Untuk keluar demensi antara dunia gaib dan nyata, tidak perlu lagi bantuan dari Jawo. Lawen dan kecek sudah mampu membuka portal sendiri menggunakan mandau sakti, dengan sedikit tebasan mandau ke udara membelah lobang demensi yang menghubungkan ke dua dunia. Setelah portal terbuka lebar mereka segera masuk dan langsung muncul di tempat yang mereka inginkan.
Lawen dan Kecek langsung pergi ke rumah betang, ia sangat mengkhatirkan Enon yang berada di bawah kekuasa’an Manaf. Dengan cara mengendap-endap di balik pepohonan. Lawen berhasil masuk melalui pintu belakang, ia sangat hati-hati berpijak di anak tangga, takut di ketahui Manaf dan anak buahnya.
Dari Pintu belakang Lawen masuk dengan sangat pelan tidak sedikitpun berdenyit, ia menemukan Enon dengan keada’an yang sangat menyedihkan, tersimpuh memeluk kedua lututnya di depan tungku, bibirnya sangat pucat dan pandangannya sudah buram.
“Uma....!”
Lawen langsung memeluk tubuh Enon, lalu membawanya keluar rumah.
Mereka lari ke dalam hutan, namun salah satu dari anak buah Manaf melihat pergerakan mereka. Aksi kejar-kejaran sungguh sangat menegangkan, pergerakan Lawen tidak bisa cepat, karena ia berlari sambil menggendong Enon. Kecek melihat Manaf dan anak buahnya semakin dekat, ia memutuskan untuk menghadangnya seorang diri.
“Wen kamu dan Bue cepatlah menuju Pohon kembar.!”
Kecek bersiap dengan mandau yang mengkilat di tangan.
“Kamu yakin Cek.?”
“Hanya ini cara agar kita tidak tertangkap oleh mereka.”
Kecek mengisyaratkan dengan tanganya, agar Lawen segera membawa Enon ke Pohon kembar.
Lawen sebenarnya tidak ingin meninggalkan sahabatnya seorang diri, melawan Manaf dan 10 anak buahnya. Namun ia juga harus segera menyelamatkan Ibunya dari bahaya, dengan langkah pasti Lawen berlari hingga sampai ke Pohon kembar. Dengan tebasan mandau ke tengah pohon kembar, membuat portal demensi terbuka, ia dan Enon langsung masuk ke dalam portal.
“Ha...ha...ha..!”
Suara tawa Manaf dan anak buahnya.
“Besar juga nyalimu anak muda, berani menghadang kami seorang diri.”
Manaf meremehkan Kecek, yang seorang diri.
“Cuih....Menghadapi kalian tidak perlu orang banyak, kalian hanya sekelompok mahluk pengencut, Kalau merasa sakti, ayo kita duel satu lawan satu.”
“B4ngs4t.”
Manaf murka hingga ia langsung menyerang Kecek dengan mandau yang berapi-api.
Propa ganda Kecek berhasil, strategi yang ia gunakan adalah strategi seorang pisikolog. Kecek sudah memikirkan kalau ia langsung melawan 11 orang maka di pastikan ia akan cepat tumbang, dan ia khawatir Lawen tidak memiliki banyak waktu untuk kabur. Dengan memancing emosi Manaf, ia bisa mengulur waktu, walaupun sebenarnya kekutan mereka tidaklah seimbang.
“Ting....ting...Bruakk..” Suara mandau yang bergesekan dengan percikan api yang menyala-nyala.
Anak buah Manaf sebagian mengejar Lawen yang sudah terlalu jauh meninggalkan mereka, dalam pengejaran anak buah Manaf sudah kehilangan jejak, hingga memutuskan untuk kembali.
Pertarungan Kecek yang sangat sengit kini di dominsi oleh Manaf, dari segi kesaktian tentu Manaf lah yang paling unggul, karena dari Lahir Manaf sudah belajar ilmu kanuragan. Kecek tidak bisa menyerang balik, ia hanya bisa menghindar dan terus menghindar. Untuk mencari celah melarikan diri.
