Pov Salmah“Hey, Ray!” Dia terlihat riang sambil menatap ke arahku. Aku menautkan alis, heran. Namun, rasa heran ini tak bertahan lama ketika terdengar suara seseorang yang tadi berdiri di sampingku balik menyapanya. “Masya Allah, Dirga!” Lalu sosok yang tadi hendak mengantarku ke kelas lima itu melangkah maju meninggalkanku. Aku melongo menatap dua orang yang berpelukkan di depan sana. Jadi, Pak Rayyan kenal dengan Pak Dirga?Aku seperti terhipnotis. Sejenak terdiam dan menyaksikan dua orang lelaki yang saling berpejabat tangan dan berpelukan singkat. “Ibuuu!”Suara Adrian dan Alisha membuat pikiranku yang tengah terfokus pada dua lelaki yang ada di depan ini teralihkan pada mereka. Kedua anakku datang dan menggamit lenganku kiri kanan. Aku menatap wajah mereka yang tampak berbinar. “Ibu, sore nanti, Om Dirga mau ngajak kita beli pakaian. Boleh, ya, Bu?!” Alisha menggoyang-goyangkan lenganku. “Iya, sama Ian juga.” Adrian tak kalah semangat. Kuperhatikan wajah keduanya, benar-b
Pov SalmahAku menatap kaget pada lelaki yang hari ini bicara terus menerus tanpa basa-basi. Apa dia sempat-sempatnya bercanda di tengah situasi tegang yang tengah dia ciptakan? Hubungan ini dihalalkan, maksudnya?Sederet kalimat tanya sibuk memenuhi rongga kepala. Aku, aku benar-benar shock dengan solusi diluar perkiraan yang disampaikannya. “Gimana?” Dia mengulangi pertanyaannya. “Pak Dirga, selera humor Bapak cukup buruk. Sempat-sempatnya berkelakar pada saat seperti ini.” Aku tersenyum miring. Meskipun beberapa detik tadi, kaki sudah tak terasa seperti menginjak bumi, tapi aku tak boleh terlihat gugup di depannya. Dia terkekeh sambil menggeleng kepala, “Hey, Salmah! Apa wajah saya ini terlihat seperti bercanda? Saya serius. Jika kamu tak keberatan, saya ingin menghalalkanmu. Kita bisa menikah dan membesarkan anak-anak kita bersama.” Deg!Kali ini dentuman lebih hebat terasa. Apa sebenarnya yang ada dalam pikiran Pak Dirga? “Apakah Bapak mengajak saya menikah hanya untuk menja
Aku dan Adrian masuk ke dalam kamar kami masing-masing. Rasanya sedih sekali. Sudah membayangkan pergi jalan-jalan dan membeli baju baru, tiba-tiba harus gak jadi. Padahal … Om Dirga begitu yakin awalnya akan mengajak kami. Namun, entah kenapa dia tak datang. Ibu sudah menelponnya, tapi tidak juga diangkatnya. Jujur, aku kecewa. Kulihat Ibu duduk dan mengotak-atik HP-nya. Aku menoleh ke arah Adrian, tapi rupanya dia tengah berjinjit dan mengintip layar gawai yang Ibu pegang. Aku menyenggol lengannya, tapi dia memberikan isyarat agar aku diam. Ditempelkannya telunjuk pada bibirnya. “Kenapa?” tanyaku tanpa suara. Hanya gerakan bibir yang untungnya bisa dia baca. “Kita gak usah pergi,” tukas Adrian lagi. Dia pun sama, hanya gerakan mulut tanpa suara. “Kenapa, sih?” Sama-sama hanya gerakan mulut jua. Adrian hanya menggeleng dan menyilangkan lengan di depan dadanya. Aku paham, pasti ada hal yang membuat Adrian sudah menyimpulkan. Akhirnya aku mengangguk saja dan menautkan jempol serta
“Bu, mobil yang kemarin itu ada lagi, loh!” Aku masuk dan mendekati Ibu yang tengah duduk dengan Nek Wasti---istri Kakek Anom. “Ya, itu kan jalan umum, Cha.” Ibu menjawab santai. Dih, Ibu tuh. Kadang gemes. Kenapa coba gak ada takut-takutnya. Jelas-jelas mobil itu aneh. Masa tiap jam segini berhenti di sana. Namun karena Ibu cuek saja, akhirnya aku tak memaksa. Aku akan bicara pada Adrian saja. Biar dia dan teman-temannya menangkap sang pelaku segera. Warung makan Ibu biasanya baru akan tutup jam sembilan malam. Ibu akan sudah mengusirku semenjak adzan maghrib berkumandang. Dia akan menyuruhku untuk belajar. Kini di ruang tengah rumah kami yang sempit, beralaskan tikar yang digelar. Aku dan Adrian tengah tepekur dengan buku masing-masing di tangan. “Ian, Kamu masih banyak gak PR-nya?” Aku bicara sambil melirik sekilas pada Adrian. Dia tengah membaca buku sambil tiduran telentang. “Udah kelar dari tadi, kok. Kenapa?” “Kakak lagi mau ngajak kamu menjalankan misi.” Aku bicara samb
