Sekali lagi Lena dibuat takjub karena rumah ini lebih pantas disebut istana khayalan. Dengan pilar-pilar penopang yang besar dan megah, serta ukiran unik di dinding pintu masuknya, menambah kesan bahwa pemiliknya adalah pecinta seni.
Tiga orang pelayan dengan seragam navy menyambut mereka di depan pintu. Lena keluar dan melangkah dengan anggun memasuki ruang tamu yang begitu mewah.
Seperti yang Davin katakan, ia harus memasang wajah angkuh serta meremehkan. Beberapa pelayan meliriknya sekilas, lalu menunduk tidak berani menatap.
Tuan Seno menyuruh Lena duduk di sebuah sofa empuk berwarna soft dengan isyarat mata. Tidak lama kemudian, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam rumah dengan anggun.
Wanita itu masih cantik di usianya yang mungkin sudah menginjak hampir enam puluh tahun.
Ia tersenyum ramah pada Seno dan melirik Lena dengan sinis."Maafkan keterlambatan saya membawa Avena pulang, Nyonya. Anak tidak tahu diri ini ternyata telah berlibur ke Perancis tanpa mengabari siapa pun. Ayo Vena, minta maaf pada Mami mertuamu," perintah Tuan Seno melirik gadis itu.
Gadis itu berusaha menekan kegugupannya dengan tersenyum sinis kepada sang Nyonya rumah. "Aku pulang, Mami."
"Baguslah kalau kamu tahu jalan pulang. Paling tidak Papimu tidak stres memikirkan saat kamu minggat," ketus wanita itu.
"Oh, ya," jawab Lena dengan datar.
Keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ucapannya pada Nyonya rumah itu berbeda sekali dengan hatinya. Tapi, ia terpaksa menjalankan skenario dan semua ucapan serta tindakannya telah diajarkan oleh Davin.
Vena tidak pernah cocok dengan keluarga suaminya. Ia terpaksa menikah dengan Kaindra karena permintaan Tuan Mahendra, Ayah Kaindra.
"Kalau begitu, aku akan masuk ke dalam kamar," ujar Lena sama persis seperti yang diajarkan Davin. Bahkan pemuda itu juga menggambar denah rumah dan menunjukkan semua fungsi ruang di rumah mewah itu.
Lena meninggalkan Seno dan Ibu mertuanya yang meliriknya dengan berdecih sinis.
Setelah ruang tamu, harus melewati ruang keluarga, kemudian ada tangga, naik ke atas dan ambil sisi koridor yang kanan, masuk kamar yang paling ujung. Itu pesan berulang dari Davin.
Kaki Lena melangkah dengan gemetar. Saat ia hampir sampai di ujung koridor, sebuah kamar terbuka dan keluar seorang gadis cantik mengenakan tank top dan celana hotpants.
"Sudah pulang rupanya Kakak ipar tercinta," sindirnya sambil bersandar pada dinding.
'Ini pasti Electra, adik ipar Vena.' Batin Lena sambil menatapnya angkuh.
"Rindukah kamu padaku?"
Gadis itu tertawa sumbang.
"Sangat merindukanmu, Kakak. Hingga setiap hari aku menangis tersedu-sedu," sarkas Electra dengan wajah mengejek.
"Baguslah. Ternyata keluarga ini sangat merindukanku, hingga aku juga tidak betah pergi terlalu lama. Dan kini ... aku kembali, adik iparku tersayang." Lena mendekati Electra dan berbisik lirih di telinganya, "musuh besarmu telah kembali."
Electra menegang, ia menatap marah pada Kakak iparnya. Sedangkan Lena tertawa puas dan masuk ke dalam kamar meninggalkan Electra yang kesal.
Ia bersandar pada pintu setelah menutupnya rapat. Ia luruh di lantai dan menangis dengan menutup mulutnya.
Sungguh ... seumur hidup belum pernah ia bersikap seperti ini pada orang. Semua kalimat yang keluar dari bibirnya sangat bertentangan dengan hatinya dan semua sudah diajarkan oleh Davin, seolah pemuda itu sudah tahu siapa saja yang akan dihadapi oleh Lena saat masuk ke dalam istana Tuan Dhanu Mahendra.Ia menyeka bulir-bulir hangat yang membasahi pipinya. Pandangannya mengedar ke seluruh ruangan. Sekali lagi pemandangan mewah dan berkelas yang terpampang di hadapannya. Sebuah ruang kamar yang luas dengan ranjang berukuran king, terletak di tengah ruangan.