“Buuukk.....”
Serangan kuat dari Manaf menghantam dada Kecek dengan keras, hingga ia terlempar jauh dan tulang belakangnya membentur akar kayu besar.
Manaf terbang ke arah Kecek langsung mengayukan mandau yang mengeluarkan kobaran api, dengan tanggap Kecek menggenggam tanah lalu melempar tepat di wajah Manaf. Hingga matanya tidak bisa melihat, karena tanah masuk ke dalam matanya, Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Kecek untuk kabur, ia menggunakan mandau pemberian Jawo untuk membuat lobang demensi. Lalu melarikan diri ke demensi lain. Manaf sangat murka Kecek telah berhasil kabur, ia dan anak buahnya bergegas kembali ke rumah betang yang kini menjadi markas dan persembunyianya.
**********
Di sebuah taman istana. Putri Lisa duduk di atas bangku yang di hiasi penuh beraneka macam bunga, ia menyenandungkan lagu rindu untuk Syarif Janna, suara yang merdu mebuat burung-burung berhenti terbang dan bertengger di atas pohon, mendengarkan lantunan sya’ir demi sya’ir dari mulut Lisa.
*Senandung rindu*
-Tidak sengaja aku melihat bulan....
Seakan purnama telah datang, kilauan indah melingkari rembulan, seperti piringan emas yang memancarkan cahaya di kegelapan...
-Kini aku melihat hamparan taman, yang di tumbuhi bunga yang ber-mekaran, tersirat sebuah kenangan. Di sini kita tumbuh bersama bercanda bahagia penuh tawa...
-Terimakasih Abang engkau telah memberikan kebahagia’an, namun engkau lupa mengajarkanku artinya sebuah kehilangan, hingga kini aku kesepian.....
-Aku tau hidup terus berjalan, namun aku tidak mengerti dari sebuah perjalanan hidup, yang kini menghujan....
-Setiap hari aku hanya bisa berdo’a kepada sang tuhan, semoga engkau di sana mendapatkan kelapangan.....
Tetesan air mata Lisa membasahi pipi putihnya, hati yang hancur tidak bisa ia tahan. Ia amat kesepian tidak ada lagi teman untuknya curhat, ataupun orang yang selalu siap melindunginya. Besarnya cinta kepada Manaf sang pembunuh Abangnya, kini ia berusaha membuang jauh-jauh perasa’an itu. Cinta yang kini berubah menjadi sebuah dendam kepada Manaf, sebuah kepalan tangan mengisyaratkan dendam ini harus segera terbalaskan. Api dendam kini membakar hatinya, ia tidak mau lagi berdiam diri menunggu Manaf di tangkap.
“Ehem...ehemmm...”
Muhammad Janna memberi isyarat kehadirannya.
“Ayah. Sejak kapan Ayah di sini.?”
“Sejak tadi, Ayah terharu dengan senandungmu, tampaknya engkau lebih terpukul atas kepergian Abangmu, dari pada Ayah.”
Lisa langsung menghambur di tubuh Muhammad Janna, kini tangisnya meluap-luap, tidak mampu lagi ia bendung. Tangan hangat Ayahnya yang kini merangkul Lisa, cukup untuk meredakan hati yang gundah gulana.
“Mari Nak, kita sebaiknya pulang, sebentar lagi akan turun hujan.”
Mereka berjalan menuju ke dalam istana saling merangkul, kesedihan yang mereka rasakan sangat membatin, namun Anak dan Ayah mampu saling menguatkan. Di dunia nyata semua orang mengagumi Saranjana dan mencari-cari keberada’an kota gaib ini, bertepatan dengan film Saranjana boming di Indonesia, semua orang pergi menonton ke bioskop untuk mengetahui setitik cerita Saranjana, namun tidak dengan orang-orang yang dari Saranjana itu sendiri, mereka terpukul atas tragedi yang membuat putra mahkota meninggal. Sebuah negri yang memiliki predapan maju kini di liputi sebuah kekesalan, kebencian dan dendam.
