Pov Luna.
Sialan adiknya Arum itu berani menghajarku di depan semua orang. Apa dia fikir aku ini takut? Sama sekali aku tidak takut padanya. Awas saja aku akan ngadu sama mas Tama masalah kejadian ini. Mereka berdua akan segera aku singkirkan, dia tidak tau saja tengah mempermainkan siapa.
Dari halaman rumah terdengar bunyi motor berhenti didepan rumah, mungkin ojol yang ngantar mas Tama pulang. Gegasku ku hampiri ke teras rumah. "Mas," rengekku, masih terlihat raut wajah lelah mas Tama seharian jadi budak Arum di kantor. "Kamu kenapa Lun," desisnya, aku membuntuti dia masuk ke rumah. Arum yang masih tampak bersedih karna Yosi begitu marah padanya itu tampak sesegukan menangis. Reflek mas Tama bertanya."Ada apa?" tanyanya, Arum melirik mas Tama dengan mata yang berkaca-kaca.
"Yosi, dia tadi kesini. Kamu tau betapa kecewanya dia melihat kamu menikah lagi? Kalian bisa tinggal enak disini juga karna jasa dia mas!" bentak Arum. Sejenak Tama bungkam. Namun aku coba merengek mendekat padanya. "Adiknya Arum itu kurang ajar mas. Masa dia pukulin dan hina aku tadi," timpalku, mas Tama berdesis mencoba bodo amat."Ih mas, kamu denger aku kan?" ujarku membuntutinya ke kamar. "Mas, kok aku merasa kamu juga ikut sedih melihat Arum tadi mengadu?" tanyaku tak habis pikir. "Kamu gak tau sih Luna. Sebelumnya, Arum sempat bertengkar hebat dengan Yosi karna memperjuangkan aku. Sekarang malah kita seenaknya sama dia!" jelas mas Tama. Sepertinya dia kebawa perasa'an. Aku menghela nafas panjang dan coba berucap dengan tenang. "Ini maksudnya kamu? Kasian sama Arum dan peduli sama dia mas?" tanyaku datar padanya."Bagaimana gak peduli, kami keluarga yang harmonis sebelumnya. Hanya saja dia tidak bisa mengandung, aku harus pilih jalan ini," jelasnya, hatiku tersayat. "Mas, maksud kamu, aku tidak penting bagimu?" tanyaku tak habis pikir. Mas Tama menggaruk sedikit dahinya dan berkata. "Bukan begitu, kamu juga sangat berarti. Hanya saja aku memang tidak bisa memungkiri, kalo Arum sebaik-baiknya istri yang aku tau," jelasnya, aku geram mengepal jemariku. Sontak aku beranjak keluar rumah mencari udara segar. "Sial, mas Tama kok bisa lebih peduli pada Arum sih di banding dengan aku," lirihku, aku benar-benar merasa sesak. Hari ini aku benar-benar melalui hari yang buruk.Drrrrt Drrrrt Drrrrt ....
Ponselku bergetar, tanpa pikir panjang aku mengangkat telpon itu dan coba menjauh dari depan rumah.
"Halo, Dion. Aku kan sudah bilang sama kamu, Kamu tenang aja! aku gak akan ingkar janji. Aku akan kembali padamu setelah anak ini lahir dan setelah mengusai harta Tama dulu! Jadi jangan cemas. Anakmu ini bawa Hoki. Tinggal aku kasih bukti aku hamil, istri pertamanya akan menyerahkan hartanya lagi pada Tama!" ucapku sedikit tertekan.
"Baiklah. Aku akan menunggu," singkatnya. Dengan kesal aku mematikan ponsel itu. "Sial! Aku harus berbohong pada Dion supaya pria itu tidak ganggu aku untuk sementara waktu, amit-amit jika aku kembali padanya."Bruk....!
Terdengar ada sesuatu yang jatuh dibalik bunga yang rimbun. Bergegas aku cek ada apa disana, mataku terbelalak melihat mertuaku terjatuh pingsan.
"Ibuk!" teriakku, aku mendadak panik. Aku cemas apa ibuknya mas Tama mendengar percakapanku di telpon. Kalo benar bagaimana, rencanaku bisa berantakan. Sial!"Buk...." Sedikit aku tepis badan ibuk dengan kakiku dan berdesih."Isss sial!" geramku lalu jongkok melihat ibuk. Sekitar jarak 2 meter Resti tampak mengejar dengan panik.
