Safa pun langsung terbelalak. Air liurnya tertahan dan menepis tangan kekar itu untuk segera menyingkir di atas dahinya.“Aku sudah lebih baik,” kata Safa menahan rasa degupan jantungnya yang naik turun.“Syukurlah, tetapi kamu tumben sekali meminta izin,” Azril memandang bingung, aneh sekali dengan sikapnya. “Hmm, apa kamu sedang mengigau?”“Aku mengatakan dalam keadaan sadar,” ujar Safa asal, lalu beranjak menjauh. Tidak ingin terus berhadapan dengannya. “Lagipula kamu sendiri yang mengatakan untuk memberitahu jika aku ingin pergi.”Azril menghela napas. Memang benar apa yang dikatakan Safa, tetapi rasanya aneh sekali. Apa mungkin itu efek dari sakit kemarin? Entahlah, ia tak ingin banyak bertanya.Pria itu merogoh saku, lalu mengambil sesuatu dan diberikan kepada Safa. “Ini untukmu!”Safa mengernyit bingung saat Azril meletakkan lembaran merah yang berada di atas telapak tangannya.“Apa maksudnya? Kamu tidak bisa menyogokku dengan sejumlah uang, Ril!” Safa tidak terima dengan balas
Safa tak berhenti menangis dan terus mundar-mandir menunggu kabar sang ayah. Hatinya tak tenang, penuh khawatir terjadi sesuatu.“Andai kamu tidak hadir lagi dalam hidupku, hal ini tidak akan terjadi,” cecar Safa menatap tajam Azril. Ingin sekali menampar dan mengusir pria itu dari sini.“Berhentilah untuk menyalahkan keadaan, Fa. Daripada kamu emosi, lebih baik banyak berdoa untuk kesehatan Ayah.” Azril mengingatkan. Ia sama sekali tidak merasa tersakiti oleh ucapan Safa.Wanita itu menggeram kesal, lalu pintu ruangan terbuka membuat Safa mengalihkan dan bergegas mendekati sang dokter yang keluar.“Bagaimana keadaan Ayah saya, Dok?” tanya Safa khawatir.“Ayah Anda terkena serangan jantung, tetapi syukurnya segera dibawa kemari. Saya sarankan untuk menjaga kestabilan emosinya, ya. Jangan sampai membuatnya tertekan, sebab hal itu bisa membahayakan jantungnya.” Sang dokter menjelaskan dengan gamblang.Perasaan Safa berkecamuk mendengar ayah yang memiliki penyakit mematikan. Entah sejak
“Kamu mengapa menamparku, Fa?” Azril tertegun saat mendapat tamparan dari wanita yang ditolonginya.“Tidak usah mengambil kesempatan.” Safa murka saat tatapan Azril begitu menghunus amat dekat. Ia pun segera bangkit dan menjauh.“Kesempatan apa yang kamu maksud, Fa? Apa seperti ini?” Pria itu ikut bangkit dan sengaja mendekati Safa bahkan tanpa segan merapatkan tubuhnya dengan rangkulan bahu yang semakin rapat.Mata Safa melebar menahan amarah yang bergemuruh. “Ish, tidak usah peluk-peluk sana menjauh.”Safa berusaha melepaskan rangkulannya. Ia risih dan ingin segera pergi, terlebih beberapa pasang mata memerhatikan ke arahnya. Sungguh, bikin malu.“Padahal saat tertidur tadi kamu sendiri yang peluk aku.”Safa meneguk saliva dan semakin murka pada pria itu. Ternyata dia menyadari hal itu, tetapi dia sengaja membiarkan. Ah, malu sekali. Kini hatinya sudah dipenuhi oleh bara api yang rasanya ingin segera diluapkan.Namun, sekuat tenaga ia tahan. Pria itu benar-benar menguji kesabarannya
Azril mengangguk mengerti apa yang telah diceritakan oleh ayah mertuanya, tetapi ia juga tidak ingin memaksa hati Safa untuk mencintainya.“Ayah, Azril khawatir dengan Safa.” Tidak bisa dipungkiri jika hatinya tidak tenang. Pikiran Azril melalang buana jika Safa akan melakukan hal nekat.“Jangan lepas Safa dari doamu, Nak. Ayah yakin Safa baik-baik saja. Anak itu hanya butuh waktu dan menenangkan pikirannya untuk lebih terbuka.”Walau dirinya merasa khawatir, tetapi Marlan rasa Safa masih memiliki iman yang kuat. Hanya saja ego yang tinggi membuat Safa sedikit keras.Sementara Safa menghentikan langkahnya di taman. Membiarkan suara gemuruh dalam dada dikeluarkan dengan tangis. Duduk di kursi kosong, bingung pada dirinya sendiri, tidak tahu mengarah ke mana.Penuturan ayah membuatnya tertampar, tetapi Safa sulit percaya begitu saja sama Azril. Entah sogokan
