Allah, apa aku mimpi? Kuperhatikan sejenak wajah mereka. Ternyata aku tidak bermimpi, mereka memang Mas Adrian dan Tania. Astagfirullah, Astagfirullah, astagfirullah ….
Menangis hati ini saat melihat mereka kembali. Allah, ternyata mereka semakin sukses. 'Jangan menangis, Lirna. Jangan menangis. Kamu harus kuat. Jangan teteskan sedikitpun air mata di hadapan mereka. Tapi, bagaimana? Allah, tubuhku bergetar."Mbak Lirna?! Ngapain kamu disini, Mbak?" tanya Tania ketus. Sementara pria di sampingnya tengah menatapku. Aku yang sadar hal itu memilih menunduk. Takut kalau sampai air mata terjun dengan begitu bebasnya. Ya Allah, sebenarnya hatiku ingin sekali menjerit. Menangis sejadinya menyebut namamu agar hatiku menjadi tenang. Tania ternyata masih mengingatku. Entah kalau Mas Adrian."Aku mencari, Rara!" "Rara siapa kamu, Lirna?" tanya Mas Adrian. Aku harus jawab apa? "Ma," ucap Rara menghampiriku. "Mama, maafin aku. Harusnya aku menghubungi Mama kalau pulang terlambat, tapi Handphone, aku tercebur di kolam renang. Mati deh," ucapnya polos. "Mama?!" tanya Tania dengan mata menyipit dan kening mengkerut."Iya, Tante. Ini Mamaku. Mama sekaligus Ayah untukku. Aku bangga mempunyai, Mama. Meski tanpa, Papa, Mama telah berhasil membesarkan-ku," ucap Rara memegang kedua bahuku. Mungkin dia tidak mengerti kalau Mamanya kini tengah terluka."Memang, Papa kamu kemana?" tanya Tania lagi."Papa sudah meninggal 20 tahun yang lalu. Saat aku baru berusia 3 Minggu di dalam kandungan. Nama Papaku juga Adrian, Tante," jawab Rara penuh senyum. "Ayo, Sayang kita pulang," ajakku. "Tante, biar Dila antar ya?" Tiba-tiba anaknya datang menawarkan."Tidak usah, Dek. Kami pulang sendiri saja," tolakku halus. Meski orang tuanya sangat kubenci, tapi anaknya tidak bersalah."Tapi ini sudah cukup malam," ujar Mas Adrian. "Biar kamu aku yang mengantar. Lagi sudah tidak ada kendaraan," lanjutnya. Bagaimana ini? Jijik sih aku kalau dia yang mengantar. Aku masih terdiam."Mas, kalau Mbak Lirna tidak mau kamu antar pulang, biar saja dia pulang sendiri! Repot-repot amat!" ucap Tania dengan nada suara yang ketus."Tante Tania kenal sama, Mamaku?" Rara melontarkan tanya. Tania hanya terdiam. "Ayok biar aku yang antar. Nando kamu boncengin Rara. Biar Mamanya saya yang mengantar pulang," perintah Mas Adrian."Baik, Pak. Ayo, Ra." ujarnya. Rara mengangguk dan langsung beranjak ke motor bersama Nando. "Mama, aku duluan!" teriak Rara. Aku mengangguk.Seperginya Rara dan Nando. Aku melangkah pergi dari rumah besar itu dengan berjalan kaki sambil mencari taksi yang lewat. Tidak peduli meski hari sudah malam, aku enggan untuk diantar oleh Mas Adrian. Wah, ternyata hidup mereka lurus saja. Mereka bahagia, apa keduanya tidak terbayang rasa bersalah? Jalan hidupku juga lurus, dan aku hidup bahagia bersama Rara. Tapi, luka dua puluh tahun itu masih terasa melekat. Bertemu Mas Adrian setelah dua puluh tahun itu, rasanya sesuatu banget. Ada senang dan juga ada sedihnya. Senang bisa melihatnya kembali, tapi sedih karena mereka semakin bahagia dan hidup semakin sukses seperginya aku. Aku jadi merasa bahwa diriku seperti tidak memiliki tempat sama sekali dalam hati Mas Adrian dan Tania. Meski bagaimanapun, bukankah aku dan Tania sempat dekat dan juga sempat tumbuh dewasa bersama? Dalam satu rumah dengan kasih sayang dari Ibu yang sama."Lirna!" Sebuah tangan menarik tanganku membuatku berhenti. Aku tahu siapa yang menarik tanganku, Mas Adrian ….Aku tetap diam tanpa melihat ke arahnya. Kutahan nafas yang naik turun, sambil melepas tanganku dari cengkraman-nya. Mas Adrian turun dari motornya. Sementara aku terus melanjutkan jalanku."Lirna! Lirna! Tunggu!" Dia kembali menarik tanganku lagi. Hingga aku pun kembali menghentikan langkahku.
