“Keningnya sangat dingin, tapi aku merasakan ada sedikit hangat di dalamnya. Kita harus mengeluarkan mereka supaya bisa memeriksa denyut nadinya dengan lebih baik!” Cemas Fu berujar. Matanya melihat ke sana kemari.“Kalian tetaplah di sini!” ujar Fu lagi, langsung berdiri, melesat, dan melompat ke atas tebing.Shaw menaruh kotak di tangan, berjalan mengamati sekitar, barangkali ada sebatang ranting atau batu. Bailey ikut berdiri, mencari ke sisi lain.Dalam seperempat gelas sesapan kopi, Fu kembali dengan tiga batang kayu cukup lebar yang ia temukan di hutan. Ia memberikan dua dari kayu tersebut pada Shaw dan Bailey, lalu mulai mengeruk.Ketiganya menggunakan tangan mereka untuk membantu menyingkirkan pasir-pasir. Mereka mengeruk satu per satu orang agar lebih cepat dikeluarkan.Tidak mengindahkan tangan dan kuku-kuku yang dipenuhi pasir, Fu mengecek leher dan tangan Joe setelah merebahkan Joe dalam posisi tengkurap sebab pasir yang menyelimuti punggung Joe berwarna merah dan tercium a
Lentera Shaw taruh di meja. Shaw duduk di lantai, mengecilkan nyala api di dalam lentera hingga penerangannya sangat temaram.Shaw mencondongkan badan ke depan, menatap Fu dan Bailey dengan serius.“Mereka lebih dari lima orang,” bisik Shaw.Saat Shaw menyalurkan hakinya ke seantero rumah melalui kaki, getaran dari gelombang bumi lebih jelas terasa. Suhu hangat dari tubuh tersalur ke alas kaki sosok di luar, lalu bersentuhan dengan bumi yang suhunya lebih netral.Hantaman kembali terdengar, menyebar di beberapa titik lain. Pintu depan, pintu dan jendela dapur, jendela kamar.“Aku masih belum bisa merasakan hakinya. Siapa pun mereka, pastilah para terlatih. Kita tidak bisa menghadapinya, harus meminta bantuan,” ujar Fu, berbisik.Namun, pada siapa? Fu tidak mungkin meminta bantuan orang-orang dari kelompoknya.Hantaman makin keras. Suaranya sudah terdengar seperti ledakan. Shaw menggeleng pelan, tidak yakin berapa lama mereka dapat bertahan.“Mereka mungkin mencari Joe dan dua orang itu
Embusan angin di luar rumah Spencer makin kencang. Dedaunan di pohon-pohon bergoyang menari. Kilatan cahaya terang mewarnai pertarungan anak buah Bexter dengan orang-orang berpakaian hitam bersimbol naga hibrid.Di tengah kecamuk itu, sekumpulan prajurit lain datang dari berbagai arah, menembus dinding haki berwarna seiras pelangi dan masuk ke dalam pertempuran. Mereka membantu anak buah Bexter yang tersudut sebab kalah jumlah dan kekuatan.Bola-bola haki hitam besar dilayangkan oleh para pemilik simbol naga hibrid, ditahan dengan haki perisai oleh sebagian anak buah Bexter dan Ascal sedangkan sebagian yang lain menghantamnya dengan bola-bola haki putih. Benturan dari kedua haki bak kumpulan udara tersebut menimbulkan dentuman nyaring nan memekakkan telinga. Angin pun makin kencang. Jika saja rumah tidak dilapisi haki oleh Shaw, sudah pasti rumah tersebut akan porak-poranda.Beberapa pemilik simbol naga hibrid mengambil celah untuk membobol rumah Spencer dengan terus menghantamnya meng
