Kak Inggit membalikkan badannya, lalu menutup ponselnya dengan tangan mungkin agar Abangku tak mendengar pertanyaanku tadi pada istrinya.
"Husss ... jangan lancang mencuri dengar pembicaraanku, pergi sana bukankah kamu mau kuliah!" Dia menempelkan jari telunjuk di mulutnya, memberi isyarat supaya aku diam, pasti dia takut ketahuan tengah berbohong pada Abangku."Jangan mengadukan hal yang tidak pernah aku lakukan, Kak. Itu namanya kakak memfitnahku, sejak keuangan dipegang kakak mana pernah aku menerima bekal untuk kuliahku, buat uang bensin saja aku harus bisa menyisihkan uang sisa belanja, bahkan terkadang aku ditolong teman-teman untuk uang bensin sampai membuatku malu."Sengaja kukeraskan suaraku, agar Bang Gagas bisa mendengarnya lewat telpon yang masih tersambung, puas rasanya melihat wajah Kak Inggit yang kini sudah kusut masai mungkin dia tengah menahan emosinya yang siap meledak saat ini.("Halo, halo ....")Kudengar sayup-sayup suara Bang Gagas dari telpon yang masih di genggam erat Kak Inggit, bukannya mengangkat kembali telponnya, kakak iparku itu malah menatap wajahku dengan tatapan benci penuh amarah.Masa bodoh lah tak kuperdulikan lagi matanya yang terlihat melotot seperti hendak loncat dari kelopaknya. Aku senyum sinis sambil berlalu menghampiri Ibu di dapur."Bu, Dina berangkat dulu ya. Maaf tak sempat sarapan biar Dina bawa saja ke kampus, Bu. Nanti dimakan di sana saja sudah telat soalnya," kuraih Tupperware lalu mengisinya dengan apa yang sudah tersedia dimeja makan, untukku masakan Ibu adalah makanan paling bergizi dan paling nikmat walau hanya sekedar nasi goreng saja."Apa cukup bekalmu segitu, Nduk? bagaimana kalau nanti kamu masih lapar, ayok tambahin bekalmu biar gak kelaparan saat belajar nanti,"Ibu menyodorkan kembali nasi goreng dalam wadah yang terlihat masih mengepulkan uap panas, baunya tercium sangat nikmat ingin sebenarnya langsung menyendokan makanan itu kedalam mulut, kalau tak ingat jam kuliahku sudah sangat mepet."Sudah cukup segini saja, Bu. Maaf Dina tak bisa menemani Ibu sarapan ya, Bu. Dina berangkat dulu, assalamualaikum."Tanpa menunggu jawaban Ibu, kuraih tangannya lalu kusalami takzim. Bergegas aku keluar rumah dan menaiki kuda besi kesayanganku dengan secepat kilat ku lajukan kendaraanku membelah jalanan kota, yang msudah terlihat padat oleh hiruk pikuk kendaraan berlalu lalang.******("Dina apa yang sudah kamu katakan tadi pada kakak iparmu, kenapa sampai dia menangis saat abang meneruskan menelponnya?")Pesan dari Bang Gagas begitu kubuka ponsel setelah mata kuliah pertama selesai, ada juga beberapa panggilan tak terjawab darinya. 'Pasti nenek sihir itu sudah mengadukan hal yang tidak-tidak pada kakakku,' batinku kesal.Langsung kuhubungi Bang Gagas untuk bertanya sekaligus menjelaskan keadaan yang sebenarnya, aku tak ingin ada kesalahpahaman dalam pikiran kakak laki-laki ku satu-satunya itu.("Din, tolong kamu hormati Inggit! Walau bagaimanapun dia adalah istriku, kakak iparmu. Jangan selalu membuatnya lelah dengan semua tingkah manja dan juga sifat arogan mu, abang menguliahkan mu agar kamu menjadi wanita yang bisa mandiri, berakhlak dengan karir yang cemerlang suatu hari nanti. Bukan malah bisanya poya-poya dan menghamburkan uang saja, sesekali bantulah Ibu di rumah, istriku pun butuh istirahat sewaktu-waktu, karena dia ku nikahi untuk ku bahagiakan bukan menjadikannya babu gratisan di rumah kita!") Cerocos Bang Gagas panjang lebar, terdengar begitu emosi ketika sambungan telpon dariku baru saja dia angkat.