Hai, kali ini aku tampilkan POV nya Baskara ya... jadi biar kalian tahu apa yang sebenarnya ada di benak Baskara selama ini. Semoga kalian suka. Selamat bermalam minggu semuanya...
ANDINI's POVSiapa sangka akhirnya aku mendapatkan ijin untuk menemani ibu ke klinik. Seharian menungguinya dan syukurlah aku berkesempatan untuk makan malam. Hal yang sudah sangat lama aku tidak bisa lakukan bersama semenjak terjadi insiden pernikahan kontrak itu.“Makan yang banyak, Andini… badanmu kurusan…” Ibu menambahkan beberapa sendok daging dan sayuran ke piringku.Aku hanya tersenyum sambil berusaha mengunyah makanan yang telah aku makan. Mungkin ini adalah keajaiban yang terjadi di tengah-tengah peliknya ujian yang menerpaku. Bisa bertemu ibu.“Iya, Kak… makan yang banyak.” Adikku ikut-ikutan menimpali.“Iya, iya… Andini nambah sendiri nanti, Bu.” Jawabku dengan keadaan mulut yang penuh dengan makanan.“Ibu, apa sekarang masih suka pusing?” Prasetia yang tadinya diam, kini ikut nimbrung dengan pembicaraan kami.Ada perasaan kikuk saat kini aku berdekatan dengannya. Mungkin karena beberapa bulan ini aku nyaris tak pernah bertemu dengannya lagi.Atau… karena aku sudah berstatu
BASKARA's POV Andini seperti sedang melihat hantu saat aku berdiri di depan pintu ruang tamu. Buku yang sedang dibacanya jatuh ke meja. “Surprise!” Ujarku saat melihatnya sedikit ketakutan. Ekspresi Andini terlihat makin terkejut. “Ka…ka… kamu? Kenapa ke sini?” Pertanyaan yang dilontarkan Andini padaku. Seperti itukah seorang istri menyambut suaminya datang berkunjung? Ah, aku harus meralat. Bukan istri tetapi seorang wanita bayaran. “Andini, kamu benar-benar tidak berterima kasih padaku. Semua keluargamu sudah aku biayai. Uang yang aku keluarkan tidak sedikit. Ketika aku datang, kamu malah menanyaiku kenapa aku ke mari?” Kalimat itu tak bisa kutahan lagi. Lama-lama kesabaranku sudah habis. Andini perlu dididik. “Maaf, Tuan Baskara…” Jelas Andini,”saya tidak tahu Tuan Baskara akan ke sini. Apalagi di masa pengantin baru. Tuan harusnya bersama istri tercinta menikmati kebersamaan…” Aku tidak bisa menebak apakah Andini sedang memberiku ceramah pernikahan atau mengejekku. “Andi
ANDINI’S POV Badanku terkulai lemah kehabisan tenaga. Nafasku serasa hampir putus. Dinginnya suasana malam villa saat hujan, membuatku semakin tak berdaya untuk beranjak dari sisi Baskara. Entah aku sudah mulai terbiasa atau tak lagi memikirkan apa yang baru saja terjadi. Kedua tangan Baskara yang kekar masih memelukku erat-erat. Terkadang aku berfikir, mungkin, jika aku dan dia bertemu tidak dalam paksaan… akankah hal-hal yang aku lalui ini menjadi momen terindah? “Andini…” Rupanya Baskara juga belum tertidur. Aku merasa risih saat dirinya memanggilku dari jarak sedekat ini. Seintim ini. “Andini, aku tahu kamu belum tidur.” Bisiknya. Aku tak berkata apapun. Nafaspun akan aku tahan jika aku tak memerlukan oksigen untuk melanjutkan hidup. “Andini…” Baskara mulai mengelus-elus tubuhku, sehingga aku menggeliat. “Kalau kau bergerak satu milimeter saja, aku tak akan segan-segan untuk mencekikmu! Diamlah Andini, jangan bergerak!” Tak ada yang bisa aku lakukan. Terkurung di kamarnya.
