Kalimat vulgar yang terucap dari Pak Arsen, menyadarkanku seketika. Bau napasnya yang wangi sudah tak lagi ingin kuhirup lebih lama.
"Jaga ucapan Anda, Pak. Di mana sopan santun Anda terhadap istri orang," ucapku, memaksa kalimat itu keluar dari tenggorokan yang tercekat. Tubuhku mundur menghindari Pak Arsen yang juga melangkah maju.
Dia berjalan pelan, menggiring kakiku ke belakang. Pinggulku beradu dengan sudut meja kerjanya yang membuatku terjebak dalam kungkungannya. Kedua tangannya diletakkan di atas meja untuk mengunciku.
"Nara, aku bisa memuaskanmu di ranjang," bisiknya sangat dekat. Hangat napasnya menyapu wajahku yang seketika membeku, kala Pak Arsen mempertemukan bibir kami.
Desiran-desiran aneh mulai kurasa mempermainkan bulu-bulu halus di sekujur tubuh. Jantung memompa kencang, mengalirkan darah dengar hebatnya ke seluruh penjuru. Kakiku melemas dan aku terhanyut oleh buaian bibir Pak Arsen, hingga tak sadar kapan dia melepaskan itu.
"Kau menikmatinya."
Demi Tuhan dan segala yang ada di muka bumi, sungguh ini sangat memalukan. Aku, seorang wanita bersuami baru saja menikmati ciuman dari lelaki lain yang-- intinya dia brengsek.
Sampai aku tiba di rumah sore harinya, bayangan itu terus berputar di kepala. Mataku yang bertabrakan dengan milik Ferdy seketika menganggap diri sangat hina. Aku merasa seakan baru saja tertangkap basah berselingkun.
"Kamu udah pulang?" tanyaku, mendudukkan diri di sebelah Ferdy. Suamiku lantas berdiri, tak ingin kami duduk bersebelahan. Tahukan dia dengan kejadian di kantor tadi?
Nara ... jangan mengada-ada. Hanya kau dan Pak Arsen lah yang tahu tentang itu.
"Jadi gimana? Kamu udah mikirin omongan aku kemarin, kan?"
Lagi? Itu lagi yang dia pikirkan? Astaga ... kami bahkan belum saling menyapa dan Ferdy sudah mengingatkan pertengkaran itu lagi.
"Fer, aku nggak bisa." Ya. Bagaimana pun katanya, aku nggak akan membiarkan suamiku menikah lagi.
"Jadi kamu lebih milik cerai sama aku? Nara, tolong dong sedikit aja pikiran kamu dibuka. Kita ini udah bersama lima tahun, dan kamu mau cerai gitu aja?" Ferdy membabi buta menyerangku.
Adakah aku meminta bercerai? Oke, baik. Kemarin aku memang sempat berkata lebih baik cerai daripada dimadu. Tapi, dia serius mau cerai?
"Bukan itu. Maksudku ... kita harus lebih berusaha. Kasih aku waktu dua bulan untuk hamil." Aku tak yakin dengan ini, tapi aku tak ingin punya madu. Setidaknya aku berusaha meminta Ferdy memberiku kesempatan.
"Dua bulan?" kata Ferdy. "Baik. Jika dalam dua bulan kamu nggak hamil, kita harus ikuti ucapan mama aku. Kita nggak akan cerai, kamu harus bisa menerima perempuan lain di rumah ini."
Kalimatnya sangat menusuk seperti belatih yang menghujamku tepat di jantung. Aku sakit. Sangat sakit, namun berusaha mengejarnya ke dalam kamar.
"Fer," panggilku. Dia memutar badan dan mendapatiku menatapnya dalam.
Kedua tangan kukalungkan di leher Ferdy sedang bibirku langsung menyerangnya. Kulumat habis bibir milik suamiku, dia termenung beberapa saat. Aku tak peduli dengan isi pikirannya saat ini.
"Nara, kamu kenapa, sih?"
Ferdy berusaha mendorongku. Aku memeluknya lebih ketat lagi untuk terus menempelkan bibir kami. Yang kutahu hanya ingin membuatnya tetap mencintaiku.
Dorongan di dalam diriku semakin menggila meminta segera dipuaskan. Pakaian di tubuh Ferdy kulucuti untuk menemukan sebuah benda yang mulai mengeras. Aku meremas, memainkannya sebelum memasuki keintimanku.
Aku ingin hamil. Aku ingin memberi Ferdy anak agar dia tidak menikah lagi. Bukankah untuk hamil kami harus sering melakukannya? Lantas kudorong Ferdy ke atas ranjang dan aku mengangkanginya.
"Ra, kamu ini apa-apaan, sih?"
Tiba-tiba Ferdy mendorongku turun dari atas tubuhnya. Dia duduk, matanya menatapku tak senang. Miliknya yang sudah berdiri tegap masih kutatap dengan kedua mata.
"Aku harus mandi. Aku ada urusan di rumah mama," ucapnya, meraih handuk untuk menutup miliknya.
"Tapi, Fer, kita belum siap. Ayo kita kelarin dulu, dong." Kupeluk dia sebelum beranjak ke kamar mandi, sedang tanganku kembali meraih miliknya.
