“Barangkali ini terdengar agak kejam. Tapi terpaksa kulakukan demi meraih kebahagiaan kita berdua, Sica….”
“Aku tidak mengerti.”
Tommy menghela napas panjang. Kemudian dia berkata dengan suara parau, “Mama sekarang kondisinya memang membaik, tapi kanker tetaplah kanker. Butuh pengobatan secara intensif dan membutuhkan dana yang besar seumur hidup.”
“Lalu?”
“Dia sekarang sudah tidak lagi bekerja di perusahaan. Aku telah menggantikannya semenjak kembali dari Melbourne. Keuangan keluarga Saputra sekarang berada sepenuhnya di tanganku. Perusahaan, rumah, mobil, properti-properti aset keluarga kami sudah lama diatasnamakan diriku oleh almarhum Papa karena….”
“Karena apa?”
“Karena Mama Wanda itu sebenarnya bukan ibu kandungku….”
“Heh?!”
Kepala Jessica terasa pening seketika. Tante Wanda bukan ibu kandung Tommy? Jadi dia ibu tiri?! duganya dalam hati.
“Tapi, Tom,” sergah Jessica tak yakin. “Aku melihat sendiri foto pernikahan Tante Wanda dan ayahmu dipajang di rumahmu. Juga foto-fotonya waktu menggendongmu saat masih bayi. Bagaimana mungkin dia bukan ibu yang melahirkanmu?”
Pemuda itu tersenyum simpul menanggapi pertanyaan gadis yang benar-benar tak habis pikir itu. “Sica…,” katanya pelan. “Wanita dalam foto-foto itu memang ibu kandungku. Namanya Windy. Beliau meninggal dunia akibat kecelakaan mobil waktu aku masih berusia tiga tahun. Mama Wanda adalah adik kembarnya.”
“Ya, Tuhan!” seru Jessica seraya menutup mulutnya.
“Reaksiku juga sama sepertimu waktu pertama kali mengetahuinya.”
Suasana terasa agak mencekam. Yang terdengar hanyalah melodi lagu slow yang mengalun dari USB yang dipasang dalam mobil Tommy. Mereka memang sejak tadi berbincang-bincang di dalam mobil yang diparkir di depan rumah Jessica.
Tommy lalu melanjutkan ceritanya, “Aku sebenarnya sudah diberitahu oleh mendiang Papa sebelum beliau meninggal akibat penyakit gagal ginjal. Waktu itu aku masih berusia lima belas tahun. Beliau bercerita bahwa Mama Wanda bersedia menikah dengan Papa yang notabene adalah kakak iparnya sendiri karena merasa kasihan terhadapku. Dia tidak keberatan foto-foto Mama Windy masih dipajang di rumah dengan syarat orang-orang mengakuinya sebagai foto Mama Wanda. Menurutnya kehidupanku akan lebih bahagia jika tidak mengetahui bahwa ibu kandungku yang sebenarnya telah meninggal dunia.”
Jessica menelan ludah. “Tapi kenyataan itu kan tidak bisa disembunyikan selamanya!”
Tommy mengangguk setuju. “Akhirnya Papa menceritakan semuanya padaku sehari sebelum beliau menutup mata untuk yang terakhir kalinya. Tak ada seorang pun yang tahu waktu itu. Mama Wanda sedang pergi dan Papa meminta perawatnya meninggalkannya sebentar karena dia mau berbicara empat mata denganku. Papa berkata bahwa pernikahannya dengan Mama Wanda tidak dikaruniai anak karena dia sempat mengalami keguguran dua kali dan merasa trauma. Mama Wanda menyayangiku dengan setulus hati bagaikan anak kandungnya sendiri dan dia bersedia menjagaku hingga aku benar-benar siap mewarisi kekayaan keluarga Saputra.”
“Jadi sampai saat ini Tante Wanda tidak menyadari bahwa kau sudah mengetahui jati diriya yang sebenarnya?”
