Saking terkejutnya, Herbert lantas duduk dan terus mencecar pertanyaan. “Apakah ada orang yang pernah datang ke rumah kita? Katakan padaku, Riley!” Herbert menghunuskan tatapan tajamnya ke arah bola mata Riley.
“Kita tinggal di tengah hutan yang tidak pernah terjamah oleh orang luar. Tidak ada orang yang tahu keberadaan kita. Aku tidak mengerti, Kak, kenapa sampai sekarang kau masih menahan kami. Janjimu kepada Kak Avraam kita akan kembali ke desa ketika Brockley sudah berumur delapan tahun seandainya mereka kalah perang. Jika mereka menang perang, tidak perlu kita berlama-lama mengasingkan diri. Tujuan kita mengasingkan diri supaya kita dan Brockley tetap aman. Sebagian penduduk desa yang mengasingkan pun sama seperti kita. Seandainya mereka menang perang, untuk apa berlama-lama tinggal di hutan ini?” Riley menumpahkan semua kekesalannya setelah hampir dua puluh tahun mengasingkan diri.Padahal, bukan jawaban itu yang diharapkan oleh Herbert. Sebenarnya Herbert hanya ingin tahu siapa lelaki yang dicintai oleh Riley sementara hanya ada tiga orang di dalam rumah. Dia pikir, tidak mungkin anak dan keponakannya. Dan jika lelaki itu dia sendiri, kenapa Riley membalas omongannya dengan cara membentak?Herbert kembali mengulangi pertanyaannya. “Seseorang yang pernah kau kenal sekitar dua puluh tahun lalu?”Tidak lama Riley berpikir. “Ya, aku sudah mengenalnya hampir dua puluh tahun yang lalu.”Herbert terkenang dengan sekumpulan lelaki yang dekat dengan Riley sewaktu di desa. Bisa jadi teman belajar di perguruan. Atau seorang pedagang di pasar. Gurunya? Tetangganya?Tidak bisa terus-terusan Herbert menerka-nerka. “Katakan siapa lelaki yang kau cintai!” desak Herbert.Makin tak nyaman, Riley pun tak mengindahkan omongan Herbert terakhir itu. Dia melenggang meninggalkan rumah, hanya kalimat permisi yang terucap. “Sore kami akan pulang.” Riley segera menghampiri Brockley dan Lothar.Meskipun belakangan ini Riley memberikan perhatian besar, bukan berarti dia lantas berharap sesuatu dari Herbert. Baginya, Herbert seperti kakaknya sendiri, layaknya Avraam maupun Megan.Namun, tidak menurut Herbert. Dia beranggapan bahwa sikap baik Riley selama ini seperti sebuah tanda, terlebih lagi selepas Yara meninggal dunia, Riley baginya bak seorang kekasih.Tidak kehabisan cara, akhirnya suatu ketika, begitu tubuhnya agak sehat, Herbert menyuruh Brockley dan Lothar untuk pergi ke pasar. Baru kali ini dia memperbolehkan yang lain pergi jauh.“Sudah lama kita tidak berbelanja. Gandum dan rempah-rempah kita sudah menipis. Kalian berdua juga beli daging dan buah-buahan yang banyak untuk persediaan. Pergilah!” Herbert memberikan mereka dua keping emas dan tiga puluh keping perak.Karena untuk kali pertama keluar hutan, Brockley dan Lothar melonjak kegirangan. Mereka berdua senang nian rasanya bisa menikmati suasana luar. Parahnya, dua lelaki itu bahkan tidak pernah bertemu orang asing sekali pun.Ketika mereka berjalan kaki menyusuri hutan sekitar lima belas menit, Lothar tiba-tiba dikejutkan sesuatu. “Adik, kita tidak bawa senjata apa pun. Bagaimana kalau kita bertemu penjahat nantinya?”Brockley tersentak. “Benar juga Kak. Kita harus bawa senjata biar tetap aman. Baiklah, Kakak tunggu di sini, biar aku saja yang pulang sebentar.” Brockley membalik badannya lalu setengah berlari.Begitu hampir mendekati rumah kayu itu, tiba-tiba Brockley mendengar jeritan Riley dari dalam rumah. Tidak lama berselang terdengar suara pecahan keramik.Ctar!“Kak Riley!” gumam Brockley menyeringai wajahnya. Begitu dekat pintu, Brockley pun melompat tinggi lalu meluruskan kaki kanannya dan menerjang pintu.GAR!Pintu itu langsung terbuka dan rusak meski tadi dikunci dengan rapat.Mengagetkan, Brockley melihat pamannya mau menyergap tubuh molek Riley.Sementara Riley sudah terpojok dan raut wajah yang sangat takut.