“Kami mau makan di sini, Mbak.”“Betul, soalnya warung di rumah Mbak Sindy tutup. Katanya kalau kami kepingin makan masakan dia, suruh mampir ke sini saja.”Nesi mengangguk paham. “Silakan duduk dulu, Ibu-Ibu.”Meta tergopoh-gopoh membawa catatan ketika tahu ada pelanggan yang datang.“Yang masakan Mbak Sindy yang mana saja, nih?”“Kami minta yang masak Mbak Sindy!”Meta melirik ke arah Nesi, karena ini baru pertama kali terjadi. “Biar saya saja yang ke dapur,” kata Zayyan kepada Nesi. “Jangan pernah tinggalkan kasir.”Nesi mengangguk mengerti dan meminta Meta untuk menjelaskan sebisanya.“Oh, kalau menu yang biasa dimasak Mbak Sindy ini ada ikan bakar, Ibu-Ibu! Salah satu menu kesukaan pelanggan,” jelas Meta dengan ramah. “Kalau tidak mau bakar, digoreng juga bisa. Lalapan dan sambalnya juga lengkap, dijamin Ibu-Ibu ketagihan makan di sini lagi!”Sekumpulan Ibu-Ibu itu mengangguk dan sibuk membaca daftar menu.“Sin, kamu bawa pasukan ke sini?”Sindy menoleh ketika Zayyan
Zayyan berdiri mematung mendengar ucapan Keke.“Aku kan cuma duda, Ma.”“Terus kenapa? Sindy malah sudah punya anak, paket lengkap kalau kamu nikah sama dia.”“Mama ini!”Keke tidak bisa menahan senyumnya melihat Zayyan tampak salah tingkah.“Bisa jadi dia pembawa rejeki, Zay. Memang rejeki itu Allah yang atur, tapi kita nggak pernah tahu akan lewat tangan siapa.”Zayyan garuk-garuk kepala.“Andai aku memang mau menikah, itu karena aku benar-benar niat untuk menyayangi dia dan anaknya seutuhnya, Ma. Bukan karena semata-mata ngejar rejeki.”“Lho, bisa menikah saja itu termasuk salah satu rejeki. Suami istri bisa saling menjadi jalan rejeki masing-masing,” ujar Keke. “Mama nggak akan memaksa kamu, sejak dulu begitu kan? Cuma kalau mama lihat, Sindy itu kandidat yang oke.”“Kandidat ... seperti pemilihan saja, Ma.”“Harus kan, memangnya kamu mau dapat uang tipe-tipe seperti Clara?”“Amit-amit, masa dapatnya itu lagi sih Ma?” Keke tertawa kecil. “Makanya, langsung gas saja ka
Sindy melirik Zayyan yang berdiri tepat di sampingnya, sementara lelaki berkacamata itu balas memberinya isyarat untuk mengiyakan apa saja yang dia katakan.“Kok Mbak Sindy ... ternyata selama ini kamu sudah nikung aku, Mbak?” Mita histeris, memantik reaksi yang beragam dari teman-temannya.“Jangan nuduh aku, Mit. Harusnya aku yang tanya sama kamu, jangan-jangan kamu punya niat menikung mantan kakak ipar kamu sendiri?” balas Sindy yang tidak mengerti apa-apa, sontak saja ucapan itu membuat teman-teman Mita berbisik satu sama lain.“Sekarang sudah jelas ya semua?” Zayyan menatap Mita dan komplotannya bergantian. “Saya sudah punya calon, jadi tolong jangan sebarkan hoax lagi kecuali mau mengubah di hotel prodeo.”“Jangan, Kak! Itu Mita yang suka gembar-gembor kalau dia punya calon bos resto!”“Betul itu, Kak! Mita yang selama ini meyakinkan kita ...”“Jadi salahkan Mita saja, kami nggak ikut-ikutan!”Mita menatap teman-teman yang sering nongkrong dengannya itu dengan tidak percay
Perlahan mobil Zayyan berhenti di depan resto, sengaja tidak memasuki halaman parkir khusus pelanggan.“Yang tadi itu ... bukan cuma sekadar skenario saja, Sin. Saya serius,” ucap Zayyan ketika Sindy hendak turun dari mobilnya.“Yang mana, Pak?”“Yang tadi itu ...”Sindy berpikir sebentar.“Yang Anda bilang ke Mita dan teman-temannya kalau Anda sudah punya calon?” tanya Sindy memperjelas. “Itu ternyata bukan skenario belaka?”“Bukan, itu serius.”“Kalau begitu selamat, Pak! Siapa calonnya?”“Kamu,” cetus Zayyan, membuat Sindy terkesiap.“Saya, Pak?” Zayyan mengangguk. “Semoga kamu mempertimbangkannya, Sin.”“Tapi ... saya janda, punya ekor satu.”“Saya juga duda, cuma bedanya saya tidak punya anak dari pernikahan sebelumnya.”Sindy terdiam, terjepit antara bingung dan juga kaget karena semua yang terlalu mendadak untuknya.“Saya rasa kita sudah selesai dengan masa lalu masing-masing, tidak ada salahnya kan?” ujar Zayyan lagi, dia memang tidak pandai merayu dengan kata-k