Tommy menggeleng. “Karena itulah, jika kali ini Mama Wanda masih menentang hubungan kita, mungkin aku terpaksa menyakitinya sedikit dengan berkata bahwa aku tidak peduli. Aku berhak menikah dengan siapapun yang kucintai karena ini menyangkut kebahagiaanku. Mama Wanda memang sangat berjasa telah mengasuh dan membesarkanku, tetapi aku tak harus mengejar-ngejar restunya karena dia bukan…ehm…ibu kandungku.”
Deg! Hati Jessica berdesir. Inikah karma yang kedua bagi perempuan jahat itu? pikirnya tak percaya. Pertama, dia terkena kanker leher rahim. Kedua, dia akan kehilangan putra yang diasuhnya dengan penuh cinta kasih kalau masih memaksakan kehendaknya. Wow, luar biasa sekali tangan-tangan Tuhan kalau sudah bekerja!.
“Menurut ayahku dulu, beliau membuat surat wasiat bahwa aku baru berhak mengelola semua aset peninggalannya kalau sudah berusia dua puluh enam tahun. Sebelum mencapai umur tersebut, semua aset keluarga meskipun sudah atas namaku tapi masih dipercayakan pengelolaannya kepada Mama Wanda.”
“Kamu sekarang berusia dua puluh tujuh tahun!” seru Jessica spontan.
“Betul,” jawab pemuda itu sambil mengangguk. “Tapi tahun lalu Mama belum menghubungiku untuk pulang dan menangani bisnis keluarga. Dalam hatiku juga ada perasaan tidak enak mengkonfirmasi pesan almarhum Papa itu. Akhirnya kubiarkan saja berjalan apa adanya dan tiba-tiba tahun ini Mama mengabariku tentang penyakitnya.”
“Tom, apakah kamu benar-benar sampai hati menentang Tante Wanda? Biar bagaimanapun dia tetap ada hubungan darah denganmu, kan? Dia tantemu sendiri.”
“Aku tahu apa yang kulakukan, Sica. Percayalah. Mama Wanda itu orang yang sangat mandiri tapi dia mempunyai dua kelemahan, yaitu takut jatuh miskin dan meninggal dunia dalam kesepian.”
Jessica memelototi pemuda itu saking kagetnya. “Jadi…jadi kamu akan mengancam tak akan memberinya uang sepeserpun dan meninggalkannya begitu saja kalau dia….”
“Tidak merestui hubungan kita.”
Gadis itu terdiam untuk beberapa saat lamanya. Kemenangan rasanya sudah separuh berada di tanganku, ujarnya dalam hati. Kemenangan yang tidak kuupayakan sama sekali. Tinggal separuhnya lagi yang harus kuperjuangkan. Tapi…setimpalkah itu dengan penderitaan yang dulu kualami? pikirnya ragu-ragu. Kehidupanku sekarang sudah sangat tenteram, meskipun kemungkinan kecil aku bisa hidup berumah tangga seperti wanita pada umumnya. Kepala gadis itu terasa semakin pening sekarang.
“Aku hanya membutuhkan sebuah jawaban darimu, Sica. Begitu kamu setuju menikah denganku, maka kuperjuangkan mati-matian agar segera terwujud. Bagaimana?”
Sorot mata Tommy tampak bersungguh-sungguh. Hati Jessica terasa agak luluh. Tapi gadis itu lalu menggeleng. Pemuda yang tadinya tampak bersemangat itu langsung lemas seketika.
“Apakah aku benar-benar sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk membahagiakanmu, Sica?”
“Aku sudah bukan Sica yang dulu, Tom. Kamu berharap terlalu banyak.”
“Iya, aku tahu. Kamu sekarang sudah menjadi seorang wanita yang mandiri dan mempunyai karir cemerlang. Jujur saja penampilanmu sekarang membuatku kagum. Benar-benar tampak profesional, Sica. Tidakkah terpikir olehmu untuk membuka kantor pemasaran properti sendiri? Aku bersedia mendanainya asalkan kamu sendiri yang memimpinnya. Bagaimana?”
Gadis itu tersenyum sinis. Sekarang dia mau menyuapku, batinnya mencemooh. Walaupun…ehm…tawaran ini menarik sekali. Barangkali bisa kupertimbangkan terlebih dahulu.
