Share

Bab 2 Kehilangan separuh napas

Bab 2 Kehilangan separuh napas

Setelah menyusui Evan, Bening memasang alat bantu dengarnya, kemudian mengambil ponsel. Wajah wanita itu berkabut, dan terlihat sendu menatap layar ponsel.

Sudah dua minggu, dia pulang ke rumah orang tuanya, tapi Ibra suaminya tidak pernah sekalipun berkunjung maupun berkirim pesan. Bening tampak menghela napas panjang, takkala teringat dengan pada Intan. Hatinya kian gelisah.

Bening lalu menoleh pada jam digital di atas nakas. Jam 12 malam. Dengan langkah ragu Bening mulai mengemasi pakaiannya dan Evan ke dalam kopor. Setelah selesai, dia duduk di tepi ranjang, menimbang – nimbang apakah dia mau pulang ke rumahnya malam itu atau tidak.

“Kenapa kamu belum tidur? Apakah Evan rewel?” tanya Iswati – Mama Bening. Wajah perempuan itu melongok ke dalam kamar.

“Bening baru menyusui Evan…” jawab Bening tidak bersemangat. Pintu kamarnya tadi terbuka sedikit dan ia lupa menutupnya.

Iswati lalu masuk ke kamar putrinya, dan melihat posisi kopor Bening berdiri. Dia kemudian mengamati wajah anaknya yang muram. “Apa Ibra sudah kembali dari Luar Negeri?”

“Belum, Ma. Katanya besok baru pulang, penerbangannya malam. Tadi aku menerima pesannya, dan jika Mama tidak keberatan. Bening mau pulang besok pagi.” Bibir Bening kelu, dadanya nyeri saat mengatakan kebohongan pada mamanya. Entah sampai kapan ia akan menutupi kebohongan itu.

“Tinggallah di sini dulu, biar Ibra yang menyusulmu ke sini. Lagipula, Mba Atun mudik. Kamu pasti kesepian di rumah.” jawab Iswati keberatan.

“Tidak bisa begitu, Ma. Aku mau bersih – bersih rumah dulu, sebelum Mas Ibra datang. Mama tahu, kan. Dia orangnya bersih banget, gak kayak aku yang selebor,” canda Bening, mencoba merayu mamanya.

“Kalau itu maumu. Mama tidak bisa memaksa. Tapi ingat lho, sering – seringlah main ke sini. Kalau kamu sibuk, titipkan saja Evan di sini, Papamu pasti senang sekali.” Iswati melihat cucunya yang sedang tidur nyenyak. “Ganteng sekali cucu Oma.” Dia mencium kening Evan. “Apa boleh Evan tidur sama Mama malam ini?”

Bening mengangguk dan membiarkan mamanya membawa Evan tidur bersamanya.

Setelah mamanya pergi, Bening mengunci pintu kamar. Dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang sambil menatap layar ponsel dengan hati tatapan merana. Perlahan, air matanya meleleh, dia terisak hingga tertidur.

Keesokan paginya, Bening pulang ke rumahnya. Mobil Ibra masih terparkir di garasi, padahal jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi.

Pelan – pelan dia membuka pintu gerbang. Kemudian naik ke teras.

Sayangnya ia dikejutkan dengan kemunculan Ibra yang datang dengan muka galak dan memakai pakaian kolor yang terbalik! Ia tadi hampir mencapai kenikmatan surgawi ketika mendengar ada yang membuka pintu gerbang.

“Ngapain kamu pulang ke rumah ini!” tanya Ibra berkacak pinggang. Wajahnya jelas sekali tak suka dengan kehadiran Bening.

“Yank… kenapa lama sekali, sih?” teriak Intan dari dalam kamar.

Hati Bening makin bergolak mendengar suara perempuan itu. “Ini rumahku, Mas, dan aku masih istri sahmu! Kamu jahat sekali! Berani – beraninya kamu meniduri wanita lain di kamar kita!” Suara Bening serak akibat menahan tangis. Begitu sulit ia melukiskan sakit hati yang ia rasakan, ketika menemukan Ibra bercinta dengan Intan, sahabatnya.

Bening seperti ditelanjangi dan dilempar dengan kotoran sapi. Ia menangis sesenggukan.

Mendengar tangis mamanya. Evan turut menangis, membuat suasana pagi itu makin riuh.

 “Diam kau! Atau kupatahkan leher anak setan ini!” ancamnya bengis.

