"Kau gila ... kau laki-laki gila, Arsen!"
Tak sadar aku menjerit sangat keras. Kulihat dia melotot tak senang oleh teriakanku. Aku tak peduli! Aku tidak akan terus menjadi lemah dan membiarkannya memperlakukanku tidak manusiawi.
Meski keberanianku lebih besar sekarang, tetap saja aku berlari untuk menghindari Arsen. Tak tentu arah kaki ini berlarian di dapur kecil yang rapi dan bersih itu.
Dia berjalan pelan, "Jangan mendekat!" cegahku cepat. Tapi Arsen seperti tidak mendengarkanku.
"Nara, jangan seperti anak kecil," katanya.
Anak kecil katanya? Hei! Dia sudah membuat aku berbaring di atas tempat tidur itu hampir dua hari, dan katanya aku seperti anak kecil? Orang gila sekali pun tidak akan terima diperlakukan kasar seperti itu.
"Kau gila! Kau laki-laki psikopat!" balasku. Entah dari mana keberanian ini datangnya, dan kurasakan darahku mendidih membayangkan lagi saat Arsen menyakitiku di tiang penyiksaan itu. "Aku budakmu, Brengsek! Ak
Saat kurasa paru-paru sudah benar-benar kosong, Arsen melepaskan cengkramannya dari leherku. Aku terjerembab dengan lutut yang lebih dulu menyentuh lantai. Rasa sakit di tempurung lututku tak bisa mengalahkan kesakitan di tenggorokan. Aku pikir mungkin leherku sudah putus, yang membuat tangan segera memeganginya. Beruntung, aku belum mati ternyata. Tapi sesak di dada ini seakan membunuhku.Beberapa kali aku berusaha menarik napas untuk mengisi lagi paru-paru dengan oksigen. Arsen ikut berlutut di sebelahku."Nara .... Nara ..." panggilnya.Entah bagaimana ekspresi wajahnya sekarang, aku tidak terlalu peduli. Yang kudengar, nada suaranya cukup khawatir.Terbatuk berkali-kali sampai akhirnya aku bisa bernapas meski masih tersendat."Kamu nggak apa-apa?" tanya Arsen lagi. Dia memegangi pundakku dengan lembut seakan dia memang khawatir.Ini sangat sakit. Bahkan tambah sakit saat aku mengingat lagi bagaimana Arsen mencekikku tadi. Kenapa di
Suara siapa itu? Alisku mengerut mendengar suara yang tidak aku kenali. Itu bukan Arsen, lantas siapa dia? Dia juga tahu namaku?Mendongak cepat, kulihat wajah lelaki bersepatu hitam mengkilat itu dan dia tersenyum ramah. Itu ... bukannya dia itu ...."Dokter Arlan?" panggilku setengah berbisik. Tenggorokan terasa kering."Halo, Nara. Kau masih mengingat aku ternyata," balasnya masih dengan bibir yang tersenyum. Dia mengulurkan tangan ke depan wajahku. "Ayo, biar aku bantu kamu berdiri."Ragu-ragu kubalas uluran tangannya. Sejujurnya, aku sudah pasrah andai dia membawaku kembali ke rumah Arsen, lalu menghubungi lelaki itu. Tapi, kucoba untuk memohon semoga dia sedikit saja iba padaku."Dokter, tolong jangan kasih aku pada Arsen lagi," ucapku. Tak bisa kuhindarkan air mata yang meleleh di sudut bibirku."Berdiri dulu. Nanti kita bicarakan di dalam mobil," sahutnya lagi, menarik aku agar segera berdiri.Kakiku teramat
Matanya bergetar tak tenang. Bisa kulihat Arlan meneguk salivanya, menggerakkan buah jakun yang menyangkut di tengah tenggorokan. Kupastikan dia sangat tergoda ingin menerkamku sekarang.Boleh aku sedikit menjelaskan tentang diriku?Meski sudah menikah lima tahun, tubuhku masih cukup ramping. Kulitku berwarna kuning langsat khas perempuan Indonesia, dan rambutku yang mengombak jatuh sampai ke pinggul. Meski ukuran dadaku tidak sebesar milik wanita idamannya para lelaki, tapi pucuknya yang masih berwarna merah muda itu cukup menggoda untuk disentuh. Apalagi bibirku, orang-orang sering menyebutnya seksi.Akan kubuat Arlan ikut gila dengan menggigit pelan bibir bawahku, untuk menggodanya. Dia pun menegang tak berani bergerak."Pak Dokter, sentuh aku," pintaku seperti murahan yang sedang merayu pelanggan.Dia masih mematung di sana. Napasnya sudah tidak teratur pertanda Arlan sangat terangsang, kala aku memaksa diri mendekatinya. Ketika aku menyentuh
