Sebenarnya Barra bukannya ingin kencan. Ia hanya tak mau ibunya cerewet soal teman wanita yang ia tidak punya. Ia berani bertaruh tadi andai ia tidak pergi ibunya pasti akan memaksanya keluar bersama Nadine. Ia sedang tak tak ingin keluar dengan gadis itu.Lelaki itu mengendarai mobilnya berkeliling kota tanpa tujuan spesifik. Sesungguhnya ia juga ingin menikmati liburnya seperti pemuda lain dengan hang out bersama teman, main gim bareng kawan, dan sebagainya. Namun, selama ini Barra terlalu sibuk sampai-sampai ia tak sempat berteman.Kalau kenalan, Barra memiliki banyak kenalan. Sebagai CEO tentu ia punya relasi yang luas. Akan tetapi semua itu adalah urusan bisnis. Ia tak memiliki orang untuk berbagi kehidupan pribadi. Bukannya tak ada yang mau. Hanya saja Barra merasa tak cocok dengan beberapa orang yang mendekatinya.Seperti contohnya Brian. Meski mereka seumuran, Barra tak suka kepribadian lelaki itu. Padahal ibunya selalu mendorong agar dia bisa lebih akrab dengan sering mengaja
Barra harus segera bangkit. Ia mesti lekas bersembunyi sebelum orang-orang yang mendengar keributan itu datang, mengerumuninya dan Sandra, lalu berpikir hal yang bukan-bukan tentang mereka. Ia tak mau membuat dirinya maupun wanita itu malu.Namun, berada sangat dekat dengan Sandra, dalam posisi seperti itu, membuat Barra seolah enggan beranjak. Ia dapat merasakan panas tubuh wanita itu, dapat mencium sampo yang digunakan wanita itu. Ia ingin merasakan Sandra lebih dari ini. Ia ingin menyentuh wanita itu lebih banyak.“Ke mana sih tuh anak?” Suara ibunya menyadarkan Barra. Ia segera bangkit, menarik Sandra bersamanya.“Kamu nggak apa-apa?” tanyanya memeriksa.“En-nggak apa-apa.” Jantung Sandra seakan meledak.Sekali lagi, Barra menarik wanita itu bersembunyi ke dalam bayang-bayang wahana rumah hantu. Ia melewati ruangan demi ruangan yang sudah diseting dengan nuansa horor. Namun baginya sekarang ketahuan oleh ibunya sedang menggandeng tangan wanita lebih mengerikan ketimbang isi rumah
Barra menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia menenangkan syarafnya yang tegang. Tangannya yang mengepal ia urai. Selain itu ia juga memberi isyarat pada Sandra agar melepas tangannya dengan mengangguk. “Nggak apa-apa,” katanya. “Salahku udah ganggu malam minggumu.”Sandra menggeleng. “Nggak, Pak. Bukan—“Alex memotong ucapan mantan istrinya lagi. “Nah, akhirnya kamu sadar juga.”“Mas!” Sandra begitu kesal sampai membentak.Alex segera menutup mulut.“Tolong pamitin ke adikmu. Aku pergi.” Barra lantas meninggalkan rumah Sandra. Wanita itu mengantarnya sampai keluar rumah dan ia masih berdiri di halaman hingga Barra melajukan mobilnya.Begitu mobil lelaki itu tak terlihat lagi, Sandra memutar bola matanya. Tangannya bersedekap. Ia berderap ke dalam dan mendapati Alex duduk menunggu di sofa. “Ngapain kamu ke sini lagi?”“Kan aku udah bilang bakal ke sini lagi.” Alex duduk di tempat bekas Barra duduk tadi. Kakinya menyilang. Namun, ia terlihat tak setampan lelaki ta
Seumur hidup, Alex tak pernah semalu ini. Ia merasa dipermalukan habis-habisan. Betapa tidak? Ia susah payah mencari cara menghubungi lelaki yang menjadi satu-satunya penghalang dirinya rujuk. Melalui kenalannya ia berhasil mendapatkan nomor Barra. Tentu saja ia tak bisa meminta nomor ponsel Barra kepada Sandra. Ia tak mau wanita itu tahu apa yang akan dilakukannya.Alex mengerti, sebagai CEO sebuah perusahaan ternama tentunya Barra memiliki kartu nama yang di dalamnya tertera nomor ponsel lelaki tersebut. Namun, ia juga tahu bahwa nomor tersebut pastilah bukan nomor pribadi. Alex ingin menghubungi Barra melalui sambungan pribadi. Ia ingin bicara empat mata dengan lelaki itu membahas masalah pribadi. Jadi, ia mengabaikan nomor yang tertera di kartu nama yang berhasil ia dapatkan dari kenalannya.Tak mau menyerah, ia pun bertanya pada Kristin. Dulu istrinya itu pernah memperingatkan Alex supaya tidak mengusik Barra. Dia juga mengaku pernah mendekati lelaki itu. Jadi, sudah pasti Kristi
