Pov Marni
Kukira, ibu mertua akan datang di hari itu saja, nyatanya tidak. Ia datang lagi ke esokan harinya. Padahal aku berharap, dia tidak usah terlalu sering ke rumah, aku takut padanya.Aku menyiapkan hati dan telinga. Ibu mertua yang suka bicara apa adanya, walaupun ucapannya keluar menyakitkan. Aku tak biasa diperlakukan kasar. Bagiku, kesopanan berbicara adalah nomor satu.Aku ingin, setelah ibu tiada, jika mendapatkan mertua, bisa dijadikan sebagai ibu layaknya ibu kandung. Akan tetapi, ibu Mas Anto dan ibuku bagaikan bumi dan langit.Ibuku selalu tersenyum, suaranya pelan dan ramah, dia tak pernah mencaci atau pun memaki, dia selalu bertutur kata sopan dan santun. Bagaimana caranya aku bisa menganggap ibu Mas Anto bagaikan ibuku sendiri? Saat ini, bahkan ketika baru saja aku membukakan pintu rumah, wajah sinisnya kembali menyapa."Kau sudah menyapu rumah?" tanya dia tanpa basa-basi."Sudah, Bu.""Tapi tidak bersih, pasir masih terasa di telapak kakiku. Apa kau sudah memegang sapu dengan benar?"Aku menunduk. Tentu saja aku sudah memegang sapu dengan benar.Ibu mertuaku berjalan ke arah meja makan, lalu menoleh padaku."Piring kotor masih di atas meja? Tak diangkat?""Itu ... Piring tadi pagi, bukan piring kemaren.""Apa bedanya piring tadi pagi dengan piring kemaren, toh sama-sama kotor."Aku bergegas mengambil piring itu, lalu meletakkannya ke dapur, tepat di atas meja kecil untuk meletakkan dispenser."Bukan di situ tempatnya!" Suara Ibu meninggi. Aku sampai kaget. Dengan gemetar, aku mengangkat piring itu kembali ke westafel.Ibu masih berdiri di belakangku sambil berkacak pinggang. Wajahnya menegang, seperti belum puas marah-marah."Hei, dengan tumpukan piring begitu, apa matamu senang melihatnya?""Itu, piringnya belum banyak.""Apa? Astaga, jadi kau tunggu piring itu setinggi gunung dulu, baru kau cuci? Wanita sejenis apa yang dinikahi Anto."Ibu mengata-ngataiku tanpa perasaan, rasanya sangat sakit, aku membalikkan badan, menghadap ke westafel yang sudah diperbaiki, tanganku masih menggigil karena kerasnya bentakan ibu. Tanpa sadar, satu piring yang berada di tanganku yang penuh busa, meluncur dan jatuh ke lantai, pecah berderai."Marniiii ...." Suara lengkingan ibu menjadi, aku tak tau harus apa, dengan kalut kupungut pecahan piring itu tanpa sadar telah melukai jariku sendiri. Rasanya sakit, tapi lebih sakit di dalam sini, di hatiku.Aku rindu ibuku, yang tak pernah meninggikan suaranya padaku, aku rindu saat dia berkata, bergaul lah penuh kasih sayang dan jangan pernah menyakiti hati orang lain, aku Rindu saat ibuku tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa jika aku melakukan kesalahan.Saat rindu itu menyesakkan dada, aku tak punya tempat untuk pulang. Ibu mertua dan Mas Anto, memperlakukanku bagaikan orang asing.***Ibu pulang beberapa jam kemudian setelah mendikteku ini dan itu, dia mengatakan, apa fungsiku kalau tak bisa melakukan pekerjaan rumah, jika hanya makan dan tidur, kucing pun lebih hebat.Bahkan, ibu menyamakan aku dengan binatang. Perasaan terluka itu makin menumpuk di dalam hatiku.Sebelum pergi, Ibu mengatakan, berhubung besok tanggal merah berturut-turut selama dua hari, biasanya Anto akan pulang.Kegugupanku makin menjadi, belum selesai ceramah panjang ibu mertua, akan disambung oleh ceramah Mas Anto. Tak ada lagi tidur siang, seperti