Bunga membantu Jelita membersihkan alat makan yang kotor. Mereka telah menyelesaikan makan malam berdua tanpa kehadiran dokter dingin itu, Kafkha. Sebelum meninggalkan rumah itu, Bunga ke kamar Kafkha untuk melihat kondisi Raisa. Setelah sampai di kamar Kafkha, tidak hanya melihat Raisa, Bunga juga melihat foto Marissa, istri Kafkha di rentetan foto di atas meja dan dinding kamar. Foto wanita itu seakan menghidupkan suasana kamar, memberikan energi semangat untuk. Kafkha dalam hidupnya.Keceriaan terlukis di wajah Kafkha di setiap foto itu, jauh berbeda dari Kafkha yang dijumpainya sekarang, bahkan Kafkha yang dijumpainya dulu. Bunga jadi mengerti, Marissa bagaikan penawar, obat atas luka di hati Kafkha. Wajar baginya Kafkha sulit melupakan mendiang istrinya itu.“Aku tidak yakin bisa mengisi hati Kafkha. Jika aku tetap bersamanya, sama saja aku melukainya. Tapi, bagaimana aku menolak pernikahan itu? Aku sudah menyetujuinya. Raisa juga kasihan. Mana aku juga ingin sekali menjaga anak
Kafkha tidak tahu harus bahagia atau bersedih. Pernikahan mulai dipersiapkan dan akan diselenggarakan di kediamannya dua hari lagi. Para wedding organizer mulai menata beberapa bunga untuk dekorasi pernikahan di rumah itu. Semua orang tampak sibuk, terutama Jelita dan Murni yang tengah duduk di ruang tamu sambil melihat-lihat menu makanan yang akan disajikan di hari pernikahan nanti.Kafkha menoleh ke samping, melihat Bunga sedang menggendong Raisa di sudut ruang tamu itu. Tawa Bunga bersemi bersamaan dengan senyuman anaknya. Kafkha berdiri di depan pintu rumah melihat kesibukan setiap orang sampai tidak menyadari keberadaannya sendiri. Situasi Itu membuat Kafkha merasa mendiang Marissa selangkah demi selangkah menjauh darinya."Bagaimana perasaan Marissa melihat aku akan menikah? Dia pasti sedih," kata Kafkha dalam hati.Bunga memperkecil volume tawannya sampai akhirnya suara tawa itu tidak terdengar lagi setelah melihat pria yang akan menikahinya diam tampak tak tenang. Bunga melang
Dua Hari Kemudian ....Kafkha mengenakan baju pengantin yang telah disediakan. Hatinya masih ragu untuk melanjutkan pernikahan itu karena takut tidak bisa menerima Bunga setelah pernikahan itu terjadi dan juga malah akan menyakiti hati wanita malang itu. Sama sepertinya, Kafkha merasa Bunga juga orang menyedihkan karena masa lalu yang di alaminya. Kafkha mengeluarkan foto pernikahannya bersama Marissa dari dompet, ia memejamkan mata sambil mengingat momen ketika dirinya mempersunting Marissa sebagai istrinya."Nak ...!" panggil Jelita.Kafkha membuka mata. Tangannya bergegas memasukkan kembali foto tersebut ke dompet dan menoleh ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan mengikuti Jelita meninggalkan kamar tamu yang ditempatinya sejak kamarnya didekorasi.Kafkha melihat banyak tamu undangan, ia tidak menyangka undangan Jelita tak sesuai ekspektasinya. Bukan hanya kerabat dekat, seluruh staff rumah sakit juga datang. Kafkha diam tercengang, matanya menjalar, menjelajah memperhatikan beb
Kafkha meluluhlantakkan semua perasaan sedihnya. Bibirnya tersenyum bahagia ketika bibirnya menjelajahi sekujur tubuh Bunga membuat tubuh wanita itu kaku merasakan kenikmatan dalam hubungan suami-istri untuk pertama kalinya. Beberapa kali bibir Kafkha berucap menyebut nama Marissa, hanya Marissa, bukannya Bunga. Kafkha bisa menikmati malam pertama pernikahannya bersama Bunga karena bayangan wajah Marissa. Ibarat, Bunga hanya wanita bayangannya. Hati Bunga sakit ketika mendengar nama Marissa diucap Kafkha disaat pria itu sudah menjadi suaminya. Namun, Bunga tidak lupa landasan mereka menikah. Tubuh pria itu jatuh di atasnya, kepala Kafkha berada tepat di dadanya. Pria itu menangis sambil mengungkapkan kerinduannya kepada Marissa. "Kamu tidak mencintaiku, kamu malah meninggalkanku," tangis Kafkha Isak.Untuk pertama kalinya Bunga melihat pria menangis sesedih itu di hadapannya, bahkan dalam pelukannya. Bunga ikut merasakan kesedihan pria itu, tangannya mengelus punggung mulus Kafkha d
