*Happy Reading*
Kak Sean
IyaHanya itu balasan yang kudapat, dari chat panjang lebarku waktu itu.
Setelah itu, aku pun benar-benar pergi ke Ausy. Untuk melanjutkan pendidikanku, lalu sejak itu hilang kontak dengannya.
Terhitung sudah hampir satu tahun sejak aku kembali ke sini. Monash universty. Tempatku menimba ilmu sekarang. Kami tak pernah bertukar kabar sama sekali.
Kami benar-benar hilang kontak.
Namun hanya dengan saja, sementara dengan Mama Sulis, aku masih sering bertukar kabar. Juga Kak Audy, yang kadang masih ingat memberi kabar tentang suami kami, dan kehidupan bahagianya di sana.
Ya! Dia masih dengan baik hatinya, memberi dan membagi kabar itu padaku. Termasuk kabar kehamilannya beberapa bulan lalu, yang sayangnya harus di kuret karena janinnya tidak berkembang.
Kasihan sekali. Padahal, katanya Kak Sean sudah sangat ingin punya anak. Tapi, terpaksa harus menunggu lagi, karena kak Audy disarankan untuk tidak hamil dulu dalam beberapa bulan ke depan.
Lalu, apa aku harus menawarkan diri?
Jangan gila!
Kak Sean pasti akan menolak ide itu mentah-mentah. Karena, jangankan membuatku hamil, melihat wajahku pun Kak Sean pasti tidak sudi.
Miris, ya? Ternyata aku benar-benar cuma istri di status saja baginya. Karena untuk keberadaanku pun, Kak Sean tak perduli.
Terbukti dari tidak adanya telpon ataupun chat selama ini padaku. Setelah jawaban chat singkatnya waktu itu.
Benar-benar tak ada satu pun. Sekalipun hanya miscall atau spam semata. Tidak ada!
Aku benar-benar dilupakan suamiku sendiri.
Apakah aku harus menangis? Atau harus mengeluh minta hakku padanya? Tentu tidak, kan? Karena dari awalpun aku tahu. Peranku di sini hanya sebagai figuran saja.
Menuntut hakku padanya, hanya akan makin menyakitiku, jika sampai Kak Sean memperjelas statusku sebagai istri tak diinginkan, dalam Rumah Tangga ini.
Karena itulah, alih-alih mengeluh. Aku lebih suka menenggelamkan diri pada pelajaranku, agar aku bisa cepat lulus dan mengambil alih perusahaan.
Maksudku, agar aku bisa kembali membantunya menjalankan perusahaan papi, yang masih sebagian besar dia pegang dan kendalikannya. Sementara aku, hanya dipercaya belajar mengurus cabang yang ada di sini saja.
Namun, tidak apa-apa. Aku percaya sama Kak Sean, kok. Karena papi juga percaya padanya, untuk menjadi suamiku. Dan aku selalu yakin, apapun pilihan papi, itu pasti yang terbaik untukku.
"Rara baik-baik aja, Mah. Ini lagi persiapan UAS. Doain lancar ya, Mah." Aku merebahkan diriku di sofa, seraya bertelpon ria dengan Mama Sulis.
"Iya, Nak. Mama selalu doain kamu. Jangan lupa makan dan jaga kesehatan, ya? Di sana lagi musim dingin, kan? Jangan lupa pake jaket yang tebel kalau ke kampus," titah Mama Sulis, yang selalu sukses membuatku terharu.
Karena dia itu benar-benar seperti Mamaku sejak dulu. Selalu penuh perhatian dan kasih sayang. Aku selalu merasa beruntung memilikinya.
"Aduh, sayang! Jangan di sini, ada Mama tuh. Malu!"
Sedang enak ngobrol dengan Mama Sulis. Aku dikejutkan dengan suara Kak Audy, yang tiba-tiba muncul begitu saja.
"Sore, Mah. Lagi nelpon siapa?" tanya Kak Audy riang. Semakin mendekat ke arah Mama Sulis sepertinya.
"Mah, Rara--"
"Sama madu kamu yang terlupakan!"
Degh!