"Apa, Mas?" "Naik! Biar aku antar. Ini sudah malam." Wajahnya terlihat mengkhawatirkanku."Apa pedulimu meski hari sudah malam?!""Naik! Jangan mendebatku cepat!" bentaknya. Aku masih enggan dan memilih untuk tetap berjalan kaki. Mas Adrian terus mengejarku. "Kamu masih sama seperti dulu. Keras kepala!" teriaknya. Aku tidak peduli dan tidak menanggapinya."Ayolah, naik aku lelah mengejarmu. Ternyata Lirnaku masih sama. Lirna yang keras kepala dan teguh pada pendiriannya." Mas Adrian terus berbicara meski aku tak menanggapinya. Ternyata berjalan pada saat emosi tidak ada rasa lelah sama sekali. Selain itu, langkah kaki juga terasa lebih cepat. Tidak peduli seseorang yang mengejar bahkan merasa kelelahan."Rara itu anakku kan?" tanyanya. Aku diam saja. "Kalau kamu diam, berarti benar kalau Rara itu anakku bukan?" lanjutnya."Halo! Kamu jemput motor di pinggir jalan Delima. Kuncinya juga masih tergantung!" ucap Mas Adrian. Mungkin dia berbicara di ponsel."Sekarang aku bisa mengantarmu meski berjalan kaki. Jalan kaki berdua kamu itu rasanya sangat indah. Aku merindukan kamu, Lir!" "Adakah setitik rindu untukku?" Entah kenapa, aku lebih memilih diam dan enggan menyahuti ucapannya. Terserah dia mau berbicara apa, aku tidak peduli.Sepertinya dia lelah berbicara, hingga akhirnya pun dia terdiam juga. Meski beberapa kali dia berdehem, aku masih tidak terpengaruh. Akhirnya, perjalanan pulang ke rumah pun dilalui dengan keheningan tanpa saling berbicara. Ponsel Mas Adrian beberapa kali berdering, namun dia tidak mengangkatnya. Setelah itu tidak ada lagi suara dering ponsel, mungkin dia mematikannya.Langkah kaki mulai lelah, jarak ke rumah masih sekitar lima belas menit-an lagi. Kalau aku berhenti karena kelelahan, nanti Mas Adrian menertawakanku. Ku-lanjutkan terus langkahku. Kali ini dengan langkah yang lebih santai asal bisa sampai."Kamu lelah, Lir?" Aku masih diam. Aku tidak perlu berbicara dengan orang itu. "Lirna! Aku akan memberitahu Rara, kalau dia anakku. Malam ini juga!" tegasnya. Aku berhenti dari rumah yang jaraknya kurang 5 meter lagi."Yakin sekali kalau, Rara itu anakmu!" balasku!"Papa Rara meninggal 20 tahun yang lalu. 20 tahun yang lalu, aku memang meninggalkan-mu untuk menikahi adikmu! Jadi saat itu kamu sedang hamil? Usia Rara dan Dila bahkan tidak berbeda jauh! Hanya beda beberapa bulan. Dan Rara bilang, nama Papanya Adrian! Kamu tidak bisa mengelak! Kamu tidak berhak memisahkan seorang Ayah dengan anaknya! Dan lagi pula, Rara itu perempuan! Dia membutuhkan wali untuk menikahkan-nya nanti. Camkan itu!" Mas Adrian pun berlalu hendak menghampiri Rara yang sudah menunggu di depan pintu bersama Nando."Mas Adrian!" panggilku. Dia berhenti dan menoleh ke arahku."Mas kenapa usia Dila lebih tua dari, Rara?" tanyaku. Mas Adrian terdiam. "Itu karena, Dila anak haram! Bagaimana kalau gadis itu tahu, kalau dia lahir dari hasil perzinahan orang tuanya? Kasihan sekali... oh iya, kamu jangan lupa, kalau mau memberi tahu kebenaran ini pada Rara, ceritakan juga sejarahnya!" ucapku seraya beranjak darinya.'Mungkinkah dia akan menceritakan kebenarannya pada, Rara? Aku tidak peduli dia akan bercerita sendiri atau tidak, toh kebenarannya Rara memang akan mengetahuinya….'POV ADRIAN "Mama, Pak Adrian, kok jalan kaki?" tanya Rara. Aku tersenyum lalu duduk di kursi kayu yang ada di depan teras rumah. "Saya ambilkan air minum ya, Pak," tawar Rara, aku pun mengangguk