“Ampun Paduka”
Seorang Prajurit mata-mata menghapiri Muhammad Janna.
“Ada kabar apa.?
“Ampun Paduka, saya membawa surat dari panglima Abdullah.”
Prajurit itu mengeluarkan 1 gejet dari balik jasnya.
Raja Muhammad Janna membaca pesan perihal kabar gembira, bahwa keberada’an Manaf telah di ketahui, dan Panglima Abdullah meminta izin untuk dikirim senjata dari Saranjana guna perlindungan diri, dan senjata melawan Manaf dan anak buahnya.
“Prajurit.”
Raja langsung memerintahkan untuk mengisi 2 mobil terbang, dengan full senjata yang akan dikirim ke dunia nyata.
“Ayah, apa tidak berlebihan? mengirim senjata sebanyak itu.”
“Apa maksudmu Putriku,? berbicara seperti itu.”
“Maksud Lisa, emmmmmm... Tidak apa-apa Ayah, Lisa hanya tidak fokus saja.”
“Ayah paham, kamu terlalu kecape’an akhir-akhir ini, lebih baik kamu perbanyak istirahat dulu.”
Lisa langsung berjalan meninggalkan Ayahnya menuju kamar, ia tidak mengerti kenapa hatinya sangat sakit ketika mendengar Manaf akan di bunuh, aku harus membuang rasa cinta ini jauh-jauh, bagaimana mungkin aku masih mencintai laki-laki yang menjadi pembunuh saudaraku sendiri.
Kini Lawen membawa Enon yang sudah tidak sadarkan diri ke rumah Jawo. Enon terbaring lemas di ranjang, ia sangat khawatir dengan kondisi Umanya. Ketika di periksa suhu tubuhnya sangat panas, kondisi Enon sekarang sangat kritis ia harus segera di obati kalau tidak nyawanya akan terancam. Tidak banyak Yang bisa di lakukan Lawen, ia hanya mondar mandir tanpa tau apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Umanya dalam kondisi kritis.Jawo yang seakan paham dengan situasi ini membawa racikan ramuan khusus untuk meredakan panas tubuh Enon, ia segera menyuruh Lawen untuk membalur seluruh tubuh Umanya dengan obat racikannya.“Jika Umamu tidak kunjung membaik, maka dia harus di minumkan minyak bintang.”“Aku tidak memiliki minyak bintang Kek.!”“Tenang saja, di sini aku banyak memiliki persedia’an.”Ucap jawo menenangkan Keada’an, Jawo langsung keluar dari kamar karena Lawen harus melepas pakaian Umanya, guna membaluri obat racikan untuk menurunkan panas tubuh Enon.Jawo melangkah masuk d
“Tenang anak muda, kamu sekarang berada di rumahku.”Ucap seorang laki-laki di balik pintu.“Kalian ini siapa,? kenapa aku berada di sini.?”Sosok laki-laki yang berwibawa, duduk di sebelah Kecek, ia memperkenalkan diri sebagai Kepala desa wono giri, yang terletak di pulau Jawa,namanya adalah Parjo. Dan wanita cantik yang selama ini merawatnya adalah Sarah anak gadisnya. Kecek telah pingsan selama 2 hari, seorang pemuda dari desa menyelamatkannya, lalu membawa ke rumah Parjo. Obat-obatan herbal beruntung bisa menyembuhkan luka bakar di dada Kecek. Selama kritis 2 hari Kecek tidak makan dan minum, yang membuat perutnya kini berbunyi.“Sarah cepat kamu ambilkan makanan ke dapur, untuknya.”Sarah yang sedari tadi duduk di pojok kamar, bergegas pergi ke dapur menuruti perintah Ayahnya.“Kamu jangan terlalu banyak bergerak dulu, lukamu belum sepenuhnya sembuh.” Parjo mencegah kecek, yang memaksakan diri untuk bangkit dari pembaringannya.Sarah telah datang membawa sepiring nasi lengkap den
