Istri?
Apa aku tidak salah dengar? Mas Angga mengkhianatiku sebelum aku mengkhianatinya?Aku membeku beberapa detik. Pandanganku meramun menatap wanita muda yang berdiri tidak jauh dari pintu. Kelopak mataku sudah dipenuhi oleh genangan air mata yang tertahan."Dia juga istriku, Mita. Kami sudah menikah beberapa bulan yang lalu." Mas Angga menurunkan sedikit intonasi suaranya. Dadanya bergerak naik turun seperti sedang menahan sesuatu. Entah mengapa ucapan itu terdengar begitu sakit masuk dalam indra pendengaranku. Seperti ditikam dengan pisau berkali-kali. Tapi tidak berdarah.Pandanganku yang meramun karena penuh dengan air mata beralih pada Mas Angga. Menatap tajam pada lelaki itu. "Jadi ini alasan kamu lembur setiap malam, Mas?" Bibirku mendesis mengintimidasi. Memberikan penekanan di setiap ucapanku. Agar Mas Angga tau jika aku sedang sekarat karena perbuatannya. Aku dibohongi, aku di khianati.Mas Angga menatap mataku. Setitik tatapan kasihan terlukis. Lalu berganti dengan tatapan datar. "Iya, Kinanti adalah alasanku dan sekarang Kinanti sedang hamil anakku, Mita."Apa? Hal konyol apalagi ini? Hamil? Jadi tespack itu milik sialan itu?Bagaikan petir yang menyambar disiang bolong. Pikiran buruk yang aku pikir hanya rasa ketakutanku saja berujung nyata. Mas Angga berselingkuh di belakangku. Hati ini serasa dikuliti tipis-tipis lalu dicincang-cincang."Dasar perempuan murahan! Kurang ajar kamu!" Aku berteriak histeris. Hendak menyerang wanita bernama Kinanti itu. Hatiku tercabik sakit. Mas Angga yang sejak tadi berdiri di sampingku. Menghalau tubuhku. Menahan bahuku, dan memegang erat tanganku."Mita, jangan gila, kamu!" Lelaki itu bahkan membentakku di depan Kinanti. Sakit sekali! Apakah aku sudah tidak ada artinya lagi di matamu, Mas?"Kamu yang gila, Mas! Kamu yang gila!" Aku berteriak tanpa rasa malu. Melotot pada Mas Angga. Hatiku sakit serasa tercabik seribu belati. Aku memukuli Mas Angga sekenanya. Lelaki itu menarik tubuhku menjauh dari beranda rumah wanita simpanannya."Lepaskan aku, Mas! Lepaskan aku!" teriakku meronta."Ayo, kita pulang, Mit! Kita bicara di rumah."Mas Angga memaksaku masuk ke dalam mobilnya. Sekalipun aku meronta meminta untuk dilepaskan. Tidak puas rasanya meninggalkan rumah istri muda suamiku tanpa memberikannya pelajaran. Berani mengambil milik orang lain, sama halnya menggali kubur sendiri.____Mobil berhenti mendadak di depan rumah. Setelah sepanjang perjalanan kami sama-sama saling menahan diri untuk tidak berdebat. Karena bahaya sekali dan hal buruk bisa saja terjadi pada Kami. Iya saja kalau Mas Angga yang mati. Kalau aku? Tidak, aku tidak mau mati muda. Keenakan wanita murahan itu kalau aku mati lebih dulu.Bruk!Pintu mobil kubanting kasar. Mengejar Mas Angga yang berjalan mendahuluiku. Langkah lebarnya membuatnya cepat masuk ke dalam rumah.Tubuhku gemetar, terasa begitu dingin. Persediaanku terasa ngilu. Hatiku perih sekali. Ternyata sesakit ini rasanya.Aku menarik bagian lengan kemeja Mas Angga. Tubuh lelaki itu nyaris terpelanting dan jatuh. Langkahnya terhenti, dan tubuhnya berbalik sempurna ke arahku. "Lepaskan Mita!" Mas Angga menyentak. Layaknya seorang pencuri yang tertangkap basah dan ingin tetap membela diri jika dirinya tidak bersalah."Kenapa kamu mengkhianati pernikahan kita, Mas?" Aku mencerca layaknya seorang Jaksa pada terdakwa. Tidak peduli sesak menyumpal dada yang terasa terhimpit. Aku tidak terima telah dikhianati. Walaupun sadar, jika aku sendiri adalah seorang pengkhianat."Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Mas Angga mendelik. Seolah apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran."Bagaimana dengan dirimu sendiri, Mita? Bukankah kamu juga sudah berselingkuh?"Deg!Sepersekian detik jantungku serasa berhenti berdetak. Aku tercengang menatap Mas Angga. Rahang tegasnya mengeras, sorot matanya menusuk bak anak panah yang melesat cepat pada sasaran. Kenapa kini semua justru berbalik padaku?Mas Angga menarik lengan bajunya kasar dari cengkeramanku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh. Otakku berusaha untuk tetap waras. Tapi ..."Mas, aku ...!" Mendadak lidahku Kelu. Aku seperti ora gagap yang tidak pandai bicara. Bukankah sebelumnya aku adalah seorang yang pandai berbohong."Kenapa? Kamu pikir aku tidak tau apa yang sudah kamu lakukan di belakangku? Hah?" Mas Angga membentak. Menyadarkan aku jika bangkai yang selama ini aku simpan rapat akhirnya tercium juga.Mas Angga membuang wajahnya sinis. "Kamu menitipkan Sifa di rumah Santi setiap hari, dengan alasan menemani bapak di rumah sakit. Bapak siapa Mita? Bapak moyang kamu?" Mas Angga mengacung-acungkan jari telunjuknya di depan wajahku. Seolah aku ini adalah seorang pendosa yang tidak termaafkan. Ia menguliti semua aib yang aku sudah aku lakukan di belakangnya."Halah, kamu juga sama aja Mas, selingkuh sampai buntingin wanita murahan itu." Aku mengibaskan tanganku di depan wajah Mas Angga. Membusungkan dada berani. Hal yang selama ini tidak pernah aku lakukan pada suamiku.Mas Angga menarik sebelah sudut bibirnya tersenyum sinis. Menarik wajah merah yang terbakar amarah mendekat ke arahku. "Bagaimana dengan kamu sendiri, Mita? Bukankah kamu juga pernah tidur dengan laki-laki itu?"Hatiku tersentak. Mas Angga juga tau tentang hal itu? Mas Angga tertawa mengejek. Menatapku rendah. Lagi-lagi aku dipukul balik oleh Mas Angga."Ingatlah ya, kalau sampai kamu hamil, aku tidak mau bertanggung jawab!" desis Mas Angga suaranya datar tapi berhasil membuat nyaliku menciut.Mas Angga membalikkan tubuhnya kasar. Pergi ke arah pintu rumah."Mas, tunggu! Aku belum selesai bicara sama kamu Mas!" Aku mengejar Mas Angga ke arah pintu. Hendak menahan lengannya, tapi tidak berhasil. Lelaki itu lebih dulu menjauhkan tubuhnya dari jangkauanku."Apa lagi? Mau ngomong apa lagi?" sentak Mas Angga matanya melotot padaku."Pokoknya aku nggak mau di madu, Mas!" Kalimat itu terlontar begitu saja dari bibirku. Aku memang menyukai Mas Satya. Tapi aku tidak mau kehilangan Mas Angga. Aku tidak mau rumah tangga yang sudah kubangun bertahun-tahun hancur berantakan."Kamu egois, Mita!" bentak Mas Angga mengeram."Aku tidak peduli Mas, aku nggak mau di madu," balasku menyentak. Air mataku meleleh deras."Ya sudah, secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita. Jadi kamu bisa bebas bersama dengan selingkuhanmu itu. Bukankah memang ini yang kamu inginkan, Mita?"'Aku tidak seperti itu, Mas.' Hatiku nyeri, mengapa dia tidak mengerti. Apa yang dikatakan Mas Angga memang benar. Bukankah perpisahanku dengan Mas Angga adalah harapan Mas Satya. Dengan begitu kami bisa bersama-sama."Tapi ingat, aku tidak akan memberikan Sifa pada ibu macam kamu, Paramitha!""Mas!" Aku berteriak. Lelaki itu setengah berlari menuju mobil tanpa mampu aku kejar. Karena mobil Mas Angga dengan cepat meninggalkan halaman rumah."Sifa anakku, Mas, kamu tidak boleh mengambilnya!" teriakku sesenggukan. Hatiku sangat sakit sekali. Aku tidak mau kehilangan Sifa. Tubuhku luruh pada dinginnya lantai teras rumah kami.____Bersambung ....Hatiku tidak tenang. Sekolah sudah sepi. Tapi Sifa belum juga keluar. Biasanya Sifa tidak pernah seperti ini. Apa jangan-jangan kelas Sifa belum keluar atau ....Aku menyapu pandanganku ke sekeliling. Sudah tidak ada lagi orang tua murid yang menjemput anak-anaknya. Hanya ada aku yang tersisa sendirian.Aku turun dari motor menghampiri satpam sekolah yang bertugas untuk memastikan keberadaan Sifa."Pak, lihat Sifa putri saya nggak?" tanyaku. Aku yakin lelaki berseragam putih itu pasti hafal betul siapa aku. Hampir setiap hari kami bertemu saat aku menjemput Sifa."Sifa?" ucap Satpam dengan wajah berpikir, lalu menatap ke arah sekolah. Sepertinya apa yang ada di dalam benak lelaki itu sama seperti halnya denganku. Sejak siswa pertama keluar, aku tidak melihat kemunculan Sifa. Hingga seluruh siswa habis tak tersisa. Sifa tidak ada."Kayaknya, Eh ... Nggak ada deh Bu," jawab lelaki itu ragu. Juga tampak tidak enak padaku.Tubuhku gemetar. Pikiran buruk begitu cepat mengacaukan kewarasan