Ucapanku pun sontak menggantung di udara begitu saja, saat mendengar jawaban ketus Mama Sulis terhadap Kak Audy.
Kok, Mama galak banget? Ada apa? Apa yang sudah aku lewatkan?
"Eh, maksudnya ... itu Rara, Mah?" Suara kak Audy terdengar lagi.
"Memang selain Rara, kamu punya madu siapa lagi?"
Tanpa sadar aku menggigit bibirku, mendengar percakapan di ujung telpon sana.
Kenapa suasananya jadi panas gini?
"Ya, bukannya gitu, Mah. Tapi ...."
Hening kemudian tiba-tiba menyapa, entah apa yang terjadi di sana? Yang jelas, setelah bentakan Mama Sulis tadi dan pembelaan yang menggantung Kak Audy tadi, Aku tak mendengar suara apapun lagi dari seberang.
Kukira, panggilan itu terputus, atau sinyal yang mendadak buru. Aku sampai harus mengecek ponselku untuk melihat, apa telpon ini masih tersambung, atau tidak.
Tetapi, Ternyata masih tersambung, kok. Lalu kenapa tak ada suara sedikit pun di sana? Apa yang sedang mereka lakukan?
"Maaf, Mah. Kami gak bermaksud melupakan keberadaan Rara." Akhirnya suara kak Audy kembali terdengar.
"Kami ... sebenarnya selalu inget 'kok sama Rara. Itulah kenapa, Audy selalu kasih kabar tentang kami di sini, karena Audy mau. Rara juga merasa kalau kami selalu mengingatnya. Hanya saja--"
"Sejak kapan kamu jadi kepala keluarga di rumah tangga ini Audy?"
Eh?
"Apa suami kamu sudah kehilangan suaranya, sampai bicara saja harus di wakilkan istrinya?" tukas Mama sulis sengit. Membuat aku refleks memijat kepalaku yang mendadak pusing.
Aduh! Kenapa Mama Sulis harus mengomeli mereka, sih? Kalau Kak Sean makin benci sama aku, gimana?
"Sean?" Panggil Mama Sulis dengan gemas.
"Mah, Kak Sean juga bukannya ngeluapain Rara. Tapi, kak Sean sibuk, Mah. Jadi--"
"Sampai kapan kamu lari dari tanggung jawab kamu, Sean!" sentak Mama Sulis lagi. Membuat pembelaan Kak Audy lagi-lagi terpotong.
"Mama tau kamu belum bisa menerima pernikahan ini. Tapi ini sudah setahun Sean! Semuanya sudah terjadi. Mau gak mau, suka gak suka, kamu harus belajar adil terhadap istri-istri kamu. Bukan cuma perkara harta saja, tapi juga cinta dan hak. Bukan cuma satu orang saja yang kamu urusi kebahagiaannya. Sementara yang lainnya kamu lupakan gitu aja!"
Entah sejak kapan. Aku sudah mencengkram bantal di pangkuanku. Karena ikut tegang dengan sentakan Mama Sulis di sebrang sana.
"Dari awal Sean udah bilang gak sanggup poligami, Mah." Suara Kak Sean akhirnya terdengar, setelah keheningan sempat menyapa mereka beberapa saat lalu.
"Kalau begitu kenapa kamu gak berani hanya memilih Audy saja, dan meninggalkan perusahaan Rara waktu itu?"
Degh!
Tunggu!
Itu maksudnya apa?
