Sementara seorang lelaki muda tengah memacu sedang mobilnya membelah jalanan kota yang terbilang cukup padat. Alex baru saja selesai mewakili bosnya dalam pertemuan penting dengan salah satu rekan bisnis di salah satu restoran. Lelaki berusia 28 tahun itu belum juga mengambil cuti, padahal dua hari lagi ia akan melangsungkan pernikahan.
Ya, pernikahan. Bagi sebagian orang memang akan menjadi salah satu moment bersejarah sepanjang hidup. Tapi tidak dengan Alex, lelaki ini seakan menganggap pernikahan yang akan di jalaninya adalah sebuah kesialan yang tidak di sengaja.
"Dasar gadis ceroboh. Sok jagoan, sok pemberani, tapi menyusahkan!" umpat Alex dengan masih membopong tubuh Airin dalam dekapannya. Lelaki itu tidak habis pikir, kenapa ada gadis yang nekad seperti dirinya. Padahal dia bisa saja meminta bantuan pada orang lain lebih dulu, atau setidaknya tidak jangan bertindak gegabah. Untung saja ia segera datang dan menolongnya, kalau tidak, entah seperti apa nasibnya.
"Hei, sebenarnya kamu ikhlas tidak membantuku!" Airin memberontak, mencoba lepas dari gendongan lelaki itu." Turunkan aku!"
"Diam! Atau kau ingin kita berdua jatuh, dan jadi tontonan semua orang!" bentak Alex tak mau kalah. Tidak sadar, jika sejak tadi memang sudah menjadi tontonan semua orang yang kebetulan berpapasan dengannya.
"Cepat turunkan aku!"
Teriakan Airin tidak Alex hiraukan. Lelaki itu terus saja berjalan menuju mobilnya yang terparkir dengan Airin yang masih berada dalam gendongannya.
"Aku bilang apa?"
"Diam!"
Dengan sorot mata tajam Alex mendekati gadis itu, mencondongkan tubuhnya hingga jarak mereka semakin lama semakin menipis.
"A–apa yang akan kau lakukan!" Tubuh Airin reflek mundur, menghindar dari tatapan lelaki itu yang semakin dekat ke arahnya.
"Apa? Aku hanya ingin memasangkan ini untukmu." Meraih sabuk pengaman, lalu memasangkannya pada tubuh gadis itu, "Hilangkan pikiran kotor dari otakmu ini." Menunjuk kening Airin, lantas kembali ke posisi semula.
"Dasar....!" Airin memaki sendiri. Kesal sebenarnya, tapi ia masih bersyukur karena lagi-lagi ia di selamatkan oleh lelaki itu. Meski sejak di rumah sakit tadi Alex benar-benar membuatnya ingin marah dan melampiaskan semua emosinya.
"Bagaimana, Dokter? Apa ada yang patah? Apa perlu ada yang ganti?" Pertanyaan itu lolos begitu saja saat Dokter mulai memeriksa bagian tubuh Airin.
"Kira-kira apa kemungkinan terburuk, Dokter? Apa otak dia masih baik-baik saja? Apa ingatannya masih utuh?" Lelaki itu kembali melontarkan pertanyaan. Entah sengaja atau tidak ucapannya itu seketika memancing kekesalan di hati Airin, "Hei! Kau senang jika aku kehilangan ingatan?"
"Tentu saja aku senang. Setidaknya sifatmu yang menyebalkan bisa sedikit berkurang," ucap Alek begitu saja.
"Hahh! Menyebalkan? Kau.....!"
"Maaf, Tuan, Nona. Sebaiknya kalian tenang dulu," sela Dokter yang memeriksa keadaan gadis itu. Dokter muda berusia 30 tahun itu sampai menggeleng tak percaya mendengar perdebatan keduanya. Dua orang yang sebenarnya, ah... entahlah.
"Jadi, bagaimana Dokter?"
"Begini, Tuan." Dokter terlihat tenang, bersiap memberi penjelasan tentang kondisi pasien yang baru saja ia periksa.
"Nona Airin dalam keadaan baik-baik saja. Semua organ vitalnya normal dan tidak ada yang perlu di khawatirkan."
"Apa, Dok, Normal? Kenapa tidak luka aja, atau ada yang perlu di ganti misalnya?" tanya Lelaki itu dengan raut wajah tanpa dosa. Setidaknya gadis itu bisa mengambil pelajaran agar kedepannya tidak bersikap terburu-buru lagi seperti saat ini.
"Hei, kamu berharap aku celaka? Begitu!" Tidak menunggu lagi, Airin langsung melotot, menatap tajam pada lelaki yang ia anggap kurang ajar itu.
