Bab 14: Gadis Tak Tahu Adat
“Bajixngaaan!” Maki gadis itu tiba-tiba.
“Dasar laki-laki bajixngaaan!”
Ia kembali menjatuhkan wajahnya untuk menekuri lutut.
Sampai beberapa menit berlalu aku masih tak tahu apa yang akan kulakukan. Aku ingin enyah, tapi mengingat akulah yang pertama duduk di sini, aku urung.
Gadis itu sudah menghabiskan berlembar-lembar tisu untuk menyeka airmata, juga ingusnya. Terakhir, aku tak tahan juga. Semua tisu yang berserakan di lantai ini, toh aku juga nanti yang akan membersihkannya.
“Adik?” Tanyaku hati-hati.
Ia mengangkat wajah. Matanya sembab, celaknya belepotan di kantong mata.
“Adik tadi memaki saya?” Sebenarnya itu pertanyaan yang kurang tepat, karena gadis itu tidak menjawab, tapi…
“Bajixngaaaaaann!!”
Kembali aku tersentak, dan kembali gadis itu menjatuhkan wajahnya di lutut. Benar-benar tak nyaman
Bab 15:Tabloid Pukul 17:30. Matahari bulat memerah di langit barat Bandar Baru, yang sejak kemarin sore mulai diselimuti asap hasil kebakaran hutan.Hujan yang turun di kota Bandar Baru ini sepertinya tidak turun di wilayah lain, dan hal itu membuat orang-orang yang tak bertanggung jawab bisa dengan mudah membersihkan lahannya, yaitu dengan cara membakar, sehingga dengan cepat bisa ditanami dengan kelapa sawit.Aku yang pernah bekerja di bidang industri kehutanan, cukup mengerti bahwa hampir delapan puluh persen daratan di Riau ini gambut atau rawa-rawa. Sehingga api yang terlanjur tersulut itu sangat sulit untuk dipadamkan.Ia seperti api di dalam sekam. Jika kita melihat asap di permukaan, maka di dalamnya, bahkan hingga mencapai dua meter lebih, api menyala serupa bara api dari neraka.Aku, seperti kebanyakan warga kota lainnya, hanya bisa pasrah. Walau tak nyaman karena asap, akhirnya aku m
Bab 16: Dua Tahun Pencarian“Jadi begini,” Wisnu mulai bicara.“Bang Ifat jangan berprasangka yang tidak-tidak dengan kami. Kedatangan kami hanya untuk menyampaikan pesan yang aku yakin, ini pasti kabar baik untuk Bang Ifat.” Aku mengangguk-angguk. Sedari tadi mereka menyebutku ‘abang’, padahal aku yakin usia mereka di kisaran tiga puluhan. Namun begitulah, mereka memang benar-benar sopan.“Kabar baik apa itu Bang?”“Kami berdua datang ke sini, menyampaikan undangan secara lisan dari Pak Josep.”“Undangan? Pak Josep?”“Ya, beliau adalah atasan kami berdua. Beliau mengundang Bang Ifat untuk hadir di kantornya, kapan pun Abang bisa. Tapi kalau bisa, secepatnya.”“Mmm.., saya tidak kenal dengan Pak Josep, kok, beliau bisa kenal saya ya?”Lelaki gondrong yang bernama Bondan mengeluarkan
Bab 17: Kebingungan UconUcon menghentikan kunyahannnya, lalu menerawang langit-langit kamarku. Ia mengunyah lagi, tapi kemudian berhenti lagi. Matanya melirik kanan kiri seperti ada yang lain dengan indera perasanya.“Aneh,” katanya sembari lanjutkan mengunyah.“Kenapa?”“Ikan asin yang pertama tadi enak. Tapi yang ini, kok pahit ya?”“Hahahaha,“ aku tertawa. Berarti itu ikan asinku yang gosong tadi.Setelah makan malam, aku dan Ucon berbincang-bincang dengan begitu serunya. Aku menceritakan pada sahabatku ini tentang tawaran kerja yang kudapat dari Bondan dan Wisnu, juga hal-hal yang terkait dengan itu.“Jadi, kamu bisa beladiri, Fat?”Aku berdecak. “Ck, yah, sedikit lah, itu pun dulu. Kalau masalah Mira itu kan kamu sudah tahu, cuma kebetulan saja mungkin perampok itu lagi mabuk.”Topik dari aku sudah selesai, sekarang berganti
Bab 18: SMSPagi yang cerah. Walaupun aku tidak bisa bangun subuh, tapi aku tidak kesiangan. Kuawali hari ini dengan sebuah semangat baru. Semangat yang mekar dari berita yang dibawa Bondan dan Wisnu ke marin.Sebenarnya bukan pagi yang cerah, tapi pagi yang putih. Tak ada hujan. Artinya, asap hasil kebakaran hutan ada di mana-mana, semakin merajalela.Setelah semalaman kehilangan panas dan mendapatkan kembali bobotnya, pagi seperti ini asap menggantung di pucuk-pucuk daun, atap rumah, bahkan rerumputan.Penampakannya seperti kabut yang mencengkeram seluruh penjuru kota. Alangkah menderitanya orang-orang yang menderita ISPA karena asap. Dan mungkin, mengingat batuknya sejak hampir sebulan lalu salah satunya adalah Pak Latif.Ah, kasihan lelaki pemulung itu, batinku.Ketika aku berjalan menyusuri gang, belum tampak kegiatan rutin pagi hari yang biasa kulihat dari Pak Latif, yaitu menyiapkan gerobaknya. Pintu gubuknya se