Ketika kabar menghilangnya tiga alumni sampai ke telinga dan tahu bahwa salah satu dari tiga alumni tersebut adalah Joe, Fu menjadi resah. Ia sangat tidak tenang.Di waktu-waktu luang saat menjalankan tugasnya mengawasi Shaw, Fu menggunakan sebagian besar waktu tersebut untuk mencari Joe.Kini, Joe telah ia temukan. Fu ingin Joe selamat. Ia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi lagi pada Joe.“Dia punya seorang adik laki-laki yang tinggal di akademi. Satu-satunya anggota keluarga yang dia punya dan sangat dia lindungi. Tolong pertemukan mereka dan jangan sampai adiknya berada di luar untuk sementara waktu atau orang-orang bersimbol naga hibrid akan menggunakan adiknya untuk mendapatkan Joe kembali,” kata Fu lagi.Ini adalah satu dari sekian hal yang sangat menyebalkan bagi Fu. Orang-orang yang menjadi anak buah, pelayan, atau budak, akan memberikan data semua anggota keluarga yang dimiliki kepada tuan mereka. Hal ini kerap kali digunakan jika mereka melakukan pemberontakan atau semaca
“Untuk sementara, kalian tinggal di sini. Semua materi pelajaran akan diberikan dan kebutuhan kalian akan diantar pelayan. Jangan pergi ke luar mansion sebelum diizinkan, ya.”Tidak banyak yang dapat Bexter katakan. Ia belum pandai menghadapi anak kecil, pun merasa tingkat kepahaman serta daya serap dirinya dengan ketiga remaja dan anak kecil di depannya tersebut berbeda. Ia hanya berharap mereka setidaknya akan mematuhi.“Kami tidak tahu apa yang sedang terjadi, tetapi kami akan mendengarkan,” sahut remaja laki-laki yang paling tinggi, diikuti anggukan tiga orang yang datang bersamanya, lantas mereka masuk ke paviliun.Bexter berbalik usai keempatnya masuk dan pintu ditutup, kemudian pergi menuju dungeon. Di taman, ia melihat Zander yang sedang berpatroli keliling mansion bersama Ryson. Bexter melambaikan tangan dan menghampiri mereka.“Tuan Larson.” Zander dan Ryson menyapa seraya sedikit membungkukkan kepala.“Tuan Hunt sudah pulang?”“Sudah, Tuan. Tadi pulang bersama Tuan Muda.” Za
Fu masih tertidur nyenyak. Bocah mata-mata itu tampak begitu pulas, kentara benar-benar kelelahan atau lama tidak tidur di tempat yang nyaman.Shaw tidak sampai hati membangunkan, tetapi juga teringat akan permintaan Fu sebelum tidur dan itu mendorongnya pada kebimbangan. Tidak ingin pusing, Shaw memutuskan untuk berolahraga sejenak dan membersihkan diri. Baru setelahnya kembali ke kamar.“Fu .... Ayo, bangun.”Burung yang berkicau di luaran makin banyak. Shaw mengusap-usap lengan Fu karena bocah mata-mata itu tidak kunjung membuka mata hanya dengan panggilan.Fu merespon. Tangan Shaw yang cukup sejuk karena sehabis mandi bagai sentuhan salju di kulit Fu.Mata Fu bergerak, terbuka perlahan. Untuk beberapa saat, Fu tidak lantas menyahut. Ia hanya mengerjap dan menatap langit-langit kamar.“Sudah pagi, ya?” tanya Fu dengan suara kecil.“Belum. Hari masih gelap. Ayo, bangun ... kuajari kau memasak sesuatu.”Shaw beranjak dari tempat tidur, membuka pintu lebar-lebar, dan pergi ke dapur. Be
“Akan kupastikan kau menggenggam yang seharusnya kau miliki. Kau akan mendapatkan keadilanmu, Shaw. Takkan kubiarkan siapa pun melukaimu selama aku masih hidup.” Weizhe membatin dalam bungkamnya mulut.Shaw memang masih kecil. Namun, Weizhe tahu, pengaruh yang dimiliki bocah itu jauh lebih besar dari yang dapat dijangkau orang.Tidak seorang pun mengerti tentang betapa berbahayanya seorang Shaw. Kehadirannya di Zanwan telah menimbulkan desas-desus tanpa suara di antara para petinggi desa, terlebih sejak mereka melihat dengan mata kepala sendiri rupa Shaw hari itu di balairung.Weizhe memahami betul garis merah yang terikat pada Shaw dan ia bertekad pada diri sendiri, ia akan berada di sana kapan pun ia dibutuhkan.Bagi Weizhe, dunia terasa makin suram tiap harinya. Rahasia masa depan yang coba ia singkap justru makin jauh. Weizhe telah menghabiskan waktu yang sangat lama di Zanwan. Kini, ia merasa waktu singgahnya akan segera berakhir bersamaan dengan tercapainya impian Shaw.Lembayung
