Share

Keputusan Besar.

Wajahnya memanas, dikiranya rumah yang sudah panas setiap hari itu sudah buruk tapi ini lebih buruk lagi. Jelas sekali di sana, di dekat asisten ayahnya itu adalah sosok yang bernama Irvin, manusia yang menyumbang benih hingga dirinya terlahir ke dunia.

Wanita itu jelas sekali bukan ibunya yang tubuhnya semakin lama semakin tambun karena gaya hidup memburuk juga kebiasaan minumnya. Itu adalah wanita seksi yang pakaiannya mungkin untuk ukuran balita, bagian belakangnya itu hanya menutupi pantat saja, berani taruhan kalau dia membungkuk kain itu akan semakin ke atas.

"Aria, kamu baik saja?" tanya Cassy melontarkan kalimat yang konyol. Bagaimana mungkin dirinya ini baik saja.

Tanpa pamit Ariana meraih tasnya dan beranjak pergi, diikuti dengan tatapan aneh kedua kawannya lalu Leona berusaha menyusulnya tapi terlambat. Gadis itu telah pergi dan menyetir sendirian tanpa tujuan yang jelas. Ini adalah sebuah penghianatan, ayahnya telah mengkhianati seluruh keluarganya. Cinta ibunya, dirinya juga kakaknya yang begitu percaya kepadanya, yang selalu dianggap sebagai pria terhormat kesayangan keluarga.

"Oh astaga," keluh Ariana meminggirkan dan menghentikan mobilnya, berulang kali dia mengusap air matanya.

Kenapa ayahnya melakukan itu, apakah karena ibu sudah tidak lagi sedap dipandang. Ibunya sudah tidak bisa memberikan naungan terhadap hidupnya, sedangkan ayahnya yang begitu dia percaya juga malah merangkul wanita lain seusia putri sulungnya. Betapa menjijikkan.

Rumah itu tidak lagi bisa disebut rumah, kemana lagi Ariana akan pulang. Dirinya dipaksa menikah dengan duda tua itu. Baiklah kini dia tahu sekali alasannya, kedua orang tuanya memang sengaja mau membuangnya. Hidupnya berkecukupan, tapi hatinya haus sekali akan cinta dan kasih sayang. Tapi, meski kasar setidaknya ibunya adalah wanita yang suci.

"Pantas saja mereka kerap bicara tentang perceraian, ya Tuhan kenapa aku begini bodoh." Ariana kembali sesenggukan.

Dia masih banjir dengan airmata ketika terperangah kaget begitu mendengar ada yang mengetuk jendela mobilnya, ya Tuhan jangan lagi. Ariana sedang tidak ingin bertemu dengan siapapun, tidak juga sedang ingin bicara dengan siapapun. Dibuangnya napasnya dengan kasar sebelum dia menengadah dan menemukan sesosok pria yang sangat dikenalnya.

"Uncle," gumam Ariana mengusap wajahnya.

Entah harus bersyukur atau bagaimana, dilihatnya Jareth mengetuk lagi jendela kaca mobilnya itu dengan tatapn kuatir. Tampak di depan mobilnya itu berhenti sebuah sedan hitam milik teman dari ayahnya itu, kebetulan yang sangat kebetulan, semesta kadang kalau beranda bisa selucu ini. Dengan pelan dia membuka kaca mobilnya.

"Ariana, apa yang kamu lakukan di sini sendirian? Ini ... sudah malam." Jareth masih tampak begitu kuatir menatap putri dari sahabatnya itu.

Bukannya menjawab Ariana malah semakin mengucurkan airmata, tangisnya kembali pecah hingga berguncang tubuhnya. Terasa ada tangan yang menyentuhnya dengan lembut lalu mengatakan semua akan baik saja. Kalau perlu apa-apa Ariana hanya tinggal berkata, tidak perlu takut. Jareth akan membantu apa saja yang dia perlukan.

Menceritakan apa yang dilihatnya kepada pria tua ini? Ah tidak, meski sakit hati tapi Ariana juga tahu diri kalau mengumbar aib keluarganya itu bukan tindakan yang bijak. Pria itu hanya mengusap pundaknya dengan lembut, sesekali berbisik menenangkan. Rasanya dia seperti tidak punya siapa-siapa lagi, ibunya sudah lebih mementingkan minuman juga pestanya, dan ayahnya memilih bermain dengan pelacur.

"Ariana, apa kamu sudah lebih baik? Tidak perlu bercerita kalau tidak ingin. Dan ... bagaimana kalau aku antar pulang?" tanya Jareth yang menatap iba.

Pulang, kemana? Sudah tidak ada lagi tempat yang bisa disebut dengan rumah.

***

Matanya kembali memicing, mobil ayahnya sudah terparkir manis di sana. Lelucon apalagi ini, matanya jelas tidak buta dan ada dia saksi yang bisa menyatakan keberatannya. Ada ayahnya juga asistennya di sana, bersama seorang wanita. Dikiranya mereka akan check in atau apa, tapi ayahnya malah berada di rumah sekarang. Astaga lelucon apalagi ini.

