Safia dan ibunya telah sampai di rumah, sehabis dari kunjungannya ke rumah Jevin. Begitu sampai rumah tanpa membuang waktu gadis itu segera meminta penjelasan kepada ibu mengenai perjodohan dirinya dengan Jevin, kekasih sahabatnya itu.
Ibu pun mulai menceritakan kembali, kejadian tragedi suram itu. Tragedi yang membuat sang suami tercinta menghembuskan napas terakhir. Ibu mengisahkan pengorbanan sang ayah yang rela menukar nyawanya demi melindungi sang majikan, yaitu papa Jevin.
Bu Ratih juga menuturkan betapa beraninya Safia kecil melawan para penjahat itu. Bahkan gadis kecilnya itu juga rela mengorbankan kepalanya demi menolong Jevin.
Safia mendengarkan dengan seksama. Bayangan masa kelam itu kembali melintas di benaknya. Seketika air mata yang membuat sesak hatinya luruh.
Apalagi saat teringat meninggalnya sang ayah. Hatinya kembali terasa pilu. Safia merasa menyesal tidak bisa ikut menghadiri pemakaman sang ayah. Itu dikarenakan dirinya waktu itu masih terbaring koma di rumah sakit.
"Sudahlah! Tidak perlu lagi kamu menangisi dan menyesali masa lalu, Fia," ujar Ibu melihat Safia terisak sedih mendengar kisahnya. "Yang terpenting penuhi permintaan ayahmu, yaitu kamu harus bersedia menikah dengan Jevin," lanjut Ibu tenang, tetapi sedikit menekan.
"Tapi, Bu, aku dan Jevin tidak saling mencintai." Safia berusaha menolak. Walau hati kecilnya berteriak dia sebenarnya mulai mengagumi Jevin. Namun, mengingat status cowok itu yang telah menjadi pacar Embun, Safia memilih menolak.
"Itu adalah janji almarhum Pak Gavin kepada mendiang Ayahmu, Nak. Jadi biarkan janji itu terwujud supaya mereka tenang di alam sana," pinta ibu penuh haru.
"Masalahnya Jevin itu kekasihnya Embun, Bu. Ibu kenal dia kan? Mana mungkin saya mo menikahi pacar teman sendiri," timpal Safia gusar.
Ibu Ratih menatap anaknya lurus. Ia menyelinapkan rambut Safia ke belakang telinga. "Dengar, Nak! Rumah ini, toko roti kita, serta kau bisa kuliah karena bantuan mereka. Kamu pikir uang dari mana? Ibu ini hanya seorang janda miskin dengan tiga orang anak," tutur Ibu Ratih menciba mengetuk hati sang putri. Membuat hati Safia semakin bimbang mendengarnya.
"Bukankah kamu selalu bilang ingin menjadi anak yang soleha?" tanya Ibu memastikan.
"Iya sih, Bu, tapi ...." Safia ragu. Ia tidak meneruskan ucapan penolakannya.
"Kalo iya, patuhi perintah Ibu!" mohon ibu dengan muka yang memelas.
Wanita itu mencium kening Safia lembut. Dan sang putri hanya bisa terdiam. Matanya terpejam untuk meresapi kasih sayang sang bunda. Menit berikutnya Bu Ratih berlalu pergi meninggalkan kamar anaknya.
"Tanpa perlu dijodohkan aku juga mau menikah dengan Jevin," gumam Safia begitu ibunya menutup pintu kamarnya. "Tapi masalahnya Jevin itu kekasihnya Embun. Huh ...." Safia menghempaskan nafas. Galau melanda jiwanya. Risau ... gadis itu termenung.
***
Sejak pertemuan di rumah Jevin waktu itu, Safia dan Jevin terlihat canggung bila saling bertemu. Jevin yang biasanya ramah pada Safia saat menjemput Embun kini tampak berubah. Bibirnya hanya mengulas senyum tipis basa-basi jika bertatapan dengan Safia.
Seperti sore itu ketika Safia dan Embun baru keluar dari lobi kantor, sudah ada Jevin yang setia menunggu Embun untuk pulang. Ketika mata Safia dan Jevin bertemu pandang, keduanya terlihat kikuk dan salah tingkah.