*Happy reading*"Kalau begitu kenapa kamu gak berani hanya memilih Audy saja, dan meninggalkan perusahaan Rara?"Degh!Tunggu!Itu maksudnya apa?Hening pun kembali menyapa. Membuat aku kembali menunggu dengan harap cemas, akan jawaban Kak sean setelah ini.Namun, sampai waktu berlalu pun, Kak Sean ternyata tak memberikan jawaban juga. Hingga Mama Sulis pun kembali mendesaknya."Jawab Mama, Sean!""Karena Sean gak mau membuat Audy menderita sebagai istri Sean, Ma! Jadi Sean gak boleh kehilangan pekerjaan saat itu. Sean harus bertanggung jawab akan hidup dan kebahagiaan Audy saat itu."Lalu, bagaimana dengan aku?!Ingin sekali aku berteriak seperti itu. Namun, rasanya suaraku tercekat dalam tenggorokan, dan tak bisa keluar tanpa membuatku sesak.Tuhan, ternyata pernikahan ini benar-benar ti
*Happy reading*"Tolong ambilkan minum, saya haus!" ujar Kak Sean saat sudah masuk, sebelum menghempaskan diri di sofa yang ada di Apartemen-ku, lalu memijat keningnya beberapa kali.Sepertinya, dia memang lelah sekali. Karenanya, ku iya kan saja permintaannya. Tanpa banyak komentar.Aku segera berjalan menuju dapur, dan mengambilkan apa yang dia mau. Letak dapur memang tidak jauh dari ruang tamu, di mana Kak Sean tengah duduk. Hingga membuat aku tak butuh waktu lama untuk kembali menghampirinya lagi."Ini, Kak." Aku menyodorkan air dalam gelas bening.Kak Sean terlihat melirik sekilas. Ia lalu mengambil gelas itu."Makasih." Pria itupun lalu menenggak minumannya dengan rakus.Melihat Kak Sean yang tiba-tiba datang begini. Jelas membuatku heran bercampur penasaran juga.Untuk apa Kak Sean kemari? Ada masalah apa?Entahlah, aku tak merasa senang sedikitpun, mendapati kehadirannya di sini. Karena aku tahu
*Happy reading*"Kenapa melihat saya seperti itu? Mau ngerengek? Atau mau ngadu lagi sama Mama? Ngadu aja, saya udah gak perduli. Karena apapun yang kamu lalukan, tidak akan pernah membuat saya simpatik sama kamu. Camkan itu!"Butuh beberapa detik, untukku bisa menguasai diri dan rasa sakit akan ucapan Kak Sean tersebut.Namun setelahnya, aku pun mencoba tersenyum, dan mengangguk mengerti pada pernyataan itu."Ya, Kak. Rara tau. Dan Rara juga gak akan berharap lebih pada kakak, ataupun pernikahan ini. Karena Rara sadar posisi Rara di mana." Aku pun mencoba menjawab sebijak yang aku bisa."Bagus kalau kamu memang sadar diri," ucap Kak Sean setelahnya."Kalau begitu, sekarang tunjukan kamarnya. Karena saya lelah ingin segera istirahat!"Aku kembali mengangguk. Sebelum berdiri dari dudukku, dan menunjukan satu-satunya kamar yang ada di Apartemen ini.Begini, sebenarnya ini bukan Aprtemen mewah seperti dalam bayangan kalain. Ini ha
*Happy reading*"RARA?!"Degh!"Iya, Kak!"Aku pun segera menyahut, saat mendengar teriakan Kak Sean dari dalam kamar. Juga segera menghampirinya.Demi Tuhan, ini masih pagi. Kenapa suara Kak Sean sudah menggelegar seperti itu? Apa lagi sekarang yang mengganggunya?"Kenap--Astagfirullah!"Namun saat aku sampai kamar dan hendak menegurnya, aku pun langsung dikejutkan dengan tampilannya, yang masih bertelanjang dada. Bahkan hanya memakai handuk saja untuk menutupi daerah intimnya.Astaga!Dia apa-apaan, sih?"Ck, gak usah sok suci kamu!"Tak kusangka, Kak Sean malah berdecak kesal setelahnya."Cuma liat begini saja sok-sok nyebut istighfar. Saya yakin kamu pasti sudah sering liat, kan? Secara kamu itu tinggal di Luar Negri, jauh dari orang tua, lagi. Pasti kehidupan kamu itu bebas selama ini, iya kan? Jadi, liat cowo bertelanjang dada seperti ini. Bukan hal tabu kan, buat kamu?" tuduhnya kemudian