“Apa yang Paman lakukan pada Kak Riley?!” Brockley terbelalak dan makin menyeringai. “Menjauh dari Kak Riley!” Brockley melangkah maju sambil mengepalkan tinjunya.Herbert mendengus marah dan menatap nyalang penuh emosi. “Kau Brockley keponakanku! Kenapa kau pulang? Apa kau mau durhaka sama pamanmu?”“Aku pulang mau mengambil senjata karena takut bakal bertemu penjahat.” Brockley menatap mata pamannya lurus-lurus dan berkata dengan sangat dingin. “Ternyata, penjahatnya ada di sini.”“Kau jangan pernah berpikiran yang macam-macam sama pamanmu!” sergah Herbert berang.“Jika Paman tidak jahat, kenapa Kak Riley sampai ketakutan seperti itu?”Riley menyeret tubuhnya yang lemah dan mendekat ke Brockley. Jika Brockley tidak pulang, asli bisa diperkosa dia oleh Herbert. Dia berkata dengan lemah, “Pamanmu jahat. Dia memasaku untuk menjadi istrinya, sementara aku tidak mau dan tidak pula cinta padanya padahal sudah sangat sering aku bilang padanya.”Saat ini, Brockley sudah dewasa dan tentu bisa membaca situasi. Dia banyak belajar dari dua orang ini. Herbert dan Riley banyak memberikan pelajaran berarti padanya sehingga menjadikan dirinya lelaki yang matang dan cerdas.Brockley menyesali perbuatan Riley. Kenapa Riley tidak pernah bercerita padanya selama ini? Mengetahui bahwa pamannya bermaksud jahat, apalagi bertindak mesum, Brockley sangat marah. Dia tidak peduli seberapa baik pamannya kalau ternyata punya maksud yang sangat buruk.“Paman Herbert mau memperkosa Kak Riley?” sentak Brockley sambil menyipitkan matanya. Dia memasang kuda-kuda yang sudah sangat sering diajarkan oleh pamannya. Siap bertarung.“Jaga sikapmu, Brockley! Dengan melakukan gerakan seperti itu dan berkata keras di hadapanku, berarti kau tidak tahu arti terima kasih dan tidak menghargai pamanmu. Kau dua puluh tahun aku besarkan dan aku didik, sementara kau menantangku? Keponakan macam apa kau?” Herbert mulai naik darahnya.“Aku selalu menghormati dan menyayangimu, Paman. Aku sudah menganggapmu sama seperti ayah kandungku sendiri. Jangan bilang kalau aku durhaka padamu. Tapi perlu Paman ketahui juga. Aku pun sudah menganggap Kak Riley layaknya ibu kandungku sendiri. Dia pun sangat berjasa bagiku. Aku menghormati dan menyayanginya, maka dari itu kalau Paman kurang ajar padanya, wajar saja aku sangat marah. Aku tidak suka jika ada orang, siapa pun, yang mau melukai perasaan ibuku, apalagi orang itu mau menyetubuhinya.”Menyaksikan Brockley yang begitu gagah, Herbert malah tersenyum tipis sambil menggeleng. “Kau besar karenaku, Brockley. Kau bisa seperti ini karena aku.”“Apakah Paman mau hitung-hitungan?”“Tidak. Aku tidak mau hitung-hitungan pada mu. Tapi, aku heran kau malah menantang pamanmu sendiri. Jaga bicara dan ekspresi wajahmu di hadapanku. Aku tidak suka kau seperti itu.”Brockley maju dua langkah sambil menyingsingkan lengan baju. “Aku lebih tidak suka kalau Paman bersikap seperti itu kepada Kak Riley. Jika Kak Riley tidak mau menjadi istri Paman, jangan dipaksa! Tindakan Paman yang mau menyetubuhi Kak Riley adalah sebuah kejahatan besar bagiku. Karena itu, aku mau membelanya!”“Kau mau bertarung dengan Paman?”“Ya! Aku mau bertarung dengan mu, Paman!”Riley yang masih syok dan ketakutan tak bisa berbuat apa-apa. Sungguh, dia sangat menghormati Herbert layaknya dia menghormati Avraam. Dia juga menyayangi Brockley layaknya menyayangi anak kandungnya sendiri. Namun, dia tidak bisa membela siapa pun kali ini. Dia pasrah.Di luar rumah, sekitar pekarangan, Brockley sudah bersiap. Dia menatap pamannya dan berkata sebelum bertarung. “Apa alasan Paman tidak mau memulangkanku?”Meski belum sembuh total seratus persen, Herbert menggagahkan diri. “Benar kau mau tahu apa alasannya, keponakanku?”