Share

Home Sick

Akhirnya, Greta memutuskan untuk melompat ke punggung Ryan dan membiarkan Ryan membawanya ke ruang terapi. Meskipun ia digendong, itu sama sekali tidak mengurangi rasa sakit yang ia rasakan. Dengan canggung ia menempelkan wajahnya ke punggung Ryan yang harum. Aneh rasanya bersandar pada seseorang yang membuatnya terluka...

Ada dorongan dalam benak Greta untuk mengajukan pertanyaan kepada Ryan, tentang apa saja. Tapi sekali lagi harga dirinya menolaknya untuk melakukan hal seperti itu.

Di lobi klinik, mereka disambut oleh petugas yang langsung memberikan kursi roda kepada Greta dengan sigap. "Aku akan menurunkanmu," ujar Ryan sambil dengan perlahan menurunkan Greta ke atas kursi roda. "Aduh!" Greta memekik setengah menangis saat merasakan tulang ekornya membentur jok kursi roda. Dia sengaja duduk dengan posisi miring untuk mengurangi rasa sakitnya. Di belakangnya, Ryan terlihat sangat bersalah, sesuatu yang tidak dia tunjukkan di depan Greta karena gengsinya yang terlalu tinggi.

"Anda mengalami cedera tulang ekor, kami akan memberikan obat anti nyeri untuk meredakan rasa sakit, dan anda mungkin harus mengurangi aktivitas selama beberapa waktu agar cederanya tidak semakin buruk," ujar seorang Dokter setelah Greta selesai melakukan rangkaian tes rontgen.

"Ini obatnya,” kata Ryan sambil menyodorkan kantong plastik berisi obat yang baru saja dibelinya dari apotik. Dia sudah membayar semua tagihan Greta karena ia memang merasa itu adalah kewajibannya.

"Ayo, aku akan mengantarmu pulang," kata Ryan mendorong kursi roda Greta keluar dari klinik. Greta memasang wajah muram karena dia terlalu kesal. Jika Ryan tidak menjatuhkannya ke lantai, dia mungkin tidak akan terluka!

"Bagaimana aku bisa bergerak dalam kondisi seperti ini! Kau sangat menyebalkan!" rengek Greta setelah dia masuk ke dalam mobil.

Ryan hanya diam saja sambil fokus mengemudi. "Hei, apa kau memang seangkuh itu! Tidak bisakah kau menunjukkan sedikit rasa penyesalan! Atau jangan-jangan kau memang seorang sosiopat atau semacamnya?!" gerutu Greta, masih duduk miring menghindari denyutan di tulang ekornya.

"Tempat tinggal kita tidak terlalu jauh, aku akan mengantarkan makanan untukmu selama proses penyembuhanmu," kata Ryan tiba-tiba setelah ia diam selama beberapa saat.

Greta mendengus,

"Aku tidak butuh bantuan dari orang sepertimu!" jawabnya kesal. Dia terlalu kesal sehingga dia merasa ingin menangis.  Hidup mandiri di negara asing terkadang membuatnya kewalahan meski usianya sudah dua puluh delapan tahun.

"Di mana aku harus parkir?" tanya Ryan saat memasuki gedung apartemen Greta. "Belok ke sana!" sahut Greta dengan ketus.

Mobil berhenti di area parkir VIP. Ryan bergegas turun, lalu membuka pintu penumpang, dan dengan wajah datar, dia menawarkan punggungnya ke Greta seperti sebelumnya. Tidak punya pilihan, Greta naik ke punggung Ryan. Dia bisa saja duduk di kursi roda, tapi duduk dengan posisi seperti tidak akan mengurangi rasa sakitnya.

Seolah Greta tidak berbobot, Ryan menggendongnya dengan sangat mudah. Dia bahkan bisa menempelkan kartu akses Greta ke dinding lift tanpa masalah dan itu sedikit membuat Greta takjub.

Apartemen Greta terletak di lantai 36 gedung itu, dengan gerakan cepat Ryan membuka pintu dan menjadi sedikit terkejut mengetahui Greta tinggal di unit premium yang harga sewanya cukup mahal bahkan terhitung sangat mahal.

"Haruskah aku melepas sepatuku?" tanya Ryan yang melihat Greta meletakkan sandal rumah berwarna pastel di rak sepatu dekat serambi.

"Yes, please! Aku tidak suka sepatu kotor menginjak lantai apartemenku!" Greta menjawab singkat.