"Sepertinya mo hujan, Fi," ujar Embun menunjuk awan yang sudah terlihat begitu hitam. Angin pun berhembus lebih kencang. "Mari ikut kita biar gak kehujanan!" ajak Embun baik.
"Emm ... tidak usah! Nanti merepotkan," tolak Safia sambil melirik ke arah Jevin. Jevin sendiri lekas buang muka.
"Gak ... Kita gak merasa direpotkan kok. Iyakan, Je?" tanya Embun seraua menoleh ke arah pacarnya. Sang pacar hanya tersenyum kecut menanggapi sembari menganguk pasrah.
"Tidak usah. Tadi aku udah minta dijemput ama Yuki kok." Kembali Safia berbohong sambil nyengir memperlihatkan gigi kelincinya. Kembali tanpa sadar mata Safia bertemu pandang dengan Jevin. Kembali pula mereka membuang muka jengah.
"Ya udah kalo gitu. Kita jalan dulu, ya," pamit Embun tidak dapat memaksa lagi.
Safia mengangguk disertai senyuman manis. Jevin sendiri menarik napas lega. Rasa tersiksanya akan segera berakhir karena Safia tidak mau mengikuti ajakan sang kekasih. Maka Jevin lekas menyuruh Embun untuk masuk ke mobil diikuti dirinya. Selanjutnya gas ia tancap untuk melakukan mobil.
Safia hanya bisa memandangi kepergian mobil itu dalam diam. Perasaan tidak nyaman karena perjumpaan dengan Jevin kini mulai sirna. Pelan Safia melangkah. Titik air langit membasahi rambutnya. "Yah ujan beneran nih." Gadis itu mendesah sembari menatap langit sekilas. "Mana gak bawa payung lagi," gerutu Safia kesal. Gadis itu berjalan sedikit kencang menuju halte bis dengan menutupi kepala memakai tas kerjanya.
Ketika sedang berjalan suara klakson motor membuat Safia kaget. Gadis itu menoleh, ternyata seorang Yuki sahabat baiknya sudah tersenyum manis. Pemuda itu mengisyaratkan Safia untuk segera membonceng motornya melalui mata. Sedikit berlari Safia menemui pemuda bertubuh kurus itu. Dan segera menaiki kendaraan roda dua itu di belakang Yuki.
Yuki memacu kuda besinya dengan kecepatan yang lumayan kencang, sehingga menghemat waktu mereka untuk sampai di kediaman Safia. Begitu turun dari motor, gadis itu meminta Yuki untuk singgah. Selain karena hujan yang semakin besar, Safia pun ingin berkeluh kesah dengan sahabat kentalnya ini.
Yuki menyetujui usulan Safia. Pemuda itu memarkirkan motornya di garasi. Lalu mengikuti langkah Safia memasuki ruangan. Kedua anak muda itu kini menaiki lantai atas.
Safia masuk ke kamar Sabiru adiknya. Dia mengambil baju sang adik untuk dipinjamkan ke Yuki. Yuki menerima kaos oblong putih dan celana training abu-abu serta handuk pemberian dari Safia dengan senang hati. Dirinya turun ke kamar mandi di lantai bawah untuk mandi.
Safia sendiri membersihkan badannya di kamar mandi lantai dua ini. Setelah mandi dan berganti pakaian, gadis itu menemui temannya yang ternyata sudah duduk santai. Yuki tampak serius menikmati saluran televisi sambil sesekali menyesap hot cokelat.
"Siapa yang bikin minuman?" tanya Safia basa-basi, lalu ikut menyandarkan badannya di sofa empuk berwarna cokelat itu.
"Ibu." Jawab Yuki singkat. Tangan pemuda itu kini beralih mengambil kudapan berupa kue muffin cokelat.
"Aku mau curhat nih sama kamu," ujar Safia kemudian.
"Apaan? Tentang Vino?" tebak Yuki dengan mulut yang masih penuh dengan kue.
"Please gak usah sebut nama dia deh!" tukas Safia bete.
"Lha ... terus mo curhat apaan? Emang lo udah move on dari dia?" Yuki menatap serius ke sobat kecilnya itu.
