Syamil tidak bisa berhenti tertawa, bahkan setelah ia masuk ke dalam kamar kosnya. Pemuda itu berhenti sejenak saat mengucapkan salam, setelah itu kembali terbahak.
Ya ampun, habis ketemu bini orang, Syamil jadi gak waras. Batin Didin yang memperhatikan pemuda itu tanpa berkedip."Ada apa, Sya? Pulang-pulang malah ngakak. Istighfar, Sya. Kamu kenapa?" tanya Didin saat Syamil tak kunjung berhenti tertawa saat ia sudah duduk di kasur."Sya!" Didin semakin panik dengan mengguncang tubuh Syamil yang tidak beraksi saat ia tegur."Audzubillahi minassyaitonirrojiim. Bismillahirrahmanirrahim. Cuih! Cuih!""Jiah, kenapa disembur, Om? Ih, jijay!" Syamil mengambil dua lembar tisu untuk membasuh wajahnya yang terkena air liur Didin yang muncrat. Merasa tidak puas dan sangat mengerikan dengan baunya, Syamil berlari keluar kamar untuk mencuci muka. Kali ini Didin yang tertawa terpingkal-pingkal. Ia sudah salah sangka dengan mengira Syamil kerasukan jin istri tetangga, rupanya bukan.Syamil masuk lagi ke kamar dengan wajahnya yang sudah segar dan bersih. Pemuda itu juga menyikat giginya sebelum tidur."Maaf, Sya, saya kirain kamu kerasukan, makanya saya sembur!" Didin menatap Syamil dengan perasaan tidak enak hati."Itu buka nyembur, Om, tapi meludahi. Ya Allah, sabar." Didin terbahak, lalu mengambil tangan Syamil untuk berjabat."Maaf ya, Syamil. Saya janji gak bikin lagi. Saya cuma khawatir saja. Oh, iya, memangnya agak apa yang membuat kamu tertawa bahkan sampai duduk di kasur pun tawa kamu tidak berhenti, karena setahu saya hanya orang yang gak waras atau orang yang sedang diguna-guna yang tertawa tidak bisa berhenti," terang Didin membela diri. Syamil pun maklum maksud dari calon abang iparnya, hanya saja ia masih syok dengan baunya."Mbak Hani itu tadi minta dibelikan jus tetapi gak ada tukang jus yang buka. Jadi saya bawakan aja juz tiga, ayat qursi. Mbak Hani marah karena ia mengira saya tengah mengusir setan, ha ha ha... aduh, Om, Mbak Hani itu pelawak dan lucu loh. Kenapa bisa ia dicampakkan suaminya ya?" Syamil sudah berhasil menghentikan tawanya. Pemuda itu pun sudah berbaring dan siap untuk tidur. Hanya Didin yang masih duduk di atas karpet sambil memegang ponsel.Ya, kamar kos Syamil hanya punya satu ranjang single. Cukup untuk badan tidak terlalu besar seperti Syamil, sedangkan Didin tentu saja tidak muat, sehingga pria itu tidur di atas karpet cukup tebal milik Syamil. Ia tidak masalah dan juga tidak tersinggung, karena memang sudah terbiasa tidur beralaskan tikar ataupun karpet."Oh, gitu, jadi jus nya gak dapat?" tanya Didin lagi diikuti anggukan Syamil."Om tahu gak kenapa Mbak Hani dibuang suaminya?""Nggak tahu kalau itu. Suami yang buang istri, sudah jelas tidak sayang dengan pasangannya. Makanya jangan tanya apapun pada Hani, apalagi ia sedang sensitif. Jangan tanyakan apapun tentang kehidupan Hani, jika ia tidak bercerita sendiri.""Siap, Om. Pesan Om akan saya ingat. Udah ya, Om, saya mau tidur dulu." Syamil menutup mulutnya saat menguap. Lalu pemuda itu pun memejamkan matanya.Ting!Calon IstriPesan masuk dari Laila yang tidak lain adalah kakak Syamil.Gimana Syamil, Bang? Apa semua aman?Aman, Laila. Anaknya udah tidur. Syamil anak baik dan solih, InsyaAllah bisa menjaga dirinya. Saya mungkin besok balik ke Jakarta, langsung ke rumah ya untuk ambil undangan kita. Acara kita dua minggu lagi, saya belum keliling bagiin undangan.SendDidin berbalas pesan dengan calon istri hingga larut malam. Setelah Laila lama tidak membalas pesan darinya, barulah ia