*Happy reading*Aku pun memilihkan. Kaos berkerah tinggi warna putih, dengan jas warna abu-abu tua untuk Kak Sean. Dipadukan celana bahan hitam, dan sepatu pantopel hitam juga.Awalnya, Kak Sean tidak mau memakai baju pilihanku, karena katanya, "Saya mau ke kantor Rara. Bukan mau nongkrong. Pilihan baju kamu itu gak ada resmi-resminya. Saya udah biasa pake dasi tiap ke kantor. Jangan coba ubah gaya saya."Aku tahu itu, dilihat dari semua baju beserta puluhan dasi berbagai motif, yang di bawanya pun, Aku tahu kok, Kak Sean memang terbiasa berpakaian formal tiap ke Kantor.Cuma masalahnya di sini adalah ... Kak Sean gak bisa memasang dasi sendiri, pun aku. Karena, dia biasa di urusi Kak Audy dan Mama Sulis. Sementara aku lama hidup jauh dari papi dan belum pernah punya pacar orang kantoran. Jadi, ya ... aku belum belajar hal itu sama sekali.Akan tetapi, mungkin se
*Happy reading*"Baiklah, Rara pulang sekarang."Walaupun begitu, toh pada akhirnya, aku kembali mengalah, dan menuruti titah Kak Sean. Karena sekali lagi, aku katakan. Aku malas ribut dengannya.Sabar, Ra! Dia cuma seminggu di sini. Jangan cari gara-gara dengannya, kalau tidak mau imagemu makin buruk di matanya.Itulah sugesti yang selalu ku tekankan dalam hati. Jika aku mulai kesal dengan segala tingkah laku Kak Sean.Lagipula dia benar, kok. Surgaku kini memang ada di kakinya. Karenannya, semenyebalkan apapun dia, aku tetap tak boleh membuatnya marah. Takutnya dia mengutukku dengan mulut sadisnya, yang berakhir malah jadi doa untuk hidupku.Jangan sampai!"Hay, guys! Aku balik duluan, ya?"Setelah menutup telpon Kak Sean, aku pun berpamitan pada teman-temanku, yang langsung membuat mereka menyuarakan keberatannya.Namun, mau bagaimana pun, rengekan keberatan mereka tak akan mampu membuat aku tetap be
*Happy reading*"Morning, dear!"Aku langsung menoleh ke sebelah kanan, saat mendengar sapaan yang lumayan familier untukku, ketika aku sedang mengunci rumah sebelum berangkat ke kampus hari ini.Tenang saja, hari ini gak ada drama dari Kak Sean lagi, kok. Karena aku sudah belajar dari hari kemarin dalam mengurus suamiku itu. Hingga tak ada alasan lagi buat Kak Sean untuk mengomeliku.Sekarang, pria itu sudah berangkat ke kantor, setelah menghabiskan sarapan yang tumben mau dia sentuh."Morning, An," balasku dengan Riang, saat melihat keberadaan Ana. Tetangga loft, yang sangat baik hati.Ana itu seorang janda, yang memutuskan tidak menikah lagi setelah suaminya meninggal.Ana bilang, cintanya pada suaminya kekal, hingga tak bisa menerima pria manapun lagi.Lagipula, kini umurnya sudah lebih dari 50 tahun. Dia sudah tak me
*Happy reading*"Apa maksud kamu tadi?!"Kak Sean langsung menghardikku, sesampainya kami di Loft."Maksud aku? Apa?"Bukan aku tak mengerti arah pertanyaan Kak Sean, hanya saja, aku ingin memastikan saja dugaanku."Gak usah pura-pura, Rara. Saya tahu kamu pasti mengerti maksud pertanyaan saya. Kamu itu bukan orang bodoh!" tukas Kak Sean, masih dengan nada kesal yang sama.Aku pun akhirnya menghela napas sebentar, sebelum menjawab, "Apa yang Kakak maksud adalah, aku yang mengenalkan Kakak sebagai sepupu?""Tentu saja! Apa lagi selain itu?!" Jawabnya cepat. Bahkan terlalu cepat menurutku."Lho, aku kira Kakak memang ingin dikenal dengan status seperti itu di sini?" Tak ayal, aku pun bertanya balik. Karena bingung dengan sikapnya ini. Kenapa dia harus marah, kalau dia sendiri mengaku sebagai sepupuku pada Ana."Saya tidak pernah bilang begitu!" tegasnya."Tapi kemarin Kakak mengenalka