Share

Heran

🏵️🏵️🏵️

Aku dan Mas Fandy saling berpandangan. Aku yakin kalau dia juga pasti kaget mendengar suara Mbak Sandra. Jangankan hari biasa, saat lebaran Idul Fitri saja, wanita itu tidak pernah berkunjung ke rumahku, padahal kami bertetangga sudah menginjak delapan tahun.

Akan tetapi, aku tidak pernah membalasnya. Aku dan Mas Fandy selalu bersilaturahim ke rumah Mbak Sandra jika kami tidak mudik ke kampung halaman orang tuaku. Mas Fandy selalu memberikan pengertian kepadaku agar tidak membalas kejahatan dengan kejahatan juga.

Sebenarnya, masih banyak perbuatan tidak pantas yang Mbak Sandra tujukan kepadaku. Tidak hanya sindiran yang terlontar dari bibirnya, tetapi juga sikap yang selalu ingin ikut campur dengan urusan keluargaku.

Kadang aku ingin membalasnya dan memintanya agar tidak mengusik keluargaku. Namun, beberapa tahun berlalu, aku tetap tidak mampu melakukan itu. Aku masih memikirkan perasaannya jika aku sampai mengeluarkan kata-kata kasar.

“Dek, buka pintunya. Nggak enak sama Mbak Sandra.” Mas Fandy memegang lenganku.

“Iya, Mas.” Aku pun beranjak menuju ruang tamu.

“Kok, lama buka pintunya? Lagi bermesraan, ya? Gini, nih, kalau rumah nggak ada belnya, harus teriak.” Ya ampun, baru juga buka pintu, kata-kata Mbak Sandra langsung membuatku kesal. Padahal dia biasa berteriak jika ingin menunjukkan kesombongannya. Namun, aku tetap tersenyum di depannya.

“Mbak ada-ada aja. Oh, ya … tumben Mbak berkunjung ke rumahku.” Aku penasaran dengan kehadirannya di rumahku.

“Iya, nih, aku mau kasih roti bakar. Tadi Revan salah beli rasa. Kami sekeluarga, kan, sukanya rasa cokelat, eh, dia malah beli rasa keju. Kan, sayang kalau dibuang. Lebih baik kasih tetangga.”

Tidak hanya kedatangannya yang membuatku heran, tetapi juga tujuannya. Kesombongannya itu tetap saja melekat pada dirinya. Apa dia berpikir kalau dia bebas melakukan apa pun terhadap keluargaku?

Mungkin benar jika Revan salah beli rasa roti bakar yang kini ada dalam genggaman Mbak Sandra, tetapi harusnya wanita tersebut tidak perlu melontarkan alasan seperti itu hingga memilih memberikannya kepadaku. Untuk apa? Supaya dia terkesan menyumbangkan makanan yang tidak disukai keluarganya?

Arrrggghhh! Dia telah berhasil menambah dosaku malam ini. Aku pun menerima roti bakar pemberiannya lalu mengucapkan terima kasih. Aku berusaha bersikap tenang karena tidak ingin berdebat atau mencari masalah dengannya. Terserah dia berpikiran seperti apa setelah pergi meninggalkan rumahku.

🏵️🏵️🏵️

Aku tidak habis pikir kenapa tetangga seperti Mbak Sandra tampak santai mengeluarkan kata-kata menyakitkan terhadapku. Entah apa kesalahan yang aku perbuat hingga dirinya seolah-olah ingin menunjukkan pembalasan.

Aku juga masih heran, kenapa Revan bisa salah beli rasa roti bakar yang disukai keluarganya. Apa mungkin dia sengaja? Namun, untuk apa dia melakukan itu? Eh, ada yang janggal menurutku setelah melihat Ratu tersenyum sambil menikmati roti bakar tadi. Dia juga sibuk memandangi layar ponselnya.