Merasa senang, senyum Mival makin mengembang. Ia berbalik lagi dan berlari ke paviliun.Mival sempat lupa bahwa Shaw tidak memiliki banyak waktu karena berusaha keras untuk mewujudkan impiannya. Bukan hanya waktu untuk Mival yang menjadi korban, tetapi juga waktu untuk diri Shaw sendiri. Mival sadar, tidak seharusnya ia merajuk dan bersedih atas hal itu. Seharusnya ia mendukung dan menyemangati karena impian Shaw menyangkut kehidupan orang-orang di seantero Zanwan.“Perkembangan anak itu semakin pesat,” gumam Shaw, memandang Mival yang masuk ke paviliun Bexter.Shaw menarik tali kekang, berniat membawa kuda ke kandang agar sang kuda tidak membuat ulah selagi dirinya bertemu Bailey.“Biar aku saja.”Wilton merebut tali kekang kuda dari Shaw, mencegah bocah itu untuk membawa kuda ke kandang. Ini memang tugasnya.“Terima kasih! Aku masuk dulu, ya?” sahut Shaw.Wilton mengangguk dan pergi sembari menarik kuda.Prajurit yang berjaga di depan pintu utama masuk ke dalam, kemudian keluar lagi
“Katakan saja,” ucap Bailey di sela makannya.Bailey tahu dua anak lelaki ini takkan mendatanginya kalau hanya untuk makan. Ada meja-meja kosong lain yang siap untuk ditempati, pun keduanya belum pernah begitu pada Bailey sepanjang sejarah bersekolah walau satu kelas dengan Bailey.“Kami … agak … penasaran. Apa Tuan Muda akan mendaftar untuk turnamen?” Otto Atrius yang duduk di sebelah Milo bertanya. Bibir merah cerahnya berulang kali mengatup dan terbuka setelah pertanyaan diajukan. Otaknya berpikir apakah pertanyaan itu sudah pas atau tidak.“Turnamen umum, maksudmu?” tanya Bailey.Otto mengangguk. “Kami dengar-dengar tahun ini murid yang terpilih untuk mewakili sekolah boleh mendaftar turnamen umum. Kami juga baca informasinya di mading pagi ini.”“Kalau terpilih mewakili sekolah, lalu mendaftar di turnamen umum dan ternyata lolos dalam keduanya ke final, terlebih keluar sebagai juara di peringkat satu, akan otomatis mendapat tiket emas dan bonus berlipat.” Milo turut bicara setela
“Ayah dan Ibu bawa apa? Itu terlihat banyak sekali!” Shaw mengamati tas-tas belanjaan dengan antusias. Salah satu isi yang tertangkap matanya adalah pakaian.“Oh, ini untuk putra Ibu yang paling manis!” Suara wanita menjawab.“Asyik! Pakaian, ya?” tanya Shaw.“Betul. Ada mainan juga!” Suara pria yang bicara.“Horeeee … mainan!” Shaw berseru gembira. Kebahagiaan meluap-luap pada suaranya.Di atas kaca, Shaw gemetar. Ia tidak mengira danau kaca keyakinan akan menampilkan momen seperti itu. Ia kira itu hanya akan berkisar perjalanannya, rencananya dengan Bailey, tantangan yang dihadapi dalam upaya mewujudkan impian tentang Zanwan. Namun, apa yang ia dengar sepenuhnya berbeda. Sama sekali tidak ada dalam bayangannya. Tidak sedikit pun.Mata Shaw bergetar. Air makin banyak di sana, lalu tumpah kala Shaw dengar suara yang sangat familier.“Shaw, jangan melompat-lompat tinggi begitu.” Itu suara Spencer, terdengar riang dan penuh kasih.“Shaw gembira sekali sepertinya.” Gracie menyusul bicara