dan tersenyum. Sementara Lirna masih terdiam. Wajahnya begitu enggan menatapku. Seandainya dia tahu kalau aku sangat merindukannya. Ternyata kesalahanku dua puluh tahun yang lalu masih belum bisa menghilangkan rasa bencinya terhadapku. Tidak lama, Rara datang dengan empat cangkir teh hangat beserta sepiring pisang goreng. Pisang goreng makanan favoritku, Rara tahu saja. "Loh, semalam ini kok ada pisang goreng hangat?" tanyaku saat Rara meletakan-nya di meja. "Iya, Pak. Tadi Rara sengaja bikin sama Nando. Buat menyambut kedatangan, Bapak yang mau singgah ke rumah kecil Mama dan Rara," ucap gadis manis berlesung Pipit itu. Aneh memang saat ada karyawan kantor yang bilang dia sangat mirip denganku. Awalnya aku tidak percaya, namun saat mel
POV ADRIAN "Nando, terima kasih sudah mengantar saya sampai rumah." Aku mengeluarkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan untuk Aldo. "sama-sama, Pak. Saya ikhlas kok nganterin Bapak tidak usah pakai beginian segala, beneran saya ikhlas,Pak," tolak Nando. "Ambil saja, Nan. Ini untuk kamu. Uang saya banyak, ngasih kamu segitu tidak akan habis," godaku. "Udah ambil saja!" Aku terus memaksa sehingga Nando pun mengambilnya dengan terpaksa. "Terima kasih, Pak. "Kalau begitu saya pamit pulang duluan." "Iya, hati-hati di jalan!" Setelah motor Nando tidak lagi terlihat aku pun langsung masuk. Kebetulan Pak Yanto sudah membukakan pintu gerbang. "Pak! Ibu sudah menunggu dari tadi, baru saja masuk ke dalam," ucap Yanto-satpam di rumahku. "Ya Pak Yanto. Jangan lupa gerbangnya dikunci," titahku. "Siap, Pak!" balas Yanto. Bar
"Nando," panggilku saat tiba di ruangannya. "Iya, Pak." "Kamu tahu dimana, Rara?" Nando hanya menggeleng. Sial! Jangan sampai Lirna kembali memisahkan aku dengan Rara. Segera aku pun bergegas keluar kantor. Sampai di luar, aku langsung menaiki mobil dan memacunya dengan kecepatan tinggi. "Semoga kalian masih ada di sana!" lirihku sambil terus fokus berkemudi. Dua puluh menit kemudian aku telah sampai di depan rumah Lirna. Keadaan begitu sunyi. Jantungku berdegup, apa mereka akan kembali pergi dariku? Segera aku pun turun dari mobil dan mengetuk pintu rumahnya. Sudah beberapa kali aku mengetuk hingga jariku memerah tapi tidak ada yang membuka pintu. Frutasi aku rasanya. Baru saja bisa melihat mereka setelah sekian lama. Tapi kini harus kembali kehilangan. Aku masih belum beranjak dari pintu rumah Lirna. Aku masih menyandarkan tubuhku di sana. Terduduk lemas sambil terus menjambak rambutku. "Kamu ngapain disini?" Aku
" apa yang harus aku katakan pada seorang penghianat? Apa yang harus aku katakan pada seorang Ayah yang tega menyakiti hati ibuku? Kau tahu, Pak Adrian? Ibuku berjuang mati-matian untuk membesarkanku!" "Jadi maksud kamu, kamu sudah tahu siapa Saya?" "Saya sudah tahu kalau anda adalah seseorang yang membuatku terlahir di dunia ini. Seseorang yang yang mampu membuat hati ibuku terluka begitu hebatnya!" "Sekarang tolong anda pergi dari sini! Kami tidak membutuhkan keberadaan anda! Ataupun belas kasihan dari anda! Dari dulu saya dan ibu saya sudah terbiasa tanpa kehadiran anda! Sekarang saya mohon anda pergi dari sini, dan jangan pernah datang lagi kemari. Bagi kami, anda sudah tiada, Pak Adrian. Anggap saja anda tidak pernah berhubungan dengan orang seperti kami. Kami tidak akan mengusik keluarga anda, begitupun sebaliknya!" tegas Rara membuatku tak mampu berbicara. "Pak Adrian yang ternyata Ayah saya, s