Pov Salmah “Ini terkait beasiswa. Bapak ada kenalan seorang pemilik pondok dan sekaligus ada SMP dan SMA di sana. Bapak ingat pada kalian.” “Masya Allah … terima kasih banyak, Pak. Rupanya Adrian dan Alisha merupakan siswa yang diingat guru di sekolahnya. Saya cukup terharu mendengarnya. Apalagi Bapak sudah jauh-jauh sampai ke sini mencari keberadaan keduanya.” Aku cukup terkejut mendengar penuturannya. “Iya, saya waktu perpisahan kelas enam itu niatnya mau bicara dengan Bu Salmah, tapi gak sempat. Pas saya nyari sudah gak ada. Saya ke rumah lama Bu Salmah, eh rupanya sudah berganti pemiliknya. Beruntung pas saya habis ada acara ke sini, kebetulan sekali melihat orang yang mirip Bu Salmah, eh rupanya benar.” Pak Rayyan bicara panjang lebar. Senyumnya tersungging dan tatapan matanya lurus memandang wajahku. “Wah tersanjung sekali saya, Pak. Terima kasih banyak.” Aku tak henti mengucapkan terima kasih. Obrolan kami sesekali terjeda oleh kedatangan pembeli. Beruntung Nek Wasti bisa
Pov Salmah Aku memeluk Icha berulang kali sebelum melepasnya ke boarding school. Pagi ini kami di antar Pak Rayyan. Wajah Icha mendung dari semalam. Dia banyak berpesan pada Adrian.“Ian, harus jaga Ibu. Bantu Ibu di warung. Cuci baju sendiri, jangan manja.” “Iya, Kak.” “Ian harus belajar ngepel yang bener. Kalau Ian ngepel tuh masih ada jejak-jejak putihnya. Nanti Ibu harus beresin lagi, kasian Ibu capek.” “Iya, Kak.” “Kemarin Kakak sudah ngajarin ‘kan cara nyetrika yang bener. Bukan asal keinjek gosokan saja terus kelar. Di perhatiin lipatan-lipatannya juga.” “Iya, Kak.” “Ian harus belajar masak juga. Jangan bisanya cuma masak air. Kakak sudah ajarin beberapa kali ‘kan?”“Iya, Kak.” Alisha terus-menerus memberikan wejangan untuk Adrian. Sejak tadi, tak henti. Aku yang hendak mengantarkan selimut baru untuk Alisha hanya mampu mengelus dada. Aku berdiri di balik pintu sambil mendengarkan obrolan mereka. “Kakak nanti pulangnya kapan?” Kudengar Adrian kali ini yang bertanya. “
Malam ini, rasanya asing. Tak ada Alisha di sini membuat sebagian hatiku terasa kosong. Ya, belum sehari saja aku sudah merindukannya. Padahal aku bilang sama Icha kalau jangan cengeng, tapi ternyata aku yang cengeng. Aku menatap kamar Alisha yang kini sudah kosong. Hanya ada tempat tidur di sana dan sisa-sisa barang yang tak dia bawa. Kuberjalan menuju rak dan mengambil beberapa buku miliknya. Kuusap dan kudekap. Ingin rasanya dia masih di sini. Air mata luruh, tak kuasa kutahan lagi. Kupejamkan mata dan beristighfar banyak-banyak. Ikhlas … ikhlas … ikhlas ….Namun, kata itu tak semudah yang kutulis dan kuucapkan. Aku mengajarkan dia untuk iklhas dan tegar, tapi aku pun sama, masih harus banyak belajar. Ikhlas … ikhlas … ikhlas …. Terbayang lagi senyuman, tawa, ketegasan dan kemandirian Alisha. Dialah putriku, perempuan yang kuharap jauh lebih tangguh dan beruntung dari pada aku. Icha … Ibu rindu, Nak! Aku bergerak naik ke atas tempat tidurnya dan membaringkan diri sambil mem
Pov Salmah Satu tahun bukanlah waktu yang sebentar. Selama itu juga Pak Rayyan terus-menerus muncul dalam kehidupanku dan Adrian. Kegiatannya setiap akhir pekan dengan Adrian selalu ada saja. Bahkan mereka begitu kompak, sesekali mereka berdualah yang pergi ke pasar untuk berbelanja. “Bu, ada lagi gak yang mau dibeli?” Pak Rayyan muncul. Bahkan panggilannya sudah berubah, hmm entah sejak kapan. Tak lagi memakai embel-embel namaku di belakangnya, mengikuti panggilan Adrian. Itu jika ada dia. Namun, jika kami berdua saja, justru dia hanya memanggil nama dan aku mulai terbiasa.“Sudah semua yang dalam listnya Ian, Pak Rayyan.” Aku, masih memanggilnya seperti dulu. Satu tahun, tapi tak mengubah apapun dalam hatiku selain rasa mulai terbiasa. “Oke, kami berangkat! Assalamu’alaikum!” Dia menautkan jempol dan telunjuknya lalu berangkat bersama Adrian ke pasar. Minggu ini adalah minggu terakhir Adrian berada di rumah. Sebentar lagi, sebentar lagi dia akan menyusul Alisha ke boarding school