"Ibuk...! Kan Resti dah bilang ibuk jangan kerja. Kan jadi begini,"rengeknya. "Lagian kamu kok bisa biarkan ibuk kerja di kebun?""Iya tadi katanya ibuk pusing cari udara seger gitu, jadi kerja diluar," timpal Resti. Aku tak peduli, yang aku takutkan sekarang ibuk mendengar segalanya.
Tangisan Resti menarik semua datang ke halaman rumah. Tama tampak panik membawa Ibuk ke atas Mobil. Hingga aku disuruh memintak kunci mobil pada Arum. Terpaksa aku harus hadapi wanita itu lagi demi mas Tama.
"Arum, ibuk jatuh pingsan. Mas Tama harus bawa kerumah sakit!" sigapku pada Arum. Wanita itu juga sudah tau.Dengan panik ia bergegas keluar sembari menenteng kunci mobil tanpa mempedulikan aku. Kali ini aku harus ikut. Karna aku takut saat nanti ibuk siuman, tiba-tiba dia bicara sesuatu pada mas Tama.
********Sesampai dirumah sakit, dokter langsung menangani mertuaku itu. Mas Tama tampak mondar mandir didepan ruangan UGD. Sebelumnya mertuaku di diagnosa darah tinggi. Dokter memang sempat menyarankan penyakit ibuk harus dijaga dengan benar. Aku takut penyakit ibu kambuh lagi karna mendengar percakapanku dengan Dion."Oh tuhan," lirihku.Satu jam berlalu, ibuk telah selesai di periksa dokter. Dokter keluar dari ruang UGD dengan memasang wajah gundah.
"Kelurganya ibu Ningrum!" panggil Dokter. Mas Tama segera mendekat. Menyusul aku dan istri pertamanya mas Tama itu. "Ada apa dengan ibuk, Dok?" tanya Arum. Mas Tama juga tampak menunggu keterangan dokter secepatnya. "Pasien mengalami stroke, penyakit bawa'an yang selama ini ia idap, hari ini tubuh buk Nigrum harus melemah. Kami akan coba tangani pasien sebaik mungkin, untuk sekarang Buk Nigrum harus dirawat," jelasnya, Tama mengusap wajahnya Gundah."Apa ibuk saya tidak bisa sembuh, Dok?" tanya Tama."Insya allah bisa pak, untuk sekarang kita sayangkan tubuh buk nigrum harus melemah sebelah, jadi beliau butuh perawatan," jelasnya. Aku menghela nafas, seakan ada sedikit udara yang meringankan dadaku. Syukurlah untuk hari ini ibuk tidak bisa bicara, walau aku belum yakin dia udah dengar segalanya atau belum. Setalah mas Tama dan Arum sibuk mengurus Ibuk, Arum berpamitan untuk pulang karena harus mengurus pekerja'annya. Sedangkan mas Tama pergi mengurus administrasi untuk opname ibuk.Aku masuk ke dalam ruangan menemui ibuk yang sudah sadar. Tapi, ada yang lain dimatanya. Sangat jelas. Ibuk tak senang hati melihatku.
"Ibuk," sapaku, tubuh wanita paruh Baya itu tampak gemetar. Sedikit aku naikkan alisku dan berucap."Buk ada apa?"
"Pe-p...," ucapnya sama sekali tidak bisa ia katakan. Lidahnya kelu dan matanya melotot. Namun, aku bisa artikan kalo dia tidak ingin melihatku.