kata ibu, sebelum Anto datang, aku harus berdandan.Berdandan, aku tak pernah mencobanya dalam hidupku, namun sempat beberapa kali memperhatikan orang merias pengantin.Aku punya beberapa peralatan berdandan, yang masih utuh. Mas Anto yang membelikannya.Ibu bilang, Mas Anto akan sampai kira-kira menjelang Maghrib. Waktu yang sedikit kugunakan untuk mandi dengan air hangat, karena aku sangat tidak suka dengan air dingin.Setelah mandi, kupakai daster yang baru. Lalu membuka peralatan berdandan itu satu persatu.Setelah memakai bedak sebisanya, aku mengamati benda yang kutahu namanya adalah pensil alis. Aku harus mencobanya, sebisaku, memakai lipstik pun sebisaku.Tak lama kemudian, mobil Mas Anto menderu. Aku gugup luar biasa. Seiring dengan ketukan pintu dari luar.Kulangkahkan kaki ke arah pintu, membukanya lalu menemukan wajah lelah Mas Anto. Aku tersenyum sambil menunggu reaksinya.Mas Anto tercengang, dia terpaku sejenak, aku pikir dia terpaku melihatku menjadi cantik. Akan tetapi apa yang terjadi setelah itu? dia terbahak, tertawa sambil memegang perutnya. Tawa yang tak pernah kulihat selama ini."Ya, ampun, Marni, apa yang kau lakukan dengan wajahmu? Hapus lipstikmu, alismu tidak lurus. Cuci mukamu sekalian, ada-ada saja."Aku terdiam, seiring dengan perasaan sesak yang tak bisa kujelaskan. Berpuluh menit aku menghabiskan waktu di depan cermin untuk memoles wajahku, lalu Mas Anto malah menertawakanku bagaikan melihat topeng monyet. Dia bahkan sama sekali tak menoleh lagi ke belakang, berjalan lurus ke arah dapur.Rasa sesak yang kutahan dari tadi sejak kedatangan ibu, meledak sudah, aku tak mampu menahan tangisku sendiri. Aku merasa sendiri, tak ada yang peduli, bahkan saat aku berniat berubah dan menuruti perintah ibu, sedikit pun Mas Anto tak menghargainya.Bahuku terguncang, tangis tanpa suara. Tak ada tangan lembut yang menyentuh bahuku seperti dulu, tak ada suara lembut yang mengatakan, air mata terlalu berharga menangisi dunia. Aku sendiri, benar-benar sendiri.Pov AntoMeninggalkan Marni untuk sesaat, mungkin adalah pilihan yang tepat bagiku. Kejengkelan yang kurasakan karena Marni tak bisa mengerti dengan apa yang kusampaikan, jangan sampai menjadi amarah yang akan semakin menyakitinya.Aku tak tau, pernikahan apa yang tengah kami jalani, seharusnya di usia pernikahan kami, setidaknya kami telah mendapatkan kejutan, contoh punya anak misalnya. Bukankah kesempurnaan seorang laki-laki adalah melihat seorang anak yang mewarisi darahnya? Meneruskan nasabnya?Aku memang tak mencintai Marni, tapi berhubungan badan tak butuh cinta, perasaan naluriah itu adalah sebuah kebutuhan. Akan tetapi, seorang Marni berhasil mematahkan selera dan semangatku dengan badannya yang bau.Mobil sampai di pekarangan rumah ibu. Wanita yang berstatus ibuku itu, masih cantik bahkan di usianya yang hampir mendekati angka enam puluh lima. Dia tengah menggunting bunga, merapikan tanaman kesayangannya itu agar enak dipandang mata."Anto, ayo masuk! Ayah ada di dalam.""Ba