“Aku yang membalas pesanmu di nomor Mas Satya.” Lanjut wanita yang mengaku sebagai istri Mas Satya.Kerongkonganku serasa tercekik. Degupan jantungku mendadak memburu cepat. Wajahku menegang tidak menyangka. Apakah itu berarti wanita ini sudah mengetahui perselingkuhanku dengan Mas Satya. Hatiku takut, jika wanita ini akan mengamuk padaku. Aku mematung seperti halnya orang bodoh.“Mari kita duduk, tidak enak kalau kita ngobrol sambil berdiri seperti ini,” ajak Lidya. Ada senyuman yang terulir dari bibirnya. Sama sekali tidak ada kemarahan. Harusnya jika dia tau aku adalah selingkuhan Mas Satya, Lidya pasti marah padaku. Tapi, wanita ini tampak begitu tenang sekali. Aku menurut, duduk pada salah satu bangku café. Wanita itu duduk pada bangku tepat di sebrang mejaku. “Nama kamu Mita?” tanyanya membuka obrolan. Aku menganggukan kepalaku. Dari mana dia tau? Apa Mas Satya yang bercerita? Ah, tidak mungkin.Wanita berwajah teduh yang mengaku istri Mas Satya itu mengulas senyuman. “Sudah be
Pov Angga.Wiper pada kaca yang ada di depan mobil bergerak ke kiri dan ke kanan. Menyapu titik-titk hujan yang turun meramunkan pandanganku. Ternyata bukan karena gerimis hujan yang turun. Melainkan gerombolan cairan yang memanas memenuhi pelupuk mata ini.Sakit, kecawa, hancur definisi rasa yang berkecamuk menjadi satu. Secara bersamaan menghujam segumpal daging yang apabila daging itu baik maka baiklah seluruh tubuhnya dan apabila segumpal daging itu buruk maka buruklah seluruh tubuhnya dan segumpal daging itu adalah hatiku.Bough …Bough …Aku menghujani setir mobil sekeras mungkin. Tidak kurasakan sakit sama sekali pada tangan ini. Karena rasa sakitnya telah berbindah pada batin ini yang tersiksa oleh sebuah pengkhianatan.“Kenapa kamu tega sekali mengkhianati pernikahan kita, Mita!” kalimat itu terlontar begitu saja dari bibir ini. Perih merajam sukma yang terluka. Madu yang kuberikan pada Mita nyatanya dibalas racun yang mematikan. Kebohongan demi kebohongan terajut rapi menjad
“Papa.”“Papa.”Aku terbangun dari tidurku saat suara Sifa masuk memenuhi indra pendengaranku. Tangan mungil itu menggoyang lenganku dan membuatku tersadar dari kantuk yang menyergap.Kepalaku terasa berat. Aku baru bisa tidur saat adzan subuh berkumandang. Akhir-akhir ini pikiranku begitu kacau. Apalagi setelah mengetahui jika Mita berselingkuh dengan lelaki lain. Tidak hanya hatiku, hidupku juga hancur. Setiap malam aku berusaha mengumpulkan kepingan puzzle sisa-sisa hidupku yang telah hancur. Mancari alasan yang harus membuatku kuat dan tetap bertahan untuk melewati hari-hari. “Pah.” Panggilan Sifa melemah. Setelah melihat pergerakan tubuhku. Pelan aku membuka mata, mengusap sesaat netra yang terasa begitu lengket ini.“Kenapa, nak?” jawabku dengan suara berat. Karena jujur aku masih mengantuk sekali. Lagian ini hari minggu. Tidak ada salahnya bukan kalau aku bermalas-malasan barang sebentar.Sifa mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan wajah penuh tanya. Aku tau alasannya,
