Share

Bab 3 Kembaran kakek

Bayu tidur sampai jam 9 pagi. Dia tidak akan bangun lebih cepat bila bibinya tidak masuk ke kamarnya dan membangunkannya.

Ketika Bayu bangun, dia merasa kepalanya pusing. Badannya terasa linu dan ototnya ngilu. Bayu masih ingin tidur karena lelah.

Bulik, saya merasa tidak enak badan! Biarkan saya istirahat hari ini ya!” Bayu memohon izin kepada bibinya.

Bulik sudah menyiapkan sarapan pagi buat kamu lho! Bulik masak soto ayam sama tempe goreng. Ayo, bangun sarapan dulu! Setelah itu, minum obat masuk angin!” Bibi Wati memaksa Bayu untuk bangun agar bayu mau makan dan minum obat.

“Ayo bangun, Kakekmu juga sudah bangun lho, dia lagi duduk di ruang makan menunggu kamu!” kata Bibi Wati membujuk Bayu.

“Apa, Bulik, Kakek juga sarapan bersama kita?” tanya Bayu.

“Iya, makanya, ayo sarapan bareng!” jawab Bibi Wati.

Mendengar Kakeknya hendak sarapan bersama walaupun agak enggan karena masih lelah, Bayu bangun dan berdiri. Dia keluar dari kamar mengikuti bibinya.

“Sikat gigi dan cuci tanganmu dulu, baru makan!” perintah Bibinya.

Bayu bergegas ke kamar mandi, menyikat giginya, mencuci muka, dan mencuci tangannya. Tanpa mengeringkan muka dan tangannya, Bayu berjalan ke ruang makan.

Melihat kakeknya duduk di ruang makan sambil minum teh panas, Bayu segera bertanya, “Kakek, sudah sehat?”

“Lho, Siapa yang sakit? Kakek cuman tidak enak badan karena capek bepergian ke Yogya kok kemaren!” jawab Kakek Warno.

Bayu tiba-tiba berpikir ingin melihat Kembaran Kakeknya.

Sebelum duduk, Bayu menundukkan kepalanya untuk memejamkan matanya sebentar dan membaca doa lalu memusatkan pikirannya, menghipnotis pikirannya agar bisa melihat Kembaran Kakeknya

Mengangkat kepalanya, Bayu memandang Kakeknya.

Bayu melihat sosok Kakeknya sedang dipeluk oleh seseorang yang identik dengan Kakeknya tetapi orang itu berwajah pucat.

“Wah, luar biasa, kamu sudah bisa lihat kembaranku, toh, Bayu?”

Suara Kakeknya menyadarkannya. Bayu langsung tersipu malu dan menundukkan kepalanya tidak berani memandang Kakeknya.

“Mengapa kamu malu? Baguslah kamu sudah berhasil! Apa yang kamu lihat tadi?” Kakek Warno bertanya kepada Bayu dengan antusias.

Bayu mengangkat kepalanya.

Dia diam dan ragu-ragu sejenak, berpikir bagaimana menjawab Kakeknya.

“Eh, Kembaran Kakek sama persis seperti Kakek hanya saja dia lebih pucat dan dia sedang memelukmu, Kakek!” ungkap Bayu pada akhirnya.

Mata Kakek Warno berbinar sebentar, lalu kembali normal dan berkata, “Betul! Itu memang Kembaranku! Tidak usah kuatir dengan apa yang kamu lihat! Kembaranku memang memelukku saat ini karena Kakek bukan 100% orang baik meskipun aku juga merasa bukan orang jahat!”

“Semakin tua, semakin buruk perbuatan seseorang. Aku terkadang pelit. Terkadang juga, aku suka memanipulasi kelemahan orang lain. Aku suka memanfaatkan keadaan. Aku juga terkadang harus berbohong kepada orang lain agar mereka tidak menyalahkan aku bila aku tidak berhasil menolong mereka. Tidak ada paranormal yang benar-benar baik! Yang banyak hanyalah paranormal mata duitan! Itulah kenyataannya!” 

Kakek Warno menjelaskan dengan jujur.

Bayu menghela napas mendengar kata-kata Kakeknya. Mungkin inilah kenyataan pahit hidup di dunia ini. Setiap orang hanya memanfaatkan orang lain.

“Aku tidak memintamu mengikuti jejakku untuk menjadi paranormal. Aku hanya ingin kamu selamat dalam menjalani hidup yang kejam ini! Selain itu, agar ilmu keluarga kita tidak hilang setelah aku mati!” kata Kakek Warno.

“Ya, Kek!” Bayu menjawab singkat.

“Sekarang, mari kita sarapan! Soto buatan bulikmu enak banget, lho!” Kakek berkata dengan ceria mengganti topik pembicaraan kami.

“Ya, masakan Bulik memang yang paling enak di dunia!” Bayu menimpali setengah bercanda.

Bibi Wati yang mendengar pujian Kakek Warno dan Bayu hanya terdiam dan tersipu malu.

Mereka bertiga sarapan pagi dengan bahagia. Bayu mengobrol santai dengan Kakek dan Bibinya tentang topik keadaan desa. Tidak ada pembicaraan berat ketika sarapan.

