"Kenapa kau masih di sini?" Morin mendelik kesal ke arah Ellard yang duduk dengan kaki bersilang dan tangan bersedekap. Sorot matanya tertuju pada satu titik di mana Emily sedang berjalan tertatih dengan memegang salah satu tiang besi yang disediakan oleh Jovan.
Melihat hal itu, Ellard tahu bahwa Emily tidak mengalami kelumpuhan total di kakinya. Hanya butuh beberapa kali latihan, sepertinya wanita itu akan bisa berjalan kembali.
Ellard tersenyum sinis yang berhasil ditangkap oleh saudarinya. "Apa yang kau rencanakan?" seru Morin yang bisa melihat rencana jahat di tatapan adiknya.
"Berapa lama lagi ia bisa berjalan?" Ellard mengabaikan pertanyaan Morin, ia merasa pertanyaan Morin tidak penting dan? tidak ada kewajiban untuk menjawabnya. Dan yang paling penting tanpa ia menjawab pertanyaan Morin, ia yakin kakaknya itu sudah mengetahui jawabannya.
"Aku sedang bertanya padamu, Ell?!" sentak Morin, memaksa Ellard agar menoleh ke arahnya.
Ellard menatap Morin dengan wajah tenang, Morin tahu di balik wajah tenang itu tersimpan rencana jahat yang sempat tertunda. Morin tahu Ellard bukanlah pria bodoh, ia pasti tahu bahwa Emily akan bisa berjalan kembali.
"Tidakkah kau merindukanku? Hampir lima bulan kita tidak bersua."
"Kau mengabaikan panggilan, pesan, email dariku. Masih pantaskah kau untuk dirindukan?"
"Aku berlibur ke Dubai," Ellard mengumumkan.
"Bersemedi di gurun pasir?" sarkas Morin yang diangguki oleh Ellard.
"Dan bertanya pada pasir serta angin yang tidak memberikan kesejukan sama sekali, ada apa dengan keluargaku, kenapa mereka menahan wanita itu, wanita yang seharusnya mendapat hukuman karena sudah membunuh kekasihku, pusat kebahagiaanku. Aku bertanya-tanya, apakah kebahagianku tidak begitu penting untuk saudari dan iparku?" Ellard menatap Morin tepat di maniknya. Menatap penuh intimidasi. Tersirat luka di kedua mata yang terlihat sangat dingin itu. Ellard persis terlihat seperti dahulu sebelum bertemu dengan Naura. Dingin dan tak terjamah.
"Apakah kemarahanmu akan mengembalikan Naura_?"
"Apakah kau bisa memastikan Nauraku bahagia di alam sana disaat kematiannya terasa tidak adil!" Sinis Ellard dengan menyalip cepat kalimat Morin yang menggantung di udara.
"Yang pasti Nauramu tidak akan bahagia melihatmu tersiksa. Terkurung dalam kemarahan dan dendam yang tidak akan membuat semuanya membaik."
"Bijak sekali kalimatmu," puji Ellard namun tidak sungguh-sungguh dengan pujiannya. Wajahnya terlihat bengis saat melontarkan kalimat tersebut.
"Wanita memang racun dunia, dan itu benar-benar memuakkan!" Ellard menjeda ucapannya sesaat menunggu reaksi Morin atas pernyataannya itu. "Tentunya itu tidak berlaku pada Nauraku," imbuhnya begitu melihat mulut Morin bergerak untuk bersuara, ia terka Morin akan mengeluarkan protesnya."Lalu bagaimana denganku?"
Ellard mendengkus, "No comment!"
"Kau menyayangiku, aku tahu itu,"
"Dan aku benci fakta itu!" Ellard tersenyum tipis. Ya, ia sangat menyayangi Morin.
Morin kakak yang sangat baik baginya. Selalu ada disaat ia membutuhkannya. Wanita yang mengusap air matanya di kala ia manangis merindukan kasih sayang seorang ibu. Morin jugalah yang akan mengobati lukanya saat ia dengan sengaja melukai dirinya guna mendapat perhatian dari ibunya yang nyatanya tidak akan pernah menoleh padanya sekalipun darah sudah bercucuran dari tubuhnya.
"Kau sudah mengunjungi ibu? Dia menanyakan kabarmu."
"Wow, aku tersanjung. Sungguh aku tidak menyangka ia sangat perhatian sekali." Rahangnya mengeras, bahkan keduanya tangannya terkepal di sisinya.
"Ayolah Ellard.."
"Sepertinya wanita itu ingin memastikan apakah aku masih hidup dan masih berkeliaran di dunia yang fana ini."
"Ellard.."
"Ibuku sudah mati, kau tahu itu!" Ellard segera berdiri. "Kau membuat moodku semakin buruk."
