Bagi Shine, menjadi wanita lemah tidak ada dalam kamusnya.
Setidaknya seorang wanita tidak harus selalu bergantung pada lelaki. Kalau bisa dilakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan mereka yang kebanyakan merasa sombong karena dilahirkan lebih kuat. Terserah dia mau dicap sebagai perempuan bar-bar, tidak elegan dan lebih banyak membuat kaum lelaki yang tertarik dengan wajah imut juga cantiknya ielfeel setelah melihat kelakuannya yang kadang seperti lelaki hingga membuatnya tetap melajang diusianya yang ke dua puluh lima tahun.
Untuk membekali dirinya dalam menghadapi apapun hal yang bisa saja terjadi pada wanita yang hidup sendiri, Shine belajar ilmu bela diri secara otodidak. Kepalan tangannya sudah sekuat lelaki, tendangannya memberikan efek yang pasti akan menjatuhkan dan dia belajar untuk selalu waspada.
Awalnya Shine tidak terlalu peduli dengan lelaki berhoodie yang duduk di salah satu meja minimarket langganannya tapi saat menyadari kalau lelaki itu menguntitnya masuk ke dalam perumahan, Shine jelas waspada.
"Hai bastard, wanna die, huh?"
Shine menelengkan kepala ke satu sisi berusaha melihat wajah di balik hoodie yang terkesan disembunyikan itu dengan tangan terulur memegang erat pisau lipat kesayangannya yang selalu dia bawa jika harus berjalan sendirian seperti malam ini untuk berjaga-jaga. Lelaki berperawakan tinggi dan kulit putih dilihat dari telapak tangannya itu hanya diam tidak bergerak. Mungkin kaget karena lawannya bukan wanita lemah seperti kebanyakan korbannya yang lain.
"Siapa kamu?" Ucapnya tajam, menekan pisau miliknya. "Pemerkosa? Perampok? Pedagang wanita? Penjual organ tubuh? Penyamun? Pengangguran sepertiku—" Shine memutar bola matanya. "Atau pembunuh bayaran? penculik yang minta tebusan?" Shine menggelengkan kepala dan menekan lagi pisaunya. "Ah, kalau memang iya sayang sekali aku harus mengatakan kalau kamu salah sasaran. Aku memang cantik sih, hmm, bukannya sombong atau apa tapi lelaki perayu di luar sana sering mengatakan hal itu sampai aku bosan tapi tidak ada yang akan menebusku dengan uang miliaran. Sia-sia saja kamu menculikku kecuali organ dalam tubuhku yang kamu tawarkan ke orang lain."
Lelaki itu tetap diam mendengarkan semua ocehannya sampai Shine kesal sendiri karena tidak direspon dan merasakan angin malam semakin dingin.
"JAWAB?!" Bentaknya kemudian. "Atau aku perlu membuka mulutmu dengan pisau ini supaya berbicara, huh?!"
Satu sudut bibir lelaki berhoodie itu tertarik ke samping membentuk seringaian membuat Shine makin waspada sampai bibir seksi dengan dagu yang ditumbuhi bulu-bulu halus menggoda itu terbuka.
"Lilac," ucapnya pelan.
Shine cengok. "Hah?
"Menggoda iman," bisik laki-laki itu.
Shine ternganga dan terdiam sesaat karena merasa pernah mendengar suara itu tapi dia lupa di mana. Logat Amerikanya menjelaskan kalau lelaki dihadapannya ini bukan orang Indonesia.
"Apa itu jenis modusan baru supaya wanita yang kamu incar terpesona?"
"Apa kau terpesona?" tanyanya balik.
Seharusnya saat ini Shine sudah menghajar lelaki mencurigakan di hadapannya ini bukannya malah meladeni ucapan gilanya. "Tidak!"
"Ya sudah," jawabnya ringkas membuat Shine bengong. "Aku tidak termasuk dalam semua kategori penjahat yang kau sebutkan tadi jadi bisa jauhkan pisaumu dari leherku yang berharga ini."
Shine tersenyum miring, "Kenapa? Takut kalau tiba-tiba aku merobek lehermu tanpa aba-aba."
"Oh come on."
Lelaki itu bergerak membuat Shine langsung menggesek pisau itu membuat sayatan di pinggiran hoodie meski tidak sampai tembus kulitnya. "Sial!! Kau merusak jaketku?" desisnya kemudian.
"Kamu mengkhawatirkan leher berhargamu itu atau jaket tebalmu ini?"
"Dua-duanya. Aku hanya mencoba menghindarkanmu dari pernyesalan seumur hidup karena membunuh laki-laki rupawan sepertiku."
