Nia menggigil kedinginan. Dia terlalu lama berendam, hingga membuatnya masuk angin.Setelah membuatkan secangkir teh hangat, Nia pun duduk di kursi meja makan. Sesekali, dia menghirup aroma teh yang membuatnya lebih segar.Dion yang mencari keberadaan Nia akhirnya menemukan di dapur. Seketika itu juga, Dion pun tersenyum, kemudian menghampiri Nia."Buatkan aku secangkir kopi!" Kemunculan Dion yang tiba-tiba membuat Nia terkejut. Oleh karena itu, Nia segera menyemburkan teh dari mulutnya, tepat mengenai kemeja Dion.Nia pun menyadari kesalahan apa yang barusan dilakukannya.Dengan panik, Nia bangkit dari duduknya menghampiri Dion. Kemudian, membersihkan kemeja dengan tisu.Dion hanya terdiam tanpa ingin marah. Sekarang, dia menyimpulkan jika Nia bukan hanya sekedar wanita lugu, tetapi juga ceroboh."Tuan, maaf. Saya terkejut," kata Nia dengan panik sambil terus berusaha mengeringkan kemeja Dion."Kapan kau bisa menjadi wanita normal?" tanya Dion."Saya normal, Tuan?" Nia pun berkata
Secangkir kopi sudah diseduh, sesuai dengan perintah Dion.Dengan segera, Nia membawanya ke kamar. Nia pun mengetuk pintu kamar terlebih dahulu yang sebenarnya tidak tertutup rapat. Setelah mengintip dari celah pintu yang terbuka, Nia pun perlahan mendorong pintu kemudian masuk. Dia meletakan secangkir kopi di atas meja, sedangkan Dion hanya diam saja.Sesaat kemudian, Nia merasa pusing. Terlalu lama basah, membuatnya masuk angin, hingga merasa mual."Kamu kenapa?" tanya Dion sesaat menyeruput kopi buatan Nia."Saya masuk angin, Tuan." Secepat mungkin, Nia menuju kamar mandi--memuntahkan cairan.Dion hanya diam dan mendengar suara Nia dari arah kamar mandi, merasa kasihan pada Nia. Sekaligus, merasa bersalah sudah mengajarkan Nia terlalu lama berendam.Tak lama, Nia pun tampak keluar dari kamar mandi. Dion pun memanggilnya dan meminta Nia untuk berbaring di atas ranjang."Tidur saja. Nanti, setelah hangat, baru bangun.""Tapi, Dila harus dijemput, Tuan," ucap Nia, mengingatkan. "Bi
Dion masih saja menatap perut Nia. Rasanya, dirinya begitu kecewa pada Nia. Padahal, perempuan itu baru saja membuatnya tertarik."Dia hamil, Ma," jelas Dion."Hamil?" Bunga terkejut mendengarnya.Seketika, Bunga menatap perut Nia. Namun, ada juga yang membuat Bunga bingung.Dion dan Nia baru tidur di kamar yang sama beberapa hari ini. Akan tetapi, dirinya juga tidak bisa menyimpulkan apakah semuanya sudah terjadi sejak awal menikah?Lagi pula, keduanya suami istri. Siapa yang dapat melarangnya?Tunggu ... usia pernikahan Dion dan Nia masih satu bulan, sedangkan perut Nia sudah tampak begitu menonjol?"Dari mana Mama membawa wanita ini? Kemudian, menikahkan kami mendadak?" Kali ini Dion bertanya pada Bunga. Sorotan matanya tajam sebab Bungalah yang memintanya menikahi Nia."Dion, coba sedikit dijelaskan lagi." Bunga tidak mengerti. Dirinya memang sedang kebingungan. Namun, tidak mengetahui secara pasti.Entah mengapa, Bunga merasa bahwa jika pun Nia hamil, pastilah dia hamil anak Dio
"Reza."Nia tidak tahu entah seperti apa ekspresi wajah Dion saat ini ketika dirinya menyebutkan nama tersebut. Nia pun tidak bisa menerima kenyataan pahit itu sampai detik ini.Dion mengerutkan dahinya, merasa bingung dengan apa yang dikatakan oleh Nia.Sejenak, dia menepis pikirannya jika Reza yang dimaksud oleh Nia adalah anak dari Chandra--kakaknya.Bukankah dunia ini begitu luas? Nama Reza pun tidak hanya dimiliki oleh satu orang saja."Tuan, aku tidak pernah berniat untuk menjadikan Anda sebagaimana tumbal. Saya juga tidak ingin menjadikan Anda yang tidak bersalah sebagai Ayah dari anakku ini. Aku pun sadar aku hanya seorang wanita bayaran untuk merawat putri Anda. Jadi, aku tidak pernah berpikir untuk mencari keuntungan, Tuan," jelas Nia lagi.Perlahan, Nia pun menjelaskan segalanya mulai dari penyebab dirinya mengandung.Saat kejadian malang itu menimpanya, Nia sudah berusaha untuk menolak. Bahkan melarikan diri, namun siapa sangka ternyata Reza begitu bernafsu padanya.Meren
