudian, Alya melihat Rizki menghalanginya. Pergelangan tangan kedua orang itu saling bersentuhan.

"Jangan bicara omong kosong." Rizki mengerutkan keningnya dan melirik Alya. Lalu, dia berkata, "Jangan terlalu banyak berpikir, ini nggak ada hubungannya denganmu."

Hana melihat tangan mereka dan merasa tersipu.

Alya terdiam melihat pemandangan ini.

Saat pandangan Hana bergeser ke arahnya, barulah dia mengalihkan pandangannya dengan canggung.

"Alya, aku telah salah paham. Aku kira kamu marah karena aku dan Rizki. Maafkan aku."

Alya menatapnya dengan tak acuh.

Jika bukan karena Hana yang juga telah membantu dan bersikap baik padanya, mungkin Alya sudah curiga wanita ini memiliki niat tersembunyi.

Namun, wanita ini adalah penolongnya.

Alya memaksakan senyumnya.

"Nggak apa-apa"

Akan tetapi, Hana tersenyum dan berkata, "Apakah kamu nggak mau pergi karena takut dengan rumah sakit? Setelah kembali ke negara ini, temanku ada yang membuka sebuah klinik kecil. Bagaimana kalau kamu pergi ke sana?"

Setelah itu, Hana melihat ke arah Rizki. "Rizki, bagaimana menurutmu?"

Rizki tidak langsung menyetujuinya, sebaliknya, dia mengerutkan keningnya dan berkata, "Klinik? Apakah itu tepercaya?"

Hana merasa agak malu. "Tentu saja, kalau nggak tepercaya, kenapa aku merekomendasikannya? Kamu nggak memercayaiku?"

Setelah merenung sejenak, Rizki menganggukkan kepalanya. "Kalau begitu kita ke klinik."

Alya mengerutkan keningnya.

"Aku ...."

Sesaat kemudian, mobil Rizki sudah melesat pergi. Alya sama sekali tidak bisa menolaknya.

Sementara itu Hana masih membicarakan hal-hal baik dengannya.

"Alya, jangan khawatir. Temanku sangat baik, juga sangat sabar dan lembut terhadap pasiennya. Aku akan berbicara dulu dengannya, lalu kita bisa berdiskusi nanti. Oke?"

Dibandingkan dengan Hana yang lembut dan pengertian, Alya adalah kebalikannya. Dia sakit, tetapi dia tidak mau ke dokter dan malah menyusahkan orang-orang.

Apa lagi yang bisa dia katakan?

Alya tidak mengatakan apa pun. Sementara itu, mobil Rizki kembali melaju.

Setelah mereka tiba di klinik, Hana membantu Alya turun dari mobil. Dia berkata dengan lembut, "Apa kamu masih pusing? Kalau kamu merasa nggak nyaman, kamu bisa bersandar di pundakku."

Hana berbicara dengan lembut dan penuh perhatian. Dari tubuhnya, samar-samar tercium bau melati. Dia juga membantu Alya dengan gerakan yang sangat lembut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status