Sebelumnya, dia belajar di kamar, tetapi dirinya langsung keluar ketika aku menggerutu di depan Mas Fandy karena tidak terima dengan sikap Mbak Sandra. Apa dia merasa senang mengetahui tetanggaku itu mengantarkan roti bakar tersebut?

Ya, aku tahu kalau Ratu sangat menyukai roti bakar rasa keju, tetapi sikapnya tidak perlu berlebihan seperti itu. Harusnya dia mengerti tindakan Mbak Sandra yang menyakitkan dan seolah-olah merendahkan keluargaku.

Ucapan Mbak Sandra tadi menyimpulkan seolah-olah keluargaku pantas menerima makanan yang tidak mereka inginkan. Terus terang, aku merasa sakit mendengar apa yang keluar dari bibirnya. Dia benar-benar tidak memiliki perasaan.

“Semangat banget kamu makan roti pemberian tetangga? Kayak nggak pernah makan aja.” Aku menghampiri Ratu ke meja makan.

“Kebetulan banget, nih, Ratu pengen makan roti bakar, Mah.”

“Tapi Tante Sandra kasih ke kita karena keluarganya nggak doyan, bukan karena sengaja untuk berbagi.” Aku memberikan penjelasan kepada Ratu.

“Biarin, ah, Mah. Yang penting Ratu bisa makan.”

“Kalau kamu pengen makan sesuatu, kan, tinggal bilang sama Mama atau Papa.”

“Sekali-sekali makan pemberian tetangga, kan, nggak apa-apa, Mah.” Bisa-bisanya Ratu berpikiran seperti itu.

“Tapi Mama tetap nggak suka dengan cara Tante Sandra, Sayang.” Aku mencoba memberikan pengertian kepada anakku itu.

“Kenapa, sih, Mah, nggak coba baik-baik aja dengan tetangga? Ratu lelah dengar Mama ngomel mulu tentang Tante Sandra.” Aku terkejut mendengar ucapan Ratu. Selama ini, dia tidak pernah bicara seperti itu. Dia bahkan pernah mengaku kesal melihat kesombongan Mbak Sandra yang selalu pamer. Ada apa dengan anak gadisku itu?

🏵️🏵️🏵️

Aku jadi ingat waktu Revan tadi meninggalkan rumah ini. Tatapannya sangat berbeda ketika melambaikan tangan kepada Ratu. Padahal selama ini, dia tidak pernah menunjukkan sikap berlebihan di depan anakku itu. Kenapa mereka tiba-tiba terlihat sangat dekat?

Balasan lambaian tangan Ratu juga menunjukkan kalau dia dan Revan bersikap bukan hanya sekadar teman biasa. Mungkinkah mereka sedang jatuh cinta, atau justru sedang menjalin hubungan? Arrrggghhh! Kenapa aku berpikir terlalu jauh? 

Tidak! Ratu tidak mungkin secepat itu jatuh cinta terhadap lawan jenis di usia yang baru menginjak lima belas tahun. Pasti dia mengikuti jejakku yang lebih mementingkan sekolah daripada menjalin hubungan dengan seseorang. 

Dulu, aku memiliki kekasih saat usia delapan belas tahun dan telah lulus SMA. Pertemuanku dengan pacar pertamaku juga di kampus ketika kami mengikuti ospek. Jadi, aku tidak yakin kalau Ratu secepat itu mengenal cinta. 

Ratu juga tidak mungkin mengikuti jejak Mas Fandy yang polos dan lugu. Laki-laki itu belum pernah menjalin hubungan dengan wanita lain sebelum bertemu denganku. Tidak sedikit yang menyebutnya sebagai kulkas dua pintu.

Aku ingin tertawa jika mengingat awal pernikahan kami enam belas tahun yang lalu. Aku seolah-olah mengajari Mas Fandy untuk menciumku. Ya ampun, kenapa aku harus mengingat kejadian memalukan itu? Hal itu sering dia jadikan sebagai bahan untuk mengejekku hingga sekarang. 