"Jangan kayak perempuan nggak bener, Ra. Kamu ini apaan, sih? Nanti aja abis aku pulang dari rumah mama." Ferdy melepaskan pelukanku dan menghilang ke kamar mandi.
Perempuan nggak benar? Dia menganggap aku perempuan nggak benar hanya karena menggodanya? Ferdy itu suamiku dan aku istrinya. Apa salah jika istri menggoda suami? Lagian, kapan aku akan mengandung jika kami tidak melakukannya?
Sungguh ... penolakan ini jauh lebih sakit daripada keegoisannya selama ini. Aku kecewa, hatiku terluka sangat dalam. Cairan hangat kurasakan mulai membanjiri kedua pipi.
****"Gimana Ferdy betah di rumah kalau kamu nggak punya anak! Nara, coba kamu pikir, ya. Semua orang menikah itu tujuannya punya anak, biar suami makin sayang dan giat cari uang. Wajar Ferdy nggak pulang karna kamu terlalu banyak nuntut!"Itu yang dikatakan mama mertua begitu aku menanyakan keberadaan Ferdy padanya. Kedatanganku ke sini terasa sia-sia, hanya mendapat omelan sementara aku tetap tak tahu di mana Ferdy. Mama mertua juga langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempersilakanku.Dua hari bukan waktu yang wajar bagi seorang suami tak pulang pada istrinya. Apa aku salah jika menanyakan pada mertua? Ferdy berkata akan pergi ke rumah mamanya, wajar jika aku datang ke sini mencarinya, kan?Tapi, niat baikku ternyata berbuah duri yang menusuk hingga ke inti hati.Kupikir, pulang ke rumah hanya akan membuatku sedih memikirkan ucapan mama. Jadi kuputuskan pergi ke super market untuk membeli beberapa kebutuhan.Tapi apa yang ku
Beberapa menit setelah membersihkan tubuh, aku masih diam di dalam kamar mandi. Sungguh ... aku bingung bagaimana akan menunjukkan muka di depan Pak Arsen sekarang. Maksudku ... kemeja ini. Ya, kemeja kelonggaran yang kukenakan setelah berganti pakaian. Ini sepertinya milik Pak Arsen, terlihat dari ukurannya yang pas dengan lelaki itu. Dan di bagian bawah, aku sama sekali tak mengenakan apa-apa."Nara."Kudengar Pak Arsen memanggil namaku bersamaan dengan ketukan pintu. Dia mengulanginya, menyebut namaku seperti tadi. Aku semakin bingung, apakah harus berpura-pura mati sejenak?"Kamu baik-baik aja? Jawab atau aku mendobrak pintunya sekarang.""Iya, Pak! Aku nggak apa-apa!" seruku mengalahkan kecepatan tangan membuka pintu. Dan kemudian, Pak Arsen tertegun melihat aku sangat dekat di depannya. Dia berdiri tak sampai satu langkah dari pintu.Melihat matanya tertuju langsung ke pahaku, refleks lutut sedikit kutekuk untuk merendahkan posisiku berdiri.
Demamku belum juga turun setelah satu malaman menumpang tidur di apartemen milik Pak Arsen. Aku sudah merasa enggan, tak enak hati padanya. Belum lagi tentang ciuman kami di ruang kerjanya tempo hari, membuatku sangat malu melihatnya.Kulirik jam dinding di kamar itu sudah menunjukkan angka sembilan. Mungkin Pak Arsen sudah berangkat ke kantor? Jika begitu, aku harus segera pergi dari apartemen ini sebelum dia kembali.Namun, baru saja aku mengangkat tubuh berdiri dari ranjang, pandanganku kembali berputar dan kembali terjatuh ke posisi tidur. Aku tidak bisa bangun.Tidak. Aku tak mau berlama-lama di sini. Jika Ferdy kembali ke rumah dan melihatku tidak pulang semalaman, dia akan sangat marah dan mungkin benar-benar akan menceraikanku. Jadi tetap kupaksa tubuh ini kuat untuk berdiri.Meski berat dan beberapa kali hampir terjatuh, di sini lah aku sekarang. Di dalam taksi dengan pakaian yang basah kuyup kupaksa mengenakannya. Dan benar apa yang kudu
Kupikir Ferdy mungkin tidak akan pulang lagi malam ini. Setelah aku memaksanya bercinta pagi tadi, Ferdy lalu pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun. Lalu, sekarang dia berdiri di depanku dengan menggandeng perempuan yang dia sebut bernama Nindy."Aku udah nikah sama Nindy. Aku harap kamu bisa bersikap baik padanya. Kalian berdua istriku, sama-sama punya hak di rumah ini.""Nikah?" tanyaku. Tak tahu lagi bagaimana harus kugambarkan emosi di diriku sekarang. "Fer, kamu nikah tanpa bilang aku?""Bilang gimana lagi sih, Ra? Aku udah bilang kan? Nindy hamil anakku dan aku senang akhirnya punya keturunan. Sekarang, kamu harus bisa terima." Ferdy menatap Nindy. Sorotnya yang lembut mengingatkanku dengan hari pertama kami menikah. "Nindy, yang akur sama Nara, ya. Kamu juga nggak boleh capek-capek, ayo istirahat," ajaknya, menuntun Nindy ke kamar kami.Tunggu, kamar kami? Aku tak bisa membiarkan ini lagi. Mereka menikah sebelum mendapat ijinku dan