Shine terbahak, "Oh, apa maksudmu nanti setelah kamu tergeletak tidak bernyawa dan akhirnya aku bisa melihat wajahmu yang rupawan itu, aku akan menyesal kenapa tidak minta ditidurin dulu gitu?" Shine tertawa lagi. "Idiot gila!!!"
"Yah, kalau kau wanita yang normal," jawabnya enteng.
"Katakan dulu apa maksudmu mengikutiku diam-diam seperti tadi? Pasti ada niat jahat kan? Siapa kamu, hah?!"
“Aku—" Shine menunggu laki-laki itu melanjutkan bicaranya. "Seorang pemuas wanita."
***
Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing. "Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil." "Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?" "Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini." BUUK!! Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi. "Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!" "Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan. "Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya. "Oh, siapa takut." Shine men
Shine mengerang saat tangan lelaki itu menelusup di balik bajunya, membelai kulit punggungnya tanpa perantara dengan sensual masih sambil mencium bibirnya dengan napsu dan Shine melotot saat lelaki itu melepas kaitan branya. Shine mencoba melawan tapi percuma. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Seharusnya dari awal, dia sudah menghajarnya tanpa harus mengobrol dulu seperti teman lama. Yeah, Shine yang idiot. "Sial, aromamu sangat menggoda. Memabukkan," bisiknya setelah melepaskan pagutan bibirnya dan turun ke leher jenjangnya, mengigit-gigit kecil sampai kancing bajunya terbuka memperlihatkan belahan dadanya dan dengan kurang ajarnya bibir lelaki itu turun menghisapnya di sana. "BRENGSEK!! Aku akan membunuhmu—Ssshhh." Shine mengatupkan bibirnya karena takut mengeluarkan desahan. Tangan lelaki itu asik mengelusi punggungnya dari atas ke bawah, untung tidak sampai menjalar ke depan. Napasnya naik turun tidak beraturan mendapat perlakukan tidak senonoh dari lelaki gila di depannya
"Ini termasuk dalam tindak pidana asusila."Shine membuka sedikit syal yang melekat di lehernya yang jenjang dengan ekspresi kesal. Jarinya yang lentik menunjuk beberapa bercak merah yang tersebar di sekitar leher dan dada bagian atas. Dengan gerakan kasar, Shine membenarkan letak syal motif bunga-bunga untuk menutupinya lalu menatap Sasha frustasi."Lihat bagaimana lelaki bajingan itu menandai leherku ini seakan-akan dia ingin memperlihatkan kepada dunia kalau aku ini sejatinya adalah miliknya seorang. Dasar gila!"Tadi malam Shine meneleponnya, menceritakan kejadian yang menimpanya secara mendetail tanpa memberinya kesempatan untuk berargumen dan siang ini dia datang ke cafe untuk menunjukkan mahakarya yang dibuat laki-laki tidak dikenal itu disertai dengan omelan panjang seperti biasanya. Sasha hanya diam menjadi pendengar di salah satu kursi di sudut cafenya yang belum buka seraya mengaduk sendok sup jagung di tangannya. Nampak tidak begitu berselera."Yakin itu bukan ulah pacarm
"Aroma maskulinnya memabukkan," ucap Shine akhirnya membuat Sasha bengong. "Jenis parfum mahalan yang tidak bisa sembarangan orang membelinya." Shine seperti menerawang mengingat kejadian kemarin malam. "Dia punya bulu-bulu halus di rahangnya tapi aku tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya karena terhalang hoodie." "Wah, mungkin dia penjahat yang tampan." Shine melipat lengannya, duduk menyandar di kursi dan menghela napas panjang. "Lelaki itu bule. Logat Amerikanya kentara sekali meskipun bahasa Indonesianya lancar." Sendok yang dipegang Sasha menggantung di udara ketika mendengarnya. Dia mengerjap lalu menyimpitkan matanya. "Kamu yakin?" Shine mengangguk, "Seratus persen yakin. Di mana aku pernah mendengar suaranya ya?" Sasha diam memandangi Shine yang memijit pelipisnya nampak berpikir. "Ah, pokoknya siapapun dia, aku harus bisa menemukannya lagi." Shine mengepalkan tangan dan menyentaknya di atas meja dengan geram. "Dia tidak akan lolos dari kemurkaanku karena membuatku meras