Selesai sarapan, Kakek Warno berkata, “Bayu, mari kita bicara di ruang tamu berdua!" lalu dia menatap anak perempuannya, "Wati, tolong buatkan dua cangkir kopi untukku dan Bayu. Aku mau bicara penting sama Bayu!”

Lelaki tua itu mengajak Bayu pergi ke ruang tamu.

Sebelum duduk di kursi tamu yang terbuat dari kayu jati, Kakek menutup pintu tengah yang menghubungkan ruang dalam dengan ruang tamu. Dia juga menutup pintu depan yang terhubung ke teras rumah, tetapi dia membiarkan jendela di ruang tamu terbuka.

“Kamu duduk di kursi tepat di depanku, Bayu!” Kakek menyuruh Bayu duduk tepat di seberang meja tamu, tepat di depan kursi yang di duduki oleh Kakeknya.

“Aku akan mengajari kamu kemampuan untuk berkomunikasi dengan Qorin menggunakan pikiranmu! Kamu tidak boleh berbicara secara lisan kepada Qorin ketika kamu berada di tempat umum. Dengan cara berkomunikasi secara pikiran dengan Qorin, orang lain tidak tahu apa yang kalian bicarakan!”

“Kamu bisa mencoba berkomunikasi dengan kembaranku melalui pikiranmu! Caranya gampang, kok! Setelah kamu melihat kembaranku, kamu tinggal berkonsentrasi mengarahkan pikiranmu sekan-akan kamu berbicara dengannya dalam pikiranmu. Dia akan segera menanggapi kontak pikiranmu selama kamu bermaksud untuk berbicara kepadanya. Dia tidak akan tahu apa pikiranmu bila kamu tidak mengarahkan maksud dari pikiranmu kepada Qorin. Hati-hati! Jangan mencampurkan pembicaraan dengan pemikiranmu, dia akan dapat mendengar hatimu!" ada jeda sebelum Kakeknya berkata, "ayo, kita mulai latihan sekarang! Fokus, ya! Jangan lengah! Kamu juga jangan bertanya hal-hal yang menyangkut urusan pribadiku!”

Setelah penjelasan panjang lebar itu, Bayu segera memejamkan mata dan mulai membaca doa.

Dia memfokuskan pikiran untuk melihat Kembaran Kakeknya. Tidak lama kemudian, Bayu merasakan seseorang sedang menatapnya.

Bayu membuka matanya dan melihat sosok yang mirip Kakeknya dengan wajah pucat sedang memeluk lengan kiri Kakeknya.

Tubuhnya agak transparan. Dia duduk melayang menembus pegangan tangan kursi kayu dan menatap Bayu dengan mata ingin tahu.

Bayu menatap mata Kembaran Kakeknya sambil berpikir untuk berkomunikasi dengannya di dalam pikiran dan di dalam benaknya seolah-olah berkata, “Kembaran Kakek, apakah kamu tahu tanggal lahir Kakekku dan tempat kelahirannya?”

“Aji Suwarno lahir pada tanggal 12 Mei 1953 di Kota Magelang!” Kembaran kakek menjawab.

“Apakah kamu tahu siapa nama almarhum istri Kakekku?” Bayu bertanya lagi menguji Kembaran Kakeknya.

“Nama istri Aji Suwarno adalah Sulastri!” Qorin Kakek menjawab lagi.

“Sudah cukup, Yu!” Kakek tiba-tiba menyela pembicaraanku dengan Qorinnya.

“Apa yang kamu tanyakan kepada Kembaranku?” Kakek bertanya dengan maksud menguji Bayu.

“Bayu bertanya tanggal dan tempat kelahiran Kakek serta nama Nenek kepadanya!” Bayu menjawab pertanyaan Kakeknya.

Dan dia menjawab apa?” Kakek Warno bertanya lagi.

“Dia menjawab Kakek lahir tanggal 12 Mei tahun 1952 dan nama Nenek adalah Sulastri!” Bayu menjelaskan.

“Bagus! Kamu sudah menguasai cara berkomunikasi dengan Jin Qorin sekarang! Aku tidak mengira kamu cepat belajar! Sekarang aku semakin tenang melepas kepergianmu ke Jakarta!” Kakek Warno memuji Bayu dengan puas.

“Ingat! Mulai saat ini, kamu harus tetap berhati-hati dan rendah hati pada setiap kesempatan! Jakarta berbeda dengan Magelang. Kehidupan di sana lebih keras dan kejam. Kamu harus cerdik dalam menghadapi setiap situasi dan kondisi!”

“Minggu depan, kamu boleh berangkat ke Jakarta, ibumu sudah mengirimkan uang buat ongkos bus dan makan di jalan. Kamu bebas selama satu minggu ini kalau mau bermain. Kakek mulai besok praktik lagi di Muntilan,” ucap Kakek mengingatkan Bayu untuk selalu berhati-hati dan waspada.

Bayu keluar dari ruang tamu dan duduk merenung di kursi teras.

Dia merasakan jantungnya berdebar karena gugup berpikir pengalaman apa yang menantinya di Jakarta.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status