("Tapi, Bang—")Baru saja aku mau menjelaskan tentang hal yang sebenarnya terjadi, Bang Gagas langsung mematikan sepihak sambungan telponnya.Kucoba lagi berulangkali menghubunginya, namun hanya jawaban operator yang kudengar. Sial memang nenek sihir itu sudah menyebarkan aura negatifnya terhadap Bang Gagas. Ini tak bisa dibiarkan, jika tidak kutegur mungkin masalahnya akan semakin berlarut-larut.Begitu perkuliahan selesai, aku bergegas menuju parkiran untuk kemudian langsung pulang ke rumah, tak sabar rasanya mulut ini ingin mengomel di depan nenek sihir mata duitan itu. Mantra apa sebenarnya yang dia tebar hingga Abangku bertekuk lutut seperti itu, baru kali ini seumur hidupku mendengar Bang Gagas menegurku sekasar itu.Setelah memarkirkan motor di garasi, aku langsung masuk lewat pintu belakang, suasananya begitu hening di rumah ini seperti tak berpenghuni saja. 'Kemana ibu, apakah beliau sedang tidur?' pikirku sambil bergerak menuju kamar dan menyimpan barang-barang ku di sana."Haduh lelah sekali ya, Pak, Bu. Tapi walaupun lelah tetap hati ini senang karena akhirnya kita bisa membeli perhiasan yang waktu itu kita idamkan,"Kudengar suara nenek lampir berbicara dengan orang tuanya, suara sepatu terdengar mendekat kearah ruang tamu. Sedikit kujulurkan kepalaku untuk melihat apa yang sudah mereka lakukan, nampak olehku saat ini si nenek lampir alias kak Inggit kakak iparku tengah merebahkan badannya diatas sofa ruang tamu, kedua kakinya di naikkan ke atas meja seperti orang yang tak pernah di didik sopan santun oleh kedua orang tuanya."Bu ... Ibu ...! Cepat bawa kemari belanjaannya kami sudah tak sabar ingin memakai perhiasan yang kami beli barusan." Teriak kak Inggit melengking sambil mendelik kearah orang yang jalan terseok-seok, dengan beberapa paperbag memenuhi genggaman tangannya. "Ibu ini kenapa sih lelet banget seperti orang kurang makan saja!"Tanganku terkepal kuat saat aku mendengar hardikan yang dilontarkan Kak Inggit pada wanita yang sudah melahirkan ku, seolah-olah Ibuku adalah babu dirumahnya sendiri.Berjalan tergopoh, kuhampiri Ibuku yang terlihat kelelahan. Rasanya dada ini begitu sesak melihat Ibuku diperlakukan tak pantas oleh menantunya sendiri.Brak ...!"Aaa ... Dina apa yang kamu lakukan? lancang sekali kamu membuang barang-barangku seperti itu, awas saja jika barang-barang yang baru saja ku beli ini rusak!" Teriak kak Inggit melengking, begitu ku rebut paperbag-paperbag yang Ibu bawa dan melemparnya ke sembarang arah.Aku sudah tak bisa lagi menahan kesabaranku yang setipis kulit ari ini, rasanya makin hari perlakuan Kak Inggit makin menjadi. Memperlakukan Ibu tak ubahnya babu yang tak patut dihargai, dan buatku perlakuannya ini tak bisa di maafkan lagi."Masa bodoh dengan barang-barang itu, kenapa Kakak meminta Ibu membawakan barang-barang belanjaan mu, Kak? apa Kakak tidak lihat Ibu sedang tidak baik-baik saja!" Balasku tak mau kalah."Sudah Din, jangan ribut-ribut malu di dengar tetangga!""Biarkan saja, Bu. Kak Inggit sudah keterlaluan saat ini, kenapa dia harus mempe