Restoran Burgary Zafier sudah lama bergelut dalam dunia bisnis. Dia bisa menilai karakter orang-orang yang bekerja sama dengannya hanya dengan mengamati tingkah laku mereka selama berinteraksi. Sebisa mungkin dia begitu berhati-hati terhadap orang yang bermuka dua dan penjilat. Sejujurnya, sejak awal Zafier tidak mempermasalahkan jika perusahaannya kalah dalam Tender Franklin walaupun orang-orang kepercayaannya di kantor yang sudah berkerja keras untuk mendapatkan proyek itu tidak terima. Baginya, menang atau kalah dalam bisnis itu hal yang biasa. Masih banyak pintu yang akan terbuka jika pintu yang satu terbuka bukan untuk dimasuki olehnya dengan catatan dia sudah sampai dalam batas maksimal kemampuannya dalam mengusahakan untuk bisa memasuki pintu itu. Tapi untuk kasus proyek Franklin, Zafier harus menggunakan kemampuannya untuk bisa mendapatkannya. Di sana dia mendapatkan banyak sekali perjanjian terselubung yang selama beberapa tahun ini terjadi antara Allison Corp dengan Pih
“Kau akan meninggalkanku di sini?"Zaf tersenyum miring menanggapi pertanyaan Helena yang duduk di atas westafel kamar mandi tepat di sampingnya. Hanya mengenakan kemeja putih miliknya tanpa mengenakan apapun di dalam setelah percintaan mereka satu jam yang lalu."Aku juga ingin ikut denganmu ke Amerika," desahnya seraya meraba dada Zafier yang sedang mengancingkan kemeja hitamnya. "Bawa aku ke sana bersamamu."Zaf menjauhkan telapak tangan Helena yang langsung merengut, berharap diajak berlibur ke Amerika dengan pesawat Jet-nya."Kita tidak sedekat itu sampai aku harus membawamu ke Amerika," jawab Zaf santai membuat harapan Helena langsung runtuh.Helena tentu saja tidak terima. "Kita sudah bersama satu bulan lebih dan itu artinya kita sudah sepasang kekasih bukan?"Zafier memastikan penampilannya rapi lalu menoleh ke Helena yang menatapnya dengan wajah kesal, bergerak mendekat dan mengurung tubuh wanita cantik itu dengan kedua tangan bertumpu di pinggiran westafel saling memandang d
Seminggu kemudian,“Shine Aurora Friza."Panggilan dari belakang punggungnya menyentak Shine yang tegang hingga reflek berdiri dari duduknya. "Iya Pak. Saya sendiri.""Siap untuk lembur hari ini?""Hah?" Mulutnya sedikit terbuka menanggapi pertanyaan itu. Pak Williem meletakkan map merah yang dibawanya di atas meja dan duduk santai di kursinya tidak peduli Shine terdiam cukup lama sebelum menjawab. "Lembur?"Williem mengangguk, mengamati keterkejutan Shine yang masih berdiri di depannya."Saya tidak akan basa-basi," ucapnya serius.Perlahan Shine duduk lagi di tempatnya, berharap kalau pertanyaan tadi berarti satu hal. Dia diterima bekerja sebagai asistennya. Semudah itu kah?"Kamu wanita yang beruntung. Saya membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi ini secepatnya dan satu wanita lainnya yang tadinya akan saya wawancarai tidak bisa hadir." Shine menyadari hal itu dari tadi dan hertanya-tanya, kenapa hanya dia yang datang memenuhi panggilan wawancara ini. "Kamu punya pengalaman di ba
Zaf takjub mendapati dirinya berjalan berputar-putar di blok salah satu perumahan sejak setengah jam lalu. Mobil jemputannya menunggu di depan gang sementara dia mencoba menyusuri blok perumahan yang malam itu jadi tempat adu gulatnya dengan wanita itu. Entah kenapa bukannya langsung ke apartemen, dia malah singgah dulu ke sini. Tentu saja keberadaan Zaf yang mencolok menyedot perhatian ibu-ibu yang kebetulan berada di depan rumah termasuk Bu Anah yang tadinya asyik dengan tanaman anggreknya. Dia heran kenapa ada lelaki bule tampan yang seharusnya hanya muncul di film-film holywood itu sejak tadi berputar-putar di jalanan rumahnya seperti mencari seseorang. "Ser...ser..serr…" Zafier kaget dan berhenti melangkah saat melihat ada ibu paruh baya bergegas mendekatinya dengan kamus di tangan. "Wait," ucapnya seraya memandangi bergantian antara kamus dan Zafier yang tadinya bengong dan langsung tersenyum geli melihatnya. "Need helep?" Tanyanya kemudian dengan senyuman lalu kembali memb