Di balik semak-semak Sarah bersembunyi, di bawah air terjun Kecek sedang membersihkan tubuhnya. Lekukan tubuh Kecek begitu erotis dan seksi, otot-ototnya yang kekar membuat penampilannya sebagai laki-laki menjadi sempurna. Sehingga Sarah sangat terobsesi dengan Kecek, mata gadis ini tidak berkedip sedikitpun memperhatikan, setiap inci tubuh Kecek yang telanjang setengah badan.Kecek yang sudah selesai mandi, beranjak dari sungai mengerikan bajunya, ia duduk di atas batu, merenung seraya melempar batu kerikir ke dalam sungai. Sarah berjalan mengendap-endap dari belakang, ingin mengejutkannya, namun lebih dulu di ketahui Kecek, dan melempar batu kecil tepat di kepala Sarah, hingga ia menjerit sakit.“Auuuuuuuu... Sakittt....”“Mau apa kamu.? Mengintip orang mandi.” Tanpa menoleh Kecek menodungnya langsung dengan pertanya’an.Ck... Sarah kesal, kenapa aku melakukan tingkah konyol ini. Membuat diri ini sangat malu, niat hati ingin mencoba memeluknya dari belakang, dan berpura-pura tidak
Dari kejauhan Lawen terus mengintai pergerakan Manaf dari balik semak-semak, ia tidak melihat keberadaan sahabatnya Kecek. Selama kurang lebih tiga hari ia tidak berani muncul, takut di ketahui akan keberadaannya. Sekarang Lawen sungguh hati-hati dalam mengambil tindakan, ia tidak mau perjuangan yang baru ia lakukan menjadi sia-sia, ia bertekat akan membersihkan nama baiknya di kota gaib Saranjana. Dan mencari keberadaan Kecek dalam kondisi hidup atau mati.Di sebuah warung ia sungguh terkejut melihat photo dirinya yang terpampang sebagai seorang boronan internasional. Begitu serius ternyata kasus yang ia hadapi, beruntung ia sekarang memakai kacamata dan topi hitam, di lengkapi masker di wajahnya. Sehingga tidak mudah orang di sekitar untuk mengenalinya.Panglima Abdullah kini melebarkan misi pencariannya, dengan merekrut anak buah dari para pereman sekitar, ia kini lalulang dengan motor supra kesitu kemari beserta 5 anak buahnya. Dari kota gaib Saranjana. Di tambah ia kini memiliki
Semua sangkalan Lawen tidak di gubris sedikit pun oleh Abdullah, sifatnya yang garang dan penuh amarah ini selalu tidak memberi ampun kepada orang yang telah ia tangkap. Itulah sebabnya raja memilihnya sebagai Panglima tertinggi keraja’an Saranjana, selain bengis Abdullah memiliki sisi lain di dalam dirinya. Ia memiliki rasa peduli dan kasih sayang yang sangat dalam pada ibunya. Waktu dan lingkungan yang menenggelamkan sisi baik pada dirinya. “Ampun baginda. Panglima Abdullah sebentar lagi sampai ke istana membawa seorang boronan yang bernama Manaf.” Seorang penjaga gerbang melapor di hadapan Muhammad Janna. “Haaa....haa...haaa.” Tawa Raja menggelegar ke seluruh ruangan. “ Siapkan penyambutan yang hangat untuk mereka.” Sebuah karpet mereh di hamparkan sepanjang jalan menuju singgasana, Abdullah masuk dengan menyeret laki-laki yang telah di tutup kain hitam di kepalanya. Ia melempar tubuh kurus itu ke hadapan raja, hingga tersungkur. “Buka penutup kepalanya.” Perintah sang Raja. Dua
