"Kau tahu? Tuan Jati tak jadi bercerai dari istrinya. Dia menarik gugatan," jelas Catherine antusias. "Oh, ya? Syukurlah," ucap Aira. "Aku sempat merasa bersalah pada Jati karena sudah memanfaatkannya untuk kepentinganku sendiri," sesalnya. "Memangnya, kamu memanfaatkan apa, Ra?" sela Kartika penasaran. "Eh, itu ...." Aira meringis serba salah. Dia tahu ibunya tak suka kepada Jati. Bahkan ketidaksukaan Kartika pada Jati, jauh lebih besar dari ketidaksukaannya pada Manggala. "Aku pernah menyuruh Kak Jati untuk membantu mengurus dokumen-dokumen kelahiran Enzo. "Aku juga memintanya menjaga Enzo," beber Aira. "Astaga!" Kartika geleng-geleng kepala. Ada saja ulah putrinya yang membuatnya pening. "Dan Jati melakukannya dengan sukarela?" tanya Kartika setengah tak percaya. Sementara Aira hanya membalasnya dengan mengangkat bahu. "Dia mengejar-ngejarku hanya karena rasa bersalah, dan aku memanfaatkan rasa bersalah itu," ungkapnya. "Sekarang, Jati sudah kembali pada istrinya. Ta
Waktu berjalan begitu cepat. Satu tahun sudah Aira menjalani hidup tanpa Manggala. Selama itu pula, sosok Manggala masih tetap bertahta dalam benak dan hati Aira. "Mama ... mam!" celoteh Enzo. Di usia 1,5 tahun ini, bayi mungil Aira sudah banyak menguasai kosakata. "Tadi sudah mam. Nanti lagi." Aira menjauhkan sekeping biskuit dari tangan Enzo. "Mam!" pekik Enzo tak terima. "Nanti lagi, ya," bujuk Aira lembut. Enzo sudah hendak menangis. Akan tetapi, bunyi lonceng yang terpasang di atas pintu masuk berbunyi, tanda bahwa daun pintunya telah dibuka dari luar. "Selamat siang!" sambut Aira seraya buru-buru menggendong Enzo. "Selamat siang," balas seorang pria berwajah bule. "Jadi, ini kantor Enzo's Photography, ya?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruangan bernuansa etnis tersebut. "Betul sekali! Ada yang bisa saya bantu?" tanya Aira ramah. Pria itu tak langsung menjawab. Dia malah terus memperhatikan hasil-hasil jepretan Aira yang terpajang di dinding kantor
"Tante kenal sama dia?" tanya Aira penuh selidik. "Be-begitulah," jawab Mira gugup. "Dia siapa memangnya?" tanya Aira lagi. Mira sengaja tak langsung menjawab. Dia malah berjalan cepat menghampiri Alex, lalu menyalami pria matang yang terlihat menawan itu. "Apa kabarmu?" sapa Mira. "Beginilah, kau lihat sendiri," balaa Alex, dingin dan datar. Sesaat kemudian, pandangannya beralih pada Aira dan Enzo yang duduk tenang di stroller. "Selamat datang, Nona Aira. Mari ikut dengan saya. Klien kita sudah menunggu," ujar Alex, lembut dan sopan. Sungguh berbeda dengan saat dia berbicara dengan Mira. . Mira sendiri tampak kesal. Dia mendengkus pelan sambil menatap tajam ke arah Alex. Namun, pria itu sama sekali tak menghiraukan. Alex malah mengarahkan Aira untuk mengikuti langkahnya sampai tiba di area parkir. Dia menunjuk ke sebuah mobil SUV hitam. "Ini kendaraan operasional kita selama di Bali," jelas Alex pada dua wanita beda usia tersebut. Setelah memastikan para penumpangnya