Di sisi lain, pada waktu sebelum Alex merasa sebagai manusia paling teraniaya di dunia, Bu Dina memarkir mobilnya di sebuah resto keluarga yang sudah menjadi langganannya untuk arisan. Bulan kemarin Bu Anin, temannya, yang mendapat arisan. Jadi kali ini dialah yang membayar.Mulanya mereka sepakat mengadakan arisan di rumah wanita itu. Akan tetapi mendekati acara, asisten rumah tangga Bu Anin sakit. Tak ada yang membantu menyiapkan. Beli dari resto pun percuma. Alhasil ia mengabari ibu-ibu lain di grup bahwa arisan pindah tempat. Anaknya, Nadine, tak dapat dimintai pertolongan. Sebab, gadis itu tak bisa memasak. Menyalakan kompor saja tak mampu.Untungnya anggota arisan yang lain tidak memprotes.Menggunakan baju kasual, Bu Anin menyambut Bu Dina di ujung meja. Rambutnya digelung dengan cantik. Ia mengenakan perhiasan yang tampak mencolok mata. Baginya, arisan merupakan ajang untuk pamer. “Apa kabar, Jeng?” ucapnya sembari mencium pipi tamunya. “Baik-baik.” Bu Dina tersenyum. Berbeda
Mudah bagi Barra untuk membuat Alex hancur. Ia sudah mencari tahu tentang lelaki itu, di mana tempatnya bekerja, bagaimana lingkungannya, bahkan berapa kekayaannya. Bisa saja ia membuat lelaki itu dipecat, dimusuhi warga, maupun dibuat bankrut. Namun, ia masih memikirkan perasaan Sandra. Ia takut wanita itu bakal sedih. Atau yang lebih mengerikan, ia khawatir Sandra akan ikut jatuh bersama lelaki itu.Barra tak mau hal itu terjadi. Namun, tangannya seolah gatal ingin menjatuhkan lelaki itu.Urusan kantor sudah lebih lenggang sekarang. Programnya berjalan sesuai ekspektasi. Dalam pekerjaan, Barra merasa tak ada hal yang memerlukan perhatian khusus. Dalam rencananya untuk memperluas pemasaran, ia sudah menghubungi pihak terkait dan menurutnya syarat yang diajukan tidak berat dan sesuai dengan visi maupun misi perusahaan. Jadi tak ada kendala yang berarti.Produk barunya juga sudah siap. Ia bisa bersantai. Ia bisa melakukan hal-hal lain, seperti bermain-main dengan hidup orang lain.Kini
“Kamu nggak apa-apa?” Barra begitu kahwatir ketika melihat Sandra mengelus lehernya.“Nggak apa-apa, Pak.” Wanita itu bersyukur kalung pemberian bosnya tidak putus. Ia tak enak merusak hadiah bosnya. Apalagi baru lima menit yang lalu ia memakainya.Wuri mengulurkan segelas air minum pada rekannya itu. “Emang rada nggak waras tuh cewek.”Sandra menyesap sedikit minuman yang ditawarkan Wuri. Adrenalinnya berangsur turun. “Maaf, Pak. Jadi mengganggu Bapak.”Barra menggeleng. “Nad emang begitu. Kalau sudah terobsesi sama orang, dia bakal ngelakuin apa aja.”“Bapak kenal Mbak Nadine udah lama?” Sandra penasaran.“Belum ada setahun, tapi aku pernah denger tentangnya dulu.” Barra menepuk pundak asisten seketarisnya. “Kalau memang kamu nggak nyaman, biar nanti kubilang satpam agar nggak mengijinkannya masuk. Lagi pula, dia kan nggak berkepentingan sama perusahaan.”Sandra segera menggeleng. “Nggak usah, Pak. Aku yakin tadi Mbak Nadia cuma salah paham aja, kok.” lagi pula, dia kan teman bosnya