Safia mengangguk pelan. Tampak gadis itu menghirup napas dan membuangnya perlahan. Kemudian tanpa diminta Safia bercerita.
Gadis itu mengisahkan awal pertemuannya dengan Jevin di saat hatinya tengah gundah gulana. Mulutnya juga jujur mengakui kekaguman pada Jevin yang ternyata adalah kekasih sahabatnya sendiri. Hingga bercerita tentang perjodohannya dengan Jevin. Tidak lupa Safia menuturkan kegalauan hati yang sedang melanda jiwanya kini.
Yuki mendengarkan cerita itu dengan seksama. Kepalanya hanya bisa manggut-manggut saat mendengar curhatan dari Safia.
"Gimana menurutmu?" tanya Safia meminta saran begitu usai bercerita.
"Kok tanya gue. Yang bakal ngejalanin kan elo," tanggap Yuki datar. Kembali pemuda itu menyesap minumannya.
"Ya ... tapi gimana?" tukas Safia bingung. "Jevin itu kan pacarnya Embun, aku gak mau dianggap menikung sahabat sendiri."
"Tanya hati elo aja!" saran Yuki enteng.
"Ya ... dalam hati sih mau-mau saja," jujur Safia. "Siapa sih yang gak mau menikah sama cowok yang ganteng, baik, dan tajir," kilah Safia sambil sedikit menyengir malu.
"Ya udah lo nikah aja sama Jevin. Embun biar menikah sama gue," celetuk Yuki asal.
"Ihhh ... Serius, Ki." Safia memberengut.
"Huh ... Gimana ya?" Yuki menghela napas karena ikut bimbang. "Ya ... lo salat istikharah aja. Minta pentunjuk ma yang di atas," saran Yuki terdengar bijak. Kemudian pemuda itu melihat jam tangannya.
"Udah malem nih. Ujannya juga mulai reda tuh," ujarnya sembari bangkit berdiri. "Gue pamit, ya. Besok mo syuting pagi." Yuki memberi tahu. Safia mengangguk. Keduanya menuruni anak tangga. "Eh ...lo tau gak? Masa di lokasi syuting, banyak orang yang minta foto bareng ama gue." Yuki berceloteh pada Safia sembari berjalan. "Dikiranya gue Adipati beneran," tutur Yuki sok kecakepan mengusap rambutnya ke belakang.
Safia hanya bisa tersenyum geli mendengar penuturan sang sahabat. Gadis itu menemani temannya sampai di garasi. Dan lekas masuk lagi usai Yuki melaju pergi dengan motornya.
***
Keesokan hari, sepulang dari kantor Safia mendapati ibunya tengah memilah-milah gaun di kamarnya."Ngapain, Bu?" tanyanya sembari melepar tas ke meja dan menjatuhkan diri ke ranjang."Lekas mandi! Sebentar lagi Nak Jevin mau menjemput," jawab Ibu dengan masih sibuk memilih gaun."Jemput apaan?" Safia yang kaget gegas terduduk menatap sang ibu."Kencanlah. Biar kalian saling kenal." Ibu menjawab disertai senyuman senang. "Tadi Bu Jenni telpon Ibu, katanya gak lama lagi mereka akan sampai. Jadi ...sudah sana buruan mandi!" suruh Ibu."Tapi, Bu-""Gak ada tapi-tapian!" sambar Ibu sambil mendorong tubuh anaknya ke kamar mandi.Safia sendiri tak kuasa menolak. Gadis itu lekas membersihkan badannya yang terasa sudah sangat lengket. Safia tidak bisa berlama-lama di dalam kamar mandi. Sang ibu sedari tadi menggedor-gedor pintu memanggil namanya.Lalu begitu keluar dari kamar mandi, sang ibu langsung menarik tangan Safia. Mendudukkan anak gadisnya di depan meja rias. Wajah Safia ibu sapu denga