"Kau mau ke mana?"
"Pemakaman." Ellard pun berlalu setelah melambaikan tangan ke arah Jovan.
Setelah lima bulan, akhirnya ia kembali menginjakkan kaki di negara yang memberinya begitu banyak luka dan kebahagiaan. Kebahagiaan yang tentunya ia dapatkan dari Naura. Dan semenjak kepergian wanita itu, yang tersisa hanyalah penderitaan dan kenangan menyesakkan. Ia butuh waktu untuk menenangkan dirinya dan nyatanya lima bulan tidak lah cukup untuk membuatnya kembali normal dan waras. Ia tetap butuh pelampiasan. Dan Emily adalah objek yang pas untuk hal itu.
Dari bandara, ia langsung mengunjungi rumah sakit dan menyadari hal itu ia berdecak kesal. Seharusnya ia ke pemakaman terlebih dahulu.
"Semuanya hanya karena wanita sialan itu," desisnya.
🕷
"Hebat, tidak sampai satu bulan, aku yakin kau akan mampu berjalan kembali," Jovan membantu Emily untuk duduk kembali di atas kursi roda. "Bagaimana dagumu, apa masih sakit?"
Emily menggelengkan kepalanya. "Morin sudah mengoleskan salep, ini tidak apa-apa," ujarnya sembari memegang dagunya. "Apakah aku sungguh akan bisa berjalan?"
"Tentu saja, tulangmu sudah kuat."
"Aku bahagia mendengarnya," tidak hanya ucapan belaka. Emily jujur dengan kalimat yang terlontar dari mulutnya, hal itu terpancar jelas di wajahnya.
"Begitu kakimu sembuh polisi akan datang kembali, apa kau sungguh tidak ingin menghubungi keluargamu?" Jovan bertanya penuh hati-hati. Sudah berulang kali ia dan Morin mencoba untuk membujuk Emily agar menghubungi keluarganya namun ia menolak untuk melakukannya.
"Aku ingin kembali ke kamarku, apakah Morin masih bersama kita," lagi, Emily berusaha mengalihkan topik. Jovan dan Morin saling melempar tatapan dan kompak menggidikkan bahu.
"Aku di sini," Morin segera mendekat dan mengambil alih untuk mendorong kursi roda Emily. "Kau pasti lelah,"
Emily hanya menganggukkan kepalanya.
"Kau sungguh tidak ingin menghubungi keluargamu, Emily. Sepertinya kau bukan dari negara ini," Jovan sudah mencari tahu tentang Emily di negara ini namun tidak menuai hasil. Emily tidak menggunakan nama keluarga di belakang namanya dan itu mempengaruhi pencariannya. Saat di bawa ke rumah sakit, tas miliknya juga tidak meninggalkan identitas tentang dirinya. Emily sedikit misteri.
"Aku tidak memiliki keluarga," mendengar jawaban Emily, Morin sontak berhenti.
"Ya Morin, aku tidak memiliki keluarga," lirihnya. "Aku tidak bisa menghubungi siapa pun."
"Bagaimana dengan walimu?"
"Sepertinya mereka tidak akan peduli dengan kondisiku dan sebaiknya mereka memang tidak perlu tahu dengan keadaanku."
"Jika polisi menangkapmu, bukankan media akan memuatnya."
"Itu juga yang kufikirkan." Emily mengembuskan napas panjang, wajahnya terlihat sedih dan itu pertama kalinya Morin melihat mimik yang berbeda dari wajah cantik wanita itu. Ya, Emily wanita yang sangat cantik dan anggun. Morin yang notabenenya seorang wanita juga jatuh hati padanya.
Saat ia dinyatakan buta, Emily juga tidak menangis dan histeris. Morin dan Jovan sudah bersiap untuk reaksi berlebihan yang akan ditunjukkan oleh seorang pasien yang dinyatakan kehilangan penglihatannya. Reaksi yang sangat wajar. Namun Emily berbeda, ia tidak menunjukkan reaksi apa pun. Wajahnya tetap tenang, ia juga bahkan tidak bertanya sama sekali.
"Katakan jika kau butuh bantuan," tawar Morin dengan tulus. Entah kenapa ia tidak bisa mengabaikan Emily begitu saja.
"Kau baik sekali." puji Emily.
"Dan ini hanya padamu," akunya jujur yang membuat Emily tergelak sehingga memperlihatkan barisan giginya yang putih. Dan ini pertama kalinya juga sejak ia menjadi seorang pasien.
"Aku seorang narapidana," ujarnya dengan santai.
"Kau mengakui bahwa kau sengaja menabrak mobil Naura?"