Langkah Nadine berderap ketika memasuki sebuah kantor. Matanya tampak memerah. Wajahnya tertekuk. Seorang polisi dari devisi khusus menghentikannya. Polisi itu masih tampak muda dan rupanya merupakan orang baru yang ditugaskan di sana.“Maaf, Mbak, ada keperluan apa? Bisa saya bantu?”“Gue mau ketemu Papa.” Nadine mendelik.“Papa?” Polisi itu mengernyit. Ia mematikan HT-nya yang berkemeresak sejak tadi. Ia melihat orang-orang yang baru datang ke kantor tersebut semuanya mengantre. Namun, gadis itu tidak. Instingnya sebagai polisi terusik. Ia curiga. “Nama Papa Mbak siapa? Sudah daftar antrean belum?”Mata Nadine memelotot. “Lo baru, ya?”Polisi itu tampak bingung. Tak lama kemudian, temannya yang lebih senior datang. Tergopoh-gopoh, temannya itu meminta maaf. Ia mendorong polisi muda itu supaya pergi dan mengambil alih tugas. “Mari, mari, Non Nadine. Saya antar ke ruangan Pak Direktur.”Nadine melirik sinis polisi muda itu sebentar sebelum berderap mengikuti polisi yang lebih senior t
Wuri bilang pada Sandra untuk tidak usah khawatir. Namun, tetap saja, Sandra gelisah. Dia sudah menelepon Barra beberapa kali, namun panggilannya tak dijawab. Dia juga sudah mengirim pesan, memberi embel-embel kata penting. Namun, sampai jam kantor usai, Barra tak kunjung membalas. Notifikasinya terbaca pun tak ada. Terlihat hanya tanda centang dua pada pesannya.Saat masuk ke bus untuk pulang, Sandra tak tenang. Perasaannya tidak enak. Pikiran buruk mulai menghantuinya. Kenapa Barra tidak menjawab telepon maupun pesannya? Apakah terjadi apa-apa dengannya? Mungkinkah dia tertimpa musibah, kecelakaan misalnya? Kapan? di mana? Apakah saat hendak menemui klien? Atau ketika rapat dadakan? Kenapa pula tadi dia tidak pamit keluar kantor? Apa yang terjadi?Sandra menjadi mual memikirkannya. Ia tak bisa membayangkan tubuh Barra terluka di dalam mobil yang jatuh ke jurang, menunggu bantuan yang tak kunjung datang hingga akhirnya .... Tidak. Sandra tak sanggup. Ia menelepon nomor Barra lagi, tet
Aku harus percaya diri, Sandra bertekad. Ia ingat percakapannya dengan Bu dina dulu. Sebagai kekasih Barra, banyak yang bakal menekannya. Dia tak boleh menyerah atau melempem. Mentalnya harus kuat. Bukankah dia sudh pernah diperlakuka dengan kejam oleh Bu Utami dulu? Seharusnya, Sandra sudah mampu menyesuaikan diri dengan hinaan yang menjtuhkan mentalnya. Dulu, ia sudah bisa menerima omongan kejam mantan mertua dan mantan suaminya. Jadi, seharusnya ia lebih kuat menerima hinaan dari orang lain. Toh, mereka tidak ada hubungannya dengan Sandra.Berbeda dengan Alex dan Bu Utami yang dulu adalah orang terdekatnya. Orang yang dipercayanya, orang yang mestinya melindungi Sandra. Jadi, penghinaan mereka pastinya lebih kejam dari penghinaan yang diterimanya oleh orang luar. Maka dari itu, Sandra bertekad akan menghadapinya dengan percaya diri.Toh, apa sih cacian yang mereka lontarkan padanya? Statusnya sebagai janda? Sandra memang seorang janda. Namun, dia tetaplah wanita terhormat. Dia tak
Dengan lesu, Sandra merebahkan dirinya ke kasur. Hari ini terasa panjang dan melelahkan. Orang-orang seolah menekannya. Ia tahu dirinya hanya orang biasa dan tak pentas mendaptkan Barra. Ia ingin menyerah dan mengakhiri saja. Sempat terlintas dalam pikirannya untuk pergi ke tempat yang jauh, kembali memulai hidup baru. Namun, saat memikirkan berjauhan dengan Barra, dadanya terasa sesak. Sepertinya ia tak sanggup. Meski begitu, bertahan di sisisnya pun rasanya sulit sekali.Ponselnya bergetar sekejap, menandakan sebuah pesan masuk. Rupanya dari Barra. Ia membacanya dan tersenyum. Kemudian, ia menyadari bahwa hanya dengan membaca pesan dari lelaki itu saja mampu membuat hatinya menjadi ringan. Bagimana kalau ia tak lagi berhubungan dengannya? Pasti lebih sulit.Ia mengetik balasan. tetapi sebelum sempat mengirimnya, Barra sudah meneleponnya."Kangen ...," nada manja sang CEO terdengar begitu Sandra menempelkan ponsel ke telinganya. Bibirnya tak bisa menahan senyuman. "Udah makan, belum?
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga teman sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.