Walaupun persidangan tidak bisa menyatakan Lawen bersalah, tetap saja ia harus di masukan lagi ke dalam sel tahanan. Karena perlu beberapa pertimbangan lagi dari para tetinggi kerajaan dan persetujuan dari sang Raja.“Apa kabar, anak muda.?” Umar menyambutnya dalam tahanan.“Seperti kamu lihat orang tua, malaikat maut masih enggan untuk membawaku.”“Malaikat maut mungkin jijik kepadamu, sampai enggan mendakatimu.”Mereka sungguh sangat homoris tertawa bersama, walaupun terkurung dalam ruangan kecil, seperti tiada beban dari keduanya. Setelah beberapa hari, prajurit kembali membawa Lawen ke hadapan Raja. Kali ini pandangan Muhammad Janna sangat berbeda, ia begitu ramah berbicara pada Lawen, begitu juga dengan Abdullah. Kekek Jawo juga turut andil di dalam ruang singgasana, mereka sudah berjejer duduk di kursi masing-masing beserta orang penting.Lawen mendelik matanya ke arah Abdulah lalu menghadap Raja. “Ampun Raja, apakah saya akan dihukum mati sekarang.?”Haa haaa haaa Raja tertawa,
Manaf dan anak buahnya sedang sibuk mengangkut kotak kayu yang sangat besar, ke dalam mobil box entah apa isi di dalam kotak itu. “Cepat-cepat jangan sampai ada yang ketinggalan.”“Aku curiga di dalam kotak itu, adalah hasil rampokan.” Ucap Lawen yang bersembunyi di dalam semak-semak bersama Kecek dan Abdullah.“Emang apa dalam kotak kayu itu.?”“Kunyit Cek.”“Orang Saranjana doyan makan kunyit ya Wen.”“Bodoh, kunyit itu artinya emas.” Lawen memukul kepala Kecek, sehingga ia mendesis kesakitan.“Panglima, kapan kita pergoki mereka.?”“Sekarang lebih baik kita intai dulu, kemana mereka membawa kunyit itu.”Semua sudah selesai terangkut pintu belakang di kunci oleh salah satu dari anak buah Manaf, dan mobil box segera melaju meninggalkan rumah betang. Lawen dan kawan-kawan langsung mengejar mengunakan 2 motor trail, jalan yang hanya dari tanah liat membuat laju mobil box sangat lambat.“Wen sebenarnya kamu bisa enggak sih pake motor.!”“Bisa lah, ini buktinya kita di atas motor.”“Iya
Dari Sampit Lawen dan kawan-kawan pergi ke Saranjana menggunakan portal demensi dari kekuatan mandaunya, mereka menuju kediaman Kakek Jawo. Dari arahan Abdullah yang telah paham atas kelicikan Ayah dan adik tirinya, mereka langsung masuk ke halaman rumah dengan sangat marah.“Manaf, aku tau kamu berada di sini.” Teriak Abdullah dengan keras dan lantang.Jawo dan Manaf keluar dari rumahnya dengan senyum menyeringai, mereka sudah menunggu Abdullah.“Akhirnya sekian puluh tahun kamu kembali anak ku.” Jawo tersenyum licik menyambut Abdullah.“Cuih... dasar orang tua licik, aku sudah terkecuh karna olahmu ternyata kamu adalah dalang dari semua rencana ini.”Jawo bertepuk tangan. “Tidak aku sangka anak ku secerdas ini.”Lawen dan Kecek semakin bingung, mereka tidak menyangka Jawo yang mereka kira berada di pihak mereka adalah penjahat yang sebenarnya.“Dimana Uma ku.?” Ucap Lawen yang teringat Enon masih dalam rumah Jawo.“Jika kamu ingin Uma mu selamat lawan dulu aku.” Ucap Manaf santai se