Hah?!Itu saran atau perintah? Mulutku menganga mendengar perkataan Arlan. Lalu tak lama alis dan wajahku mengerut mengikuti suara tawa yang keluar dari mulut."Pak Dokter sakit?" Kulihat dia kesal dengan perkataanku. "Maaf, maaf. Maksud aku ... Kamu nyaranin aku bikin dia jatuh cinta? Aku juga harus jatuh cinta?" Sekali lagi aku tertawa terbahak-bahak melupakan keasingan di antara kami.Orang gila pun tak akan mau jatuh cinta pada lelaki seperti Arsen!"Maap, Arlan. Sarannya kamu simpan aja untuk korban-korban dia berikutnya. Aku nggak tertarik!""Siapa yang memintamu untuk tertarik? Mau atau tidak, senang atau kesal, kau memang harus mengikuti saranku kalau masih ingin hidup. Turun lah, calon pacarmu menunggu." Dia berkata dengan sudut bibir yang hampir tertawa.Pun aku tersadar bahwa kami sudah berhenti di depan rumah sialan milik Arsen yang juga ... sialan. Dia berdiri di luar sana menatap tajam padaku.Mak
Arlan bergegas turun dari anak tangga."Apa-apaan itu? Kau menuduh kami?" Alisnya mengerut, tak percaya akan tuduhan sabahatnya."Apa tuduhanku salah? Aku berbicara dengan bukti!" sentak Arsen."Aku tidak menyentuhnya. Dan ... Nara bukan perempuan seperti itu. Arsen, mulai lah buka hatimu untuk menerima kebaikan perempuan itu."Arlan mencoba membelaku, tapi yang kulihat justru itu memicu kemarahan Arsen. Hidungnya kembang kempis menahan napas berat yang merongrong dadanya."Selain membelikannya pakaian, ternyata kau juga sudah terpikat oleh Nara. Arlan, katakan apa kau menyukainya? Kau jatuh cinta pada milikku?!" bentak Arsen, yang membuat mataku terbelalak.Bagaimana mungkin?Kami saja baru dua kali bertemu, dan Arlan jelas-jelas menolak saat aku menggodanya. Dia seorang dokter, Arlan waras dan tidak gila seperti Arsen. Aku tidak percaya Arlan akan menyukai perempuan sepertiku.Sangat konyol. Dan lebih
"Arsen, ini tidak seperti yang kau pikirkan," kataku, berdiri dari kursi dan mengejarnya ke pintu.Arsen menepis tanganku yang mencoba menjelaskan padanya. "Jangan sentuh aku! Kau murahan."Ya, oke, baik! Aku murahan. Aku mengganggu sahabatnya dan membuat orang itu dalam kesulitan. Ini salahku, dan aku cukup tahu diri. Tapi apa yang dia dengarkan baru saja, tidak seperti apa yang ada di pikirannya. Arlan tidak bermaksud seperti itu."Kau salah paham. Jangan bertengkar dengan Pak Dokter lagi," kataku.Arsen mendengus diiringi tawa sumbang yang menakutkan."Di depanku kau panggil di Pak Dokter, tapi di belakangku apa, Nara?"'Arlan. Aku memanggilnya Arlan. Apa perlu aku juga memanggilnya sayang? Mungkin di depanmu itu lebih bagus, Brengsek!' Tapi hanya pikiranku lah yang berani menjawabnya.Entah apa yang dimiliki lelaki sialan ini sampai terus menuduhku. Aku sangat kesal, marah, ingin berteriak agar telinganya sedikit
Kurasakan seseorang menyingkap pakaianku ke atas. Kesadaran yang entah hilang berapa lama itu kini kembali kuraih. Kubuka mata perlahan dan kutemukan seseorang sedang berdiri di sebelahku dengan Stetoskop yang menggantung di telinganya. Dia berpakaian dokter, tapi bukan Arlan."Udah bangun?" sapanya. Lelaki berusia sekitar empat puluhan itu tersenyum ramah padaku. Dia meletakkan Stetoskop-nya, lalu mengambil sebuah alat kecil dari meja tinggi di sebelahku. Lalu, sebuah botol kecil dia arahkan ke atas perutku.Dingin dan lengket. Aku merasa perutku bergerak merasakan sensasi itu ketika si dokter mulai memutarkan alatnya di permukaan kulit."Dokter, itu apa?" tanyaku penasaran."Kita sedang melakukan USG, ya. Tadi Anda dibawa ke sini dalam keadaan pingsan, dan kami tidak menemukan apa penyebabnya. Karena itu, kita melakukan pemeriksaan USG dulu," ucapnya menjelesakan.Bukan begitu. Aku tahu kami sedang melakukan pemeriksaan USG. Aku melih
Kurasakan sesuatu yang berat menindih bagian perutku. Keras, itu juga seperti berotot. Tiba-tiba pikiran buruk menyergapku, membangunkan diri dari tidur yang tadinya sangat pulas.Mungkin karena ini adalah kehamilan pertama dan sudah lama kutunggu-tunggu, sehingga otakku bekerja sangat cepat memikirkan sesuatu mungkin terjadi. Dengan tiba-tiba kubuka mata untuk memastikan benda apa yang menindih.Huh ... syukur lah. Aku bisa bernapas lega saat melihat ternyata tangan Arsen lah yang memelukku.Jujur, tadinya aku berpikir mungkin Arsen melalukan sesuatu yang mengerikan padaku, seperti yang sudah-sudah.Bisa saja, bukan? Siapa yang bisa menebak pikiran lelaki itu? Dia aneh, gila dan menakutkan.Melirik jam digital di sebelahku, ternyata waktu sudah menunjukkan angka 05:45, yang berarti ini sudah pagi. Tak lama lagi Arsen juga akan terbangun untuk berangkat ke kantor.'Apa yang harus kulakukan untuk membuat Arsen senang, saat bangun nanti?