Mendengar ancaman Ibu, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain menuruti perintah beliau. "Kak, maafkan sikapku tadi."Kak Inggit memutar bola mata malas mendengar permintaan maaf dariku, orang tuanya pun sama tak menanggapi ketulusanku mereka kini malah sibuk dengan makanan yang tengah mereka santap dimeja makan.Tak ada sapaan atau basa-basi menawari Ibuku makan, padahal makanan yang ada di meja makan itu masih banyak dan beragam masakannya, sepertinya Kak Inggit memesannya secara online tadi."Kakak mau kan memaafkan aku?" ku lirik Ibu yang kini berada di sampingku, beliau mengangguk memberikan suntikan semangat agar aku tak kembali naik darah menghadapi kelakuan keluarga kakak iparku ini."Kak ....""Kami akan memaafkan mu tapi kamu harus menuruti apa yang aku perintahkan!" Bapaknya Kak Inggit yang menyahuti perkataanku dengan seringai aneh penuh misteri keluar dari bibirnya. "Bukankah begitu, Git?"Kak Inggit menganggukkan kepalanya sambil terus menikmati makanan di piringnya, tanp
Rasa perih menjalar di pipi sebelah kiriku, mungkin saat ini jika bisa kulihat wajahku sudah memerah menahan amarah. Kenapa lelaki tua itu bisa sampai menampar wajahku, apa dia tak berpikir dengan kata-katanya tadi yang menyulut ku untuk melakukan perlawanan padanya, tapi nyatanya dia sendiri tak terima aku katai seperti itu, padahal apa yang ku katakan tentang anaknya itulah yang sebenarnya.Terasa ada sedikit cairan hangat dari sudut bibir, ternyata dampak dari kerasnya tamparan itu membuat bibirku sedikit sobek pantas saja terasa perih saat kuraba dengan ujung jemari."Astagfirullah, Nduk, kamu kenapa?" Ibu tergopoh-gopoh datang dari kamar pasti karena beliau mendengar keributan yang terjadi antara aku dan Pak Wahyu."Apa yang sudah Bapak lakukan terhadap anak saya? kenapa pipi Dina sampai memar dan bibirnya terluka seperti ini?" tanya Ibu tak terima."Anakmu ini sudah lancang mengata-ngatai Inggit anakku, makanya didiklah anakmu dengan baik agar dia bisa menghormati orang tua!" Jaw
Tanpa membantah aku pun memencet nomor yang tertera dengan nama Abangku di ponsel yang kupegang, namun saat ku hubungi hanya operator yang menjawab jika saat ini Abangku tengah berada dalam panggilan lain, itu berarti saat ini ponselnya sedang dipakai Abangku menelpon dengan orang lain. Biarlah kucoba lagi nanti pikirku."Nomor bang Gagas sedang sibuk, Bu. Kelihatannya abang tengah teleponan dengan orang lain." Ucapku.Ibu mengangguk lemah. "Coba nanti kamu telpon lagi jika sudah agak lama ya, Din!""Baik, Bu." Jawabku singkat.Astagfirullah detak jam di dinding menyadarkan aku jika aku belum sholat dzuhur, karena drama dari keluarga dagelan itu aku sampai lupa menunaikan kewajibanku sebagai seorang muslimah."Dina sholat dulu ya, Bu. Ibu sudah sholat dzuhur?"Ibuku mengangguk, tanpa menoleh pun tanpa suara yang keluar untuk menyahuti pertanyaanku. Hatiku merasa terbebani jika melihat Ibu seperti itu seolah kekuatanku melemah, Ibu adalah semangatku selama ini dan jika beliau berduka m
"Itukan bang Gagas ...?" gumamku."Gagas ...? kamu sudah pulang, Nak? kok tidak memberi tahu ibu kalau kamu pulang hari ini, kalau tahu pasti tadi ibu masakin makanan kesukaanmu, Gas." Ibu tergopoh-gopoh menghampiri bang Gagas, senyum lebar terpatri dari bibir ibu, wajahnya berbinar bahagia mendapati anak sulung lelakinya sudah kembali ke rumah dalam keadaan sehat walapiat.Namun tak kusangka Bang Gagas menepis halus rentangan tangan Ibu yang hendak memeluknya untuk sekedar menyalurkan rasa rindu seorang ibu pada anak lelakinya. Ibu berhenti lalu menurunkan tangannya tak jadi memeluk anak lelaki kesayangan yang tadi begitu di rinduinya.Seketika tak ada kata keluar dari keduanya, suasana mendadak hening hanya sesekali terdengar isakan Kak Inggit yang kini tengah duduk bersimpuh dilantai, dengan bahu bergetar terisak dalam tangisnya. Kini Ibu dan Bang Gagas hanya terdiam sesekali saling bertemu pandang, seolah mencari jawaban dari apa yang menjadi pertanyaan di pikiran masing-masing."