"Naura? Kau mengenalnya," Emily menahan kursi rodanya agar berhenti. Morin memilih bungkam. "Ya, Aku sengaja melakukannya." ungkapnya yang membuat Morin tercengang.
Satu bulan berlalu, akhirnya Emily mampu berjalan. Kakinya sudah sembuh dan berfungsi selayaknya. Seperti yang diperkirakan Morin dan Jovan, polisi pun segera membawanya ke luar dari rumah sakit untuk diminta keterangan perihal tabrakan maut yang terjadi yang menewaskan Naura Lordez, kekasih Ellard.Emily tidak menolak dan membantah, selama melakukan penyidikan, ia juga tidak banyak berbicara sehingga ia diputuskan bersalah.Ellard selalu mengikuti perkembangan hingga akhiranya kasusnya masuk ke pengadilan. Ellard tersenyum sinis melihat Emily melangkah masuk ke dalam persidangan dengan kedua tangan terborgol serta dengan baju tahanan yang terlihat kumuh. Dua orang sipir membimbingnya untuk berjalan."Sangat pantas," decisnya dengan wajah bengis. Ellard melihat kedua kaki Emily yang sudah lancar berjalan dan kembali ia berdecak kesal. Sangat ia sesalkan kenapa kaki itu mampu berjalan. Ia ingin melihat wanita itu merangkak dalam kegelapan."Jadi wanita itu yan
Emily dimasukkan ke dalam ruang tahanan yang mana sudah berisi lima perempuan narapida lainnya."Bargaullah dengan baik dengan para seniormu," salah satu sipir memberi nasihat yang terdengar seperti sebuah ejekan. Sipir tersebut pun menarik pintu jeruji besi dengan kasar dan hal itu ia lakukan dengan sengaja hingga membuat Emily berjengkit kaget.Tidak peduli dengan keterkejutan yang dialami Emily, setelah memastikan gembok dan kuncinya aman, sipir itu pun meninggalkan Emily bersama lima tahanan lainnya.Emily pun melangkah masuk secara perlahan. Mengulurkan tangan mencoba meraih apa yang bisa ia jadikan sebagai pegangan. Ia tidak tahu gambaran ruangan ini seperti apa dan setelah menjadi buta selama hampir 6 bulan tetap saja ia belum terbiasa dengan kondisinya.Selama 6 bulan, ia hanya berada di rumah sakit. Ada Morin dan Jovan yang baik hati untuk menolongnya dengan ikhlas. Dan sekarang ia bagaikan sebatang kara yang dilemparkan ke tempat asing yang ti
Seperti yang diperintahkan Ellard, kini Emily dipindahkan ke dalam ruangan yang sangat sempit bahkan untuk tidur pun tidak bisa. Ruangan yang teramat sangat pengap dan tidak ada pencahayaan sama sekali dan baginya itu tidak menjadi masalah karena ia sudah mulai terbiasa dengan kegelapan. Ia bahkan tidak tahu ruangan itu gelap atau tidak. Namun ruangan sempit itu sedikit menyiksa dan membuatnya takut. Ia tidak bisa memejamkan mata sama sekali. Ia hanya duduk dengan memeluk kedua lututnya, membenamkan wajahnya di atasnya.Di sana ia juga tidak mendengar hiruk pikuk suara tahanan lainnya, satu-satunya suara yang ia dengar adalah suara tikus yang berulang kali melewati kakinya hingga membuatnya menjerit kepanikan.Sebenarnya di mana aku berada? Batinnya sembari menangis.Detik berganti menit, dan menit berganti jam, jam pun berganti hari. Hari-hari mengerikan dilewati Emily selama beberapa bulan di ruangan pengasingan itu. Jika di ruangan tahanan bersama Beti ia tak ku
“Bagaimana keadaannya? Apa dia sudah pulih?” Ellard memainkan bolpoin di jarinya. Setelah satu minggu ia kembali mendatangi rumah sakit untuk menjenguk Emily. Tepatnya memastikan apa wanita itu masih bernyawa atau tidak.Memastikan nyawa Emily sangat lah penting baginya, bukan karena ia peduli tapi karna ia ingin nyawa wanita itu berada dalam genggamannya. Tidak boleh ada satupun yang berhak melukai wanita itu selain dirinya. Dan percayalah Beti berserta kelompoknya mendapat imbas dari apa yang mereka lakukan. Ellard memerintahkan pekerja di rumah tahanan agar tidak memberi makan mereka selama satu minggu. Beraninya mereka menyentuh mangsanya.“Kau datang untuk mengunjungi calon istrimu?” pertanyaan yang dilontarkan dengan nada geli itu membuat Ellard memutar kursinya untuk menatap Jovan. Masih dengan wajah geli, Jovan melangkah mendekati mereka sambil mengeringkan tangannya. Pria itu baru keluar dari dalam toilet.“Wajah sumr