Ryan dengan mudah melepas sepatunya dengan kakinya tanpa harus menurunkan Greta terlebih dahulu. “Bisakah kau melepaskan sepatuku juga? Sepatuku basah kehujanan...” kata Greta agak hati-hati, dia bertanya-tanya apakah permintaannya berlebihan atau tidak. Namun tanpa protes, Ryan yang merasa bersalah langsung melepas sepatu Greta satu persatu.

Setelah selesai melepaskan sepatu Greta, dia melanjutkan langkahnya ke dalam. Ryan melihat sekeliling apartemen, hanya dengan melihat jenis sofa yang dimiliki Greta, dia bisa menilai seberapa kaya Greta. Tapi dia memilih untuk tidak mengatakan apapun.

"Di mana kamarmu?" tanya Ryan. Greta menunjuk ke sebuah pintu tertutup tidak jauh dari mereka.

Perlahan Ryan membuka kamar Greta yang cukup luas dan masuk ke dalam dengan cepat tanpa menimbulkan suara. Setelah menemukan tempat tidur, dengan hati-hati ia menurunkan Greta di atasnya. "Aduh!" jerit Greta saat pantatnya menyentuh tempat tidur, dengan satu gerakan cepat dia berguling dan bergeser ke posisi tengkurap untuk menghilangkan rasa sakit akibat tekanan di tulang ekornya.

Ryan melirik jam tangannya, "Oke, aku pergi sekarang. Ini kartu namaku, kau bisa meneleponku jika kau membutuhkan sesuatu," katanya dengan nada datar seperti sebelumnya.

Greta tidak menjawab, tapi saat Ryan berbalik dan hendak melangkah keluar, Greta mulai beraksi. "Ya Tuhan, perutku sakit sekali! Aku baru ingat aku belum makan apa-apa sejak pagi!" gerutunya sambil mengintip ke arah Ryan yang langsung menghentikan langkahnya.

"Apakah ada makanan yang bisa aku hangatkan?" tanya Ryan singkat, ia benar-benar tidak ingin berbasa-basi.

"Apakah kau bercanda? Aku tidak pernah menghangatkan makanan apa pun! Aku selalu memasak makanan segar!" kata Greta, meski terdengar menyebalkan, dia mengatakan yang sebenarnya.

Ryan menarik napas dalam-dalam, dia mengambil ponselnya untuk menelepon ke restoran yang ia kelola. "Martin, bersiaplah untuk makan malam, aku akan sedikit terlambat," katanya sambil berjalan keluar kamar menuju dapur Greta yang sangat rapi dan mewah.

Tujuh belas menit kemudian dia kembali dengan sepiring pasta yang aromanya memenuhi kamar Greta.

"Ini, makanlah, aku harus pergi," kata Ryan setelah meletakkan piring berisi pasta itu di atas nakas.

"Jadi bagaimana aku bisa makan? Aku bahkan tidak bisa duduk!" gerutu Greta memasang wajah sedih.

"Kau berharap aku akan menyuapimu dengan posisi tengkurapmu itu?" Bentak Ryan, kehilangan kesabaran. Greta mengerutkan bibirnya dengan kesal, "Aku tidak memintamu untuk membantuku makan! Aku hanya sedang berbicara dengan diriku sendiri! Pergi sana!" bentaknya dengan tak kalah kesalnya.

Ryan memandang Greta yang memalingkan muka darinya, merasa bimbang, haruskah ia pergi atau haruskah ia tinggal? "Oke, aku pergi," putusnya akhirnya lalu berjalan keluar dari kamar Greta dan membiarkan pintunya tetap terbuka.

Setelah Ryan pergi, Greta mencoba berbalik karena dia sangat lapar. Tapi rasa sakit di tulang ekornya semakin parah. Untuk pertama kalinya selama ia tinggal di Australia, ia merasa sangat merindukan rumah mewahnya yang hangat di New York, Amerika. Dan yang terpenting, dia sangat merindukan ibunya yang pasti akan dengan senang hati merawatnya saat ia sakit seperti itu.

Tiba-tiba air mata jatuh di pipinya, sebagian karena ia merasa sakit, sebagian lagi karena ia merasa lapar, dan sebagian lainnya karena ia merindukan keluarganya. Ia terus menangis keras hingga ia tidak menyadari bahwa ada suara langkah kaki yang berjalan mendekat kembali ke kamarnya...

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status