Lenna beringsut dari duduknya, berjalan mengitari seluruh ruang kamar. Ada beberapa foto Kaindra yang membuatnya terpesona. Laki-laki dewasa yang matang dan juga sangat tampan. Tatapan tajam matanya yang dingin, serta rahang yang kuat, bibir tipis, beberapa bulu rambut halus bercambang tipis semakin membuat wajahnya tampak eksotik.Dari sekian foto Kaindra yang tertempel di dinding, Lena tidak menemukan satu pun foto dari kembarannya. Ia mengerutkan kening. Bahkan foto pernikahan yang seharusnya menjadi ikon utama di dinding ruang, tidak ada sama sekali.Setelah puas mengamati foto Kakak iparnya, ia menuju balkon dan membuka pintu geser kaca. Seketika angin panas menerpa wajahnya. Sungguh udara panas kota metropolitan, berbanding terbalik dengan udara sejuk di kotanya.
Lena termenung, sebuah kerinduan menyeruak tanpa aba-aba memenuhi hatinya. Ia ingin pulang. Ia rindu. Namun, tak berdaya.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Seorang pelayan muda masuk dengan membawa sebuah nampan.
"Ini makan siang Anda, Nyonya.""Tapi aku tidak minta makan siang," jawab Lena heran.
"Bukankah setiap siang, Anda selalu meminta ini? Saya hanya menjalankan perintah Anda sebelumnya."
Lena tertegun. Sesaat ia lupa dengan sandiwaranya sendiri.
"Ya sudah, kamu boleh pergi."Tanpa disuruh dua kali, si pelayan keluar dari kamar. Terlihat sekali wajahnya yang masam, tidak suka pada Lena.
Gadis itu menghela napas panjang. Bahkan para pelayan saja membencimu, Ven ….Lenna mengamati makan siang saudaranya. Hanya segelas orange jus dan sepotong roti. Ia memakan roti itu dan meringis saat merasakan rasa hambar. Lalu diminumnya orange jus di depannya dan ia meringis lagi karena tidak ada rasa manis gula dalam jus itu.
"Kamu diet ketat rupanya," gumam Lenna sambil menggelengkan kepala.
Ia mengitari lagi ruang kamar Kaindra, kemudian membuka almari baju. Di sisi kiri terdapat baju-baju Vena, sedang di sisi kanan baju milik suaminya. Semua tertata rapi dan harum. Tidak ada lagi yang istemewa lagi di kamar itu kecuali hanya kemewahan. Almari penyimpanan semua sepatu milik Vena juga masih tertata rapi dan apik.Ia mulai bosan berada di kamar ini. Ingin sekali keluar dan berjalan-jalan, tapi ia takut membuat kesalahan. Satu-satunya jalan untuk mengusir bosan adalah berdiri di balkon dan menatap taman yang menjadi satu dengan kebun di bawahnya. Aneka bunga menghiasai taman itu. Ada sebuah kolam renang yang cukup besar di sisi jalan setapak sebelum masuk ke dalam taman. Semua tampak asri dan indah. Pemandangan ini persis seperti drama televisi yang sering ia tonton.
Lena mengulum senyum, karena tidak pernah menyangka bisa berada di atas balkon rumah mewah dan menikmati pemandangan indah di bawahnya.
Tanpa Lena tahu, ada sepasang mata sedang mengawasinya dari balkon sebuah kamar yang tidak jauh dari kamar Kaindra.Matanya menyorot tajam pada Lena dari ujung kaki hingga ujung kepala. Seringai muncul dari bibir tipisnya saat melihat Lena yang sedang tersenyum. Ia mengetuk-ngetuk jemari tangannya pada sebuah pembatas balkon, dengan masih menatap tajam pada gadis itu.
