"Kamu itu hilang dua hari. Gak usah pulang sekalian, kayak gak punya rumah."
Mas Reno membalikkan tubuh. Wajahnya hendak marah, tapi dia langsung terdiam melihatku menggendong bayi. Di belakangku, ada Mama dan Papa.
"Loh, bayi kita udah lahir? Ya ampun, kamu kenapa gak bilang sama aku?" Mas Reno langsung memasang wajah ceria, dia hanya pencitraan, itu saja karena ada Mama dan Papa.
Aku menggelengkan kepala, kemudian menatap tajam ke arahnya.
"Gak nanya," jawabku ketus.
Aku melewatinya begitu saja, meletakkan tas di atas sofa. Wajah Mas Reno tampak memerah tadi. Ah, aku tidak peduli sama sekali.
Mama dan Papa mengusap kepalaku. Kemudian pamit. Kemarin, kedua orang tuaku sempat bertanya kemana Mas Reno, tapi tidak aku jawab. Mereka tidak perlu tahu di mana Mas Reno.
Atau semua rencanaku berantakan. Dua tahun pernikahan kami, aku tidak mau hartaku musnah begitu saja.
"Siapa namanya?" Mas Reno meminta menggendong bayi kami. Dia masih berusaha mengobrol denganku.
Memangnya aku peduli dengan tindakannya itu?
Tentu saja aku mengabaikannya. Mama dan Papa tidak bisa menginap, ada sesuatu yang harus mereka urus. Aku membawa Raja—bayiku ke kamar.
Memang aku sendiri yang menamai. Malas kalau harus berdiskusi lagi dengan Mas Reno. Aku menatap ke arah laun. Tidak peduli dengan Mas Reno yang berusaha mengobrol denganku.
"Kok diam aja, sih? Mas nanya sama kamu, loh." Dia memegang tanganku, menghentikan langkah.
"Nanya dari tadi?" tanyaku dingin. Kemudian mengibaskan tangannya, sama seperti dia mengibaskan tanganku.
"Kamu kenapa, sih? Berubah banget. Aneh, deh."
Bodo amat. Aku tidak peduli sama sekali. Kesabaranku sudah habis. Selama ini, aku dipermainkan Mas Reno.
Semua aset kami sepakati atas namanya, karena ada sebuah perjanjian dulu. Aku menatap foto kami. Sekarang, foto itu justru membuatku malas melihatnya.
"Nin, kamu kenapa? Bilang, dong. Jangan diam kayak gini. Pusing aku ngeliatnya. Bayi kita gak boleh aku gendong. Semuanya aja gak boleh."
Belum sempat aku menjawab, pintu rumah diketuk. Aku menatap Mas Reno, dia langsung melangkah ke pintu.
Dengan langkah pelan, aku menyusul Mas Reno. Ketika pintu terbuka, keluarga tidak tahu diri tampak. Aku mengusap dahi. Ah, kehancuran.
Kenapa mereka bisa sampai di sini? Ya ampun, ini benar-benar masalah besar. Sudah kacau, tambah kacau rumah ini.
"Mama, Rini! Kok gak bilang-bilang mau kesini? Aku bisa nyiapin makanan yang banyak."
"Emang gak ada makanan?" tanya Mama sinis, dia melirikku tajam. "Terus tugas istri kamu di rumah ngapain? Cuma tiduran gitu? Kayak bukan istri aja."
Mama Mas Reno langsung duduk di sofa. Aku menatap koper yang dia bawa. Begitu juga adik iparku. Dia tidak peduli dengan kopernya.
"Mama mau ngapain di sini? Bawa koper lagi." Mas Reno mulai menanyakan kedatangan Mama dan adiknyaitu. Aku hanya diam berdiri di dekat pintu, belum mengatakan apa pun.
Sudah jelas dia mau menjadi benalu lagi. Seolah tidak ingat anaknya hanya menumpang hidup di rumahku.
"Mau nginap lah. Mau santai-santai di sini. Mama pengen jadi orang kaya sebentar aja masa gak boleh."
Ya, terserah saja. Sudah sering begitu. Kali ini, aku tidak mau melakukan apa yang mereka suruh. Sudah cukup dulu. Aku tidak mau melakukan apa-apa lagi.
Sudah cukup aku yang tidak pintar dulu. Tidak lagi sekarang. Semuanya sudah berubah.
Aku melangkah meninggalkan ruang tamu. Biarkan saja mereka menikmati ini, sebentar lagi, semuanya akan aku rebut. Dia hanya akan menjadi orang tidak berguna.
"Heh, Nina."
Langkahku terhenti. Aku tidak menoleh, menunggu mertuaku mengatakan sesuatu. Sebenarnya aku tau apa yang akan dikatakannya.
"Bawa koper saya. Kamu itu menantu gak ada gunanya apa, ya? Lewat begitu saja."
"Iya. Sekalian koper Rini. Berat tau bawanya tadi." Adiknya Mas Reno yang sepertinya biasa saja menanggapi semuanya itu, dengan seenaknya menyuruhku.