Hubungan pertemanan antara Safia dan Embun tetap terjalin baik. Baik Safia maupun Jevin masih menyimpan rahasia perjodohan mereka pada Embun. Dan keduanya juga pandai bergelagat jika di depan Embun. Jevin yang datar pada Safia, serta Safia yang juga selalu menjaga jarak jika mereka bertiga bertemu.Sore itu setelah pekerjaan menumpuknya telah usai, Safia memutuskan untuk pulang. Dan seperti biasa, dirinya ke luar kantor bersama Embun. Begitu tiba di lobby kantor gadis itu sedikit merasa heran. Karena dia melihat ada Bu Jenni yang tampak tengah duduk menunggu seseorang. Lalu begitu melihat dia dengan Embun, wanita itu bangkit dan mendekat."Embun, ayo kita pulang bareng. Ada hal penting yang ingin tante bicarakan dengan kamu," ajak Bu Jenni datar dan tanpa memedulikan Safia."Emm ... iya. Baik, Tante," balas Embun sedikit gugup.Embun memang selalu merasa canggung jika berhadapan dengan Mama Jevin. Dirinya menyadari kalau calon mertuanya itu memang tidak menyukainya. Alasannya kenapa E
***Sore itu, Safia telah merampungkan semua pekerjaan. Usai merapikan meja kerja, gadis itu berkemas. Diambilnya cermin kecil dalam tas.Gadis itu berkaca. Terlihat mukanya kusam. Ada noda hitam di bawah mata. Akhir-akhir ini Safia memang sering tidur malam. Semenjak dirinya dijodohkan dengan Jevin, gadis itu merasakan kerumitan hidup yang membuatnya susah memejamkan mata."Fi, kita hang out, yuk!" ajak Vani salah seorang teman kantor Safia."Iya, yuk! Lama nih kita gak kongkow-kongkow bareng," timpal Mania. Teman Safia yang lain."Gah ah. Aku lagi males," sahut lemas. Gadis itu lantas berlalu meninggalkan kedua sahabatnya."Eh, Fi, hari ini Embun absen ada apa sih?" tanya Vani. Gadis itu mengejar langkah Safia. Begitu juga Mania. Ketiganya berjalan bersama."Entah." Masih dengan suara lemah Safia menjawab.Gadis itu teringat hari kemarin. Hari di mana Embun terlihat begitu kacau setelah mendapat peringatan dari Bu Jenni.'Apakah Embun sudah menanyakan pada Jevin, siapa calon jodohny
Safia diam termangu dalam kamarnya. Kepalanya pusing memikirkan keruwetan hidup yang tengah menimpa. Tetiba saja telepon pintarnya bergetar. Diraihnya benda tipis itu. Ada sebuah chat masuk. Pesan dari Jevin.[ Datang ke taman dekat tempat tinggalmu. Aku menunggu!]'Ada apa Jevin ingin bertemu dengan aku lagi?' batin Safia heran.Safia menengok jam kotak kecil yang bertengger di atas nakas kamar. Baru pukul tiga sore, tetapi awan sejak lepas dhuhur tadi tampak kelabu. Diprediksi hujan bisa turun kapan saja. Udara juga semilir lembap. Makanya hari Minggu ini ia gunakan untuk bermalas-malasan saja di kamar. Bergelung seharian di kasur sembari terus memikirkan nasibnya ke depan.Ponselnya bergetar lagi. Chat dari Jevin masuk lagi. Gadis itu hendak mengetik balasan. Namun, belum sempat dia menjawab pesan, sang ibu berteriak memanggil namanya dari bawah."Fiaaa! Cepetan turun!"Gadis itu melempar ponsel yang dipegang ke ranjang. Dia urung membalas chat Jevin. Segera Safia menuruni tangga u
Setelah pertemuan terakhir Bu Ratih dan Bu Jenni seminggu yang lalu, keluarga Jevin datang ke kediaman Safia guna meminang gadis itu. Bu Jenni tidak banyak membawa rombongan. Hanya keluarga terdekat saja yang turut serta. Begitu juga dengan Bu Ratih. Wanita itu hanya mengundang keluarga dan tetangga terdekat saja. Salah satunya keluarga Yuki. Bu Ratih dan ibunya Yuki bersahabat baik sejak dirinya baru pindah ke daerah itu. Bahkan ibu Lili-bundanya Yuki, didaulat oleh Bu Ratih menjadi pembawa acara pada malam lamaran itu.Acara berlangsung khidmat. Acara demi acara terlampau dengan baik. Tiba di sesi jawaban calon mempelai perempuan menanggapi pinangan dari calon mempelai pria. Safia berdiri dari duduknya. Dengan tangan yang gemetar memegang mikrofon gadis itu memandang Jevin yang terduduk lesu di kursi seberang. Jevin tampak begitu tampan dengan kemeja batik motif sido mukti cokelat terang. Sayang aura kegantengannya tertutup wajah muramnya.Ada lima menit Safia diam mematung sembar