POV AntoAku memutuskan pulang setelah bicara panjang lebar dengan ibu. Apa yang dikatakan ibu ada benarnya juga, memberi Marni waktu tiga bulan untuk berubah adalah solusi dari semua masalah yang ada pada dirinya.Orang yang normal, tak ingin pernikahannya berakhir dengan perceraian. Pasti setiap orang menginginkan pernikahan yang sempurna, istri yang baik dan pintar mengurus dirinya, pintar mengurus rumah dan hebat mendidik anak. Jangankan mendidik anak, Marni saja tak bisa mengurus dirinya, bagaimana aku bisa berharap dia akan hebat mengurus anak?Anak dengan Marni? Apakah dia layak melahirkan anak-anakku? Setelah semua kejelekannya terasa begitu menganggu. Aku sangsi, dia bisa menjadi ibu yang baik.Sebelum masuk ke dalam rumah, kuhela nafas untuk melapangkan hati. Marni adalah wanita yang penuh kejutan. Setiap masuk rumah, pasti dia memberikan kejutan yang berbeda-beda. Sayangnya, kejutannya tak ada yang baik.Pintu terbuka sedikit, kudorong pelan. Marni terlihat asik duduk bers
POV AntoBagaimana aku bisa mengenal Marni? Kami tak sempat berkenalan, bahkan kami hanya bertemu di prosesi akad nikah, aku mempercayakan semuanya pada Ayah saat itu. Dalam pemikiranku saat itu, Marni seperti manusia normal pada umumnya, layaknya wanita biasa. Bukankah dia kakak dari enam orang adik dan yatim piatu pula, artinya dia bisa jadi teladan bagi adik-adiknya sendiri.Masih ingat waktu itu, saat pulang dari luar kota, Ayah memanggilku secara khusus. Ibu mendampingi Ayah dengan wajah kusut, dari awal pembicaraan sampai akhir, Ibu lebih memilih menutup mulutnya. Aku tau betul, wajah ibu menunjukkan dia tengah marah."Sudah berapa umurmu, Anto?" tanya Ayah, pertanyaan yang sering kudengar dari Ibu tapi kuabaikan. Kali ini tampaknya Ayah langsung turun tangan. Artinya ini sudah sangat serius dan mendesak."Beberapa bulan lagi tiga puluh enam." Aku berkata jujur, bahkan tak lama lagi sudah empat puluh. Sudah cukup tua untuk ukuran laki-laki yang masih melajang."Rudi itu temanmu,
POV Marni"Eh, Marni, tumben keluar dari sarang," sapa seorang wanita muda yang kutak tahu namanya, teman-temannya yang lain menatap ka arahku, dengan pandangan yang sama. Pandangan mengejek. Aku hanya bisa menunduk menghindari tatapan mereka.Memang, selama tinggal di sini, aku tak pernah keluar rumah. Segala kebutuhan rumah tangga, sudah ada yang mengantar. Entah dengan alasan apa, Mas Anto sengaja memberhentikan dia yang biasa ke pasar dan membantu membelikan kebutuhan rumah tangga.Saat ini, aku kehabisan sabun cuci. Warung sebenarnya dekat, hanya dipisahkan tiga rumah dari rumah kami. Terpaksa kupergi ke sini.Entah mengapa, mereka kenal dengan namaku, sedangkan aku sama sekali tak mengenal mereka."Kirain, lagi teler karena hamil muda, makanya takut kena cahaya matahari," tambah seorang wanita muda berdaster ungu."Bukan hanya takut melihat matahari, dia juga takut melihat orang," timpal ibu-ibu berbaju blus putih."Ah, berarti sama seperti vampir. Hahahaha." Mereka tertawa. Ra
POV MarniAku menghela nafas lega saat Mas Anto kembali ke rumah. Wajahnya masih setegang tadi, dia masuk tanpa melihatku sama sekali. Pasti terjadi sesuatu yang menjengkelkan hatinya. Mas Anto persis ibunya, saat emosi tak bisa menyembunyikan raut wajahnya.Aku penasaran apa yang telah terjadi, apa tujuan Mas Anto menemui ibu-ibu itu. Tak terbayangkan, Mas Anto menghadapi beberapa wanita yang bermulut tajam.Tanpa meminta persetujuannya, aku mengekor di belakang Mas Anto, mengikuti langkah kakinya ke kamar. Kuhirup aroma wanginya yang sudah kuhafal, dalam keadaan apa pun dia selalu segar."Mas," sapaku. Aku berdiri di ambang pintu kamar, tak berani ikut masuk. Kondisi Mas Anto sedang tak baik, dia bisa saja mengomel seperti ibu mertua.Mas Anto melihatku sekilas, lalu kembali dengan cermin di depannya. Dia menyisir rambutnya yang masih terlihat rapi itu.Aku hanya bisa menduga-duga, apa yang telah terjadi pada Mas Anto."Ada apa? Kau mau menanyakan sesuatu?"Aku menimbang, mencari ka