Mereka seolah tidak punya dosa menyuruhku. Hampir saja aku tertawa. Dulu aku memang begitu, tapi tidak sekarang. Aku tidak mau lagi ditipu oleh mereka.
"Angkat sendiri. Saya bukan pembantu," kataku dingin.
***
"Kamu kok kurang ajar banget sama Mama, Nina. Aku tau, kamu habis melahirkan, tapi kenapa jadi kayak gini? Aneh banget. Lama-lama, gak betah aku sama kamu."
Mulut Mas Reno memang minta disumpal. Aku hanya meliriknya, kemudian kembali memasang posisi tidur yang enak. Memangnya aku peduli dengan perkataannya itu?
Pikir saja sendiri kesalahannya apa. Lagi lupa, sering sekali Mama dan adik iparnya itu datang ke rumah kami. Menganggapku seolah-olah sebagai pembantu.
Ah, itu ada alasannya. Aku tidak mungkin melakukan begitu saja.
"Pusing aku ngomong sama kamu, Nin."
Setelah Mas Reno pergi, ponselku berdering. Dari seseorang, aku tersenyum, menggeser tombol berwarna hijau.
"Halo."
"Halo, Nina. Aku udah baca pesan kamu."
"Bagus." Aku menganggukkan kepala. "Bagaimana tanggapan kamu?"
"Gak masalah. Bakalan aku laksanain."
"Ah, menarik. Hancurkan secara perlahan, tapi menyakitkan," gumamku.
"Aman. Tenang aja, pasti bakalan beres bersih. Kamu bakalan dapat apa yang kamu mau."
"Lakukan semua yang kamu bisa," kataku penuh kemarahan. Aku menganggukkan kepala mendengar perkataannya.
Setelah semua urusan selesai, aku mematikan telepon. Kedua sudut bibirku tertarik. Mataku menatap Raja yang tertidur.
"Kita akan menghancurkan Papamu secara perlahan, Nak. Perlahan, tapi lebih menyakitkan." Aku mengusap pipinya, tidak sabar lagi dengan semuanya.
***
"Nina, aku minta uang."Pandanganku teralih ke Mas Reno. Dia menatapku berharap. Namun terlihat juga tidak peduli. Seolah tidak ingat dia yang harusnya memberikanku uang.Untuk semua pendapatan, aku yang memegang. Yang menguasai aku. Mas Reno tidak ada apa-apanya kalau itu.Aku diam sejenak. Kemudian mengangguk-anggukkan kepala. Ini akan menjadi ide yang menarik sekali. Mas Reno pasti tidak akan percaya melihatnya.Dengan cepat, aku mengeluarkan dompet. Mengambil uang pecahan koin. Kemudian memberikannya pada manusia tidak tau diri itu."Eh? Kamu bercanda, ya? Kenapa dikasih uang kayak gini? Aduh Nina, aku serius. Lagi butuh banget. Mama sama Rini lagi pengen makan pizza." Mas Reno terlihat kesal sekali melihat uang yang aku berikan.
"Aduh, tadi malam kamu kasih apaan tehnya, Nina? Perut Mama masih sakit sampai sekarang?" Aku hanya menoleh, kemudian menggelengkan kepala. Memilih mengabaikan mertuaku. "Nin! Pakaian Mas mana? Kok gak kamu siapin, sih?" Teriakan Mas Reno sampai luar kamar. Lagi-lagi aku mengabaikannya, memilih untuk bermain dengan Raja. Ah, aku tidak sabar nanti setelah Mas Reno pulang. Ada kejutan untuknya di butikku. Mas Reno memang bekerja di butikku. Selama ini, dia mengurus keuangan, tapi aku selalu meneliti laporan keuangan di butik. Kadang, ada yang terselip. Entah sengaja atau tidak. Memang begitu, selalu ada kecurangan kalau Mas Reno yang bekerja. Mas Reno juga ikut gajian kalau akhir bulan, tapi selalu habis di hari yang sama. Sepertinya untuk keluarganya yang tidak tahu malu itu. Aku sama sekali tida
"Nin, parah banget kamu jadi istri. Suami sendiri dikeluarin dari pekerjaannya.""Terus?" tanyaku pelan."Ya ampun, kamu kayaknya beneran kemasukan, Nin. Dari habis melahirkan kayak gini. Lama-lama pusing lihat kamu, Nin.""Kenapa, sih?"Mama Mas Reno mulai ikut campur lagi. Aku meliriknya sekilas, kemudian mengalihkan pandangan. Tidak peduli."Posisi Reno sebagai keuangan di butik Nina diganti sama orang lain, Ma. Pas Reno protes, karena nama Reno jelas-jelas harusnya masih tertera sebagai bagian dari tim, justru gak ada lagi. Keganti sama orang itu."Wow. Anak yang benar-benar manja, mengadu