"Apa?" Brandon menggeleng bingung. Terlihat jelas mimik wajah dan sikap Aira yang tiba-tiba berubah. Wanita cantik itu tampak gemetaran."Hei, Aira. Kau baik-baik saja?" tanyanya lembut seraya mendekat."Tidak!" seru Aira tertahan. Dia mundur beberapa langkah, menjauh dari Brandon."Kau kenapa?" Brandon semakin bingung melihat sikap wanita yang pernah mencuri hatinya itu."Apa Tuan Larson yang menyuruhmu? Apa kalian menjebakku di sini?" cecar Aira."Apa maksudnya ini?" Mira yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, kini angkat bicara. "Apa hubungannya Brandon dengan penjahat itu?""Dia anak kandungnya!" Telunjuk Aira mengarah tepat ke Brandon."Hei, aku sudah tidak pernah bertemu dengan pria tua itu, Aira. Memang benar dia ayah kandungku, tapi sejak Frederick memberiku uang, kami tak pernah berjumpa lagi sejak saat itu," terang Brandon. "Dia sudah membuangku. Frederick memberiku uang supaya aku menjauh dan tidak mengganggu hidupnya lagi. Kuturuti permintaannya," ungkap Brandon bersun
Mira mencebikkan bibir, seraya memandang remeh ke arah Brandon. "Tadi bilangnya cinta sama Aira. Eh, ternyata mau nikah sama perempuan lain. Dasar laki-laki buaya," gerutu Mira dalam hati. "Jadi, sesuai yang kita sepakati, besok kita akan pergi ke kaki gunung. Aku sudah membawa beberapa kru untuk membantumu. Kalian bisa berkomunikasi lebih lanjut setelah ini," tutur Brandon. "Kusarankan supaya Aira selalu berhati-hati," sela Helen. "Aku tidak mau dia berbuat sesuatu yang membuat kita sial." Aira mengeratkan genggaman garpu sambil menatap tajam ke arah calon istri Brandon itu. "Apa maksudmu?" geramnya. Helen hanya mengangkat bahu. "Semoga kau tak lupa atas apa yang terjadi pada Manggala. Seandainya dia tak mengejarmu ...." Aira terpancing emosi. Dia menggebrak meja kuat-kuat sampai Enzo terkejut dan menangis. "Jaga mulutmu, Helen! Jangan lupa kau yang menghancurkan hidupku!" sentak Aira. "Mama ...." Enzo melengkungkan bibir dengan mata berkaca-kaca. "Ra, sudah!" cegah Mir
Aira terbangun saat mendengar suara Enzo memanggil-manggil namanya. "Ra! Sudah ditunggu tuh, sama si Alex! Tumben kamu tidur seperti kebo. Susah sekali dibangunkan," omel Mira. Suaranya terdengar dekat di telinga Aira. Perlahan, ibu satu anak itu mengucek mata agar pandangannya tak buram. "Tante?" ucapnya lirih. Aira memperhatikan Mira yang sudah rapi dalam balutan blazer warna peach yang dipadu dengan celana jeans. Demikian pula Enzo yang juga telah rapi dan tampan dalam gendongan Mira. "A-aku di mana?" "Ya, di atas ranjang, lah! Kamu mengigau, ya?" Mira berdecak sambil menggeleng. "Tidak, Tante. Aku ...." Aira menggantung kalimatnya. Teringat oleh wanita cantik itu, semalam dia melihat sosok Manggala dalam kegelapan. "Angga, Tante!" Sontak Aira berseru. "Apa?" Mira mengernyit tak mengerti. "Manggala ada di sini!" Aira segera turun dari ranjang. Tak mempedulikan dirinya yang hanya memakai T-shirt putih ketat dan celana pendek ketat, dia berlari menuju kolam renang,
Pemotretan pre wedding diadakan di lereng yang berada di salah satu sisi gunung. Rencana awal yang akan diadakan di padang rumput kaki bukit, harus diubah pada detik-detik terakhir. Semua hanya karena keinginan Helen yang tiba-tiba. "Di pertemuan semalam, calon istrimu tidak mengatakan apa-apa. Tahu-tahu tempat pemotretan dipindah seenaknya," gerutu Aira. "Maaf, Ra. Aku terpaksa menuruti keinginannya. Ada alasan yang tak bisa kukatakan padamu," sesal Brandon. Sesekali dia melirik ke arah Helen yang berada agak jauh dari dirinya dan Aira. Wanita cantik bermata biru itu tengah merapikan rambut dan make up. Sebelumnya, Helen sudah dirias di villa oleh penata rias profesional. "Padahal niatku juga sekalian menjaga Enzo. Kalau begini, aku tak bisa mengajak putraku serta," keluh Aira lagi. "Tidak apa-apa, Ra. Tante dan Enzo bisa menunggu kalian di villa," putus Mira. "Sudah, jangan terlalu dipikirkan. Ini cuma masalah kecil," bujuknya sembari menepuk pelan pundak sang keponakan.