“Bisa-bisanya kamu baru cerita sekarang sih, Mit?” protes Ardi tak terima.“Baru kapan hari kok Kak kejadiannya ...” Mita memang sengaja menunggu waktu yang tepat untuk memberi tahu Ardi, agar dampaknya bisa lebih dramatis dibandingkan jika dia langsung bercerita setelah mengalami kejadian itu.“Tetap saja kita harus gerak cepat, Mit!”“Gerak cepat ngapain? Bukannya kakak bilang kalau sudah nggak minat ngajak Mbak Sindy balikan?” tanya Mita heran.“Tadinya begitu sih ...” Ardi menghela napas panjang, entah kenapa ada rasa tidak rela mendapati Sindy menjalin hubungan dengan pria selain dirinya.“Terus kamu mau lakukan apa, Kak? Ngejar Mbak Sindy lagi? Ingat Kak, dia sudah nggak punya penghasilan rutin lagi.”Ardi terdiam bisu. Selain tidak rela Sindy mulai membuka hati, dia juga tidak setuju jika Sisil memiliki ayah sambung.“Kamu nggak akan paham, Mit. Ini bukan cuma menyangkut Sindy, tapi masa depan Sisil juga.” Ardi menjelaskan. “Nggak rela aku kalau Sisil punya ayah tiri, b
Zayyan menoleh menatap Sindy setelah sejak tadi dia menahan diri.“Saya tentu akan memprioritaskan anak dan istri saya,” katanya yakin. “Tapi ada beberapa hal yang kamu harus tahu, Sin. Saya memiliki tanggung jawab penuh terhadap mama saya, karena mama seorang janda. Saya juga punya adik kembar laki-laki yang kuliah di luar kota, sesekali saya mengirim uang jajan untuk mereka.”“Anda yakin bisa memprioritaskan saya dan Sisil di di tengah-tengah tanggung jawab Anda terhadap keluarga?”“Kenapa tidak?”“Karena saya ... saya tidak tega kalau memaksa anda untuk memilih salah satu pihak, saya sering mendengar ungkapan bahwa istri itu adalah orang lain yang kebetulan dinikahi. Sedangkan ibu dan saudara kandung adalah orang yang memiliki hubungan darah dengan suami, saya khawatir ke depannya hal itu akan menimbulkan konflik.”Zayyan menarik napas, kini dia semakin mengerti kenapa Sindy seolah enggan menikah kembali.“Saya bukan perempuan matre, Pak. Tapi sebagai istri, wajar kan kalau s
“Aku akan hancurkan pernikahan kamu,” ancam Ardi tak gentar. “Memangnya calon suami aku akan diam saja?” balas Sindy dengan nada mengejek. “Aku juga akan merebut hak asuh Sisil!” “Silakan, aku juga bisa melaporkan kamu karena nggak memenuhi kewajiban kamu sebagai ayah kandung Sisil. Kapan terakhir kali kamu kasih dia nafkah, masih ingat?” Wajah Ardi seketika pucat pasi. “Kamu nggak bisa seperti ini, Sin!” Ratna menyela. “Memang faktanya begitu kok, Mas Ardi ini sudah nggak pernah lagi melakukan kewajiban sebagai ayah kandung Sisil. Aku diam saja bukan berarti lupa, tapi malas ribut perkara uang yang nggak sanggup Mas Ardi bayar!” “Sindy!” Amarah Ardi tak terbendung lagi. “Ada apa ini ribut-ribut?” Ayah Sindy tampil untuk mengantisipasi hal-hal tak diinginkan. “Ini yah, mantan besan nuduh anak kita sudah merebut jodohnya.” Rita langsung mengadu. “Kok lucu? Kalau nikahnya sama Sindy, berarti bukan jodoh namanya. Kenapa malah maksa?” Raut wajah Ratna seketika merah p