“Az-ril!" Safa tersentak kaget, bagaimana bisa pria itu datang kemari. Seketika wajahnya merunduk. Pria itu memandang sendu, tahu betul perasaan Safa, terlebih kehilangan wanita yang telah melahirkan dan mengenalkan diri pada dunia. Rindu dengan alam berbeda memang menyakitkan. Azril melangkah mendekat, lalu ikut berjongkok dan menatap wajah Safa yang begitu sembab. “Maafkan aku, Fa.” Hanya permintaan maaf yang mampu Azril ucapkan. Keadaan yang dialami mungkin hal terberat bagi Safa, tetapi Azril tidak akan membiarkan Safa melewatinya sendirian. Lagipula, ia tidak akan memaksa Safa untuk membalas cintanya. Azril akan menunggu sampai Allah menggerakkan hati Safa. Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. “Ayo kita pulang.” Azril merangkul bahu Safa lembut dan tersenyum seraya menenangkan wanitanya. Safa terpaku, tubuhnya begitu lemah dan menurut sampai akhirnya pria itu membantu Safa berdiri. Sebelumnya, Safa melirik ke arah sang pusara ibu untuk pamit pergi. “Bu, Safa pulang, ya. M
Setelah kejadian itu, Safa menjadi lebih diam. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar bahkan tidak ikut serta menjemput ayahnya hari ini yang dikabarkan pulang dari rumah sakit.Safa ingin kembali melanjutkan kegiatannya yang tertunda seraya mengobati hatinya yang dilema. Menjalani kesibukan seperti biasa.Saking fokusnya, Safa tidak sadar dengan kehadiran seseorang hingga terdengar suara dehaman. Seketika kepalanya menoleh, memerhatikan pria paruh baya itu berdiri di ambang pintu.“A-ayah!” Segera memeluknya penuh kasih sayang.“Kenapa kamu tidak ikut Azril? Kamu masih marah dengan Ayah?” Marlan memandang wajah putri kecilnya yang ia rindukan.Marlan merasa kesepian setelah kejadian kemarin. Saat itu, Safa tidak hadir lagi di rumah sakit dan hanya Azril yang setia menemani dirinya.Safa menggeleng, sama sekali tidak marah. Hanya saja belum siap menampakkan wajahnya di hadapan sang ayah.“Maafin Safa, Yah. Safa tidak mau membuat Ayah semakin marah karena melihat Safa,” ujarnya
Azril terbelalak kaget saat punggung tangannya dikecup oleh Safa. Entah angin dari mana, dan membuat matanya tak percaya.“Ayo.”Safa hendak menarik lengannya dan Azril semakin tak percaya membuat matanya menoleh ke arah ayah mertua. Melihat bibirnya tersenyum lebar, Azril tak menyiakan kesempatan dengan tangannya untuk merangkul bahu Safa.“Kami izin ke atas dulu, Yah!” Azril sopan dan menggiring Safa lembut.Jujur, jantungnya seperti ingin copot melihat sikap Safa yang menurutnya manis. Namun, ia tidak marah jika memang itu hanya sandiwara Safa di hadapan ayah. Azril mengerti dan setidaknya Safa menghargai keberadannya. Azril berharap bisa seterusnya bahkan menjadi awal perubahan Safa untuk menjadi istri yang baik.Tidak hanya Azril, Safa pun merasakan hal yang sama pada hatinya. Suara detak jantungnya berderu tak karuan dan membuat tubuhnya semakin beku.Bahkan posisi Safa yang lebih rendah dari Azril dapat mendengar suara detak jantung pria itu. Sungguh, semakin membuatnya gugup.
Safa langsung meremas kedua tangannya yang masih tergenggam. Entah motif apa dia mengatakan hal itu padanya.“Safa, dengarkan aku. Aku tidak memaksamu.” Azril pun menimpali sikap Safa yang seolah tidak terima. “Aku hanya menyampaikan agar aku tidak merasa bersalah pada Amih.”Sejak kepulangan itu, Azril selalu didesak oleh ibunya yang ingin bertemu dengan Safa bahkan sampai detik ini sang ibu masih mengirim pesan menanyakan hal yang sama. Namun, Azril sendiri tak bisa menjawab.Sehingga ia memastikan sendiri dengan terpaksa mengatakan hal tersebut. Walau Azril tahu jawabannya jika Safa akan menolak.“Aku tidak tahu, Ril. Aku permisi!” Segera Safa berlari meninggalkan Azril.Hatinya meringis dan wanita itu menangis. Rasanya tidak ingin menyakiti semua orang, tetapi belum siap untuk menghadap orang tuanya Azril.Semua yang ia dengar terlalu mengejutkan bahkan pernikahan yang dijalani pun masih terasa kosong dalam hati. Safa belum menemukan jawaban dari kedilemaannya.Keesokan harinya, S