“Jadi kau menolakku?” Ellard tidak bisa menerima penolakan Emily. Harga dirinya terluka. Yang benar saja, seorang wanita buta baru saja menolaknya. Jika ia mau, wanita mana pun bisa ia lamar detik ini juga, wanita cantik dengan penglihatan yang sempurna.Edward mencoba menahan tawanya agar tidak lepas. Bisa-bisa ia kembali mendapat tendangan di betis.“Ja-jadi kau yang ingin menikah denganku, Tuan?” tanya Emily tidak percaya. Ia mengira Edward lah yang sedang mempersuntingnya.“Kau fikir siapa?” decisnya dengan wajah kesal. “Katakan pada wanita itu apa yang sudah kulakukan terhadapnya,” perintah Ellard kepada Edward.Edward pun menjelaskan bahwa Ellard, tanpa menyebut nama pria itu sesuai perintah Ellard, sudah mengurus surat pembebasannya. Ya, Emily sekarang bukan seorang tahanan lagi. Statusnya berubah menjadi mantan narapidana. Tidak hanya sampai di situ, Edward atas perintah Ellard juga membeberkan kebai
Edward membunyikan klakson mobilnya berulang kali, namun setelah sepuluh menit berlalu, pagar yang menjulang tinggi itu tidak kunjung terbuka. Edward kembali membunyikan klakson untuk kesekian kalinya dibarengi dengan keluhan bahwa para pekerja sepertinya harus lebih didisiplinkan.Ya, mereka sudah sampai di rumah yang akan Ellard dan Emily tinggali. Rumah yang memang Ellard huni selama ini.Pintu gerbang terbuka, Edward menoleh ke belakang dengan cepat, terlihat bahwa Ellard dengan santainya mengarahkan sebuah remote kecil ke arah gerbang tersebut.“Para pekerja cuti massal,” Ellard menggidikkan bahunya. Tentu saja itu hanya alasannya saja. Ia memang sengaja untuk membuat sahabatnya kesal dengan memerintah para pekerjanya agar tidak membukakan pintu gerbang untuk mereka.“Kenapa tidak melakukannya sejak beberapa menit lalu?” hardik Edward dengan wajah kesal.“Aku lupa.”Pintu gerbang terbuka dengan sempur
“Ini panas sekali, sungguh,” adunya sembari terisak. Melihat air mata yang mulai membasahi wajah Emily, di situ Ellard merasa puas. Ia suka melihat ketidak berdayaan wanita itu. Ini lah yang ia harapkan, penyiksaan secara langsung serta menyaksikan dampaknya. Semakin wanita itu merintih kesakitan, mengiba memohon pertolongan semakin ia gencar dan semakin bahagia. Katakan lah ia gila, tapi bagi Ellard yang ia lakukan adalah hal yang sepadan dengan apa yang sudah dilakukan Emily karena sudah melenyapkan wanita terkasihnya, Naura.“Aku tidak akan membuat kulitmu sampai melepuh, aku hanya membantu untuk mensterilkan tubuhmu dari kuman-kuman yang menempel di tubuhmu,” dengan satu kali hentakan kuat, ia menarik Emily dari dalam bathup. Kulit putih Emily terlihat memerah, senada dengan manik matanya.Tubuh itu menggigil, bukan karena kedinginan namun karena merasa takut. Seperti yang dikatakan Edward, Devil ternyata bukan hanya ucapan asal belaka. Kini
“Tolong berhati-hatilah.” Ucapan Emily diabaikan oleh Ellard. Pria itu justru semakin menaikkan laju mobilnya. Ia mengemudi semakin menggila, bahkan umpatan dan klakson para pengendara lain ia abaikan begitu saja. Ia sangat menikmati kepanikan dan wajah pucat Emily. Tidak hanya pucat, kini dahi Emily dialiri keringat sebesar biji jagung.Ya, semenjak kecelakaan yang dialami Emily, wanita itu memiliki ketakutan tersendiri saat berada di dalam mobil, dan sepertinya Ellard menyadari hal itu sehingga semakin menjadi dalam mempermainkan Emily.“A-aku mm-mohon..” suara Emily bergetar ketakutan. Ellard tentu saja mendadak tuli, namun tersenyum penuh kemenangan dengan apa yang terlihat di wajah cantik Emily.“Ssu-suamiku..”Ciiiittt....Ellard menginjak rem secara mendadak membuat Emily terlonjak kaget dan tidak kuasa menahan tubuhnya hingga kepalanya terbentur ke depan.Bukan tanpa alasan Ellard menginjak rem mobil secara mendadak, ia terkejut mendengar