pun ikut memejamkan mata.Suara sholawat yang mengalun merdu dari masjid dekat kosan, membuat Didin terbangun, begitu juga dengan Syamil. Keduanya bergantian mandi, lalu berwudhu untuk melaksanakan salat subuh di masjid. Mereka tentu saja berjalan melewati rumah Hani yang masih padam semua lampu rumahnya."Sya, kamu balikkan saat acara nikahan saya dan teteh kamu?" tanya Didin pada Syamil saat mereka menyusuri troatoar jalan menuju masjid."Iya, Om, bisa dipecat jadi adik kalau saya gak pulang. Semoga saja Mbak Hani gak minta ikut, ha ha ha.... " Didin menatap Syamil sambil tersenyum. Hatinya berkata, sejak masuk bangku kuliah, Syamil lebih sumringah dan banyak tertawa. Apakah karena memang ia gembira dengan lingkungan barunya atau ia gembira karena ada istri orang yang selalu membuatnya tertawa?"Kalau Hani minta ikut, memang mau kamu ajak?" tanya Didin serius."Nggaklah, mana saya punya ongkos buat bayarin istri orang. Lagian nanti saya digampar ummi kalau ketahuan pulang bawa perempuan hamil." Didin pun tertawa.Sebagai manusia, khususnya lelaki yang sudah malang melintang di dunia drama percintaan, ia bisa mengetahui bahwa Syamil begitu senang karena ada Hani yang lucu sekaligus mengesalkan yang menemani harinya sebagai mahasiswa baru. Hanya saja Syamil belum dapat memahami perasaannya karena pemuda itu masih sangat belia. Namun, di dalam hatinya masih berharap agar Syamil fokus belajar dulu ketimbang memikirkan masalah hati."Sya, udah pulang solat ya? Tadi do'ain aku gak? Eh, ada Om," sapa Hani yang kembali sudah memakai tank top saja dan rok panjang. Syamil dengan cepat menutup matanya, lalu melemparkan sajadah yang ia bawa pada Hani. Tidak aka sakit, karena sajadah itu amat ringan. Didin memilih menunduk, merasa malu dengan pakaian yang Hani kenakan.. Pantas saja Syamil mengeluh karena memang terlalu berlebihan seksinya."Ih, kenapa aku dilempar sajadah?" tanya Hani tidak terima."Tutupi itu lengannya, malu dilihat orang!""Oh, oke!" Hani pun melakukan seperti yang Syamil katakan. Didin masih membuang pandangan, tidak berani juga menatap gadis hamil yang pakaiannya terlalu berani."Udah, ginikan?" Hani menunjukkan sebelah lengannya yang sudah tertutup sajadah."Ya Allah, sajadahnya bukan dijadikan manset lengan, Mbak. Tapi ditutup semua itu sama pundak, kayak lagi pake pasmina. Bukan sajadah saya digulung-gulung di tangan. Astaghfirullah, ya Allah, tolong panjangkan usia hamba."Didin tertawa terpingkal-pingkal melihat Hani yang sangat polos dan juga Syamil yang ternyata sangat menderita menjadi mata-mata."Oh, jadi kamu mau pulang ke Jakarta?" tanya Hani pada Syamil yang tengah sibuk di depan laptopnya. Pemuda itu mengangguk, tanpa melepas pandangan dari layar laptop. Sore ini Hani membuat kolak pisang dan ia mengantarkan ke kamar kos Syamil. Pintu kamar terbuka dan Hani duduk di depan sambil menemani Syamil mengerjakan tugas. "Lama gak?" tanya Hani lagi. "Nggak, saya kan kuliah, Mbak. Paling hari senin pagi saya pulang. Besok dari kampus saya langsung ke terminal, gak balik ke kosan lagi," jawab Syamil sambil tersenyum. "Wah, berarti aku gak bisa lihat kamu pergi dong! Apa mau aku antar?" Syamil tidak langsung menjawab, melainkan tawa yang menggelegar membuat teman kos yang kebetulan lewat di depan kamarnya ikut menoleh. "Makasih, Mbak, Hani, tapi saya udah besar, bukan anak TK lagi, jadi gak usah diantar. Lagian Mbak Hani lagi hamil, gak boleh pergi jauh-jauh." Hani diam sejenak, kemudian wajahnya berubah cemberut. "Tapi aku mau antar," kata Hani sedih. Syamil menggelengkan kep