Helen terpaku. Dia tak dapat berteriak maupun bergerak. Semua terjadi begitu cepat. Dirinya memang membenci Aira, tapi sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri nyawa ibu satu anak itu. Beberapa saat setelah akal sehatnya kembali hadir, Helen segera berteriak sekencang-kencangnya. "Brandon! Aira terjatuh!" pekik Helen. Brandon yang asyik berdiskusi dengan Alex, langsung menoleh. "Apa?" serunya terbelalak. "Cepat, tolong dia! Aira di bawah sana!" pekik Helen histeris. "Ya, Tuhan!" Brandon dan Alex berlari secepat mungkin menuju arah telunjuk Helen. Sejenak, dua pria tampan itu tertegun melihat betapa curamnya tebing yang ditumbuhi rerumputan hijau di sela bebatuannya itu. "Apa yang kau lakukan, Helen!" sentak Brandon. Entah kenapa instingnya mengatakan bahwa calon istrinya itu berhubungan dengan kejadian tersebut. "Ti-tidak ada! Kami hanya bicara!" elak Helen terbata. Brandon tak percaya begitu saja. "Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!" ancamnya.
"Manggala ...." Aira diam terpaku. Pikirannya mendadak kosong. Padahal, dia sudah mengetahui dari sang tante bahwa suaminya masih hidup. Namun, Aira sama sekali tak menyangka bahwa dia akan bertemu saat ini juga dengan sosok suaminya. "Iya, Sayang. Kamu baik-baik saja, kan?" Manggala tersenyum begitu manis. Dia maju mendekat sambil mengulurkan tangan, hendak menyentuh pipi wanita yang teramat dia cintai itu. Sayangnya, Aira refleks melangkah mundur. Dia masih dalam tahap terkejut dan tak percaya. Setahun lamanya Aira mengira jika dirinya benar-benar telah ditinggalkan oleh Manggala. Selama itu pula, yang tertanam di otaknya adalah sang suami meninggal dan Aira menjadi janda. "Sayang, kenapa?" Sorot mata Manggala memelas, menatap penuh harap pada wanita yang masih menjadi istrinya itu. "Aku tidak percaya ini." Aira menggeleng lemah. "Ka-kamu sudah mati," desisnya dengan suara bergetar. "Hei." Manggala tampak keberatan. "Ini aku. Aku masih di sini. Maaf, jika selama ini kamu
Aira tercenung di balkon kamar yang ditempati oleh Sammy. Tadi, ekor matanya menangkap sekelebat sosok yang tampak begitu mirip dengan Manggala. "Ah, mana mungkin dia ...." Aira menggumam pada diri sendiri. "Aku tidak mungkin melihat hantu. Hantu itu tidak ada. Orang mati tidak akan hidup lagi." Ibu muda itu terus bergumam sampai tiba di kamarnya sendiri. Dilihatnya Enzo yang lelap tertidur di ranjang bayi berukuran besar, mengingat balita itu sebentar lagi sudah berusia dua tahun. Aira tersenyum memperhatikan wajah damai putranya. Mata, hidung, bibir, bahkan bentuk wajah, semuanya begitu mirip Manggala. "Bayangkan kalau papamu masih hidup, Nak. Dia pasti akan sangat bahagia," ucap Aira pilu. Terus hanyut dalam bayangan Manggala, tiba-tiba Aira teringat akan nama pria yang sempat disebut oleh Sammy. Merasa penasaran, dirinya pun bangkit meraih laptop yang tergeletak di meja sudut dekat balkon. Lincah jemarinya mengetikkan. sesuatu pada keyboard. Mata bulat itu seketika terb