Ratna balas menatap kedua anaknya bergantian. “Ibu usahakan, tapi kamu juga harus bertindak.” Wanita berumur itu melirik anak lelakinya. “Dekati Sisil, siapa tahu dia bisa kasih info meski masih kecil.” “Apa yang mau diharapkan dari Sisil sih, Bu? Dia ngomong saja belum bener!” tukas Mita meremehkan. “Kamu nggak ngerti kalau ingatan anak kecil itu kuat, Mit! Dari Sisil, Ardi bisa tanya-tanya kapan pemilik resto itu ke rumah, terus mereka ngapain saja ... Minimal Sisil pasti ingat Sindy sudah dikasih apa saja sama laki-laki itu, siapa tahu malah anak itu juga dijanjikan beli baju baru untuk acara ...” Ardi terdiam merenungi ucapan Ratna. Meskipun tidak ingin membayangkannya, tapi dia merasa jika ucapan Ratna lumayan masuk akal. Kalau Ardi ada di posisi Zayyan, tentu dia akan berusaha mendekati Sindy dengan mencari perhatian anaknya. Karena itulah Ardi berencana untuk menemui Sisil dan ngobrol dengannya, tidak peduli Sindy akan memberi izin atau tidak. *** Tidak membutuhk
"Saya ikut Anda saja, Pak. Kalau memang mau diteruskan ke pihak berwajib, saya akan berusaha keras untuk mencari bukti-bukti lainnya agar kalau dia mengelak, kita bisa langsung tutup celah itu." "Lakukan, bergerak lah dalam diam. Untuk sementara aku juga akan bersikap sudah melupakan kecelakaan itu, ada untungnya juga pihak berwajib bertele-tele dalam mengusutnya." Boby tiba-tiba menjentikkan jarinya. "Kalau saya berpikiran begini, Pak. Siapa tahu dia tidak bergerak sendirian, tapi ada orang dalam yang membuatnya aman-aman saja sampai detik ini?" Zayyan terdiam mendengar penuturan Boby. "Aku rasa kamu ada benarnya juga, dia bahkan masih berani menampakkan batang hidungnya seolah tidak terjadi apa-apa ..." "Wah, hebat sekali dia!" "Hebat atau memang tidak ada otak, di antara dua kemungkinan itu." Boby mengangguk karena sependapat, lalu meraih cangkir kopinya. "Saran saya, Anda tetap harus berhati-hati. Dia sudah terbukti nekat, takutnya dia akan mengulanginya lagi karena yang
Pasti karena sudah punya pacar, jadi cuma ada kamu sama si dia. Yang lainnya numpang lewat saja."Tanpa sadar Sindy malah melamun, mengingat kembali hal-hal apa saja yang membuatnya tidak terlalu terkenang dengan masa putih abu-abu.Sadar dengan perubahan ekspresi di wajah istrinya, Zayyan meletakkan foto itu di atas meja dan mendatanginya."Kok jadi sedih begitu?"Sindy terperanjat, lalu menggeleng perlahan."Cuma lagi mengingat-ingat sesuatu ...""Ada yang kamu ingat tentang aku?" tanya Zayyan dengan mata berbinar."Tidak ada," sahut Sindy sambil nyengir minta maaf. "Masa-masa SMA itu benar-benar menguras tenaga dan pikiran, jadi aku tidak terlalu ingat siapa saja teman aku."Zayyan menatap Sindy, seolah tidak percaya dengan kata-katanya.Namun, sebelum dia sempat berkomentar, tiba-tiba ponsel yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur berdering nyaring."Halo?" "Pak, saya sudah mulai dapatkan titik terang mengenai kecelakaan mobil yang Anda alami!" Sahut boby dengan nada be
"Betul, Kak. Uangnya buat masa depan sendiri saja," imbuh Mita supaya Ardi tak lagi ragu. "Sini uang yang jatah aku, mau aku pakai buat perawatan ...""Kamu kerja dong, Mit! Kayak Sani kek, biarpun seringnya rebahan, tapi dia sambil jualan online. Jadi dia nggak melulu mengharapkan uang dari aku," ujar Ardi.Nasehatnya sebagai kakak sebetulnya baik, hanya saja baik Ratna ataupun Mita tidak sebaik itu mampu menerima."Kamu apaan sih, Kak? Biasanya juga ngasih aku tanpa syarat, kenapa ini tiba-tiba nyuruh aku kerja?" sewot Mita dengan bibir maju."Iya nih, Di. Mita ini kan anak anak perempuan pertama, jadi dia duluan yang akan dipinang jodohnya. Lebih baik dia fokus merawat diri biar calon suaminya nanti nggak kecewa," imbuh Ratna membela."Ya iya deh, aku doakan semoga kamu dapat jodoh sultan yang cuma peduli sama kecantikan semata." Ardi mencibir. Padahal di matanya, istri itu setidaknya harus pandai merawat diri, membersihkan rumah, memasak, mengurus anak, dan mencari uang tambahan.