Syamil tiba di Jakarta sebelum azan magrib. Pemuda itu sempat melaksanakan salat berjamaah di masjid besar yang ada di lingkungan pesantren milik orang tuanya. Tentu saja abahnya yang mengimami. Saudara dari kampung juga nampak di masjid, melaksanakan salat bersama. "Bah," sapa Syamil pada abahnya setelah pria dewasa itu selesai memimpin zikir dan doa. Syamil mencium punggung tangan Abah Haji Sulaiman dengan penuh takjub. "Kamu sendirian?" tanya Abah Haji pada putranya. "Nggak, Bah, rame gini gimana dibilang sendiri? Ini saya sama Abah." Syamil mendadak bingung, sembari menunjuk jamaah yang lain, sedangkan Abah Haji malah tertawa. Sejak kapan anaknya bisa kocak seperti sekarang? "Maksudnya kamu dari Bandung sendirian?" tanya Abah Haji lagi saat mereka berdua hendak keluar masjid. "Ya kalau sendirian, sopirnya gak mau bawa Syamil, Bah. Pasti ada penumpang lain di bus. Jadi saya rame-rame dari Bandung." Jawaban Syamil membuat Abah Haji tidak kuasa untuk tidak terbahak. Bahkan pria
"Wajah adik Teteh ceria sekali. Sepertinya jauh dari ummi, tapi dekat sama ibu-ibu jadi segar ya?" goda Laila yang sudah mendengar kabar dari Didin. Syamil mendatanginya saat wanita itu sedang dipakaikan hyna di punggung tangannya. "Ibu-ibu siapa?" tanya Syamil belum menyadari arah pembicaraan Laila."Tetangga sebelah yang seksi itu.""Oh, Mbak Hani, dah itu mah bukan ibu-ibu normal, tapi up normal. Teteh mah kalau ketemu dia, pasti bisa masuk rumah sakit jiwa. Untung saja Syamil anak baik dan tahan baday, kalau tidak, Syamil bisa ke IGD mulu setiap hari. Kadang capek, Teh, istighfar mulu kalau lihat Mbak Hani, ya ampun, gitu deh. Udah ah, jangan gibahin dia, nanti dia malah batuk-batuk di sana." Laila tertawa. Sekarang ia yakin betul, adiknya hanya sekedar teman saja dengan gadis muda bernama Hani yah tengah hamil enam bulan itu. Aura wajahnya sama sekali tidak memperlihatkan rona merah orang sedang jatuh cinta, tetapi raut wajah orang kesal. "Tapi kamu jangan galak-galak juga sam
Saya terima nikah dan kawinnya Laila binti Sulaiman dengan mas kawin logam mulia seberat dua puluh lima gram dibayar tunai. "Bagaimana saksi? Sah?""Sah." Semua orang yang hadir di dalam masjid besar pesantren turut mengucap syukur dengan wajah bahagia. Apalagi kedua orang tua Laila yang sampai meneteskan air mata haru karena akhirnya penantian jodoh putri mereka sampai juga pada seorang Didin. Laila diantar oleh Syamil menuju kursi akad yang sudah disiapkan. Wajah Laila pun semringah, meskipun matanya tetap berkaca-kaca. Ini pernikahannya yang kedua kali bersama orang yang sama. Jika awal menikah karena terpaksa, maka yang kedua ini ia sangat ikhlas menerima Didin yang berusia empat puluh enam tahun sebagai suaminya. "MasyaAllah, ini toh istrinya? Wah, selamat Pak Didin mendapatkan istri cantik yang masih muda. Awas encok ya. Ingat umur." Ledekan pembawa acara mengundang gelak-tawa keluarga dan tamu undangan yang ada di sana. Didin tersenyum begitu manisnya saat Laila pun kini m