“Ini danaunya.”Shaw sampai di ujung hutan lain setelah dari hutan sunyi dan melewati padang rumput. Di hadapannya membentang danau jernih yang berkilau, besar dan luas yang tidak mampu Shaw ukur dengan pasti. Ia perkirakan luasnya sama atau bahkan melebihi lapangan alun-alun distrik Acilav.“Sampai di danau itu, cara paling cepat untuk melewatinya adalah membelahnya. Menyeberanginya,” kata Fu dalam pesannya sebelum berpisah. “Jangan terkecoh dengan ukurannya yang kau mungkin kira tidak seberapa luas; masih sangat mungkin untuk dilewati dengan mengitarinya. Terkadang dalam waktu dan untuk alasan yang tidak terduga, setelah melihat wujudnya, begitu kau berjalan, mencoba memutari danau untuk sampai di seberang, di sisi lain, kau akan dapati bahwa ujung danau bahkan tidak kautemukan. Semua yang kaulihat mungkin hanya akan menjadi hamparan air. Tidak ada lagi pepohonan, tidak ada lagi daratan selain tempat kau berpijak dan sekitar.”Shaw berjinjit, mencoba menjangkau seberang danau dengan
“Ada rencana untuk keluar lagi di sisa hari ini, Tuan Muda?” Wilton bertanya seturunnya ia dari kuda, memegangi tali setelah Bailey turun. Mereka baru sampai di mansion, pulang dari sekolah.“Kurasa tidak. Sepertinya aku akan habiskan waktu di meja belajar.”“Baik. Saya akan ada di pos malam ini kalau Tuan Muda butuh sesuatu.”“Ya. Aku masuk, ya. Terima kasih untuk hari ini, Wilton.”Bailey pergi, masuk ke mansion. Wilton mengiringi kepergian Bailey dengan anggukan penuh hormat. Bibirnya melengkung membentuk senyum. Usai Bailey tidak lagi terlihat, Wilton membawa kuda ke kandang.Sampai kamar, Bailey menyalakan penerangan, melepaskan ransel, dan bersih-bersih. Ia melanjutkan dengan menekuri buku-buku mata pelajaran sampai pelayan memanggil namanya dari luar pintu.Makan malam tiba, Bailey berseri-seri menemukan Jillian di meja makan. Canda tawa Jillian serupa bunga-bunga di musim semi dan keceriaan Bariela adalah penyempurna. Jillian telah kembali dengan warna cerahnya, tidak lagi ber
Atmosfer terasa lebih ramah. Irama dari ranting-ranting dan dahan oleh angin terdengar lebih wajar dibandingkan tadi. Shaw makin yakin, semua karena Morth. Atmosfer, halusinasi, entah apa lagi yang Morth sebabkan.Satu pertanyaan besar dalam benak Shaw. Siapa Morth sesungguhnya? Mengapa seisi hutan sunyi hingga seluruh penjurunya seakan-akan berada di bawah kaki tangan Morth?“Kau memikirkan aku?” Morth tiba-tiba bertanya. Rupanya ia mengekori Shaw.Huh? Apa Morth juga bisa membaca pikiran?!Shaw menengok ke belakang, langkahnya melambat.“Jangan katakan kau dapat menembus kepala orang.”“Kau banyak bertanya, belum tuntas seluruhnya.” Morth mensejajarkan diri. Sejenak, ia melihat Shaw dari atas ke bawah. “Orang keras kepala seperti kau tentu akan merenungkannya. Aku benar, bukan?”“Kita baru saling tahu beberapa saat lalu dan kau yakin sekali dengan kata-katamu. Antara kau pandai menilai atau hanya pandai berasumsi.” Shaw menggeleng. Pandangan ia tujukan ke depan.Morth menyentuh lenga
Tanduk. Hal pertama yang dilihat oleh Shaw dari sumber suara adalah tanduk, tersembunyi di antara dedaunan semak belukar setinggi pinggang orang dewasa.Shaw mengernyit, kemudian bergumam lirih dalam hati, “Itu seperti tanduk rusa.”Sepasang mata semerah darah terlihat dari celah dedaunan. Shaw menelan ludah. Ia tahu betul itu bukan mata hewan biasa, apalagi manusia. Tidak ada satu pun penduduk desa yang pernah ditemuinya memiliki mata seperti itu.Mungkinkah ini yang Fu maksud? Apa pun itu, merasakan haki tidak biasa dari sang sosok misterius membuat Shaw merasa dirinya tidak boleh berlama-lama.Diliputi kewaspadaan dan dengan suara tercekat, ia berucap dalam hati, “Aku harus segera pergi dari sini.”Tanpa melakukan pergerakan yang kentara serta dengan posisi kepala yang masih sama, tatapan Shaw menyisir sekitar; memastikan tidak ada keanehan lain. Ia yang semula berjongkok pun perlahan berdiri sepelan mungkin. Namun, bak lelah bermain petak umpet, ransel yang Shaw gendong mengeluarka
