Aruna duduk diam di taksi yang membawanya kembali ke perusahaan. Dia memikirkan pembicaraannya dengan Bumi soal masa kuliah Ansel. “Aku yakin ucapan Clay bukan sebuah kebetulan. Bagaimana jika memang ada maksud yang disampaikan?” Aruna terus berpikir soal masa lalu Ansel yang mungkin tak diketahuinya, terlebih enam tahun setelah mereka berpisah. Namun, Aruna juga tak berani bertanya langsung karena takut jika hal itu menyinggung hati suaminya. “Apa yang harus aku lakukan?” Aruna benar-benar bingung. Di sisi lain dia mencoba melupakan kecelakaan yang terjadi, tapi di sisi lain dia juga penasaran karena cerita dari suaminya. Dia tidak bisa tinggal diam saat mengetahui suaminya berjuang keras demi keadilannya. Saat Aruna hampir saja sampai di perusahaan. Ponselnya berdering dengan nama tak dikenal terpampang di layar. Aruna mengerutkan alis karena penasaran siapa yang menghubunginya. “Halo.” Aruna memberanikan diri menjawab panggilan itu. Aruna terdiam sesaat saat mendengar suara
Aruna menatap Ansel yang pergi lebih dulu. Dia melambaikan tangan saat mobil suaminya melaju meninggalkan kafe. Setelah mobil Ansel menghilang dari pandangan. Aruna memberhentikan taksi, lantas pergi dari tempat itu. Namun, Aruna tak pergi ke perusahaan melainkan menemui seseorang yang bisa menjawab rasa penasarannya. Aruna tidak yakin apakah ini benar, tapi dia tak ingin melewatkan kesempatan untuk tahu, kenapa dirinya diincar dan dicelakai. “Kupikir kamu tidak akan datang,” ucap Clay yang sudah menunggu Aruna. Aruna hanya menatap datar ke Clay. Dia mengamati sekitar dan tak ada siapa pun di sana. “Kamu bilang ada managermu bersama kita?” tanya Aruna karena baru menyadari jika Clay berbohong. Clay menoleh ke kanan dan kiri, lantas menatap Aruna. “Ah, ya. Aku lupa soal itu, dia mendadak ada urusan lain, jadi kita bisa bicara berdua saja,” ucap Clay lantas mempersilakan Aruna untuk duduk di kursi yang ada di hadapannya. Aruna melirik kursi yang ada di hadapan Clay. Dia sedikit
Aruna menatap kesal ke Clay yang sedang makan. Dia benar-benar tak sabar menunggu pria itu makan, hingga berpikir jika pria itu hanya mempermainkannya saja. “Sepertinya memang salahku berada di sini. Seharusnya sejak awal aku tak menganggap sama sekali kebaikanmu sebagai sebuah niat baik, itu hanya kebetulan, seharusnya aku tak acuh akan hal itu!” geram Aruna karena Clay sepertinya memanfaatkan sesuatu darinya saja. Clay mengunyah makanan yang masuk mulut. Dia lantas menatap Aruna yang baru saja bicara. “Padahal aku muncul karena kasihan, kenapa kamu menyesal sudah aku tolong?” Clay bicara sambil menatap Aruna. “Apa sebenarnya yang kamu inginkan? Kamu muncul bukan karena sebuah kesengajaan, kan?” Aruna sudah mencurigai Clay sejak ditolong waktu itu. Aruna merasakan hal yang janggal ketika Clay menarik tangannya. Pria itu tak jatuh, tapi sengaja menjatuhkan diri. Dia bisa merasakan betapa kerasnya benturan yang menghantam pinggulnya sampai membuatnya keguguran. Semua kecurigaannya
“Lacak ponsel Aruna, cepat!” perintah Ansel saat tak menemukan Aruna di ruangan itu, tapi ada bekas peralatan makan di meja. Ansel berjalan cepat keluar dari restoran, Rio sendiri buru-buru menghubungi orang kepercayaannya untuk melacak keberadaan ponsel Aruna. “Apa kalian tidak melihat mobil keluar dari restoran?” tanya Ansel saat menemui dua orang suruhannya yang berjaga di depan. Dua pria itu terkejut mendengar pertanyaan Ansel. Mereka saling tatap hingga mengingat mobil yang keluar dari restoran sebelum Ansel datang. “Ada, mobil silver tipe SUV melintas sebelum Anda datang,” jawab salah satu pria. Ansel mengetatkan gigi mendengar penjelasan orang suruhannya. Dia langsung masuk mobil dan duduk di belakang kemudi. Rio sangat terkejut dengan yang dilakukan Ansel. Dia pun langsung masuk dan duduk di samping kursi kemudi. Dua pria suruhan Ansel pun masuk mobil mereka. Ansel mengambil jalan ke kiri sedangkan dua orang tadi ke kanan agar bisa menemukan mobil yang dimaksud. “Mereka