"Ada apa buk," desisku lagi mendekat, ibuk semakin bergerak sekuat tenaga. Walau ia tak bisa mengangkat badanya dan bicara. Cukup sudah aku sudah temukan jawabannya. "Baiklah. Aku harus pergi dulu," batinku. Aku panik! Bagaimana jika ibuk segera bisa bicara. Rencana untuk mengambil harta mas Tama akan berantakan. Lagian aku akan terus-terusan di teror Dion jika aku disini. Aku akan pergi jauh setelah dapat menguasai Harta Tama dan menjualnya. Lalu aku akan menjadi orang baru disuatu tempat, bersama Geby. Masa depan Geby sekarang ada ditanganku. Aku tidak mau meneruskan masa depan bersama Dion. Dan untuk Tama, aku sudah terlanjur menikah dengannya. Ambil hartanya, atau aku tidak dapat apa-apa?"Sial ...! Kenapa semua jadi rumit begini? Aku benar-benar tidak bisa membuat semua berjalan seperti yang aku inginkan!" gerutuku beranjak menjauh.POV LUNADua hari berlalu, Hari ini ibuk sudah diperbolehkan pulang. Tatapan mata dan sikapnya membuatku gundah, akhirnya aku memilih menjauh-jauh saja darinya daripada nanti mas Tama mencurigai sesuatu."Buk, Kita sudah bisa pulang, tapi maaf. Tama gak bisa bawa ibuk dalam keada'an sehat. Tama janji Tama akan berusaha untuk menyembuhkan ibuk. Jadi ibuk sabar ya?'' jelas mas Tama pada ibunya yang tengah duduk di atas kursi Roda. Kesalnya... Arum masih tampak mendampingi mas Tama."Iya buk, Arum akan bawa dokter spesialis nanti untuk menangani penyakit ibu," jelasnya, reflek aku mencibir.*******Hari terus berlalu, siang ini aku sengaja menemui ibuk di kamarnya. Wanita renta itu masih memandangiku dengan melotot. Sontak aku pun lirik ke kiri dan kanan, melihat keada'an. Karena aku masih ingin memastikan ibuk benar mendengar percakapan aku dengan mas Dion atau tidak."Buk!" sapaku meremas Punggu
POV ARUM"Jadi mana surat yang kemaren, ayok coba tanda tangani?" titah Luna, seketika aku gemetar sekaligus geram. Apa yang terjadi. Apa dokter itu yang salah? Gak mungkin, dokter itu tidak mungkin salah. Aku harus bagaimana sekarang? Aku tidak mungikin berikan hartaku gitu aja sama wanita itu. Ini pasti ada yang tidak beres disini. Tak mungkin data dari laboratorium itu salah. Kalo mas Tama itu benaran mandul!"Apa beneran ini tespesk dan USGmu? Beneran?" tanyaku, mas Tama tampak girang, dan wanita itu tak kalah senang.Seketika aku kalud, dan susah memutar otak bagaimana bisa wanita itu hamil."Gak mungkin!" desisku, Luna berdesih dan sontak berucap."Kok bisa gak mungkin! Jelas-jelas sekarang aku tengah mengandung anaknya mas Tama! Kenapa kamu? Mau ngelak ya? Dasar wanita picik!" ujarnya. Aku bungkam tak habis pikir. Apa wanita ini berpikir bahwa aku akan memberikan hartaku begitu saja? Dasa
POV IbuDrrrt drrrtt ....Bunyi ponsel berdering, hari ini Luna yang menjagaku. Resti anak bungsuku dijadikan budak setelah Iyem tak mau bekerja denganya sedangkan dia duduk manis didepanku dengan sesekali tersenyum."Buk... Semua sudah seperti semula. Mas Tama dia udah kembali lagi ke kantor. Dan aku jadi nyonya dirumah ini, tapi masalahku sekarang hanya Ibuk, buk! Karena ibuk mengetahui segalanya," bisiknya dengan tersenyum kecut. Aku gemetar hendak menimpuknya. Namun lenganku terasa lemah tak berdaya untuk diangkat."Kenapa? ibu mau marah?" ledeknya lagi memasang wajah datar."Buk, maaf. Aku harus segera pergi! Aku akan hasut mas Tama jual semuanya. Mengambil uangnya dan pergi deh dari sini," jelasnya dengan enteng. Aku coba menghela nafas sesak. Sontak Luna melirik Resti yang sedang mengepel."Bungsunya ibuk berbakat banget, buat jadi babu. Baguslah. Setidaknya aku gak keluar duit untuk sementa
POV LUNASialan aku harus bagaimana, aku bisa saja gila karena ini. Dulu mas Herman sekarang Resti sampai kapan aku akan tetap ikuti permainan dia. Jika aku tidak bersandiwara pasti aku mati juga ditangannya, mana aku janjikan padanya bahwa aku bakal ambil harta mas Tama secepatnya. Jujur, aku tidak ingin pergi bersama dia membawa kabur harta mas Tama. Tuhan bagaimana caranya aku bisa kabur dari jerat Dion. Pria psikopat dengan kelainan sekss itu. Mengenalnya adalah malapetaka yang terbesarDrrrrrrrrrrt drrrrrt...."Hallo?" ujarku gemetar mengangkat telpon dari Dion."Dia sudah lenyap. Aku temukan karung itu hanyut terbawa air," desisnya, aku mendegup dengan mata membulat dan gemetar. Belum percaya saja rasanya Resti sudah tiada dan akulah pembunuhnya."Aa-kk-u Tt-takut mas,"lirihku gemetar."Kamu tenang saja. Makanya jangan bertele-tele! Ambil uangnya dan segera pergi dari situ. Aku akan tetap mengawasimu," ujarnya