Sore kelabu dengan awan berarak hitam menggumpal pekat. Angin bertiup agak kencang, petir menyambar terdengar dari kejauhan.Lena terpekur di atas sofa kamar memandang rintik hujan yang mulai turun di luar sana. Kamar yang mewah ini baginya bagai sebuah ruangan kosong tanpa ruh. Semuanya hampa.Apa yang akan dilakukannya saat suami Kakaknya nanti datang? Bagaimana jika laki-laki yang dipanggil 'Kai' itu meminta kewajibannya sebagai seorang istri?Arghhh ... rasanya kepala Lena ingin pecah. Seumur hidupnya ia belum pernah berpacaran. Lalu sekarang ia harus dihadapkan pada kenyataan berpura-pura harus menjadi Avena. Dan bodohnya lagi, ia mau dan tidak bisa menolak.Tapi, ia tidak punya pilihan, karena nasib keluarganya ada di tangan Om Seno. Berkali laki-laki paruh baya berkepala setengah botak itu mengancam akan membuat keluarganya menderita jika tidak mau menuruti keinginannya.Gadis itu mengusap air matanya saat ada yang meng
"Putraku tersayang sudah pulang? Kemarilah cepat, duduk dan makan," ujar Nyonya Merry dengan riang."Aku sudah makan tadi di kantor, Mi," jawab lelaki itu dengan duduk disamping Lena.Jantung gadis itu berdegup kencang, tangannya gemetar dan berkeringat. Ia tidak berani menoleh pada lelaki disampingnya."Kamu sudah pulang," tanya lelaki itu datar dengan menatap tajam ke arah Lena, saat gadis itu menoleh padanya.Lena tertegun saat menyadari betapa tampan Kakak iparnya ini. Namun, mendadak Lena merasa ketakutan dengan tatapannya yang tajam dan dingin, seakan menelanjangi seluruh tubuh Lena."I-iya," jawabnya gugup.Kaindra tertawa garing kemudian beralih pada Ayahnya. Mereka membicarakan bisnis tanpa sedikitpun Kaindra peduli pada Lena yang duduk dengan gemetar dan gugup disampingnya.Makan malam itu sangat lama dan membosankan menurut Lena. Karena ia hanya diam mendengarkan, tidak tahu apa yang mereka semua b
"Ti-tidak." Lena tergagap dan mencoba membalas tatapannya. Namun, hatinya mencelos dan bergetar melihat manik mata Kai yang dingin dan dalam. Ia menundukkan kepala, lalu bersiap pergi untuk menghindar dari tatapan menusuk Kai.Namun, tiba-tiba Kai menarik lengan Lena kemudian mencengkeram rahang gadis itu dengan kuat.Lena tersentak dan merintih karena merasa terkejut juga sakit."Le-lepaskan. Sakit ....""Siapa kamu?!" Suara Kai yang tajam mendesis membuat bulu kuduk Alena meremang.Gadis itu ketakutan setengah mati, tapi ia tetap berusaha untuk tenang. "Aku istrimu, siapa lagi?" jawabnya dengan suara serak, seakan menantang.Kaindra tertawa sinis. Ia melepaskan cengkramannya kemudian membopong tubuh Lena dan melemparnya di ranjang dengan kasar. Lena terhempas. Ia menelan ludah saat melihat seringai mengerikan dari bibir tipis laki-laki itu."Siapa kamu!" Suara Kai bagaikan seorang algojo yan
Malam semakin pekat, hawa dingin mulai terasa menusuk. Hujan sudah mulai reda meski rintiknya masih bernyanyi sahdu di atas muka bumi.Alena masih meringkuk di pembaringan meski sedu sedannya telah berhenti dan akhirnya ketiduran karena lelah menangis.Kaindra memasuki kamar dan melihat gadis itu meringkuk masih dengan posisi saat ia tinggalkan tadi. Lelaki itu mendekatinya, menyibak sedikit rambut yang menutupi wajahnya.Keningnya berkerut karena wajah gadis yang tertidur ini sangat mirip dengan Vena, bahkan tanpa cela. Apa yang membuatnya mau berpura-pura menjadi istrinya, itu yang harus diketahui oleh Kai. Dan di mana Vena sesungguhnya berada, ia belum menemukan titik terang, meski sebenarnya ia tak peduli.'Apakah Vena sebenarnya memiliki kembaran? Tapi, dimana selama ini gadis itu berada? Jika benar, dia adalah kembaran Vena, kenapa Seno menyembunyikan nya selama ini?' lirih batin Kai sangat penasaran.Kai mengambil