POV Author.Paramita berjalan gontai menyusuri paving blok yang berjajar rapi dihalaman rumahnya hingga ke beranda. Pandangannya kosong menatap rumah yang dulu menjadi impiannya bersama Angga. Susah payah ia membangun istana itu ditahan rantau bersama-sama. Tapi kini rumah itu hanya menjadi saksi bisu bahwa dirinya dan Angga pernah menjadi bagian satu sama lainya.Criet.Suara pintu yang kurang pelumas terdengar. Disambut dengan ruang gelap saat Mita mendorong pintu ke dalam. Hening, tawa Sifa dan celotehan gadis kecil yang kerap kali menyambut kedatangan Mita tak lagi terdengar. Hanya kehampaan yang semakin menyiksa batin wanita itu.Mita berjalan masuk. Mengabaikan ruangan gelap segelap hatinya saat ini. Ia bak layang-layang yang terlepas dari tuanya. Terombang ambing mengikuti arah angin yang membawanya tak tentu arah.Semua terasa tidak adil. Bukankah Angga juga berselingkuh. Bahkan sampai wanita selingkuhannya itu hamil. Tapi kenapa hanya Mita yang harus menanggung derita kehilan
Senyum bahagia mengembang dari bibir Sifa. Gadis kecil bermata indah itu memeluk erat tubuh MIta penuh kerinduan. Seolah telah ribuan purnama mereka tidak pernah bersua.Mita menangis. Lidahnya kelu tidak bisa berucap apapun. Tanganya mengusap lembut rambut Sifa yang ada dalam pelukannya. Ribuan sesal dan umpatan ia tujukan pada dirinya sendiri di dalam hati. Andai saja ia tak seliingkuh pasti semua akan baik-baik saja. Tapi tidak, Bukankah Angga juga melakukanya. Itu berarti, tidak semua kesalahan ada padanya.Pikiran Mita berkecamuk hebat. Ia sadar dirinya salah, tapi Angga juga bersalah. Jika Mita mampu, saat ini juga ia iangin membawa Sifa pergi bersamanya. Agar Angga tidak memisahkan gadis kecil itu lagi dengan dirinya. Persetan setelah ini Angga akan menikah dengan wanita itu. Mita tidak peduli. Ia hanya ingin bersama putri semata wayangnya. Karena hati Mita juga sama sakitnya karena perselingkuhan Angga.Hati Angga perih. Seperti di cabik dan di sayat tipis-tipis. Melihat peman
Kabut pagi yang menyelimuti telah memudar oleh hangatnya cahaya matahari yang mulai meninggi. Embun yang membasahi pucuk-pucuk dedaunan pun juga telah sirna. Berganti dengan kuncup-kuncup bunga yang bermekaran. Keheningan malam yang menenangkan, mulai tergilas dengan hiruk pikuk ramainya kehidupan anak manusia. Kereta yang membawa Angga dan Sifa telah tiba di sebuah stasiun kota kecil di provinsi Jawa tengah. Kereta datang lebih awal dari yang dijadwalkan. Saat kereta tiba stasiun, gadis kecil yang baru keluar dari rumah sakit itu masih terbuai oleh mimpi di atas pangkuan Angga.Angga berinisiatif untuk menggendong Sifa. Tidak peduli jika dia juga harus menurunkan dua koper miliknya dan milik Sifa. Saat ia mengangkat tubuh Sifa dari atas pangkuan, gadis kecil itupun terbangun."Kita sudah sampai ya, pa?" Sifa memaksakan membuka matanya, menatap ke sekeliling gerbong yang sudah kosong. Angga sengaja memilih turun paling akhir agar tidak berdesak-desakan dengan penumpang kereta yang la
Dangan langkah gemetar Mita menghampiri Satya. Lelaki yang berjanji akan menikahinya jika saja Angga menceraikannya dan sebentar lagi, semua itu akan menjadi kenyataan."Jadi total semuanya berapa, Mbak?" Suara lembut itu masuk dalam indra pendengaran Mita. Suara yang membuat wanita itu mabuk kebayang. Perkenalan yang Mita anggap sebagai pelampiasan atas kejenuhannya pada pernikahannya. Justru menyeretnya pada rasa nyaman yang membuatnya lupa jika ia adalah seorang istri dari lelaki lain."Kembalianya ambil saja, Mbak!" Tangan Satya terulur hendak mengambil kantong plastik berisi makanan yang pelayan itu letakan di atas meja."Mas Satya!" Suara Mita pelan, seperti tertahan di kerongkongan.Gerakan tangan Satya terhenti di udara. Suara yang tidak asing terdengar di telinganya membuat jantung Satya berdebar kencang.Mita menatap punggung lelaki yang berdiri di depannya dengan netra berkaca-kaca. Ada gundah yang rasanya ingin ia adukan pada Satya. Tentang rumah tangganya yang berada di u