“Sudah malam. Nggak enak berlama-lama di dalam mobil begini. Takut orang berprasangka yang tidak-tidak. Aku masuk ke rumah, ya. Bye,” pamit gadis itu jual mahal.
“Baiklah,” sahut Tommy mengalah. “Tapi tolong pertimbangkan maksud hatiku baik-baik, ya. Aku benar-benar mengharapkan kita bersatu kembali, Sica. Because I really love you.”
Jessica mengangguk acuh tak acuh. Dibukanya pintu mobil dan keluar turun. Tanpa menoleh lagi, dibukanya pintu pagar dan dengan langkah ringan ia masuk ke dalam rumah. Mantan kekasihnya hanya bisa memandanginya dengan sorot mata penuh pengharapan. “Aku mengerti kamu belum sepenuhnya mempercayaiku, Sica,” gumamnya pelan pada dirinya sendiri. “Tapi percayalah, kali ini sungguh berbeda keadaannya. Akan kuterjang hambatan apapun yang menghalang-halangi bersatunya kita kembali!”
***
Jessica duduk di depan meja riasnya. Ditatapnya bayangan wajahnya pada cermin di hadapannya. “Aku memang sudah berubah,” ujarnya pada dirinya sendiri. “Bukan lagi Sica yang lugu dan mudah ditipu orang lain.”Ingatannya kembali pada peristiwa tujuh tahun yang lalu. Ketika itu dia baru menerima pesan WA dari Tante Wanda setelah tiga hari menunggu-nunggu dengan hati gelisah.“Silakan duduk, Sica,” kata perempuan itu ramah begitu melihat Jessica muncul di ruang tamunya.”“Terima kasih, Tante.”“Kamu kelihatan lebih segar dibanding beberapa hari yang lalu.” 
Tiba-tiba sebersit perasaan bersalah dalam lubuk hatinya dan dia pun menangis tersedu-sedu. Jenny dan ibunya hanya diam saja melihatnya. Maafkan aku, Anakku! jerit Jessica dalam hati. Mama telah membunuhmu tanpa sengaja. Maafkan Mama, Nak!Hati Jessica masih teriris setiap kali mengenang kejadian menyakitkan itu. Ia keguguran, rahimnya cacat, dan bahkan tak mampu membayar biaya perawatan di rumah sakit! Jenny-lah yang melunasi semua tagihan rumah sakit dengan uang tabungannya. Ponsel Tante Wanda tak dapat dihubungi. Rumahnya pun kosong ketika didatanginya bersama Jenny beberapa hari kemudian sekeluar dirinya dari rumah sakit.Hanya spanduk bertuliskan kata Dijual yang menyambutnya di depan pagar rumah mewah tersebut. Ketika nomor agen properti yang tertera pada spanduk itu diteleponnya, orang itu mengatakan bahw
Dada Wanda berdebar-debar mendengarnya. “Untuk apa?” tanyanya keheranan.“Sebelumnya Tommy meminta maaf, Ma,” ucap pemuda itu sembari menatap ibunya penuh penyesalan. “Tommy sudah lama mengetahui bahwa Mama Wanda bukanlah ibu kandung Tommy yang sebenarnya. Juga bahwa almarhum Papa membuat surat wasiat yang menyatakan bahwa seluruh aset keluarga Saputra menjadi hak milikku sepenuhnya dan bebas kukelola saat diriku menginjak usia dua puluh enam tahun. Saat ini umurku dua puluh tujuh tahun. Berarti telah terjadi penggelapan sejumlah aset keluargaku selama setahun terakhir. Tentunya Mama Wanda adalah orang pertama yang bisa kumintai pertanggungjawaban, bukan?”Wanda terbelalak. Dia…dia sudah mengetahuinya! Bagaimana mungkin?“Papa yang memberitahu Tommy sendiri sebelum akhir hayatny