“Katakan saja padaku, Paman!” sergah Brockley dengan raut wajah penasaran.Herbert menarik napas dalam-dalam, bagaimana pun, dia sangat sayang sama Brockley. “Saat kau berumur lima belas tahun, aku mendapatkan info bahwa ayahmu telah meninggal karena diracuni oleh pengkhianat kerajaan. Ya, ayahmu pernah menjadi raja. Sejak itu, ibumu diangkat menjadi Ratu menggantikan posisi ayahmu. Dua tahun lalu, adikmu bernama Grock Leofwine dinobatkan menjadi Raja
Jika mereka berdua pulang dengan menggunakan kereta kuda seperti pada saat pergi, mereka hanya butuh waktu sekitar lima sampai tujuh hari. Sayangnya, tiga tahun lalu kuda tersebut mati meskipun Brockley sangat sering memacunya. Sementara perjalanan dengan berjalan kaki bisa saja menempuh waktu sampai dua puluh hari, bahkan lebih dari itu.Mengingat sosok Paman Herbert, lantas Brockley pun berkata dengan bijak. “Semenjak menghilangkan prasangka baik terhadap manusia, saat itulah aku mengerti arti kehidupan. Selama ini aku terjebak dalam kebaikan yang keliru. Orang yang aku anggap baik, sebenarnya tidak sepenuhnya baik.”Karena sepakat, Riley hanya menganggukkan kepala dengan tersenyum tipis. Tidak disangka hanya dengan satu kejadian saja, Brockley bisa mengambil pelajaran berharga dari situ. Riley terpukau akan kalimat yang baru saja terucap itu.Kemudian Brockley menegaskan pandangannya dan melanjutkan dengan nada yang tegas dan menggetarkan, “Selagi dia berasal dari tanah, dia tetap c
“Siapa orangnya?” Riley dengan cepat bertanya karena saking penasaran.“Bukan Bibi Yara. Sementara perempuan yang aku kenal hanya dua orang.”Riley menyetop jalannya. Dia terpaku dalam diam, dipaksa berpikir sendiri padahal dia pun tahu siapa orangnya. Namun, dia tak merespons.Melihat Riley berhenti, Brockley pun turut berhenti. Dia membalik badannya lalu berkata, “Ada apa Kak Riley?”Riley menunduk malu sambil menggeleng pelan. “Tidak ada apa-apa. Ayo kita lanjutkan perjalanan.”Melihat ekspresi canggung di wajah Riley, Brockley tak mau membuat perempuan itu terus terkurung dalam suasan hati yang menggelisahkan. Brockley mulai paham bagaimana cara mengubah suasana yang tegang agar menjadi cair. Jangan sampai perjalanan panjang ini tampak membosankan.“Kau adalah perempuannya, Kak Riley.”Untuk menepis kegelisahannya, Riley pun memaksakan diri memanggil Brockley dengan panggilan berbeda, “Nak, kau tidak boleh bercanda!”Tiba-tiba Brockley berhenti dan tercenung. “Kapan terakhir kau m
Satu yang lainnya berteriak dengan pandangan licik. “Ngapain kalian berdua di tengah hutan he? Kalian berdua mau mesum? Apa kalian sudah menikah? Kalian tidak mungkin suami istri karena untuk apa kalian mesum di sini!? Kau juga terlalu muda untuk ibu-ibu itu, Anak muda!” Si botak itu terus mencerocos, nanya sendiri jawab sendiri.Si rambut gondrong menatap kejam. “Anak muda, kau akan kami biarkan mesum di sini, lalu setelah itu pergilah, tapi tinggalkan semua apa yang kalian bawa!” Lelaki itu mengawasi dua karung besar dan satu kantong kecil. Mereka berdua pikir, sepertinya lelaki dan perempuan ini cukup kaya kalau dilihat dari apa yang dibawa. Sepertinya mereka akan menjadi kaya hari ini. Karena sudah lebih dari lima hari ini belum dapat mangsa, ketika melihat korban yang sepertinya lemah, maka dua orang itu tampak semangat sekali.Si botak kembali menebas-nebaskan dahan-dahan di dekatnya, bermaksud menggertak dan menakut-nakuti. Si pirang mengeluarkan pisau kecil dan cambuk lalu mem