Mita mengangguk-angguk mengerti dengan ucapan kakaknya itu."Kalau begitu bagi duit dong, Kak!""Buat apa lagi sih?""Aku kan harus sering-sering ke restoran buat mantau!"Ardi garuk-garuk rambutnya yang tidak gatal."Nanti dulu lah, sibuk ini ...""Jangan pelit-pelit begitu, Kak.""Diam dulu, Mit!" Kali ini Ratna yang menegur. "Itu kakakmu lagi fokus hitung gajinya, jangan dulu kamu ganggu.""Kayak biasa ini buat ibu, Sani sama Mita ..." Ardi yang sudah membagi-bagi uang itu menjadi tiga kelompok menyerahkannya kepada Ratna. "Sisanya aku yang pegang buat kebutuhan pribadi."Ratna manggut-manggut dan meraih uang bagiannya dan juga Sani. Dalam hati dia berpikir jika nantinya harus berbagi lagi dengan istri baru Ardi, itupun kalau anak lelakinya ingin kembali meniti rumah tangga dengan orang baru."Kamu nggak usah buru-buru nikah deh, Di.""Lho, memangnya kenapa, Bu? Masa iya aku jadi duda selamanya sementara Sindy sudah menikah lagi?"Mita ikut memandang ibunya dengan kening berkerut.
Ekor apa dulu, Ma?" Zayyan yang menyahut."Ekor ikan, tentu saja calon bayi lah!""Doakan saja menantu Mama ini bersedia tanpa kebanyakan alasan buat bikin ...""Aku tidak banyak alasan, tapi memang ada alasan logis." Sindy membantah dengan segera."Ya itu kan tetap saja namanya alasan, Sin."Keke geleng-geleng kepala menyaksikan perdebatan anak dan menantunya."Terserah kalian berdua prosesnya mau gimana, pokoknya mama terima beres saja." Dia menengahi.Saat hari keberangkatan, Keke melepas kepergian Zayyan dan istrinya di pagi buta."Nanti mama bilang Sisil kalau kalian ada urusan, sana berangkat.""Terima kasih ya Ma, sudah mau jaga Sisil ..." "Sama-sama, ada om kembarnya juga, sudah sana."Sindy tersenyum saat Keke mendorongnya masuk mobil. Perjalanan menuju lokasi berlangsung mulus karena hari masih pagi, sehingga belum banyak kendaraan yang beradu di jalanan.Zayyan ternyata sudah menyewa penginapan khusus untuknya dan Sindy dalam rangka suasana pengantin baru.Di sana, mereka
Zayyan menarik napas panjang, kedua matanya tetap fokus memperhatikan arah jalan yang ada di depannya. "Pokoknya kita jadi pergi bulan madu, mumpung ada waktu." "Tidak enak sama pegawai kamu, Mas." "Ya ampun, apa hubungannya sama pegawai aku coba?" "Takutnya ... nanti ada yang berpikiran kalau aku nikah sama kamu karena kamu pengusaha kaya ..." "Amin!" sambar Zayyan. "Insha Allah aku akan tetap rendah hati meskipun aku sudah kaya tujuh turunan. Masalahnya adalah, untuk apa juga kamu harus cerita sama mereka kalau kita mau bulan madu?" Sindy meringis. “Terserah kamu saja,” katanya. “Mau ke hotel bintang lima juga tidak apa-apa, asal kamu mau pasang badan kalau orang-orang berpikir bahwa aku cuma menghabiskan uang kamu atau apa.” “Pasang nyawa juga akan aku lakukan demi kamu,” sahut Zayyan tenang. "Bicara apa sih, Mas?" "Kan betul, kamu sudah jadi tanggung jawab aku sekarang. Termasuk Sisil," tegas Zayyan. "Sebentar lagi sampai rumah, biar aku yang bilang sama Mama." Sindy