POV Rara "Walaikumsalam," ucap Mama bergegas. "Mbak Lirna, saya mau ngasih tahu, itu tempat yang untuk jualan pecel ayamnya sudah rapi. Besok ataupun lusa sudah bisa dibuat jualan. Semua sudah beres seperti permintaan, Mbak Lirna. Bersyukurnya lagi, kantor yang baru jadi dibangun juga segera beroperasi. Pasti banyak yang makan siang di warung Ibu. Belum lagi orang-orang yang lalu lalang. Insya Allah rame, Mbak, warungnya," ucap Pak Jono panjang lebar. Pak Jono itu pemilik tempat yang dikontrak Ibu untuk dijadikan warung pecel ayam. Lebih enaknya lagi, bagian atasnya bisa untuk tempat tinggal kami, karena tempatnya bertingkat. Harga sewanya 20 juta per tahun Khusus tempat. Untuk biaya perlengkapan warung dan dekorasi, sekitar 20 juta. Itu sudah lengkap semua. Lokasinya sangat strategis di pinggir jalan dan juga dekat dari perkomplekan. Masakan Mama itu lezat, aku yakin pasti akan laris manis. Setelah bertahun-tahun kami menabung, allhmdullillah bisa buka
POV Tania. "Papa kemana, sih, Ma? Katanya mau ke kantor, Dila tungguin nggak ada, Papa itu datang, Ma," kesal putriku sambil melempar tasnya dan langsung merebahkan tubuhnya di sofa. "Capek ya, Sayang?" tanyaku. "Capek banget, Ma," jawabnya. Kasihan memang putriku yang cantik ini harus kelelahan mengurus kantor. "Tadi itu, Papa bilang sama Mama mau ketemu teman bisnis. Rekan bisnis Papa. Ada acara peresmian kantor. Mereka bilang sih,,,," Aku tidak melanjutkan ucapanku agar Dila penasaran. Dila itu putri kesayangan kami. Ya, meski suamiku itu memiliki anak dari mantan istrinya, dia seakan tidak peduli dan lebih perhatian pada putriku. Jelas aku tahu, sebab apapun yang ia punya, pokoknya semua yang ia miliki, semuanya untuk Dila. Sudah hampir dua minggu belakangan ini, sejak pertemuan dengan anak dan mantan istrinya, Mas Adrian terlihat biasa saja. Tidak ada kesedihan
"Ma, Rara risih sama pelanggan yang pake jas hitam gagah tinggi itu," ucapku pada Mama. Bagaimana tidak, kalau pemuda itu diam-diam memperhatikan aku yang sibuk mondar-mandir mengantar pesanan pelanggan. Alhamdulillah warung pecel ayam kami selalu ramai pengunjung. Terlebih saat kantor baru itu buka hari ini, pas jam makan siang sangat ramai dan membuatku super sibuk. Seperti siang ini tentunya, yang satu ruangan hampir penuh dengan para karyawannya. "Yang mana?" Mama bertanya sambil celingukan mencari pria itu. "Mama! Jangan tengak-tengok begitu. Itu yang dipojok," ucapku. "Oh, ganteng ya, Ra," ucap Mama. "Mungkin memperhatikan kamu karena pesanannya belum diantar, Ra. Jadi jangan ke-GR-an," ucap Mama. Sumpah menohok banget. "Ya sudah, ini kamu antar pesanan dia." Aku pun segera mengantarnya. Aduh, baru kali ini ketemu pelanggan perasaan aku dag dig dug tak karuan. "Permisi, pesanannya,"
POV Tania. "Bagaimana, Pa? Apa perusahaan, Papa bisa diselamatkan?" tanyaku setelah Mas Adrian merebahkan tubuhnya di sofa. Mas Adrian menarik nafas panjang lalu menghembuskan-nya. "Tidak bisa, Ma. Papa jual pada sahabat Ronald. Dia sanggup membayarnya. Jadi setidaknya, Papa tidak mengalami kerugian yang lebih besar lagi," jawabnya. Aku mengangguk dan mendengus lega. "Syukurlah, Pa," ucapku. Terlihat dari wajahnya, suamiku itu sangat kelelahan. "Ya sudah, Papa masuk ke kamar ayo. Terus langsung mandi," ucapku. Meskipun waktu sudah hampir pukul 11 malam, tetap saja, suamiku bau keringat dan harus tetap mandi.