Bab 19: Nasihat SaudaraAku masih memikirkan SMS Ucon ketika menyusuri gang rumah. Menjadi diri sendiri itu susah? Bagaimana bisa begitu? Entahlah.Yang kutahu hanya, banyak orang terganggu jiwanya karena kehilangan dirinya sendiri. Dan kuharap, karena obsesinya menulis Ucon tidak sampai gila.Suara tangis menghentikan langkahku di depan gubuk Pak Latif. Kulihat Razak dan Alim sedang bermain mobil-mobilan menggunakan potongan balok. Di ayunan bawah pohon belimbing itu, ada Idah yang sedang menggendong Ifah, adiknya yang bungsu.Ia sedang gelisah. Rupanya dari mulut Ifah itulah suara tangis keluar. Pak Latif dan Bu Latif tidak kulihat di antara mereka. Gerobaknya juga tidak tampak. Perlahan kuhampiri mereka.“Kakak, kakak,” sambut Razak dan Alim, berebut memeluk kakiku.Aku bermain-main sebentar dengan mereka berdua. Aku berlagak menjadi penjahat dan mereka menjadi jagoannya. Berduel pura-pura.Ketika mereka&m
Bab 20: Suaranya Bergetar, Serak dan Nestapa“Fat, kamu sudah di rumah?”Cepat saja aku membalas.“Belum.”Aku bohong? Biar saja, pikirku.Aku pun mempercepat langkah menuju rumah. Aku menjadi bersemangat karena teringat besok aku akan dijemput Bondan dan Wisnu untuk menemui Pak Josep.Aku melihat Uni Fitri menggendong Keysha di beranda rumahnya. Menggunakan kain jarit yang diselempangkan ke bahu ia meninabobokan putrinya itu dengan mendendangkan lagu Hari Rayo Indak Bapitih.Lagu terkenal dari Ocu, Melayu Kampar itu menceritakan kemiskinan sebuah keluarga yang di saat lebaran tidak mempunyai pitih alias uang. Aku suka sekali lagu itu. Selain alunan nadanya yang rancak, juga vokal seorang ayah dan anak yang menyentuh dalam lagu itu, terlebih karena memotret epidemi abadi negeri ini, yakni kemiskinan.“Bang Idris sudah pulang, Ni?” Sapaku pada Uni Fitri.
Bab 21: Gigi TigaSekonyong-konyong, Ucon menepikan sepeda motornya, keluar dari aspal dan berhenti di bawah pohon mahoni peneduh jalan.Cepat ia mematikan mesin, menurunkan tuas stander, bertolak pinggang menghadapku, dan menatapku tajam.Aku yang masih duduk di jok motornya tak tahu harus bagaimana menerjemahkan tatapan Ucon itu.Segala jenis kendaraan berlalu lalang tak jauh di samping kami, menyemarakkan jalan Sukarno Hatta dengan lampu-lampunya. Sesekali lampu kendaraan itu menerangi wajah Ucon yang terus menatapku dengan tajam.“Aaaaakh!” Pekiknya tiba-tiba, seraya menepukkan tinjunya ke tangan yang lain.“Sudah sampai di situ?? Haahh?? Sudah sampai di situ??!!”Dengan ceritaku tentang Mira tadi, mungkin Ucon marah padaku. Atau mungkin kecewa, karena aku sahabatnya ini ternyata sempat tergoda juga mencicip dosa. Dia dan dan Buruak Kamba memang sama. Sama-sama menjaga diri dari perbu
Bab 22: Di Sparta PrahaSementara itu, di toko buku Sparta Praha..,“Terima kasih,” kata Jihan saat menerima karcis parkir dari petugas di dalam loket.Sebelum membawa motornya ke tempar parkir, terlebih dulu ia membetulkan jaket yang ia tutupkan ke bagian kaki yang tak tercakup roknya yang pendek dan ketat.“Tuh, kan? Ribet jadinya. Sudah aku bilang tadi pakai saja celana panjang kalau takut kulitmu kotor kena debu di jalan,” kata Ika di boncengan belakang.“Ih, kamu ini, seperti mamaku saja, suka merepet.”Selesai memarkirkan motornya pada tempat yang ditunjuk petugas parkir, Jihan meminta helm yang dipakai Ika dan menguncinya pada motor bersamaan dengan helm yang tadi dipakainya.Jihan mematut-matut diri sebentaar di depan kaca spion untuk membetulkan rambutnya. Menyusul kemudian Ika yang membetulkan jilbabnya pula.“Yuk.” Jihan menarik tangan Ika sa