Setelah dari rumah sakit dan memeriksa keadaan Airin, Alex segera mengantarkan gadis itu ke rumah yang sebenarnya berlawanan dengan arah kantor.
Sial! Apa aku benar-benar akan akan menikahi gadis menyebalkan seperti ini...
"Kau tidak sedang memakiku, kan?" Di luar dugaan. Sepertinya gadis itu tahu jika Alex tengah memakinya.
"Kau terlalu percaya diri. Dasar tidak waras!"
'Airin sontak membulatkan matanya. Apa tadi, tidak waras? Memangnya ia pikir aku gila!'
"Kau jangan sembarangan! Siapa yang tidak waras?"
Alex hanya menyunggingkan senyuman. Ia sama sekali tidak berniat merespon kembali ucapan Airin. Sampai mobil memasuki pekarangan rumah milik keluarga Airin yang langsung di sambut oleh teriakan nyaring dari sang bunda.
"Airin...! Kamu kenapa, Nak?" Wanita paruh baya itu datang menghampiri. Meski ia masih tidak rela anaknya bersentuhan dengan lelaki mana pun, tapi melihat keadaan yang terdesak jadi ia memilih membiarkannya.
"Alex, ini kenapa lagi?"
Yang di tanya hanya melirik ke arah gadis itu. Memintanya untuk menjelaskan sendiri lewat sorot mata.
'Hei. Jelaskan!'
"Aku jatuh, Bund," jawab Airin, dan langsung di hujani oleh Alex dengan tatapan yang tajam.
"Airin berkelahi, Bund." Akhirnya Alex membuka suara, daripada harus salah paham lagi seperti awal-awal mereka bertemu.
"Dia bohong, Bund. Aku—...?"
"Diam!" Bunda melotot hingga bola matanya nyaris keluar dari tempatnya.
"Kamu bohongin Bunda lagi?"
Perempuan itu sudah berkacak pinggang. Membalas tatapan mata putrinya yang penuh dengan penyesalan.
"Bunda sudah katakan, jangan pergi kemana-mana! Kalau sudah seperti ini, Bunda harus bagaimana?"
Tiba-tiba saja perasaannya sudah tidak enak. Airin tahu sifat bundanya seperti apa. Jika sampai perempuan itu marah, itu tandanya ia benar-benar sudah keterlaluan.
"Maafin Airin, Bund," ucap gadis itu penuh penyeslaan. Harusnya ia menuruti perkataan perempuan itu agar tidak keluyuran. Tapi, jika tadi ia tidak pergi, bagaimana dengan Elisa? Apa dia akan tega membiarkan sahabatnya sendiri, saat wanita itu sangat membutuhkan dukungannya.
"Maafin Airin, Bund. Maaf......? ucap gadis itu sekali lagi.
Bunda terlihat menghela napas panjang. Perempuan itu mencoba memahami kondisi putrinya saat ini. Sedangkan Ayah Bagas sejak tadi hanya diam saja, belum ada satu patah kata pun yang keluar dari bibir pria paruh baya itu.
Harusnya saat ini keduanya tengah mempersiapkan diri masing-masing untuk pernikahannya. Tapi sekarang, apa bisa? Melihat kondisi Airin yang seperti ini.
"Bagaimana ini, Yah?" Bunda terlihat bingung. Undangan, gedung, serta catering semuanya telah siap. Tapi apakah tidak egois jika pernikahan itu tetap di laksanakan?
"Terpaksa, Bun. Kita harus menunda pernikahan ini sampai Airin sembuh." Akhirnya keputusan itu yang keluar dari bibir sang Ayah. Keputusan yang lansunh di sambut senang oleh keduanya.
"Jadi, Airin tidak jadi menikah besok 'kan, Bund?"
Ada yang bersorak, namun hanya berani di dalam hati. Airin lega karena ia tidak jadi menikah dengan lelaki itu. Bahkan ia berharap pernikahannya benar-benar batal, bukan hanya di tunda.
"Kenapa? Kau senang, dengan di tundanya pernikahan ini?" Sang bunda tiba-tiba melirik ke arah Airin yang berwajah sumringah.
"Tidak, Bun." Gadis itu menggeleng cepat, tidak mungkin ia terang-terangan mengatakan kebahagiaannya pada sang bunda.
"Ingat. Hanya di tunda! Bukan di batalkan!" Bunda menegaskan sekali lagi.