Masjid pun bergema oleh suara doa seluruh hadirin. Hati Safia terasa sejuk mendengarnya. Kemudian matanya pun menangkap sesosok gadis yang tengah mengusap air mata menyaksikan upacara sakral tersebut. Embun datang di acara pernikahan pacarnya itu.Acara semakin berlanjut. Sang juru kamera menyuruh Safia dan Jevin untuk foto bersama. Lelaki itu menyuruh kedua mempelai untuk berdiri saling menempel sambil menunjukkan buku nikah mereka. Pengantin baru itu hanya menurut saja. Lalu ketika sang photografer menyuruh sang mempelai pria untuk mencium kening istrinya, Jevin dan Safia terlihat begitu gugup dan canggung."Ayo Jevin buruan cium bini, Lo!" perintah Yuki yang turut menjadi saksi pada acara sakral itu.Jevin memandang Safia dan Safia hanya bisa menunduk. Hati-hati, Jevin menunduk menempel bibirnya di kening istrinya. Safia memejamkan mata. Sang juru kamera membidik momen itu dengan baik. Usai Jevin mencium dahi Safia, kini sang istri mencium punggung tangan Jevin. Bukti tanda bakti
Keesokan paginya, Safia membuka mata. Wanita itu melirik bantal yang ada disamping. Kosong. Matanya menyapu ruangan. Tidak ada Jevin.'Sudah bangunkah dia? Atau dia tidak tidur disini?' Safia membatin.Safia menggeliat beberapa kali. Memutar kepala ke kiri dan kanan guna melemaskan otot. Lantas matanya melirik jam kotak digital di nakas. Sudah pukul lima kurang lima menit.Bergegas Safia menuju kamar mandi yang ada dalam kamar. Wanita itu membersihkan badan dengan berendam air hangat di bathtub. Ada sekitar dua puluh menit dirinya memanjakan diri di air hangat dan wangi itu. Setelah mandi dan berganti pakaian biasa, Safia bergegas menggelar sajadah guna melaksanakan kewajiban dua rakaatnya. Walau sedikit telat, tetapi pikirnya tidak mengapa. Dari pada tidak sama sekali. Di sujud terakhir, wanita itu memohon kepada Allah agar pernikahannya ini langgeng dan senantiasa diberkahi. Dalam doa, wanita itu juga berharap agar cintanya pada Jevin mendapat sambutan. Tidak lupa ia berdoa agar p
Hari ini Safia sudah mulai masuk kerja lagi. Dirinya sengaja berangkat agak telat agar langsung bekerja. Tanpa beramah-tamah dulu dengan teman sejawat. Pasalnya dia belum siap mendapat julidan dari rekan-rekannya. Makanya wanita itu menyuruh Jevin mengantarnya di waktu mepet. Jevin sendiri tidak masalah karena dia memang pemilik perusahaan tempat ia bekerja.Mobil Jevin sampai di lobi kantor Safia lima menit sebelum waktu kerja. Begitu turun dari mobil Safia gegas berlari masuk ke kantor karena takut terlambat. Dan benar saja ketika dia sampai di meja kerja, semua rekannya sudah mulai sibuk menatap layar monitor di belakang meja kubikal mereka. Safia mengatur napasnya yang masih terengah. Menit berikutnya, wanita itu mulai duduk dan lekas mengeluarkan botol plastik berisi air mineral. Baru setelah merasa tenang Safia memulai aktivitas kerjanya.*Empat jam berlalu, waktu makan siang tiba. Para rekan kantor Safia datang mendekat untuk memberikan ucapan selamat. Safia memang sengaja t