"Kau yakin memberi kesempatan pada, Alam?"
Sialan semua orang seolah berharap Asma bercerai dariku. Apa mereka lupa, dosa jika menghancurkan pernikahan orang lain."Tolong biarkan Asma berpikir dengan jernih. Jangan kalian pengaruhi terus dia, ingat dosa karena meminta seorang wanita bercerai dari suaminya."Aku tersenyum karena mereka semua terdiam setelah aku berkata tentang dosa. Syukurlah mereka paham dan mengerti, kalau aku dan Asma tak seharusnya bercerai."Kau paham tentang dosa, tapi kau lupa menzolimi istri juga termasuk dosa, Alam!"Bagus berteriak padaku sebenarnya siapa dia, dan kenapa selalu ikut campur urusanku dengan Asma? Heran dia seolah begitu perduli pada istriku. Apa benar dia punya perasaan lebih pada Asma?"Aku tau tapi tadi kan sudah minta maaf, kenapa kau terus nyolot apa kau memang mencintai asma juga?"Bagus melotot dia menatap istrinya. Seolah ucapan ku akan menyakiti wanita itu, kalau benar dia mencintai Asma kan bagus biar istrinya tau."Kau."Bagus menujukkan jarinya padaku. Namun dia tak meneruskan ucapannya, tak lama dia tersenyum sinis padaku dan berkata sesuatu yang menyakitkan."Asal kau ingat, meski Asma menjanda sudah ada pria yang siap menerimanya. Dan aku pastikan dia jauh lebih baik darimu, Alam. Jadi berhati-hatilah, sekali lagi kau berbuat salah, aku pastikan kau akan kehilangan istrimu selamanya."Semua orang yang ada di rumah ku menatap Bagus lalu beralih padaku. Mereka seolah mendukung ucapan Bagus untuk mencarikan pria lain untuk menjadi suami Asma."Asal kau tak lupa, wanita yang kau tawarkan pada pria lain itu masih istriku, Bagus. Kami belum bercerai dan tak akan pernah."Aku tersenyum melihat wajah pucat bagus. Dia pikir bisa terus-terusan mempermalukan aku di depan banyak orang. Sesekali harus di beri pelajaran juga pria sombong ini."Kau benar karena itu aku menuruti keinginan Asma untuk memberimu kesempatan ke dua. Jika kau melakukan kesalahan lagi, maka bersiaplah kehilangan istrimu."Aku menatap Asma, jadi dia yang meminta semua orang berkumpul di rumah kami. Setelah dia hari aku mengemis maaf ini yang dia berikan."Karena mbak Asma berniat memberi kesempatan kedua pada mas Alam. Sebaiknya kita semua pulang, biar mereka membicarakan kelanjutan pernikahan mereka."Syukurlah pak RT akhirnya bicara setelah dari tadi diam saja, seperti orang yang sedang sakit gigi. Asma mengantar semua orang lalu dia menutup pintu dan segera masuk ke kamar."Untuk sementara tidurlah di luar, aku ingin menenangkan diri, Mas. Soal kesempatan kedua yang aku berikan ada batas waktunya, jika kau tak berubah aku sendiri yang akan menuntutmu ke pengadilan agama."Asma segera menutup pintu kamar, tanpa perduli meski aku masih ingin bicara dengannya.Dia bilang berubah, berarti aku juga harus merubah jumlah nafkah untuknya. Kalau sepuluh ribu bisa bikin geger begini, sedangkan lima puluh ribu dia selalu kurang, apa aku tambahi lima ribu biar jadi lima puluh lima ribu, kan itu termasuk berubah juga?(Kau jangan sampai lemah, Alam. Ingat nafkah Asma jangan terlalu banyak, nanti dia keenakan.)Baru saja hendak membaringkan tubuhku, ada pesan dari ibu. Membacanya membuatku bingung untuk mengambil keputusan.(Alam tak bisa, Bu. Untuk sementara biarlah aku mengalah sampai semuanya tenang dulu.)Aku segera mengirim pesan itu. Namun tak lama ibu justru membalas dengan kata-kata yang lebih sadis.(Dasar bodoh percuma ibu besarkan, kalau hasilnya kau jadi suami takut istri.)Ibu benar-benar bikin emosi apa dia tak berpikir. Kalau bercerai aku tak akan dapat apa-apa yang pasti malu hasilnya.