Syamil memperhatikan ponselnya, tepatnya mengecek satu per satu kontak di WA dalam pembaruan status. Ia tidak menemukan status Hani hari ini. Padahal biasanya potong kuku saja dijadikan status. Jemur cucian bikin status. Ngobati cantengan di jempol kakinya juga dibikin status. Namun, hari ini wanita hamil itu tidak ada status. Tumben! Pikir Syamil. Di luar suasana masih ramai, meskipun sudah jam sebelas malam. Kakak iparnya masih ditahan oleh keluarga besarnya untuk tidak buru-buru masuk ke kamar. Sungguh kasihan sekali. Sudah tua, sudah larut, tapi gak boleh buru-buru masuk kamar. Nanti kalau aku jadi pengantin, habis nikah aku mau nginep di hotel. Biar gak ada yang ganggu. Batin Syamil, sembari melongokan kepalanya dari balik pintu. "Kaya kagak pernah muda aja itu kakek-kakek di ruang keluarga," batin Syamil kesal. Bukannya ia cemburu, tetapi ia tidak bisa tidur karena suara tawa para pria di luar sana mengganggunya. Mau berbalas pesan dengan Hanum, gadis itu sudah tidur. Mau ber
"Hati-hati di jalan ya, Nak. Udah, kamu gak usah khawatir sama teteh kamu. Itu ada Ibnu udah nunggu mau anter ke terminal. Udah, jalan sana! Ongkosnya udah dilebihin Bang Didin semalam kan?" Syamil mengangguk kaku. "T-tapi, Bah, itu di dalam sedang terjadi...."Abah Haji menutup mulut putranya sembari menariknya sedikit lebih cepat untuk segera masuk ke dalam mobil Toyota Ava-anaja yang siap dikemudikan oleh Ibnu. "Dah, jalan, Nu! Hati-hati kalian!" Syamil tertegun bingung. Kenapa dengan anggota keluarganya yang seolah-olah mendukung KDRT di dalam kamar? Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang keluar dari area pesantren. "Mas Ibnu tahu gak?""Nggak," sahut Ibnu cepat. Syamil mencebik, baru mau cerita tetapi mood-nya sudah dibuat jatoh oleh Ibnu. Biarlah ia nanti bercerita pada Hani saja begitu ia sampai di kosan. Hani pasti mempunyai pendapat sendiri tentang KDRT yang terjadi di dalam kamar kakaknya sebagai pengantin baru. "Mas Ibnu, nanti kalau ada toko kue, mampir sebentar ya.
"Halo, assalamu'alaikum, Syamil. Hari ini kamu gak ke kampus, kenapa?""Halo, wa'alaykumussalam, Hanum. Iya, nih, saya ijin hari ini lagi sakit. Tadi udah WA ke Mustofa ketua kelas.""Oh, gitu, perlu bantuan gak?" "Nggak, Num, udah enakan cuma masih mual sedikit. Makasih atas tawarannya.""Ya sudah, nanti aku mampir ke kosan kamu sama teman-teman yang lain, siapa tahu kamu butuh bantuan. Cepet sembuh ya, Sya. Assalamu'alaikum.""Makasih, Hanum, wa'alaykumussalam." Syamil menaruh kembali ponselnya di lantai. Selimut yang sempat melorot ia tarik kembali untuk meredakan rasa dingin di tubuhnya. Pemuda itu memejamkan matanya hendak melanjutkan tidur. Gara-gara tanpa sengaja mencium pipi Hani, Syamil menjadi syok dan kepikiran. Bibirku tidak perawan dan aku sudah melakukan zina bibir. Hal itu terus yang berputar di kepalanya hingga saat subuh tadi ia demam. Tok! Tok! "Assalamu'alaikum, Syamil, ini Hani. Boleh masuk gak?""Wa'alaykumussalam, ja.... "CklekPercuma juga bilang jangan dan
Kabar meninggalnya Syamil membuat gempar pesantren. Abah Haji, Bu Umi, Laila semua menangis histeris karena terkejut dengan kabar itu. Apalagi pihak kampus yang memberitahu, pastilah bukan isapan jempol belaka. Didin berusaha menenangkan Laila, tetapi tidak bisa. Istrinya itu terus saja menangis dengan keras. "Halo, Yudi, kamu hari ini bawa bus ke mana? Ke Bandung?""Iya, Bos, hari ini ke Bandung, ini sudah di jalan dan sudah sampai Bandung, tapi belum masuk ke terminal. Kenapa, Bos?""Nah, kebetulan, lu tolong ke kosan yang nanti gue share alamatnya dan pastikan bahwa adik ipar gue di sana bagaimana keadaannya. Menurut kabar, adik ipar gue meninggal, tapi belum pasti karena apa. Segera kabari kalau lu udah sampai sana ya. Cepat ya Yud!""Innalillahi, oh, baik, Bos, begitu turun, saya langsung ke alamat yang Bos kirim.""Makasih, Yud." Didin meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Laila masih membenamkan wajahnya di bantal karena sedih. Tok! Tok! "Din, buka dulu!" Suara ayah