BASKARA's POV Sekembalinya ke rumah, Laura sudah Bersiap menyambutku dengan lingerie warna merah. Dia tahu warn aitu adalah favoritku. Rambutnya sudah tergerai panjang. Hm, seperti sedang berhadapan dengan Princess dari Eropa. “Welcome home!” kedua tangannya merangkulku. Pak Gun yang membawakan barang-barangku berhenti di depan pintu langsung undur diri. “Hanya pelukan saja? Katanya kamu kangen semalam.” Godaku. Laura mendaratkan ciumannya bahkan ketika kami masih di depan pintu kamarku. Seorang pembantu yang terdengar lewat terburu-buru menjauh. Tanpa kusadari, Mama datang dari arah berlawanan. Beliau berdehem dan batuk yang aku tahu itu pasti dibuat-buat. “Baskara, aku tahu kau rindu pada istrimu. Tapi tolong, kalian tidak hidup berdua saja di sini. Lakukan itu semuanya atau apapun yang kamu mau di kamar. Dan… tutup pintunya!” Suara hak sepatunya terdengar makin jauh menuruni anak tangga. Masih kudengar suaranya mengeluh. “Anak muda jaman sekarang, masak hal seperti itu mu
BASKARA’s POV“Sepertinya, proyek ini akan selesai pembangunan struktur utama beserta pemasangan dinding di akhir tahun ini, Pak Baskara.”Mandor utama, Pak Ali, yang sekarang bisa lebih intens mengawasi proyek menjelaskan padaku. Grafik perkembangan pembangunannya memang melaju pesat sejak Pak Ali stay di villa.“Baik, Pak Ali. Saya harap ini bisa sesuai dengan rencana.” Ucapku sambil sekali lagi melihat gambar kerja yang dibuat beberapa perubahannya.“Siap, Pak Baskara.” Beliau undur diri dan kembali mengawasi proyek yang sudah mencapai lantai ke tiga.Cukup lelah dengan kegiatan hampir seharian di proyek, kuputuskan untuk pulang singgah ke villa. Debu dan kotoran di area proyek membuatku ingin cepat-cepat mandi membersihkan diri.Sengaja hari ini aku menyetir sendiri langsung dari rumah utama. Pak Gun sedang sibuk membantu acara kantor Papa, sedangkan sopir yang lain baru bisa available akhir pekan.Di luar kendaliku, aku sudah berada lagi di tempat ini setelah beberapa hari lalu
ANDINI's POV BRAAK! Sesaat aku masuk ke dalam villa untuk mengambil peralatan penataan bunga, aku dikejutkan dengan suara cukup keras. Kuintip lewat jendela depan, benar saja dugaanku. Bunga-bunga anggrek yang tadi kutaruh di area parkiran, rusak terlindas mobil Baskara yang mundur tadi. Pot-pot itu sudah retak, bahkan pecah. Kulihat beberapa tanamanku rusak batang hingga daunnya. “Ya Allah…” aku hanya bisa mengelus dada. Kenapa benda sebegitu besarnya tidak terlihat dari dalam mobil? Aku segera berlari ke luar dan memunguti anggrek-anggrek itu beserta potnya. Mak Ijah sudah siap dengan membawa kardus besar untuk membawanya. “Mbak, maafkan Tuan Baskara, beliau sedang banyak pikiran…” tanpa banyak bicara lagi, Mak Ijah membawanya ke taman belakang. “Saya dulu suka merawat tanaman anggrek. Punya Mbak Andini ini masih bisa terselamatkan.” Ujarnya sambil memotong-motong bagian yang terlindas namun akarnya masih selamat. “Mau diapakan itu batang atasnya, Mak?” tanyaku. Beliau mem
ANDINI’S pov Hal yang membuatku bertahan sampai sekarang di kontrak ini adalah ibuku. Tanpanya, aku sudah barang tentu membatalkan ini semua dan melanjutkan rencana kaburku. Mak Ijah, satu-satunya temanku di villa sekarang, juga ikut andil dalam usahaku untuk bertahan. Aku mungkin tidak akan betah tinggal di villa jika tidak ada dirinya. Nasehat-nasehat beliau selalu meresap di hati dan bisa mengobati kegundahanku. Sesampainya di rumah Baskara, aku sudah disambut oleh seorang lelaki berbaju batik dengan sepatu yang mengkilat. Kami duduk di area garasi rumah dan didampingi oleh beberapa lelaki lain berseragam serba hitam, Dari pembawaannya terlihat dia bukan orang sembarangan di sini. “Apa yang harus saya katakan nanti?” tanpa berlama-lama lagi, aku bertanya pada lelaki yang baru kutahu namanya Pak Darwis, juru bicara keluarga Baskara. Sepertinya orang ini juga ikut saat pernikahanku berlangsung dan bahkan saat kami masih berada di rumah sakit beberapa bulan silam. “Kamu cukup bi
BASKARA’S pov Selesai konferensi pers, Papa terlihat lebih lega dan tidak uring-uringan lagi. Sepertinya semua berjalan sesuai rencana. Wajahnya terus saja tersenyum sejak tadi. “Bas, baru kali ini kamu punya teman wanita yang pintar dan nurut… sayangnya dia bukan istri sahmu.” Papa menepuk-nepuk pundakku. Hal ini aku yakini membuat namaku semakin baik di hadapan Papa. Meski Laura masih belum bisa aku kondisikan dengan hobi shopping-nya. “Ah, Papa. Dia istri sah, Pa. Hanya saja untuk sementara…” Selorohku sambil tertawa. Pembicaraan ini untungnya hanya melibatkan kami berdua saja. “Jangan kau bilang kalau kau juga menikmati tubuhnya seperti Laura?” Papa menimpaliku yang belum berhenti tertawa. Pertanyaan Papa membuatku terkejut bak tersambar petir di senja ini. Jantungku terasa berhenti berdetak seketika. “Bas, jawab Papa! Jika sampai perempuan itu hamil, urusannya akan semakin rumit. Papa harap kamu bisa tahan nafsumu.” Nasehat Papa dimulai. Teringat akan perbuatanku pada Andi