Elmer tertawa datar, "dan kamu juga tahu, di rumah ini tidak akan pernah ada yang namanya mie instan, karena Mami melarangnya," sahutnya lagi dengan dingin.Lena tertegun lagi dan salah tingkah. Ternyata Davin tidak mengatakan tentang dilarangnya mie instan di rumah ini. Jika ia bersikap seperti ini, maka Elmer bisa curiga padanya. Mungkin lebih baik jika ia kembali ke kamar dan melupakan rasa laparnya."Tapi itu tidak berlaku untukku. Karena di kamarku banyak tersedia mie instan. Kamu bebas memakannya. Itupun ... jika kamu bersedia." Elmer menatap dalam manik mata Lena. Gadis itu gugup dan hanya terdiam tidak tahu harus menjawab apa."Well … terserah kalau kamu mau kelaparan juga kedinginan dengan tetap berdiri di sini." Kemudian Elmer beranjak pergi dari dapur. Sedangkan Lena merasa gamang harus mengikuti lelaki itu, atau kembali ke kamar dengan Kai yang tidur meringkuk di atas sofa.Seperti tidak ada pilihan lagi, akhirnya Lena men
Kaindra menggeliat dan menyipitkan mata saat sinar mentari masuk melalui celah tirai yang sedikit tersingkap. Ia mengusap mata dan berdecih lirih. Pandangannya beralih pada selimut yang menyelimuti tubuhnya. Ia merasa tadi malam sama sekali tidak membawa selimut. Kemudian ia beringsut duduk dan memandang ranjang yang sudah kosong dan rapi. Kemana gadis itu?Kai berdiri dan beranjak masuk untuk membersihkan diri ke kamar mandi. Saat keluar dan mengenakan jas-nya, gadis yang menyerupai istrinya itu tetap tak terlihat.Setelah rapi dan sempurna, ia turun ke bawah menuju meja makan. Di bawah hanya ada Elmer adiknya yang sedang menikmati roti panggang dan segelas orange jus.Kai duduk di depannya dan meminum segelas susu hangat. Mereka saling tak acuh dan tak peduli. Seperti ada jarak di antara mereka. Hingga lelaki itu menyelesaikan sarapannya, tidak juga ia melihat gadis itu."Reta, dimana Vena?" tanya Kai pada kepala pelayann
Laki-laki kekar dengan wajah garang itu mengangguk patuh."Baik, Tuan. Tapi Tuan muda Elmer selama ini masih baik-baik saja. Belum ada tanda-tanda darinya untuk melakukannya lagi.""Tapi kamu harus tetap waspada. Bisa sewaktu-waktu Elmer kambuh dan membahayakan orang lain. Anak itu …." Tuan Dhanu terdiam. Terlihat sekali wajah tuanya yang menampakkan kesedihan saat memikirkan putra bungsunya."Tuan tidak usah banyak berpikir. Saya yang akan membereskan semuanya, dengan tetap melindungi Tuan muda Elmer seperti biasanya." Jimmy mencoba menenangkan Tuannya."Semua salahku. Seandainya saat itu, aku tidak membawa Elmer kecil, mungkin ….""Semua sudah terjadi, Tuan. Dan Anda tidak bisa membalikkan keadaan. Yang perlu kita perhatikan saat ini adalah membuat Tuan Elmer tetap menjadi dirinya yang sekarang."Tuan Dhanu tersenyum hangat pada Jimmy. "Itu yang aku suka darimu. Pikiranmu terkadang melebihiku yang suda
Elmer menyeringai. "Aku suka gadis gigih seperti kamu. Tidak murahan seperti Kakakmu," ucapnya parau dengan terus mendekatinya dan menempatkan tubuh sispax nya tepat di atas Lena yang ketakutan."Aku mohon, Elmer ... jangan ganggu aku," lirih Lena dengan deraian air mata.Lelaki itu tertawa terbahak-bahak. "Tidak akan ada yang tahu, jika kita melakukan sesuatu, Kakak ipar palsuku. Tapi ... oke, jika itu permintaanmu. Kali ini, aku akan pergi. Tapi aku tidak akan berjanji untuk lain kali." Suaranya mendesis membuat bulu kuduk Lena kembali meremang.Elmer akan beranjak pergi, saat dia menoleh kembali pada gadis itu. "Vena tidak pernah menyukai bunga. Apa yang kamu lakukan di taman tadi adalah suatu kebodohan," desisnya lagi dengan wajah datar dan dingin, kemudian meninggalkan Lena yang duduk terpekur di atas ranjang dengan selimut tebal menutupi tubuhnya.Ia bernapas lega setelah Elmer keluar dari kamar itu. Diusapnya kasar air mata yang melel