"Ada hubungan apa antara Sammy dengan petugas dari Dinas Sosial?" tanya Aira penasaran. Jati yang awalnya hendak berpamitan pulang, kini harus menunda niatnya. Ada Aira yang tak sabar mendengar cerita Sammy. "Sammy tak punya siapapun, hanya kakek neneknya saja. Jadi, saat mereka meninggal, Sammy sebatang kara. Hal itulah yang membuat pemerintah negara bagian merasa perlu untuk memasukkan Sammy ke tempat tinggal sementara di bawah naungan Dinas Sosial," jelas Jati. "Beruntung, kakek dan nenek Sammy sangatlah cerdik. Sebelum kejadian naas itu, mereka membuat surat kuasa pada Catherine untuk menjadi wali Sammy," lanjutnya. "Lalu?" "Catherine merasa tak mampu, sehingga dia melimpahkannya padaku. Sammy sempat tinggal di rumahku selama dua bulan. Kemudian, Senja sakit dan seperti inilah yang kamu lihat sekarang," tutur Jati. "Sammy tidak keberatan kan, tinggal di sini?" Aira mengalihkan perhatiannya pada bocah yang asyik melemparkan makanan ikan ke kolam. "Aku sangat menyukai A
Dari balik dinding penyekat antara ruang tamu dan ruang tengah, Sinta dan Wildan menguping di sana. Kebetulan, Enzo dan sepupunya, Ratri, sama-sama tertidur setelah mandi. "Anak siapa yang dibawa Jati itu?" bisik Sinta pada suaminya. Dia agak terlambat datang, sehingga tak mengetahui percakapan awal. "Itu anak tetangga apartemen Aira dulu," jawab Wildan lirih. "Kenapa sampai diajak kemari oleh Jati?" tanya Sinta lagi. "Sst! Dengarkan dulu!" Wildan langsung membungkam lembut bibir istrinya, lalu memberikan isyarat agar Sinta memasang telinga lebar-lebar demi menangkap penjelasan Jati yang samar terdengar. "Sedang apa kalian di sini! Bukannya menjaga anak-anak!" hardik Mira seraya menepuk pundak Wildan dan Sinta secara bergantian. "Sstt!" Serempak, Wildan dan Sinta menempelkan telunjuk pada bibir. "Ck! Tidak sopan!" gerutu Mira sembari berdecak kesal. Meskipun demikian, dia turut mendengarkan percakapan di ruang tamu tersebut. "Apartemen yang pernah kamu tempati bersama
Setelah dua jam perjalanan udara, Aira dan Mira sampai juga di Jakarta. Wildan sudah menunggu di terminal kedatangan. "Mau langsung pulang atau mampir dulu?" tawar Wildan saat kendaraan yang mereka tumpangi mulai bergerak meninggalkan area parkir bandara."Pulang saja, deh. Besok saja main ke rumah Papa Bayu," sahut Aira."Oke!" Wildan memutar kemudi, melajukan mobil dalam kecepatan sedang hingga tiba di kediaman Kartika.Tampak sang ibu telah menunggu di halaman depan, bermaksud untuk menyambut kedatangan Aira."Ne ... ne ... ne!" seru Enzo antusias tatkala Wildan membantunya turun."Kangen nenek, ya?" Wildan tergelak melihat tingkah lucu keponakan yang seumuran dengan putrinya itu. "Iyyah!" sahut Enzo, seolah tahu apa yang dibicarakan Wildan."Sayang!" sambut Kartika. Dia langsung berlari menghambur ke arah Wildan, dan merebut Enzo dari gendongan.Sementara Aira sibuk membawa barang-barangnya. Dia berniat masuk ke kamar untuk mengistirahatkan kaki.Namun, sebisa mungkin Aira menye
Mira tampak cemas. Mondar-mandir di depan kamar tempatnya menginap bersama Aira. Sementara Enzo sudah pulas tertidur. "Kenapa Aira belum pulang juga?" gumamnya. Tak hanya Aira, Alex pun tak nampak. "Ck! Ditelepon juga tidak bisa," gerutu Mira. Beruntung, kegalauan itu berakhir ketika dia melihat langkah tiga orang yang semakin mendekat ke arahnya. "Ra!" seru Mira. Panik dirinya melihat Aira yang berjalan di tengah dua orang bule tampan. Keponakannya itu sedang dituntun oleh Brandon dan Alex. "Apa yang terjadi?" tanya Mira was-was. "Hanya kecelakaan kecil, Tante," jawab Aira, berusaha sesantai mungkin karena tak ingin membuat tantenya resah. "Bagaimana bisa?" "Aira terpeleset. Kakinya terkilir," sahut Alex sebelum Aira sempat membuka mulut. "Ya, Tuhan!" Mira segera mendekat dan merengkuh sang keponakan, lalu membawanya masuk ke kamar. Namun, baru saja Mira hendak mendorong daun pintu agar terbuka lebih lebar, Alex lebih dulu memanggilnya. "Saya sudah menerima hasil pe