Butuh waktu perjalanan selama setengah hari untuk bisa sampai di pasar. Selama dalam perjalanan, ada banyak hal yang mereka bahas. Untuk menghilangkan bayang-bayang dua mayat barusan, Brockley coba menghibur Riley yang masih saja keringat dingin tubuhnya.“Aku harap di pasar nanti ada yang menjual sayap. Hm, dalam karya penyair ternama, katanya bidadari itu bersayap.” Kemudian dia memperhatikan sekujur tubuh Riley dengan mimik wajah yang menghibur. “Riley, mana sayapmu? Apa transaparan?” Brockley mengerutkan alisnya sambil menyunggingkan senyum halus.Wajah yang tegang itu lambat laun mulai mendatar, tanpa ekspresi. Ketika Brokley terus mencecar dengan berbagai gombalan, akhirnya senyum manis pun terbit dari wajah manis Riley. Tapi dia malu memperlihatkan senyumnya. Terpaksa dia membuang pandangannya ke arah pepohonan rimbun. Tanpa berkata apa-apa.Deg!Brockley berusaha bijak. “Kepahitan hidup mengajarkan kita akan banyak hal. Akan tetapi, kenikm
Setelah mendirikan sebuah kemah untuk mereka beristirahat, Brockley menghidupkan api unggun untuk memberikan kehangatan di sekitar sana. Dia akan tidur di luar sementara Riley tidur di dalam.Namun, Riley tidak bisa tidur. Dia duduk di samping Brockley sambil melihat api di hadapan mereka. “Aku mau ngobrol sama kau, Brockley. Aku heran, kenapa kau bisa sangat peduli dengan dua pengemis tadi?”Brockley meneguk air hangatnya lalu berkata, “Walaupun aku belum pernah merasakan apa yang mereka rasakan, tapi aku berusaha untuk merasakannya. Sungguh pedih. Aku pastikan mereka merasakan pedih di hatinya ketika dicaci, dihina, ditertawakan, diusir. Aku membayangkan jika aku di posisi mereka. Maka dari itu, aku tidak tega melihat orang dizalimi.”Setelah hening beberapa saat, dia melanjutkan, “Dan aku lebih tidak suka dengan para penjaga pasar itu. Seandainya mereka sudah keterlaluan, bisa jadi aku berekelahi dengan mereka. Aku sudah banyak membaca kisah-kisah pembu
Seiring berjalannya waktu, mereka pun sampai di sebuah desa yang terkenal sebagai tempat penghasil biji besi terbesar. Desa itu bernama Desa Ferro. Sebagian besar biji besi dari sini dikirim ke kota dan desa lain untuk kemudian diolah menjadi berbagai macam keperluan, seperti senjata, baju zirah, kendaraan, perabot, dan lainnya.Ketika dalam perjalanan, Riley menderita sakit yang cukup parah, dikarenakan sudah lama tidak menempuh perjalanan jauh dan berhari-hari. Dengan terpaksa Brockley mencarikan tempat pengobatan yang berada di Desa Ferro. Setelah bertanya dengan warga sekitar, akhirnya dia pun sampai di sebuah rumah yang dinding dan pagarnya dari besi.Mereka berdua mesti menunggu dan antre bersama pasien lain yang berada di sekitar pekarangan rumah. Masih ada lima pasien lagi sebelum giliran Riley tiba. Karena tabib Saxon merupakan satu-satunya orang yang ahli medis dan pengobatan di sini, maka seluruh warga desa kalau sedang sakit dan terluka, pasti bakal dil
Begitu obrolan mereka usai, Brockley pun segera beranjak dan kembali masuk ke kursi anteran. Dia duduk pas di samping Riley.Rombongan meninggalkan tempat pengobatan, menuju kediaman rumah Kepala Desa, dan membicarakan apa yang akan mereka bicarakan selanjutnya.Pada saat menunggu, Brockley mengorek informasi lagi kepada orang-orang di sekitar.Banyak mereka berkomentar:“Kepala Desa kami penjilat dan mata duitan.”“Kami tidak suka dengan gaya kepemimpinanya yang lambat dan tidak tegas.”“Kalau kita menganut demokrasi, seharusnya Kepala Desa sudah turun dari jabatannya karena sebagian besar masyarakat desa sepakat agar dia berhenti menjabat. Sayangnya, kita patuh dengan perintah raja.”Brockley sedikit terperanjat. Dia bertanya dengan sangat penasaran. “Raja, ataukah orang-orang di sekitarnya yang dekat dengan Kepala Desa kalian?”Seseorang dari mereka pun menjawab, “Kami rasa bukan Raja Glory, tapi orang-orang