Irvin menyambut putri dan juga kawannya itu, tadi asistennya sempat berbalik kalau di hotel itu ada Ariana yang sedang bercengkerama bersama kawannya. Sempat panik karena citranya di hadapan anak-anaknya, dia adalah sosok ayah yang sempurna. Kenapa bisa sampai seceroboh itu, tampak sekali putri bungsunya itu melengos ketika bertemu dengannya.

"Bagaimana kalian bisa bersama?" tanya Irvin dengan curiga.

"Aku menemukan anakmu sedang menangis di pinggir jalan, entah apa yang terjadi. Aku bertanya tapi dia hanya menangis." Jareth terkekeh.

"Anak-anak memang terkadang aneh, kita pernah muda dan itu kerap membuat bingung." Irvin berkilah, tidak ingin tingkahnya tersebar luas di kalangan pengusaha, meskipun hal yang seperti itu seperti lumrah.

"Aria, kemarilah, bisa kamu cerita kepada uncle mu ini apa yang terjadi? Ayolah akan uncle hajar siapa yang telah menyakiti hatimu," kata Jareth seperti dulu ketika Ariana berkelahi dengan temannya di sekolah.

Ariana mendekat, dia sudah tampak lebih tenang sekarang. "Tidak perlu uncle, kita tidak perlu meluangkan waktu dan tenaga hanya untuk mengurusi orang yang tidak layak," ketusnya dan membuat ayahnya melongo sesaat.

"Kalimat yang sangat manis, ya sudah kalau kamu baik-baik saja, uncle sudah merasa lega." Jareth kembali terkekeh sedangkan Irvin tampak lebih salah tingkah.

"Sudah aku bilang, anak-anak memang  begitu," kilah Irvin bagai sedang berpikir mencari pengalihan.

"Istirahatlah Ariana, sepertinya kamu lelah," kata Jareth dengan lembut kepada gadis itu.

Ariana menatap ayahnya dengan perasaan campur aduk, bagaimana bisa sekarang dia berada di sini dengan menampilkan tampang yang tidak berdosa. Ibunya itu, yang kerap menggaungkan kata cerai itu apakah sudah tahu apa yang terjadi sebenarnya. Perih di hatinya kembali terasa, ayah yang sangat disayanginya mengkhianati keluarganya.

Pandangannya beralih pada sosok yang telah berusia 45 tahun itu, sedikit lebih muda dari ayahnya. Beberapa helai rambut itu memang terlihat memutih, memang usia tidak bisa bohong. Tapi uncle Jareth masih tampak begitu energik untuk pria seusianya, dia telah menduda begitu lama tanpa Ariana tahu apa alasannya.

Berada di rumah ini, rasanya sudah tidak ingin lagi, terlebih dia mulai paham kenapa orang tuanya terkesan terburu-buru ingin menyingkirkan dia. Baiklah kalau memang itu yang harus terjadi, mungkin memang jalan itu yang terpaksa dia ambil. Hatinya sakit juga patah, berpikir pun rasanya tidak bisa. Tapi Aria sudah tidak ingin berada di antara ayah dan ibunya.

"Uncle Jareth," panggilnya setelah beberapa menit berpikir.

Pria itu segera menoleh. "Iya, ada apa?" tanyanya.

"Aku, mau bicara," kata Ariana setelah memantapkan hati. "Apakah boleh?"

"Bicaralah," kata Jareth dengan sabar memperhatikan putri dari kawannya itu.

"Hanya berdua," balas Ariana dengan tegas.

"Memangnya kenapa? Aku ini ayahmu, bicaralah saja." Irvin segera menyahut, seperti dibuang oleh anak sendiri.

"Apa yang ingin kamu sampaikan? Bicaralah," kata Jareth terkesan lebih memahaminya dari pada ayahnya sendiri. "Hanya ada kita berdua. Ayahmu itu, anggap saja tidak ada."

"Uncle, kalau aku sekarang berubah pikiran tentang perjodohan itu. Apakah Uncle bisa memaafkan dan mempertimbangkan lagi?" tanya Ariana perlahan.

Jareth terlihat bingung, tapi dia tidak punya alasan buat menolak. "Ya, tentu saja. Kenapa?" tanyanya.

Ariana menundukkan wajahnya beberapa detik sebelum akhirnya berkata, "Aku ... menerima Uncle. Aku, bersedia menikah dengan Uncle."

Jareth sepertinya terkejut. "Ariana, apa kamu baik-baik saja?"

"Aku, baik. Bisakah pernikahan itu dilakukan secepat mungkin? Aku tidak mau berlama di rumah ini." Ariana dengan tegas berkata lalu menatap ayahnya, melontarkan protes tanpa kata.

Irvin sedikit gelagapan. Dia senang dengan keputusan putrinya, tapi kenapa kalimat yang terakhir juga gesture itu, seakan dia yang paling bersalah di sini.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status