"Aku tau, kamu juga senang, kan?" Airin melirik lelaki yang ada di sampingnya. Tadi, setelah di putuskannya penundaan pernikahan, Bunda serya Ayah memilih masuk, dan meninggalkan kedua calon pengantin itu di ruang tamu."Senang? Tentu saja. Bahkan aku berharap bukan hanya di tunda, tapi di batalkan!" ucap lelaki itu dengan entengnya. Seakan Alex benar-benar tidak menginginkan adanya pernikahan itu."Hei, kamu jangan keterlaluan! Kamu pikir, aku juga sudi menikah denganmu? Dasar, lelaki aneh!" Airin tak mau kalah. Gadis melempar tatapan tidak bersahabat pada lelaki di depannya ini."Memangnya ada yang salah dengan ucapanku? Aku yakin, kau juga berharap seperti itu, bukan?" Bahkan tebakan Alex sukses membuat wajah gadis itu memerah.'Kenapa ia tahu sekali dengan isi pikirannya?'"Tentu saja. Aku juga sangat senang jika pernikahan ini tidak di lanjutkan, agar aku bisa mencari lelaki yang lebih baik darimu."Alex hanya tersenyum sinis. Jika mema
Airin berjalan mengendap-endap menuruni anak tangga satu-persatu. Gadis itu memeriksa sekeliling, lantas langkahnya kembali ia ayunkan agar sampai pintu utama rumah itu tanpa kepergok oleh siapa pun."Mau ke mana kamu!" Baru saja ia bisa bernapas lega karena tidak ada satupun orang yang memergokinya, tapi sekarang gadis itu hanya bisa diam dan membeku di tempat."A– aku...?" Gadis itu hanya tergagap mencari alasan yang masuk akal. Tapi otaknya mendadak tidak bisa di ajak bekerja sama."Bunda bilang, mau ke mana kamu?" ucap perempuan paruh baya itu lagi. Bunda sudah berdiri di belakangnya dengan tatapan yang tajam."Airin hanya ingin jalan-jalan, Bund." Gadis itu mengatakannya dengan ragu. Melirik sekilas ke arah sang Bunda, lantas ia berbalik dan saat melihat tidak adanya reaksi dari perempuan itu, "Iya-iya, Airin kembali ke kamar lagi aja," sungut gadis itu dengan perasaan kesal.Sebenarnya Airin sudah sangat bosan. Semenjak kejadian hari it
"Kau yakin, data ini benar-benar valid?" Arya menatap Dirga dengan serius, pria berusia 25 tahun yang sudah lama mengabdi pada keluarganya itu mengangguk yakin, "Benar, Tuan.""Itu yang saya dapatkan dari penyelidikan selama satu bulan, Tuan. Satu perusahaan besar itulah yang paling banyak menjalin kerjasama dengan WA Group, dan saya yakin para antek mereka sengaja membantunya dari belakang."Arya hanya manggut-manggut, meneliti sekali lagi informasi yang di dapat dari pria itu, lantas meraih gagang telepon untuk menghubungi seseorang, [Ya. Selamat malam....?]*****"Aku sudah menghubungi pemimpin perusahaan itu, dan aku menyerahkan tanggung jawab ini padamu." Arya menepuk pundak lelaki itu pelan, menyadarkan lamunannya kembali dari barisan huruf yang sejak tadi menahannya."Tapi, Tuan, saya–....?""Aku percaya padamu, Lex. Kau pasti bisa menjalankan semuanya. Di sini sudah ada in
Dion melangkah memasuki kantor dengan wajah masam. Melewati para karyawan yang menatapnya dengan rasa bingung. Tumben saja, biasanya jarang sekali lelaki itu terlihat, kalau tidak karena urusan uang, pasti Dion tidak akan mau menginjakkan kakinya di sini.Tuan Sigit Prasetia 'pun hari ini terlihat berbeda, penampilannya lebih rapi dan terlihat berwibawa. Apalagi saat asisten pribadinya berteriak, dan memanggil para karyawan untuk segera berkumpul, hal itu semakin menimbulkan banyak sekali pertanyaan dalam benak para karyawan."Selamat pagi semuanya." Tuan Sigit berdiri di tengah-tengah para karyawan yang sudah berbaris rapi. Di sebelahnya juga terlihat Dion, sang putra tunggal yang nantinya akan mengemban tugas untuk meneruskan perusahaan itu."Maaf. Jika kalian di kumpulkan tiba-tiba." Pria paruh baya kembali bersuara, namun banyak dari mereka menangkap gelagat yang tidak nyaman pada lelaki yang berada di sebelahnya."Hari ini saya sebagai pemimpin perus