POV Marni"Saat kau dipegang laki-laki, tendang selangkangannya!"Di tengah rasa putus asa, tiba-tiba terngiang kalimat ibu beberapa tahun yang silam, saat adikku Leni menjadi korban pelecehan teman-teman sekolahnya. Tangan pria itu telah singgah di bahuku, wajahnya mendekat dan aku semakin terdesak ke lantai angkot. Dengan nyali yang tersisa, kuangkat lututku, lalu menendang selangkangan pria itu sekeras mungkin. Pria itu melolong kesakitan, kesempatan itu kugunakan untuk melarikan diri. Aku tak menghiraukan sandal jepit yang tertinggal di dalam angkot. Tanpa alas kaki, kuberlari sekencang-kencangnya, tak ada kendaraan satu pun, jalan ini sepertinya dibuat bukan untuk dilalui angkutan umum.Beberapa menit berlari, aku sampai di jalan raya. Kupegang lutut yang rasanya sangat lemas dan gemetar. Hampir saja, jika saja akal itu tak muncul mendadak, aku yakin telah menjadi korban perkosaan. Alangkah malangnya nasibku jika itu terjadi, kupastikan aku takkan bisa lagi menatap dunia, setel
POV AntoMemberhentikan orang yang biasa melayani dan membeli kebutuhan rumah, memang sengaja kulakukan. Selain mengubah kebiasaan joroknya, aku juga mengubah Marni agar lebih mandiri dan tak bergantung pada orang lain. Entahlah! Aku merasa, Marni perkembangannya lebih lambat dari usianya, dia sudah dua puluh enam tahun, bahkan di usia segitu, wanita telah memiliki dua anak. Sifat perasa dan sering merajuk, atau suka meneteskan air mata pada hal-hal kecil, menjadi pemandangan yang setiap saat kudapati. Contohnya tadi siang, saat aku mengatakan sengaja memberhentikan orang itu, supaya Marni bisa belajar pergi ke pasar untuk belanja, dia langsung pergi dengan menampakkan wajah merajuk. Padahal aku belum selesai bicara, dia sudah pergi meninggalkan rumah. Sebuah sikap yang bagiku sangat kekanak-kanakan.Ingin kutahan langkahnya, akan tetapi, kuingin melihat sejauh mana keras kepala Marni kali ini. Orang yang keras kepala kadang ada kalanya dibiarkan agar jera sendiri.Tiga puluh menit
POV MarniBeberapa hari kemudian, aku menelpon supir Ayah mertua meminta beliau mengantarku ke rumah adik-adikku. Jaraknya tidak begitu jauh, hanya dua puluh menit jika memakai mobil.Kami tinggal di kecamatan yang sama dengan Mas Anto. Namun, wilayahku agak terpencil dari kota, setelah jalan raya, kita akan masuk ke jalan tanah dan melalui kebun sawit yang amat luas. Mobil harus tahan banting karena jalan sering licin dan berlumpur saat musim hujan. Tak jarang truk pengangkut sawit terguling atau malah tenggelam ke dalam lumpur."Tidak usah ditunggu, Pak. Nanti saya telpon lagi," kataku pada pria yang rambutnya sudah memutih itu. Dia tersenyum dan mengangguk. Namanya Pan Yamin, supir keluarga Mas Anto, mungkin umurnya sebaya dengan Ayah mertua.Sebelum pergi bekerja beberapa hari yang lalu, aku mendapatkan ilmu baru dari Mas Anto, dia mengajarkan bagaimana cara menelpon seseorang. Mas Anto beberapa kali kesal padaku, karena otakku tak kunjung menangkap apa yang diajarkannya. Maklum,