Mira berdiri mematung di ambang pintu. Dia diam saja saat Manggala asyik bercengkerama dengan Enzo. Balita 1,5 tahun itu seakan telah mengenali Manggala sejak lama. Terbukti, Enzo sama sekali tak merengek saat Manggala mengangkat tubuh mungilnya, melempar Enzo ke udara, lalu menangkapnya lagi. "Pap ... pap," celoteh bocah menggemaskan itu. "Iya, Nak. Aku papamu," ucap Manggala penuh haru dengan mata berkaca-kaca. Melihat hal itu, Mira semakin kacau sekaligus penasaran setengah mati sehingga dia memberanikan diri untuk mendekat. "Apa kamu tidak ingin menceritakan sesuatu padaku? Apa hanya aku yang ketinggalan sesuatu?" cecar Mira. "Tante ...." Manggala tersenyum getir. "Izinkan aku bermain sebentar dengan Enzo. Nanti kalau dia tertidur, aku akan menceritakan semuanya," janjinya. "Oke!" Mira mengembuskan napas kasar. Tak merasa lega, malah semakin menambah rasa penasaran. Namun, dia tak dapat berbuat apapun tatkala melihat raut ceria Enzo dan sorot bahagia Manggala. Mira harus b
Aira memegangi kepalanya yang terasa berat. Seakan ada bandul besi yang bergerak memukul tulang tengkoraknya dari dalam. "Ssshh," rintihnya lirih. Kelopak matanya terbuka perlahan, mengamati sekitar. "Di mana aku?" gumam Aira."Ibu sudah sadar?" Terdengar sebuah suara yang membuat Aira menoleh. Tirai putih di sampingnya terbuka. Seorang wanita berseragam perawat mendekat sambil membawa nampan. Luwes gerakannya mengisi suntikan dengan cairan bening, lalu menyuntikkannya ke dalam selang infus Aira. "Ini obat anti nyeri, Bu. Luka terkilir Anda lumayan parah," jelas si perawat tanpa diminta."Ini di mana?" Aira mengedarkan pandangan ke sekeliling."Rumah sakit daerah, Bu. Tim SAR yang membawa Anda kemari," terang si perawat."Oh, ya ...." Aira ingat sekarang. Dia tadi terjatuh dari tebing setelah terlibat percekcokan dengan Helen. "Anakku ...." Tiba-tiba dirinya teringat akan Enzo."Saya sudah memberitahu pendamping Anda di luar."Tak berselang lama dari penjelasan sang perawat, Aira melih
Helen terpaku. Dia tak dapat berteriak maupun bergerak. Semua terjadi begitu cepat. Dirinya memang membenci Aira, tapi sama sekali tak pernah terlintas dalam benaknya untuk mengakhiri nyawa ibu satu anak itu. Beberapa saat setelah akal sehatnya kembali hadir, Helen segera berteriak sekencang-kencangnya. "Brandon! Aira terjatuh!" pekik Helen. Brandon yang asyik berdiskusi dengan Alex, langsung menoleh. "Apa?" serunya terbelalak. "Cepat, tolong dia! Aira di bawah sana!" pekik Helen histeris. "Ya, Tuhan!" Brandon dan Alex berlari secepat mungkin menuju arah telunjuk Helen. Sejenak, dua pria tampan itu tertegun melihat betapa curamnya tebing yang ditumbuhi rerumputan hijau di sela bebatuannya itu. "Apa yang kau lakukan, Helen!" sentak Brandon. Entah kenapa instingnya mengatakan bahwa calon istrinya itu berhubungan dengan kejadian tersebut. "Ti-tidak ada! Kami hanya bicara!" elak Helen terbata. Brandon tak percaya begitu saja. "Aku akan membuat perhitungan denganmu nanti!" ancamnya.