“Mau datang kok nggak ngasih kabar dulu, sih? Aku sebentar lagi mau pergi,” jawab sang nona rumah sebal sembari membuka gembok pagar. Dibukanya pagar itu sedikit sehingga leluasa berbicara dengan tamunya yang datang tanpa pemberitahuan ini.“Aku kebetulan habis antar klien survey rumah di dekat sini. Sekalian aja mampir kemari. Mau pergi ke mana? Kuantar, yuk.” “Ehm…, “ jawab Jessica kebingungan. “Aku nanti dijemput teman.”“Oya? Siapa?”“Yah…teman.”Moses menatapnya lekat-lekat. “Teman spesial?” tanyanya
“Lihatlah, Ma. Sica masih rendah hati sekali seperti dulu, tidak suka menonjolkan diri,” cetus Tommy membangga-banggakan gadis pujaannya di depan ibunya.Wanda manggut-manggut dan memaksakan dirinya untuk tersenyum. Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan yang mengenakan seragam perawat muncul dan berkata lirih, “Makan malamnya sudah siap, Bu Wanda.”Sang nyonya rumah mengangguk dan kemudian mengajak putra serta tamunya menikmati makan malam bersama. “Mari Sica, kita makan malam sama-sama.”“Baik, Tante. Terima kasih,” jawab tamunya sopan. Sorot matanya begitu dingin dan membuat hati Wanda agak mengerut melihatnya. Tommy yang tak menyadari ketegangan yang terjadi diant
“Suara tawamu terdengar mengerikan. Lihat, bulu kuduk Kakak sampai berdiri.”Jessica menatap kakaknya dengan wajah berseri-seri. “Tuhan sedang berpihak kepadaku, Kak. Tentu saja takkan kulewatkan kesempatan ini. Suatu saat Kakak akan mengerti apa yang kumaksud. Sekarang sudah malam. Tidur, yuk. Besok pagi aku mesti pergi ke kantor notaris untuk melakukan transaksi sewa-menyewa ruko.”Jenny mengangguk dan kemudian meninggalkan kamar tidur adiknya dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Semoga adikku tidak nekad melakukan hal-hal yang berisiko, batinnya was-was. Kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini. Kalau sampai terjadi apa-apa dengannya, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri.***Keesokkan paginya tanpa sengaja Jessica bertemu
Moses menatapnya getir. “Aku memang bukan laki-laki alim, Jess. Tapi kamu juga tahu bahwa perempuan-perempuan itu juga sama halnya dengan diriku. Gadis-gadis lajang yang sekedar suka bermain-main dan tak peduli akan komitmen. Atau janda-janda muda yang kesepian dan butuh kenikmatan sesaat. Sama sekali tak ada pihak yang dirugikan dalam hubungan kami.”“Berarti kamu sangat menikmatinya, kan?”“Aku berusaha menikmati apa yang tersedia di depanku karena gadis yang kucintai tak pernah menghiraukan perasaanku.” Jessica terdiam seketika. Perasaannya kini campur-aduk tak karuan. Ia tak ingin menyakiti hati pria yang selalu bersikap baik padanya ini. Dirinya percaya cinta Moses sangat tulus dan jauh lebih layak diperjuangkan daripada c
Sahabatnya itu mengangguk dan langsung menghilang ke kamar mandi. Jessica duduk menunggu di sofa ruang tamu. Gadis itu lalu memeriksa pesan-pesan WA yang masuk dalam ponselnya. Ada pesan dari Tommy, batinnya ingin tahu. Dia menyuruhku menunggu dua hari terhitung sejak kemarin. Katanya akan membawakan sesuatu yang dapat membuatku percaya bahwa dia takkan meninggalkanku lagi. Hmm…apa itu, ya? pikirnya penasaran. Gadis itu lalu membuka chat WA Tommy dan membacanya dalam hati. Sica, apakah jam 5 sore besok kita bisa bertemu di rumahmu? Ada sesuatu yang perlu kutunjukkan padamu. Semoga hal itu akan membuatmu yakin bahwa aku setulus hati bermaksud menikahimu dan takkan meninggalkanmu lagi. Jessica tersenyum getir dan membalas