Bening ketakutan dengan ancaman Ibra. Dipeluknya Evan erat – erat dalam gendongannya. “Apa salahku, Mas? Kenapa kamu dan Intan tega menusukku dari belakang. Padahal selama ini aku baik kepadamu. Aku berusaha menjadi istri yang baik dan menuruti semua kemauanmu?” tanyanya dengan terisak – isak. Ribuan pisau laksana mengiris hatinya.

Ibra mendengkus, dan melemparkan senyum sinis. Ia menyulut rokok dan menghembuskannya di muka Bening. “Kamu pikir, tindakan kamu kabur dari rumah itu bagus?” Dia sama sekali tidak memedulikan bayinya yang berada dalam gendongan Bening.

Wanita itu mundur dan menutupi hidung bayinya, supaya tidak menghirup asap rokok. “Siapa yang kabur? Aku mau menenangkan diri ke rumah orang tuaku dan telah mengirimkan pesan kepadamu. Tapi kamu tidak pernah membacanya!” bantah Bening gusar. “Bukannya kamu mencariku, kamu malah bersenang – senang dengan wanita itu!” Tangan Bening menunjuk Intan yang baru keluar dari kamarnya.

 “Apa hebatnya dia dari aku, Mas!” Hati Bening terkoyak dan rapuh. Sakit hatinya bukan saja karena dikhianati oleh Ibra, tapi juga oleh Intan, wanita yang dia anggap sahabatnya.

“Aku melayanimu sepenuh hati dan memenuhi semua permintaanmu. Aku tidak perhitungan dan juga tidak pernah meminta sesuatu kepadamu. Semua kebutuhan rumah tangga kita, kubayar sendiri. Belum lagi permintaan Ibu dan adikmu. Selama ini aku diam. Aku ikhlas, Mas. Sebab aku mau melihat kamu sukses! Tapi, apa yang kudapatkan? Kamu malah berselingkuh!"

Dada Bening naik turun, ketika melontarkan uneg – uneg yang menganjal dadanya.

Ibra menyeringai. “Dia lebih jago di ranjang dan dia tidak tuli seperti kamu!” Ia tertawa terbahak – bahak. “Aku sudah muak memiliki istri tuli yang hanya mengandalkan alat bantu dengar. Aku mau pendamping normal seperti Intan.”

Dengan berlinang air mata, Bening menjawab ucapan melecehkan suaminya. “Kejam kamu, Mas. Jika kamu tak cinta, kenapa kamu suka sekali menggauliku setiap hari, pagi dan malam hari!! Aku patuh kepadamu, sekali pun itu bulan Ramadhan.” Suaranya parau.

Ibra tersenyum masam. “Itu sudah kewajibanmu, sebagai seorang istri, dan aku membutuhkan perempuan lain seperti Intan yang bisa memuaskan egoku, dan aku mencintainya.”

Bening tertegun. Air matanya makin deras seperti air bah, meluncur di pipinya yang berwarna pink. Tangannya menekan dadanya yang sesak menahan emosi.

“Kamu gila, Mas! Intan itu masih istri sah orang!”

Intan dengan pongah mendekati Bening dan merasa posisinya di atas angina. “Apa kamu tuli? Ups! Oh iya lupa, kamu aslinya kan tuli.” Dia tertawa terbahak – bahak. “Ibra sudah mengatakan dia jatuh cinta kepadaku. Kamu sudah kalah dan tak perlu lagi membeberkan tugasmu sebagai istri. Itu sudah kewajibanmu. Kamu harusnya terima, aku lebih jago darimu dari banyak hal, dan ingat, aku wanita sempurna. Tidak seperti kamu, wanita cacat. Catat! Soal Ibra lebih memilihku, itu bukan kesalahanku. Itu murni kesalahanmu yang tidak pandai menjaga suami.”

“Wanita busuk!” desis Bening geram. Kedua tangan wanita itu mengepal. Ingin sekali ia meninju muka Intan, dan menghajarnya habis - habisan. Tapi ia masih waras. Meski ia sangat muak dan menyesal telah berkawan baik dengannya.

Ibra mendekati Bening. Dia berkacak pinggang. “Terserah kamu bilang apa, aku tidak peduli.” Dia lalu menarik tangan istrinya dengan kasar dan mendorongnya keluar rumah hingga wanita itu tersungkur di pelataran. “Pergilah dari hadapanku, dan jangan pernah kembali lagi ke rumah ini bersama anak setan itu!!”

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Fidia Haya
halo Mba amymende, terima kasih komennya ya. Menurut opini saya, we could learn something from stupid story and create us a better person. salam dari Bali
goodnovel comment avatar
amymende
cerita bodoh
goodnovel comment avatar
Fidia Haya
halo Mba Rania, terima kasih komennya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status