Dion pun menarik lengan Nia dengan paksa agar Nia keluar dari kamarnya."Tuan, aku mohon." Nia kembali bersimpuh di bawah kaki Dion, berharap dikasihani.Hingga pintu pun terbuka. Dila tampak berdiri di ambang pintu dengan seragam sekolahnya.Matanya membulat karena melihat Nia sedang bersimpuh di bawah kaki Dion.Dila bingung dengan apa yang sedang terjadi, tetapi air mata Nia membuatnya menjadi marah."Pergi dari rumah ini!" perintah Dion yang dapat didengar Dila.Dila pun segera berlari menghampiri Nia, kemudian memeluk Nia.Seketika, keduanya tersadar karena kini ada Dila di antara mereka."Papi marahin Mami, ya?" Dila menatap Dion dengan tajam.Tidak ada ampun bagi siapapun yang menyakiti Nia.Dila yang masih polos dan merasa diberikan kasih sayang penuh oleh Nia, tidak akan membiarkan Nia disakiti--walaupun Dionlah yang menyakitinya."PAPI JAHAT!" teriak Dila sekencang-kencangnya.Melihat wajah Dila yang bersedih, membuat perasaan Dion menjadi kacau. "Biarkan dia pergi dari sin
"Huuueekkk!"Dari tadi, Nia terus saja memuntahkan cairan. Kepalanya terasa pusing dengan perut yang tidak nyaman.Sekalipun demikian, Nia tetap berusaha untuk kuat. Dirinya harus terus merawat Dila demi mendapatkan uang untuk pengobatan Farah. Ini adalah kesempatan terakhir yang diberikan Dion setelah kejadian beberapa minggu lalu."Mami, kenapa?" tanya Dila saat melihat wajah pucat Nia.Nia pun menggeleng, kemudian tersenyum pada Dila."Mami masuk angin.""Kata Oma, kalau masuk angin harus pakai minyak angin. Mami," kata Dila memberikan saran."Benarkah?" Nia tersenyum, merasa bahagia jika sudah melihat wajah Dila yang begitu cantik dan sangat pintar.Saat keduanya sedang asik, tiba-tiba pintu kamar Dila pun terbuka. Tampak, Dion berdiri di sana. Seperti biasanya, Dion akan pulang ke rumah setiap siang hari--tentu hanya untuk melihat keadaan Dila dan memastikan apakah Dila sudah makan dan minum obat."Apa anakku sudah makan?" tanya Dion datar.Nia pun mengangguk. Kini, dirinya bena
Dari kejauhan, Liana melihat apa yang terjadi. Oleh karenanya, saat itu juga, Liana berusaha menghentikan langkah kaki Nia.Nia pun terkejut setelah melihat siapa yang kini berdiri di hadapannya. Namun, dia tidak ingin berdebat, apa lagi harus mendengarkan hinaan. Nia kemudian berusaha menghindari dengan cara mencari jalan lainnya. Sayangnya, Liana kini justru berpindah ke samping, tepat di mana Nia ingin mencari jalan.Nia pun tidak menyerah. Dia memilih diam dan mencari jalan lainnya.Sayangnya, Liana pun ikut bergeser. Lagi-lagi, berdiri tepat di hadapan Nia. Begitu terus, hingga seterusnya membuat Nia menghentikan usahanya untuk menghindar.Nia pun mencoba untuk menatap wajah Liana--salah satu penyumbang luka terbesar dalam hidupnya."Apa? Berani kamu melihat saya seperti itu?" Liana pun mendorong Nia hingga terdorong beberapa langkah.Raya yang menyaksikannya seketika tersenyum. Dia merasa bahagia melihat apa yang dilakukan mertuanya pada Nia."Maaf, Nyonya. Saya permisi." Nia ke
Puas menangis, Nia pun mencuci wajahnya. Dia menatap wajah pucatnya di cermin, kemudian mencepol rambutnya dengan asal.Nia pun kembali melihat bayangan dirinya pada pantulan cermin, menata senyum dengan segala perasaan yang berkecamuk di dada."Kamu kuat Nia, kamu wanita hebat!" Nia menyemangati dirinya sendiri sebab tidak ada tempatnya untuk bersandar selain dinding dan air mata untuk meringankan beban di hati.Setelah perasaannya lebih baik, Nia pun keluar dari kamar mandi. Tak disangka, ternyata sudah satu jam Nia menangis di dalam kamar mandi. Dia baru menyadari itu setelah melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 16:00.Kemudian, Nia melihat Dila yang masih tertidur pulas dengan memeluk boneka beruang berwarna putih kesayangannya.Nia pun memutuskan untuk mempersiapkan air hangat dan juga pakaian bersih untuk Dion.Benar saja, tidak lama kemudian Dion kembali. Nia bernapas lega karena hampir saja telat mempersiapkan semua itu.Saat Dion sudah masuk, Nia pun memutuskan untuk