Seorang wanita tengah berjalan hati-hati memasuki sebuah perusahaan besar yang menghubunginya beberapa hari lalu. Rencananya hari ini ia akan menjalani wawancara, sekaligus kontrak kerja dengan perusahaan yang menawarinya pekerjaan sebagai seorang sekretaris.Wanita cantik itu bernama Nabila, dengan usianya yang baru menginjak 23 tahun, ia terbilang orang yang cukup pandai dan cekatan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya."Silahkan masuk, Nona." Dari ruangan HRD, wanita itu langsung di antar ke rungan asisten Seno, yang nantinya akan menjelaskan apa saja tugasnya."Kamu bisa pelajari ini." Sang asisten memberitahu apa-paa yang harus ia kerjakan selama menjadi sekretaris di sini, yang langsung di angguki mantap oleh Nabila."Satu jam lagi saya akan mengajakmu ke ruangan bos, jadi bersiap-siaplah." Seno melangkah meninggalkan wanita itu di dalam ruangan kerja barunya.Selanjutnya yang Nabila lakukan adalah mempelajari apa saja mengenai perusahaan itu,
Alex berulang kali mondar-mandir memikirkan cara untuk menggagalkan kerja sama itu. Bagaimana–pun, ia tidak bisa membiarkan calon mertuanya berurusan dengan orang licik seperti mereka. Apalagi kini ia mengetahui jika calon istrinya yang akan menjadi wakil dalam pertemuan itu langsung.'Calon istri?'Mungkin terdengar lucu. Sejak kapan ia menganggapnya, dan sejak kapan pula ia peduli dengan gadis super menyebalkan itu."Bagaimana, Tuan? Apa yang harus saya lakukan?" Lelaki itu mendesah frustasi. Andai pernikahannya tidak gagal, pasti ia bisa sedikit punya kuasa untuk urusan ini. Sayangnya saat ini ia bukan siapa-siapa. Ia hanya calon suami dari putri semata wayang dari keluarga itu."Tenang, Lex. Mereka hanya akan menjalin kerja sama, kenapa kau sepanik ini?" Arya menelisik wajah lelaki itu, mencari jawaban atas kekhawatirannya yang berlebihan. "Apa kau mulai peduli dengannya?"Tentu saja. Tuan Bagas adalah sahabat Papa Wahyu, apalagi ia seben
"Untuk apa aku harus bersiap serapi ini, Pa? Memang siapa yang akan aku temui?" Dion merasa papanya sangat berlebihan. Bagaimana tidak, sejak tadi ia muncul dari kamar, pria paruh baya itu sudah mengomentari penampilannya berkali-kali. Seakan semua yang ia pakai tidaklah cocok menurut pandangan papanya."Pokoknya kamu harus tampil sempurana, Dion. Kamu jangan buat malu Papa?""Buat malu bagaimana maksud Papa? Memangnya siapa sih yang akan aku temui? Merepotkan saja!" Lelaki itu sampai mengumapat berkali-kali hanya karena sang papa yang terus saja menyuruhnya menukar pakaian."Apa-apaan ini? Kau mau buat putri Tuan Bagas ilfeel melihat penampilanmu yang seperti ini?" tanya pria paruh baya itu dengan wajah kesal, "Ganti!"Dion hanya menatapnya dengan bingung. 'Memang, penampilanku kenapa?' lelaki itu menatap penampilannya sendiri yang ia rasa sudah sempurna."Papa bilang ganti! Gunakan pakaian yang sudah Papa persiapkan."'Huhhhjjfff!'
Airin tiba di restoran lima belas menit sebelum jadwal yang di tetapkan untuk pertemuan. Gadis itu sengaja berangkat lebih awal agar bisa menyiapkan semuanya dengan matang, dan juga menghindari kemacetan yang akan membuatnya terlambat. Ia di giring ke arah sebuah meja yang sudah di pesan oleh asisten ayahnya, dan ternyata di sana sudah duduk seorang pria muda yang sepertinya seumuran dengannya."Selamat pagi," sapa Airin pada pria itu, yang langsung mendapat respon sebuah senyuman darinya."Selamat pagi. Anda pasti Nona Airin, 'kan?" Dion menatap wajah gadis itu. Sesekali ekor matanya meneliti penampilan Airin dari atas sampai bawh."Iya, saya Airina Sasmita." Gadis itu memperkenalkan diri. Keduanya saling berjabat tangan, lantas Dion mempersilahkan gadis itu untuk duduk."Senang bertemu dengan Anda." Dion mulai berbasa-basi. Mengajak gadis itu berbincang sebentar, lantas kembali ke acara inti, yaitu membahas kerja sama antara kedua perusahaan yang akan s