Hai, kasih komentar di cerita aku ya ....
Dua hari berlalu sejak kejadian itu. Pak Irsya tidak menghubungi lagi. Hal ini membuatku sedikit lega. Setelah mengetahui status dudanya, serta ia_pun tahu tentang masalah rumah tanggaku, lebih baik, kami jangan terlalu akrab. Seseorang yang tengah mengalami sebuah masalah dalam keluarga, sungguh hal yang tidak baik bila memiliki teman curhat lawan jenis. Karena pada saat kita menemukan keburukan pada pasangan, maka akan merasa nyaman bila ada orang ketiga yang hadir.Bukan sebuah masalah, bila aku dekat dengan siapapun saat ini. Terlebih bila orang tersebut tidak terikat sebuah hubungan pernikahan. Namun menurutku, itu tetap saja hal yang kurang pantas dilakukan. Karena bagaimanapun statusku saat ini masih sebagai istri Agam. Malas rasanya, menyematkan sebutan Mas pada panggilan namanya.Apakah dengan ini aku tidak akan membuka hatiku pada pria l
“Nia, Maafkan aku ...”“Tidak semudah itu, Mas...” Jawabku sambil menghempas kasar pegangan pada lengan.Menghapus air mata yang mulai mengembun di pelupuk. Sambil berjalan menuju ruang tamu. Aku akan pamit saja dari sini. Kurasa pertemuan di rumah ini tidak ada manfaatnya sama sekali.“Saya pamit, Pak. Mohon maaf sudah menimbulkan kekacauan di rumah anda.”“Bu Agam, saya ju ...” Terasa muak mendengar nama itu untuk memanggilku.“Tolong jangan panggil saya dengan nama itu! Sebagai orang yang berpengalaman, seharusnya anda memahami perasaan saya saat ini.”&
Tamu seharusnya dihormati tuan rumah. Tapi bila tamunya seperti mereka, apakah aku masih wajib menghormati? Tentu tidak! Menurut teori sendiri tapi.Setelah semua keluar dari mobil, barulah kutahu, siapa saja yang datang. Mbak Eka dan suami, kedua mertua serta Rani. Seneng dong mereka saat ini? Berkumpul semua keluarga di rumah itu, kecuali aku. Ah lupa! Aku kan tidak dianggap keluarga.Keluarga mertuaku saat ini tengah melepas penat di teras dengan berselonjor kaki. Belum ada yang mengajakku bicara. Mereka mengobrol sendiri tanpa melibatkan menantu yang diabaikan ini. Mudah-mudahan sebentar lagi akan nebjadi calon menantu.Kubawa diri ini masuk ke dalam, hendak membuatkan minum. Kebetulan ada mbak Wati yang sedang melakukan pekerjaan rumah tangga. Maka kuminta saja sekalian membuat minum. Lalu aku kembali
Bapak datang dari arah pintu. Keluarga mertua seketika berdiri bersalaman dengan beliau. Bapak menyalami dengan tanpa sikap ramah seperti sebelum terjadi masalah ini. Kuambil kursi plastik untuk duduk, karena sofa di ruang tamu tidak cukup.“Pak Rahman apa kabar? Lama tidak berjumpa. Tidak pernah main-main ke rumah kami, kenapa pak?” Bapak mertua bertanya dengan ramahnya.“Alhamdulillah, baik. Iya tadinya minggu-minggu besok saya akan ke sana. Ingin menengok Agam, barangkali sakit apa gitu, sekian lama tidak berjumpa di rumah ini.” Bapakku menjawab sambil menatap tajam Mas Agam.“Ah tidak sakit apa-apa, Pak. Hanya saja, Aira lagi manja banget sama Agam, jadi susah ditinggal…” Ibu mertua menyahut sambil tertawa kecil. Dikiranya lucu, tapi Bapakku sama sekali tidak tertarik untuk menertawakan. Beliau malah melirik sinis pada Aira yang bergelayut manja pada pangkuan suami mbak Eka. D
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
“Silahkan! Mau bicara apa, Agam? Mau ikut menyalahkan Nia juga?”“Itu Pak… Saya minta maaf karena sudah buat Nia sakit hati dan kecewa. Juga anak-anak. Maaf saya sudah meninggalkan mereka.” Mas Agam berhentidan menghela nafas. Mbak Eka terlihat tidak suka dengan penuturan adik kandungnya.“Terus, apa lagi? Ada lagi kesalahan yang ingin kamu akui?” Bapak bertanya, tanpa mau menatap Mas agam.“Saya sudah menelantarkan Nia dengan tidak memberinya nafkah secara layak. Saya juga sudah menjelek-jelekkan Nia di hadapan teman-teman. Saya tidak pernah mengajak Nia untuk bersenang-senang. Saya janji akan memperbaiki semuanya.” Diam kembali. Pria yang masih berstatus sebagai suamiku itu seperti sedang mengatur kata-kata.
Mencoba mendorong tubuh kekar yang kini memelukku dengan erat bukanlah sebuah hal mudah. Meski saat adu kekuatan dengan gundiknya, aku menang telak, namun Mas Agam seorang lelaki yang memiliki tenaga jauh lebih kuat dariku. Dalam kepasrahan tanpa bisa melawan, muncul sebuah ide gila. Wajahku kini berada di dadanya, kugunakan gigi runcingku untuk menggigit.Dia mengaduh kesakitan, dan saat bersamaan, terlepas tangannya dari tubuh ini.“Nia, kamu gila ya? Kenapa menggigitku?” Tanyanya dengan muka masih meringis menahan sakit.“Sakit Mas? Bentar lagi sembuh kok. Beda dengan luka yang kau ukir dalam hati ini. Tak sesederhana itu hanya dengan kata maaf. Kamu fikir aku apa hah? Hatiku ini batu? Setelah apa yang kamu lakukan terhadapku, setelah segala keburukan kau torehkan dalam kehidupan rumah tangga kita, semudah itukah mengharap maaaf dariku? Jangan mimpi!&
Semalaman aku berfikir keras tentang keputusanku. Mempertimbangkan dampak baik buruknya terutama bagi anak-anak. Bila aku bercerai, ototmatis, Dinta dan danis menjadi anak yang hidup tanpa ayah. Akan tetapi, bila terus bersama Mas Agam, tidak bisa dipungkiri hatiku menolak. Lagipula bukankah selama ini, anak-anakku memang sudah hidup seperti tidak punya sosok ayah? Kupandangi wajah polos mereka berdua saat tengah terlelap. Ada rasa sakit yang menusuk dalam relung hati ini. Mengingat betapa nasib mereka berdua tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki keluarga dan orangtua yang harmonis.Di sepertiga malam, kugelar sajadah. Memohon petunjuk yang terbaik yang harus kulakukan. Karena keputusan kita bisa saja salah, bila tanpa meminta diberi jalan oleh Yang Maha Kuasa***Pagi hari, aku kembali ke rumah. sembari mengecek, apakah Mas Ag