(Ibu tenang aja paling lama sebulan atau dua bulan, Asma pasti sudah luluh lagi, saat itu semua akan kembali seperti semula.)Aku segera menghapus semua pesan, jangan sampai Asma membaca percakapan ku dengan ibu bisa gawat nantinya.(Bilang ke mbak Ani jangan bikin status yang bisa membuat Asma marah lagi.)Pesan terakhir sebelum aku membersihkan riwayat pesan dari ibu. Saat berbaring di depan TV aku ingat ucapan Asma.Kebenaran apa yang bisa membuat ibu gila jika mengetahuinya. Kenapa wajah mbak Ani tampak takut saat mendengar ucapan Asma. Apa ini ada hubungan dengan kakak iparku itu. Lebih baik aku tanyakan padanya.(Mana aku tau yang di maksud oleh istrimu, Lam. Dia pasti asal bicara karena sakit hati, saat melihat ibu begitu perduli padaku.)Jawaban mbak Ani sedikit membuatku lega. Apa benar Asma asal bicara karena dia sebenarnya iri, atas perhatian ibu pada mbak Ani.(Kalau begitu besok biar aku tanya, kenapa dia bicara begitu pada ibu?)Aku mengirim pesan pada mbak Ani, namun tak lama dia membalas pesan itu. Namun membuat sedikit heran kenapa dia melarang aku menanyakan masalah ini pada Asma.(Tak usah kau tanyakan lagi, Lam. Takutnya Asma mengira kau curiga dia berbohong. Makin sulit bagimu membujuknya.)Mbak Ani benar bisa-bisa Asma akan semakin marah padaku. Sedangkan masalah kami belum selesai sampai sekarang.(Baiklah kalau begitu aku harap mbak baik-baik saja setelah di hajar Asma tadi. Besok aku beri uang buat berobat.)Karena masalah motor yang di bawa Asma aku jadi lupa mengambil uang untuk ibu. Untung juga belum memberikan jatah Asma pada ibu, kalau tidak bisa kalang-kabut aku mencari uang.(Terima kasih kebetulan besok keponakanmu waktunya bayar uang sekolah. Uang berobat bisa aku gunakan untuk membayar sekolahnya, nanti aku bisa beli obat sakit kepala saja, karena tarikan Asma di rambutku memang menyakitkan.)Kasihan mbak Ani karena Asma dia jadi kesakitan begitu. Apalagi harus mengurus seorang anak sendirian tanpa suami. Pasti dia kerepotan disaat sakit begini.(Istirahat saja besok aku kasih lebih. Minta tolong ibu menjaga Adit, kalau memang masih pusing.)Aku kembali menghapus semua pesan itu lalu meletakkan ponsel ke atas meja. Semua masalah hari ini menguras tenaga ku.Tek ...trek ....Aku terbangun karena mendengar suara dari arah dapur. Maling atau Asma yang disana, kenapa tak terdengar saat dia membuka pintu kamar tadi."Tak usah takut aku hanya mau mengambil air minum."Terdengar suara Asma ternyata dia sedang mengambil air, tapi kenapa tak terdengar saat dia keluar dari kamar tadi. Biasanya pintu itu akan bersuara sangar keras ketika di buka."Mungkin karena aku hempaskan tadi makanya dia jadi bagus lagi. Biasanya yang oleng memang harus di kerasi, agar kembali lurus seperti pintu itu yang selalu berbunyi jika di buka, sekarang justru tak bersuara lagi."Asma menjelaskan panjang-lebar, seolah dia mengerti kenapa aku heran, saat melihat pintu kamar kami tak bersuara."Baguslah jadi tak perlu di perbaiki atau beli pintu baru, karena itu juga sudah bagus lagi, jadi tak menganggu dengan suara kerasnya."Asma terdiam dia hanya menatapku sebentar, lalu kembali masuk ke kamar dan menutupnya dari dalam. Dasar istri kurang ajar, apa dia tak tau di sini dingin dan banyak nyamuk."Ma, sampai kapan aku tidur di luar. Dingin dan banyak nyamuk nih. Cepat buka pintu aku ngantuk besok kerja lagi."Aku berkata sembari mengetuk pintu kamar. Namun tak terdengar suara apapun, sepertinya Asma tak peduli dengan ucapan ku. Benar-benar menguji kesabaran wanita ini, lihat saja saat waktunya tiba