“Kok, Mama jadi diam?” Ratu membuyarkan lamunanku.

“Tumben kamu lebih bela tetangga daripada Mama. Padahal dulu, kamu nggak suka lihat Tante Sandra karena sering pamer.” Aku ingin tahu apa alasan yang akan Ratu berikan.

“Aneh aja kalau nggak akur sama tetangga.” Jawabannya sungguh di luar dugaan.

“Aneh apanya? Kan, Tante Sandra yang selalu ngundang emosi Mama.”

“Yah, Mama bawa santai aja.” Ratu benar-benar berubah.

“Mama tetap santai, kok, di depan Tante Sandra.”

“Tapi kalau di rumah, Mama ngomel mulu. Ratu lama-lama pusing, Mah.”

“Sikap kamu aneh banget. Jangan bilang kalau kamu lagi dekat dengan anak Tante Sandra. Jangan buat Mama berpikiran jauh.” Aku langsung mengucapkan apa yang aku pikirkan.

“Apaan, sih, Mah. Ratu mau ke kamar dulu. Ratu udah kenyang.”

Aku merasa kalau Ratu sengaja menghindar. Mungkin sebaiknya aku lebih memperhatikan gerak-geriknya untuk memastikan apakah dugaanku benar atau salah atas perubahan sikapnya. Aku tidak terima jika dia menjalin hubungan dengan anak Mbak Sandra. 

🏵️🏵️🏵️

Pagi ini, aku kembali kesal melihat sikap Mbak Sandra. Entah kenapa dia selalu mengundang amarahku. Dia bersikap seolah-olah aku adalah pesaing beratnya, padahal aku tidak pernah merasa melebihi apa pun yang dia miliki. 

“Pagi, Bel. Kok, kelihatan murung?” Wanita itu meyapaku yang sedang menyiram tanaman.

“Pagi juga, Mbak. Ternyata Mbak perhatian banget, ya. Tahu aja kalau aku lagi bad mood pagi ini.” Aku memberikan balasan dengan santai.

“Kan, sama tetangga harus perhatian.”

“Perhatian dan kepo itu beda tipis, loh, Mbak.” Aku sengaja menyindirnya.

“Jadi, menurut kamu, aku kepo?” Wajahnya tampak mengalami perubahan.

“Loh, siapa yang bilang Mbak kepo? Jangan salah paham, dong, Mbak.”

“Kamu secara tidak langsung nuduh aku kepo.”

“Nggak perlu marah atau kesal kalau memang nggak benar.”

“Halah! Kamu itu sok bijak dan sok paling bisa semuanya, padahal hidup kamu gitu-gitu aja dari tahun ke tahun. Nggak ada perubahan.”

“Apa maksud Mbak?” 

Terus terang, aku tidak terima dengan ucapannya yang seolah-olah merendahkan hidupku. Dia yang selama ini selalu menyakiti perasaanku, tidak pernah aku balas. Baru kali ini, aku memberikan balasan sindirin, itu juga karena aku masih kesal dengan sikap Ratu yang tiba-tiba berubah dan lebih membela tetanggaku itu.

“Lah, kamu nanya? Pikir aja sendiri. Makanya, jangan sok ngatain orang, tapi nggak ngaca.”

Apa? Bisa-bisanya dia mengeluarkan kata-kata seperti itu. Mungkin dia tidak sadar kalau usianya sepuluh tahun lebih tua dariku. Harusnya dia bisa memberikan contoh yang baik dan jadi panutan untuk orang yang lebih muda darinya. Namun, sepertinya kedewasaan seseorang tidak bisa dinilai dari umur. Itu yang terjadi terhadap Mbak Sandra.

“Harusnya makin tua, makin bijak. Itu yang aku tahu.” Akhirnya, kesabaranku untuk menghadapinya selama ini, telah terkikis.

“Keterlaluan kamu, Bel.” Dia pun membuka pintu pagar rumahnya lalu keluar. Apa yang akan dia lakukan?

==========

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status