"Kamu apa-apaan, sih, Nina? Sampai malam kita nungguin transferan dari kamu. Gak dikirim juga uangnya."Aku menoleh. Menatap Mas Reno yang marah-marah."Malu-maluiin." Mama meletakkan tas sembarang tempat."Aduh, tadi ada temanku, apa kata mereka liat tadi gak bisa bayar makanan." Rini ikut bergumam. Wajah mereka terlihat menanggung malu.Sambil menyapu, aku diam-diam tersenyum. Memangnya enak makan tanpa bisa bayar."Jangan makan di restoran kalau gak bisa bayar," gumamku."Kamu tadi katanya mau transfer. Kamu gimana, sih, Nin? Aku capek lama-lama kayak gitu. Pusing." Mas Reno mengacak rambut. Dia ikut duduk di sebelah Mamanya.Ah, bisa dibayangkan wajah bingung mereka tadi. Diam-diam, aku tersenyum. Sok-sokan makan di restoran mahal, tapi gak bisa bayar.Maunya enak, tapi gak mau usaha. Mau pakai uangku? Maaf saja, tidak akan lagi. Sudah cukup yang dulu. Aku
"Mau minta makan, minta uang. Minta semuanya."Pria tanpa tahu malu itu langsung masuk begitu saja. Aku menggeram pelan. Benar-benar tidak punya urat malu."Kemana semua uang yang kamu ambil dari dompet Mbak, hah?! Habis?"Ya ampun, hidupku benar-benar dipenuhi oleh orang pencari masalah, juga penghabis uang.Dia adalah Kafka. Adik angkatku yang sejak dulu kerjaannya hanya menghabiskan uang saja. Dia baru saja pergi satu bulan yang lalu. Katanya tidak betah di sini."Aw. Ada benalu rupanya." Langkah Kafka terhenti di dekat meja makan.Tidak sadar diri kalau dia sendiri benalu. Aku mengusap wajah. Kalau mereka disatukan, semakin kacau dunia."Aku ke kamar dulu." Kafka melewatiku begitu saja."Kenapa adek kamu sampai pulang, sih?" tanya Mas Reno kesal."Mana kutahu."Aku mengangkat bahu, memilih untuk pergi ke kamar.
"Serius? Kamu gak bohongin Mbak kan? Mbak gak suka kalau kamu bohong, ya.""Serius, Mbak. Kafka janji, deh."Mataku menyipit. Bagaimana caranya agar Kafka bisa dipercaya?"Kalau buat surat perjanjian, kamu tanda tangan mau gak?"Kafka diam sejenak. Beberapa detik, dia menganggukkan kepala. Seolah sedang menantangku."Oke. Siapa takut. Yang paling penting, aku udah janji bakalan bantuin Mbak."Ya. Terserah dia sajalah. Aku masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Kafka, membawa berkas yang tadi diberikan orang kepercayaanku masuk ke dalam."Berkas apaan itu, Nina?"Langkahku terhenti mendengar perkataan mertuaku. Untung saja bukan Mas Reno. Aku sudah mempunyai tempat penyimpanan rahasia."Nina? Jangan jadi patung." Mama tampak gemas menatapku."Bukan urusan Ma
"Nyebelin banget. Untung gak sampai dipanggilin satpam."Aku menoleh. Keluarga Mas Reno sudah masuk ke dalam rumah. Mereka baru kembali dari acara pesta itu.Entah pesta apa. Sepertinya berakhir memalukan."Aku pergi dulu."Kami menoleh ke Mas Reno yang beranjak. Mataku menyipit, dia mau kemana? Padahal, ini sudah beranjak malam."Mama ikut.""Rini juga ikutan."Aku hanya melirik mereka sekilas. Paling juga jalan-jalan. Terserah mereka saja. Kafka datang, dia membawa makanan, kemudian meletakkan ke atas meja."Mbak, apa yang buat Mbak bertahan sama si Reno itu? Ditambah keluarganya lagi. Ih, kalau aku gak betah.""Harta." Aku menjawab pendek.Kafka mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia seperti mengerti saja."Rumahnya keluargany
"Kamu jual rumah itu, Nin?"Suara Mas Reno terdengar menggema di ruangan. Aku mengangguk singkat, padahal baru saja sampai di rumah.Sudah disambut saja dengan kemarahan mereka."Menantu kurang ajar. Maksud kamu jual rumah itu apa, hah?! Mau nunjukin kalau kamu yang punya?""Nutupin biaya lahiran."Aku melirik Mas Reno. "Gak bisa bayar, kan?"Mendengar itu, mereka langsung terdiam. Aku mengangkat salah satu sudut bibir."Tapi gak jual rumah itu juga, Nina. Terus Mama sama Rini mau tinggal di mana?""Rumah kecil.""Tega. Parah banget. Udahlah, kamu itu harusnya gak sama si Nina lagi. Mama pusing lihat kamu sama dia."Terlihat wajah Mas Reno tertekuk. Aku melirik Kafka yang mengacungkan kedua jempolnya. Dia juga iku