dia akan menyesal memperlakukan orang seperti ini."Tak perlu berpikir macam-macam, Mas. Sekarang atau nanti, aku tak akan pernah menyesali apapun, jika itu menyangkut dirimu."Aku terkejut mendengar suara Asma, dia sudah seperti penyihir. Bisa tau apa yang aku katakan meski itu hanya di dalam hati."Kau bicara apa sih, Ma. Aku tak mengerti."Aku buru-buru kembali ke depan televisi. Takut juga jika ternyata Asma bisa membaca pikiranku, dia benar-benar jadi wanita aneh."Ini seratus ribu, aku harap kau yakin kalau aku berniat berubah."Asma tak bersuara dia masih asyik dengan sayuran di depannya. Setelah menjual
"Dasar perempuan serakah kau berani menguasai uang, Alam. Dia anak lelakiku, mana bisa kau buat dia melupakan ibunya." Aku baru saja pulang kerja, belum juga turun dari motor tukang ojek. Sudah dihadapkan pada pemandangan luar biasa di depan rumahku. Banyak warga melihat ibu yang berteriak pada Asma. "Ada apa lagi ini, kenapa kalian tak bisa akur sehari saja?" Aku sudah tak tahan lagi melihat ibu dan Asma yang terus saja ribut pasti ini perkara uang lagi. "Bagus itu anak lelakimu, ibu bisa bicara dengannya. Aku mau masuk memeriksa belanjaan hari ini." Asma melengang masuk ke rumah, darimana dia seharian, karena aku melihatnya baru membuka kunci rumah. "Kau lihat Alam, betapa kurang ajarnya istrimu itu. Dia bahkan baru pulang setelah menghabiskan uangmu." Ibu bilang menghabiskan uang, sedangkan aku hanya memberi asma satu jut
"Dua juta mbak, buat apa uang sebanyak itu?"Aku terkejut saat mendengar mbak Ani mau meminjam uang lagi padaku. Apa dia tak tau aku saja sampai rela memakai ponsel yang retak layarnya demi berhemat. Dia dengan enaknya pinjam lagi."Mbak mau coba buka usaha, Lam. Kasihan Adit kalau ibunya tak punya uang saat dia ingin jajan, sedangkan kau sudah jarang memberinya uang walau hanya lima ribu perak."Aku menarik napas kenapa sekarang semua masalah yang datang tak jauh dari uang. Sedangkan Asma benar-benar menguji kesabaran ku akhir-akhir ini."Maaf mbak tapi aku memang tak punya uang, kalau tak percaya lihat ini. Ponselku retak tapi sampai sekarang belum bisa memperbaikinya."Mbak Ani menatap ponselku tapi sepertinya dia tak percaya. Matanya justru melihat kearah rumahku, jangan bilang dia mau minta aku pinjam ke Asma, bisa perang dunia lagi."Aku pergi dulu, Mbak. Maaf tak bisa lagi memberi pinjaman."Aku bergegas pergi ker
Ting....Belum juga sampai pangkalan ojek, sudah ada pesan masuk ke ponselku. Dari siapa lagi kalau bukan dari ibu.(Terserah aku tak mau tau, Bu. Sudah aku ingatkan jangan menganggu Asma tapi mbak Ani membandel.)Aku segera membalas pesan ibu yang bertanya, kenapa aku membiarkan Asma memangkas rambut menantunya.(Tapi gak gini juga, Lam. Ani bisa melaporkan istrimu ke polisi.)Bodoh lapor polisi memangnya semudah itu, butuh uang dan tenaga sebelum menangkap seseorang.(Silahkan kalau mbak Ani punya uang dan sanggup bolak-balik ke kantor polisi.)Aku menarik napas lega, karena tak ada lagi balasan dari ibu. Pasti saat ini mbak Ani sedang meratapi nasibnya, karena tak bisa melawan Asma."Mas, ojek."Aku segera naik ojek setelah sampai di pangkalan. Setelah drama tadi, akhirnya aku sampai juga ke kantor.Miris aku justru merasa tenang ketika berada di kantor, sementara sebagian besar orang akan tenang dan nyaman ketika sampai di rumah bersama keluarga