Ansel menginjak pedal rem sambil membanting stir ke kiri agar tidak menabrak mobil SUV yang terbalik di tengah jalan. Sepinya jalan itu, membuat tak banyak mobil yang melintas ketika kecelakaan itu terjadi. Ansel langsung keluar dari mobil karena begitu cemas dengan keadanan Aruna. Jantungnya bahkan berdegup dengan cepat, pikirannya terus berkata jika Aruna baik-baik saja meski tak memungkiri kemungkinan terburuk. Di mobil SUV. Aruna merasa kepalanya pusing karena terluka. Dia yang tak memakai sabuk pengaman, tentunya mengalami cidera parah karena tubuhnya menghantam kabin mobil beberapa kali. Dia berbaring di atas kabin atap sambil memegangi kepala yang berdarah. “Runa, kamu mendengarku.” Ansel sudah berlutut sambil membungkuk untuk melihat apakah benar Aruna ada di dalam mobil itu. Aruna berusaha mengangkat kepala saat mendengar suara Ansel. Hingga dia melihat suaminya ada di luar. “Ans.” Aruna merasakan kepalanya yang sangat sakit. Dia berusaha mengulurkan tangan keluar dengan
Ansel menggeser posisinya dengan Aruna saat melihat Clay siap menarik pelatuk. Dia dan Aruna berada di posisi miring ke Clay, lantas Ansel mengeluarkan tangan yang sudah memegang senjata. Ansel sengaja menjatuhkan diri bersama Aruna ke aspal sambil menarik pelatuk ke arah Clay dengan sasaran kaki agar pria gila itu bisa dilumpuhkan. Peluru yang diarahkan ke Ansel melesat begitu saja di udara, sedangkan peluru Ansel melesat ke arah kaki Clay dan meleset hingga hanya melukai tanpa bersarang di kaki. “Agh!” Clay memekik karena kakinya terkena peluru. Ansel jatuh ke aspal, punggungnya membentur aspal dengan posisi Aruna di atasnya. Clay berniat kembali melesatkan peluru, tapi Rio dengan cepat berlari ke Clay lantas menghantamkan pukulan ke wajah, hingga membuat Clay tersungkur di aspal. Rio menendang pistol Clay yang terlepas dari tangan dan jatuh ke aspal. Dia pun buru-buru membekuk agar Clay tidak melakukan hal gila lagi. “Lepaskan! Dia harus membayar semuanya! Dasar pembunuh!” t
“Kamu pikir bisa melakukan segalanya karena uangmu?” Ansel menatap Clay yang sedang menatap bengis ke arahnya. Dia melihat tatapan penuh kebencian dari mata Clay. Ansel sendiri masih bingung, kenapa Clay membencinya sedangkan dia sama sekali tak pernah merasa jika menyinggung Clay. “Kalau kamu memang merasa punya masalah denganku, hadapi aku tanpa melibatkan orang-orang di sekitarku,” ucap Ansel tegas sambil menatap tajam ke Clay. Clay tertawa terbahak mendengar ucapan Ansel. Dia terus tertawa seolah apa yang dikatakan oleh Ansel adalah sebuah lelucon. Ansel memasang ekspresi datar melihat Clay tertawa. Kini Ansel yakin jika Clay memang gila. “Kamu sudah membuat nyawa orang lain melayang, hingga orang sekitarnya menderita. Sekarang kamu berkata seperti itu? Kamu berpikir sudah menjadi orang yang bijak dengan mengatakan itu?” Clay tersenyum miring, tapi dari tatapan matanya tampak sebuah kepedihan. Ansel hanya diam mendengar ucapan Clay karena memang tak tahu apa-apa soal yang di
“Runa, kamu sudah bangun.” Bintang terlihat begitu lega saat melihat Aruna mulai menggerakkan mata. Ayana dan yang lain langsung mendekat saat mendengar Bintang bicara. Mereka sangat bersyukur karena akhirnya Aruna bangun. Aruna berusaha membuka kelopak mata yang terasa berat. Kepalanya pun masih sangat sakit, membuatnya meringis kesakitan. “Mana yang sakit, hm?” Bintang sangat cemas ketika melihat Aruna meringis. Aruna berusaha membuka kelopak mata karena mendengar suara Bintang, hingga dia akhirnya bisa melihat sang mommy. “Mommy,” lirih Aruna karena masih lemas. “Syukurlah.” Bintang sangat lega karena Aruna mengingat serta menyebut namanya. Semua orang memberi jeda agar Aruna bisa mendapatkan kesadaran sepenuhnya. “Di mana Ans?” tanya Aruna sambil mengedarkan pandangan perlahan ke seluruh ruangan tapi tak mendapati suaminya di sana. “Ans sedang ke kantor polisi. Mungkin sebentar lagi dia datang,” ujar Ayana menjelaskan. “Apa ada yang sakit?” tanya Bintang karena Aruna se