Cumbuan bibir Pak Arsen semakin menuntut memaksa mulutku terbuka. Gugup. Sungguh aku tak tahu apa yang akan kulakukan di bawahnya. Tanganku diam di dadanya yang bidang. Itu terasa berotot dan nyaman disentuh. Apa aku sudah gila? Ya, sepertinya begitu. Aku gila membiarkan dia memasukkan lidahnya ke dalam mulut untuk mencari milikku.Pilinan dan isapan Pak Arsen membuatku ingin gila. Apalagi ketika tangannya mulai menyentuh bagian-bagian tubuh sensitif dari balik pakaianku, membuat aku melonjak seketika. Buaiannya sungguh memabukkan, menghilangkan beban atas pernikahan diam-diam yang dilakukan oleh Ferdy.Entah sejak kapan, Pak Arsen sudah berhasil melepas baju atasan yang kukenakan sehingga menunjukkan dua bukit milikku. Bukit tersembunyi yang selama ini tertutup rapi dan hanya boleh disentuh Ferdy.Persetan dengan Ferdy. Aku mulai menggeliat merasakan tangan Pak Arsen mempermainkan ujung dadaku yang mengacung. Sementara sebelahnya dia manjakan dengan
Percintaan panas anatara aku dan Pak Arsen berlangsung beberapa kali, sampai aku sudah tak mampu mengangkat bibirku berbicara. Hanya desahan ringan yang bisa aku keluarkan sekarang. Dia benar-benar gila, jago, tak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Pak Arsen membawaku menikmati surga dunia yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Sungguh? Ya, aku tidak pernah mendapatkan pelepasan seperti ini selama dengan Ferdy.Tapi setelah semalaman yang kami lalui, aku sangat malu di pagi hari. Terbangun di sebelah Pak Arsen dengan tubuh telanjang tanpa pakaian. Kulihat, dia masih setia dengan tidur lelapnya. Lantas kugeser kaki turun ke atas lantai dan memungut pakaianku ke ruang tengah. Seperti maling yang takut ketahuan aku buru-buru mengenakan pakaian itu dan melarikan diri dari apartemennya. Sangat memalukan.Begitu tiba di rumah, kulihat Ferdy sudah duduk di ruang tengah ditemani secangkir minuman hangat. Tentu saja Nindy juga di sana. Perempuan itu duduk sangat dekat pada suamik
"Pa-Pak, lepasin. Semua orang melihat kita, Pak," mohonku, berharap Pak Arsen melepaskan cengkaramannya. Dia melirikku tajam, tak peduli dengan perkataanku."Pak-""Diam lah, Nara!" sentaknya. Tangannya membuka pintu ruang pribadinya dan mendorongku masuk. "Masuk! Jelaskan kenapa kamu lari dari rumahku."Apa yang harus dijelaskan? Ini tubuhku, aku berhak membawa ke mana saja diriku. Memangnya dia pikir siapanya aku?"Tadi pagi Bapak masih tidur. Aku enggan membangunkan Bapak." Namun itu lah yang mampu keluar dari mulutku. Sifat arogannya sukses membuat nyaliku menciut."Lalu, kamu pikir berhak pergi begitu saja?" Dia mencengkram daguku keras, mengangkat wajahku untuk bersitatap dengannya. Matanya yang menggelap meluruhkan seluruh energi di tubuh ini.Kenapa denganku? Kaki di bawah sana mulai gemetar kurasakan. Ada rasa aneh yang tiba-tiba menjalariku kala sebelah tangan Pak Arsen mulai menjalar di sebelah pipi.
Pak Arsen melepaskan pelukannya dari tubuhku, setelah permainan itu usai. Dia duduk di kursi kerjanya masih dengan mata yang tertuju padaku. Lagi, aku sangat malu setelah kami menyelesaikan permainan gila itu. Tubuh telanjangku dia tatapi sangat lama, seakan matanya tak ingin meninggalkan keindahan tubuh itu sedetik pun.Dengan gerakan lamban aku bangun dari atas meja kerjanya dan Pak Arsen menahanku segera."Jangan. Tetaplah berbaring di sana," ucapnya, yang langsung membuat tubuhku membeku.Aku menurutinya dan terus berbaring di sana. Udara dingin yang diembuskan pendingin ruangan itu menyapa seluruh kulit dan membuatku sedikit merinding. Diam. Cukup lama aku terdiam di pandangannya yang terus menyusuri sekujur tubuh."Indah ..." pujinya, suaranya sangat rendah dan berat, seakan hasrat di dalam dirinya kembali naik. "Tubuhmu sangat indah, Nara."Ini bukan kali pertama dia berkata seperti itu, tapi masih sukses membuat pipiku memanas.