"Kenapa terkejut, Mas? Aku hanya mau bilang, kipas angin di kamar mati, percuma kau kekamar pasti kegerahan lagi."Setelah itu aku menarik napas lega begitu mendengar jawaban Asma. Kenapa bisa terpikir aku akan di bunuh olehnya dasar bodoh.--"Aneh, ada orang mau pindah kemari kenapa harus bilang padaku. Dasar RT tolol bikin susah orang aja.Aku yang baru pulang dari rumah pak RT, jadi makin susah karena harus jalan kaki sendirian."Jadi kau tak dengarkan dulu penjelasan pak RT, Mas. Mana mungkin tak penting kalau dia minta kau datang, walau hanya untuk memberitahu soal warga baru yang mau pindah."Dasar Asma bodoh mana mungkin dia bisa jadi pintar. Memangnya apa hubungannya denganku kalau ada warga baru, aku bukan lurah juga tak ada jabatan sebagai aparat desa."Karena itu seharusnya kau dengar sampai habis penjelasan pak RT jangan main pergi saja, Mas."Aku menatap Asma kenapa dia jadi nyolot gitu. Sudah di bilang tak penting masih tak
Aku segera menghidupkan lampu dan berusaha menetralkan detak jantung yang berdetak sangat kencang. Bukan karena cinta ataupun nafsu tapi karena takut."Tak perlu takut sampai melompat begitu, Mas. Aku hanya mau bilang sebentar lagi gajian, jangan lupa semuanya serahkan padaku."Dasar perempuan setan serakah, dia tau besok aku gajian, menakuti hanya untuk menagih janjiku kemarin."Tak bisa semua, aku harus memberi ibu juga, Asma.""Berikan semuanya biar aku yang memberi ke ibumu, agar dia tau kalau ada menantu yang memberinya uang, meski tetap saja uang anaknya."Bicara dengan Asma benar-benar tak bisa menang. Lebih baik aku diam dan menuruti kemauannya biar aman."Kalau begitu terserah kau saja, yang penting ibu tak mengangguku dengan permintaannya soal uang. Kasih juga mbak Ani anggap sedekah ke janda."Asma berbalik dia yang akan masuk ke kamar, kini kembali berbalik dan menatap kearahku."Kalau aku menjadi j
"Asma!"Aku hanya bisa menyaksikan ponselku yang malang hancur berantakan di lantai. Kali ini benda itu pasti tak bisa lagi di gunakan."Apaan sih, Mas. Aku hanya bicara pelan tapi kau selalu saja terkejut tak tentu arah. Katakan apa ada yang kau sembunyikan?"Asma menatap kearahku yang terduduk, sembari memunguti ponselku yang malang."Kasihan, sepertinya kau memang tak perlu ponsel, mas. Hanya membuatmu menumpuk dosa, apalagi jika di gunakan untuk hal yang tak penting."Dia bilang aku tak perlu ponsel. Seharusnya dia yang tak perlu benda itu, karena tak ada gunanya. Setiap saat dia plototi tapi tak menghasilkan uang sama sekali."Kalau begini aku butuh uang, Ma. Benda ini penting, bagaimana kalau ada orang kantor menghubungi, bisa gawat kalau tak aku angkat."Asma berdiri setelah membantuku memunguti ponsel yang terjatuh tadi. Entah apa yang dia pikirkan karena hanya terdiam menatapku
Aku terkejut karena Asma tau aku mendekati lemari. Tak ada alasan kecuali bilang, mau ambil baju untuk kerja."Masih ada waktu besok pagi, Mas. Biasanya aku yang siapkan. Kenapa kali ini kau yang mau ambil sendiri, jangan bilang sudah tak mau aku layani lagi?"Sialan lagi-lagi dia menekan ku, heran ada saja caranya untuk membuatku mati kutu. Lemari itu sudah di depan mata, kira-kira terkunci atau tidak ya?""Terserah kau saja, tadi aku hanya berniat membantu agar kau tak kerepotan lagi besok pagi. Ternyata niat baikku kau curigai lagi."Aku segera keluar dan menutup pintu kamar. Entah sampai kapan harus tidur di luar begini. Sedangkan Asma seperti tak perduli pada penderitaan ku ini."Mas bangun kau tak pergi kerja? Sudah siang itu."Karena menangisi ponsel yang terbanting semalam, membuatku bangun kesiangan. Asma juga kenapa tak membangunkan aku lebih awal, kan gak perlu kalang-kabut begini jadinya."Sudah tak usah bingung begitu, Mas. Cepat mandi dan sarapan mu juga sudah ada di atas