Ardi memutar bola matanya malas."Gimana mau nabung, kan sebagian besar uang aku dipegang sama Ibu." Dia mengingatkan."Masa sih? Terus yang dipegang sama Sindy apa, masa dia nggak bisa menyisihkan sedikit buat ditabung?" Ratna masih saja menyangkal."Sindy saja selalu bilang kalau uangnya kurang, kan dia memang dapatnya sisa gaji karena Ibu yang pertama kali ambil gajiku.""Oh, ya wajar kan? Keluarga kamu yang utama, istri sudah seharusnya menerima berapa pun yang dikasih suaminya."Ardi hanya bertopang dagu, selalu itu-itu saja yang Ratna tekankan kepadanya sejak awal meniti rumah tangga dengan Sindy. Dan polosnya, prinsip itu dia telan mentah-mentah tanpa disaring terlebih dahulu.Tidak heran jika rumah tangga Ardi jauh dari kata harmonis.**“Akhir pekan ini kamu mau kita bulan madu ke vila puncak atau pantai?” tanya Zayyan ketika mobil yang dikemudikannya mulai melaju dengan kecepatan sedang. Mereka dalam perjalanan pulang dari restoran menuju rumah usai jam kerja berakhir.“K
"kamu masih menyimpan foto ini, itu artinya kenangan itu sangat penting buat kamu kan?" Tanya Sindy lagi."Memang penting, tadi kan sudah aku jelaskan sama kamu."Sindy menarik napas, tentu saja itu bukan jawaban yang dia harapkan. Tadinya dia pikir Zayyan akan minta maaf dan berjanji untuk membuang benda masa lalu itu sesegera mungkin, tapi ternyata tidak demikian."Ada lagi yang mau kamu tanyakan?" cetus Zayyan ketika melihat Sindy hanya terdiam bisu."Tidak ada ...""Ngambek?""Tidaklah, buat apa ngambek. Kamu mandi saja, ini bajunya." Sindy buru-buru mengulurkan satu setel baju ke tangan Zayyan.Selama Zayyan mandi, sindy lebih memilih untuk berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Dia punya firasat jika suaminya masih terikat kuat dengan foto yang ditemukannya itu, terus apa gunanya mereka menikah jika masih kepikiran dengan masa lalu?Tujuan sindy menikah adalah untuk bisa memulai segalanya dari awal, dan foto itu merupakan bukti jika Zayyan memiliki prinsip yang berseberan
Zayyan hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik kembarnya. Mereka meneruskan obrolan, hingga keduanya memutuskan untuk pergi dari restoran Zayyan karena ingin kembali ke rumah.Mita ternyata masih berada di resto bersama teman-temannya dan ketika si kembar muncul, tatapan matanya tidak bergeser satu senti pun dari mereka berdua.Saat itu Mita terlalu bingung untuk menjatuhkan pilihannya kepada siapa. Dua-duanya punya kharisma dan wajah yang begitu mirip.Andai di negara ini poliandri dilegalkan, pikir Mita mulai ngelantur. "Mit, kamu nggak apa-apa?" tanya salah satu teman ketika melihat kebisuan Mita. "Kesambet mungkin dia ...""Ngaco! Siang-siang begini mana ada kesambet.""Setan mana ada pilih-pilih waktu, sih?"Mita tidak menghiraukan ucapan teman-temannya, dia justru fokus kepada dua laki-laki muda itu sampai mereka masuk mobil dan melaju pergi."Aku jadi bingung pilih mana," ucap Mita saat tiba di rumah, dia menjatuhkan diri di tempat dan berbaring telungkup. "Kakak Bos