“Tetap tidak bisa! Terlalu berbahaya. Kau, kan, tahu lebih baik daripada aku, Tibate.” Fu mengangkat kepala, menatap lurus Tibate dan Baldor. Ini bukan waktu yang tepat, pikir Fu. “Lagi pula aku bisa menjaga diri. Akan kupanggil kalian jika hal buruk terjadi dan aku tidak bisa mengatasinya.”“Kau bisa tinggal, Fu. Aku akan melanjutkan perjalananku seorang diri,” sela Shaw, angkat bicara setelah menimang-nimang.“Tidak ....”“Aku juga akan meninggalkan kudaku di sini.” Shaw menepuk pundak Fu. Ia serius ingin Fu tinggal. “Bold bilang ada danau dan tebing. Jadi, aku tidak bisa membawa kudaku. Selain itu, kau bisa mengawasi keadaan hutan dan mengabariku. Kau juga terluka, Fu. Jangan bersikeras seolah-olah kau baik-baik saja. Bagaimanapun kau juga masih anak-anak.”Ini adalah tugas Shaw. Sejak awal, Shaw memulainya sendiri dan ia harus melanjutkannya sendiri. Shaw tidak ingin merepotkan.Fu berdecak, tidak terima, tetapi juga tidak menyangkal ataupun menyanggah. Bertemu Baldor dan Tibate me
Pria berjanggut memperhatikan sambil mengusap-usap janggut dan kumisnya. Saat otaknya mengingat sesuatu tentang Fu, matanya melebar.“Kau ingin aku mencincangmu, hah?!” Tibate berseru.Setelah ikan bakarnya rusak, sekarang dirinya yang nyaris terbakar. Pria plontos itu tidak terima.Tibate menghentak tanah dengan kakinya, bergantian kaki kanan dan kaki kiri. Pegangannya pada gagang pedang makin erat.Fu melompat mundur, mengambil sikap siaga, meningkatkan kewaspadaannya. Ia siap dengan apa pun yang akan Tibate lakukan untuk membalasnya.Sebelum Tibate menyerang balik, pria berjanggut yang masih menggenggam keranjang bambu berjalan ke depan Tibate, lalu berdiri memunggungi Fu dan Shaw.“Kau mau dikutuk atau sudah bosan hidup?!” tanya pria berjanggut.“Apa maksudmu? Kalau kau hanya ingin aku berhenti memberi anak itu pelajaran, sebaiknya kau minggir!” balas Tibate.“Kau tahu kau sedang berhadapan dengan siapa? Kau tidak berencana mengingkari janjimu pada Jenderal Besar, 'kan?! Ini memang
“Kau sedang bercanda?” Tibate mendengkus kasar. Ia jelas tidak suka.Pria plontos itu tahu dirinya sudah hidup lama, tetapi bukan berarti ingatannya menua. Ia tahu ingatannya masih berfungsi dengan sangat baik. Ia sangat meyakini itu.“Aku tidak bercanda,” sanggah Fu, berkacak pinggang. “Kau memberitahukannya sendiri padaku saat aku memberimu buah persik. Kalau kau masih tidak ingat, berarti ada yang salah dengan ingatanmu.”Buah persik?Tibate mengernyit. Ia merasa tidak asing, tetapi tidak mengingat apa pun.“Sudahlah. Lebih baik kalian pulang sekarang dan akan kuanggap ini tidak pernah terjadi,” ujar Tibate sambil memasang wajah serius.“Tidak bisa!” Shaw berseru. “Aku harus pergi ke tenggara!”“Ya. Kami tidak bisa kembali ke desa saat ini,” timpal Fu.Tibate memukulkan ujung pedangnya ke tanah, menimbulkan gelombang angin yang kencang. Dedaunan dan batu kerikil tersapu, begitu pun Fu dan Shaw yang ikut terpental.“Aduuh!” Shaw mengerang, berusaha bangun dan berdiri.“Sepertinya tid