Kafkha tidak bisa tidur. Perasaan bersalah menghantuinya setiap kali ingat bentakannya pada Bunga. Pria itu menoleh ke samping, memandangi Bunga yang telah memejamkan mata dalam tidurnya. Kafkha melihat luka di tangan Bunga dan ingat kukunya sempat melukai tangan wanita itu. "Mengapa aku seceroboh ini?" Kafkha duduk dan memperhatikan tangan Bunga. Kafkha menyadari hal lain. Matanya mendapati sebercak darah di sprei yang ada di sampingnya, berada di antara dirinya dan Bunga. Ia ingat telah menyetubuhi Bunga dan juga mengingat bibirnya menyebut nama Marissa dalam kondisi sadar. Raisa kembali menangis. Kafkha bangkit dari kasur dan menghampiri keranjang bayi. Bunga ikut terbangun oleh suara tangis itu. Ia duduk dan memperhatikan jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Bunga tiada mengenal lelah, ia mengambil Raisa dari gendongan Kafkha dan menenangkan anak itu dalam gendongannya. "Kamu tidur saja. Aku yang akan menidurkannya," suruh Bunga. Kafkha menurut. Kakinya melangkah mendekati t
Bunga ke taman Lestari Indah bersama Raisa, la menggendong anak itu dan menggunakan payung untuk berteduh dari paparan sinar matahari yang bisa mengiritasi kulit Raisa. Willa girang setelah melihat bocah itu ikut bersamanya, kedua tangannya menarik tubuh Raisa dari gendongan Bunga dan membawa anak itu berjalan menghampiri sekumpulan ibu-ibu yang sedang memantau anak mereka main perosotan."Kamu bisa mengajari mereka dan aku yang akan mengurus anakmu yang cantik ini" Willa berseru, berbicara tanpa menoleh ke belakang."Tapi …." Bunga hanya bisa menggantungkan perkataannya karena tidak ingin mengungkapkan rasa ketakutannya.Ketakutan itu bersumber dari ingatannya mengenal sifat sensitif yang dimiliki Kafkha. Pria itu sangat teliti saat mengurus anaknya dan tidak mau anaknya dipegang oleh sembarang orang. Bunga khawatir Kafkha tahu kalau ia menitipkan Raisa kepada Willa. Namun, ia menepis pemikiran itu dan mencoba tenang selagi masih bisa mengawasi Raisa yang berada di satu tempat yang s
Kafkha meletakkan Raisa yang ada dalam gendongannya ke dalam keranjang bayi. Lalu, ia menghampiri Bunga yang ikut merasakan kekosongan di kamar itu, kedua bola matanya berkeliling melihat foto-foto sebelumnya yang ada di dinding kamar ataupun yang ada di atas meja menghilang."Drama apa lagi ini? Kamu tidak memiliki hak untuk menanggalkan semua foto-foto Marissa dan diriku!" teriak Kafkha, marah. Teriakan pria itu membuat Bunga kaget dan ketakutan. Raut wajahnya berubah bingung karena ia tidak mengerti maksud perkataan Kafkha karena bukan dirinya yang melepaskan semua foto-foto itu dari posisinya. "Aku ... ak--," perkataan Bunga terpotong karena Kafkha tidak memberikan celah untuknya berbicara.Kemarahan dan emosional tidak bisa dikendalikan Kafkha, ia mencengkram pergelangan tangan Bunga dan mendorong wanita itu sampai dahi Bunga terbentur ke meja. Cairan merah mengalir dan menumpuk di alis sebelah kiri wanita itu. "Sepertinya keputusanku menerimamu menjadi istriku adalah kesalaha
Kafkha mengangkat kepala dari bantal sambil mengucek kedua matanya, ia melihat Bunga berbaring di sampingnya dengan tangan wanita itu berada di dadanya. Kafkha menurunkan tangannya secara perlahan dan bangkit dari kasur. Kafkha berdiri memperhatikan Bunga tidur pulas. Melihat wajah polos wanita itu membuatnya merasa bersalah dan memikirkan cara untuk menebus kesalahannya kemarin. Kafkha berjalan menuju keranjang bayi, ia melihat anaknya itu masih tidur pulas. Matanya beralih menuju jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. "Ya ampun, aku harus ke rumah sakit. Nanti aku pikirkan cara untuk menebus kesalahanku itu," kata Kafkha sambil berjalan menuju lemari dan mengambil beberapa pakaian, lalu membawanya ke kamar mandi. Hampir lima belas menit ia berada di kamar mandi. Setelah keluar, ia melihat Bunga sedang menggendong Raisa dan berdiri di tepi jendela. Raisa mengarahkan pandangan ke arah tangan Bunga menunjuk menuju luar jendela yang memperlihatkan aktivitas ibu-ibu yang sedang ber