"Kenapa Abang bisa sebodoh ini, mau-maunya dibohongi oleh para benalu itu. Lihatlah kulit mereka apakah ada yang mengeluh jika tengah sakit atau terkena penyakit gatal semacam iritasi dan sebagainya? buka matamu, Bang! Lihatlah Ibu, Abang bahkan tak menanyakan sama sekali sakit apa Ibu sampai harus berobat ke dokter, lihat kulit Ibu, Bang! Itu akibat kami harus—""Sudahlah, Mas. Tidak usah diperpanjang lagi, biarkan saja aku dan orang tuaku yang mengalah. Kami akan kembali tinggal di rumah kami, Mas."Kak Inggit secepatnya memotong perkataanku sebelum aku tuntas memaparkan kejadian sebenarnya kepada Bang Gagas, dia kembali bersandiwara agar lebih bisa meraih simpatik Abangku, agar dia dipandang sebagai malaikat oleh suaminya. Cuih ... dasar wanita ular bermuka dua, tak kusangka aku akan mempunyai ipar yang begitu jahat seperti Kak Inggit. Sayang sekali Abangku lelaki yang tadinya begitu baik dan begitu hormat kepada Ibu juga keluarga, bisa langsung berubah hanya karena fitnah jahat ya
"Sabar ya, Din! Doakan saja Bang Gagas segera dibukakan kembali mata hatinya." Ucap Aisyah sahabatku satu-satunya.Ya setelah keluar dari rumah, aku di minta Aisyah untuk tinggal bersamanya, kebetulan Aisyah tinggal sendiri di rumah peninggalan almarhum kedua orang tuanya.Aku hanya bisa mengangguk lemah, tak kuasa melihat wajah sendu Ibu pasti beliau begitu sakit hati dengan perlakuan Abangku, namun kasih sayangnya sebagai seorang ibu mengalahkan rasa marah dan benci dalam hatinya.Ibu akhirnya ikut bersamaku, lagipula aku pun tak akan tega meninggalkan Ibu di rumah itu bersama orang-orang yang tidak menyukainya, bisa-bisa Ibu hanya akan dijadikan pelayan di rumahnya sendiri nanti. Apalagi setelah melihat perangai Bang Gagas yang begitu keterlaluan, hanya mendengarkan dari sebelah pihak saja tanpa mau mencari tahu dulu kebenarannya seperti apa.Seminggu sudah aku tinggal bersama Aisyah, rasanya sungkan lama-lama menumpang. Walaupun Aisyah tak pernah mempermasalahkannya, namun aku tet
"Dia itu siapa sih, Mbak? laganya angkuh banget kalau tak ingat aku sangat memerlukan pekerjaan ini, sudah kutimpuk wajahnya pakai keranjang yang kubawa." Geramku kesal, ketika mengingat bagaimana cara lelaki itu membentakku tadi."Stttt ...!" Mbak Diah menempelkan jari telunjuk di bibirnya, kemudian menarik lenganku untuk mengikutinya kebelakang sambil membereskan obat yang kubawa, Mbak Diah bercerita jika lelaki itu bernama Bimo Rahardian anak dari pemilik apotek ini.Pak Bimo hanya sesekali datang ke apotek untuk memeriksa pembukuan keuangan atas perintah Pak Ardi Rahardian sang ayah, sedangkan pak Bimo sendiri memiliki perusahaan dibidang jasa, karena beliau tak tertarik sama sekali untuk meneruskan usaha yang digeluti oleh ayahnya dibidang kesehatan.Aku mengangguk faham. "Pantas saja dia begitu angkuh ya, Mbak. Rupanya dia orang berduit." Aku kembali mendengarkan cerita Mbak Diah sambil tanganku cekatan membereskan obat-obatan untuk diletakan ditempatnya."Sebenarnya dulu dia