POV ARUMSore berkunjung, setelah mengambil keputusan untuk kembali ke rumah, Mas Hadi sangat marah dan kecewa padaku. Aku memang egois tapi aku harus lakukan ini. Bagaimanapun aku wanita bersuami. Sampai detik ini mas Tama belum menandatangani surat perceraian. Walau aku tak tau apa alasannya. Yang jelas kenyataannya aku masih istri sah mas Tama...*********Tok tok tok....!Bunyi ketukan pintu, membuatku gemetar. Aku persiapkan mentalku untuk menemui mereka terutama istri kedua mas Tama.Trakt!Bunyi daun pintu terbuka, mata Luna membulat saat melihat aku berdiri bersama bik Iyem membawa barang-barangku."Nng-apain kamu kesini?" tanyanya, tanpa pikir panjang aku nyelonong masuk dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan."Bik rapikan kamar ya? Aku capek mau segera istirahat," titahku pada bik iyem"Baik non."Luna geram dan langsung menghampiriku menghunuskan
POV TAMA"Arum...apa yang terjadi?" tanyaku saat Arum masih nanar dengan tatapan mata berkaca-kaca."Arum?"panggilku lagi, Arum menoleh dengan tatapan hambar."Mas, maaf? Aku akan segera selesaikan ini," ujarnya berlalu pergi, aku kembali menghenyak kursi kerjaku dengan perasaan gundah. Pria itu, sebelumnya pernah dekat dengan Arum apa yang terjadi hingga Arum menjual semua aset padanya.Aku tidak tau bagaimana Arum menyelesaikan masalahnya dengan pria itu, masalah baru ini benar-benar membuatku pusing, tak ada yang bisa aku lakukan untuk perusahaan ini lagi, aku harus kembali ke rumah.Sesampai di rumah aku temui Luna tengah bermain dengan Geby, aku mencoba untuk tidak menemui dia dulu dan langsung mengecek kamar Resti. Rasa rindu dan penasaran padanya kenapa dia tiba-tiba menghilang dan mengirimi aku sebuah pesan misterius itu membuat banyak pertanyaan bersarang di kepalaku."Apa yang terjadi sebenarnya?
POV RESTIDua hari berlalu aku kembali ke rumah memantau keadaan dari kejauhan. Mendadak aku cemas melihat mba Arum sekarang tinggal di rumah bareng Luna dan mas Tama, takut-takut Luna juga perlakukan mba Arum sepertiku sebelumnya. Hatiku terenyuh saat melihat ibuk diajak jalan mbak Arum pakai kursi roda ke halaman rumah."Wanita itu? Mana dia?" lirihku. Hari sudah mulai gelap, mba Arum membawa masuk lagi ibuk ke dalam. Aku pun beranjak hendak pergi kembali ke rumah Irfan. Sekitar jarak lima meter aku melihat Luna turun dari taxi. Secepat kilat aku sembunyi di balik pohon."Ini sudah hari keberapa, aku belum juga bisa membujuk mas Tama, aku harus bagaimana?" gerutunya berjalan menuju pagar. Di bawah pohon ini minim pencahayaan, mungkin jika aku berdiri dari sini Luna akan melihatku seperti penampakan."Mba.. Luna," desisku memanggilnya, sontak saja langkah wanita itu terhenti dan membalik dengan gemetar. Aku tertunduk denga
PART POV RESTI Darahku serasa terhenti saat melihat pembunuh itu berada di depan pintu, aku tak menyangka dia bisa mengetahui keberadaanku, pria itu tertawa renyah melangkah masuk. "Jj-jangan mendekat!" bentakku mendorong pintu sontak saja pria itu menghempas pintu kuat hingga aku terjatuh. "Sayang sekali, aku harus habisi kamu malam ini cantik...," desisnya menyeret lenganku lagi untuk berdiri, aku gemetar dan coba berontak. "Lepas!" hardikku berusaha lepas dari cengkramannya. "Kalo di lihat-lihat kamu cantik juga?" desisnya memandangi dengan nafsu, aku jijik dan sekuat tenaga berontak. Pria itu menyeretku ke kamar hingga jemariku dapat menjangkau vas di lemari, secepat kilat aku layangkan ke kepalanya, Membuat cengkramannya terlepas dan tampak oleng memegangi kepalanya yang telah bersimbah darah. Seketika aku nanar melihatnya dan coba berlari keluar. Namun, aku salah, pria itu lebih sigap menangkis la