Aku benar-benar tak menyangka kalau Mas Bara kemudian malah memintaku untuk menemaninya berolahraga dengan berlari di sekeliling desa.
Sudah sejak setengah lalu aku mendampinginya, berlari mengitari desa sembari sesekali membalas sapaan para tetanggaku, penduduk desa yang tampak sangat menaruh hormat untuk pria yang tak pernah aku sangka sekarang berstatus sebagai suamiku itu.
Tapi ketika sampai di pertengahan desa aku sudah mulai menyerah. Rasanya dadaku menjadi sesak dan butuh asupan oksigen besar yang membuatku menarik nafas dalam-dalam sembari berhenti sejenak hingga aku tertinggal di belakang Mas Bara.
Ketika mulai menyadari keberadaanku yang tak lagi di sisinya, Mas Bara kemudian ikut menghentikan larinya dan segera menoleh ke belakang.
“Maaf Mas, berhenti dulu ya, aku capek,” ucapku sembari menyeka keringat di keningku dengan lengan baju.
Tanpa banyak berkata Mas Bara lalu memutar tubuhnya dan berlari menghampiriku.
“Apa kamu tidak pernah berolahraga sebelumnya?”
“Aku biasanya cuma jalan kaki biasa untuk ke sawah atau pas dulu waktu aku masih sekolah, aku selalu jalan kaki juga. Soalnya kami cuma punya sepeda satu, yang biasanya dipakai oleh Bapak.”
Mas Bara lalu memandangku penuh arti.
“Ya sudah kalau gitu kita jalan kaki saja.”
Tak aku sangka Mas Bara malah begitu mudah menghentikan acara olahraganya, dan mulai menemaniku berjalan kaki biasa.
Aku mulai ikut melangkah di sampingnya dengan tatapan sedikit bingung.
Tapi suamiku itu malah mengarahkan tatapannya ke depan, terlihat begitu tegas dan cenderung dingin.
Aku yang masih tak terlalu mengenalnya memilih untuk tak banyak bertanya, tetap berusaha menyamakan langkahku karena memang Mas Bara memiliki sepasang kaki panjang yang membuatku sedikit kewalahan mengikutinya.
Sampai kemudian Mas Bara melirikku seklias.
“Katakan padaku berapa pacar yang kamu punya sebelumnya?”
Aku terperangah rikuh ketika mendengar pertanyaan Mas Bara yang sebetulnya tak pernah aku duga.
“Pacar Mas?”
Aku malah melontarkan pertanyaan yang bodoh karena kegugupanku saat mendapati sikapnya yang cenderung tegas seperti sekarang.
Aku merasa jika Mas Bara terusik dengan kedatangan Mas Hilman tadi.
“Apa pria tadi juga pacar kamu?”
“Eh ... eh ....”
Mas Bara langsung menghentikan langkahnya demi bisa memindaiku dengan lebih lekat.
“Katakan saja iya atau tidak?”
Aku berusaha membalas tatapannya karena aku sangat tahu jika Mas Bara selalu tidak suka saat melihat aku menundukkan kepala. Setelah itu aku menggeleng pelan.
“Kamu yakin? Apa kamu tidak pernah menyukai dia?”
Aku terpekur diam meski tatapan mataku masih terarah pada sorot mata Mas Bara yang lugas yang saat ini seakan mengukungku dengan kuat.
Dengan sikapnya yang seperti ini aku bisa merasakan kalau Mas Bara sedang disusupi rasa cemburu. Karenanya aku harus bisa meredakan segala prasangkanya yang jelas membuatku sangat tidak nyaman seperti.
Aku kembali menggeleng menjawab dengan isyarat pertanyaan Mas Bara yang terdengar mendesakku itu.
Aku benar-benar mengungkapkan kejujuran, karena memang sejak awal aku sudah menjaga hati ini untuk tidak menaruh hati terhadap lawan jenis, apalagi kepada sosok seperti Mas Hilman pria sempurna, anak dari keluarga terpandang, yang jelas tak akan pernah bisa aku gapai.
Meski sekarang akhirnya aku malah mendapatkan sosok suami seperti Mas Bara, yang juga tak kalah sempurnanya dengan Mas Hilman, yang bahkan sejak tadi mendapatkan sapaan penuh hormat dari beberapa penduduk yang kebetulan melintas di dekat kami tadi.
“Ya, sudah, aku percaya sama kamu, jadi kamu nantinya juga harus percaya sama aku.”
Tanpa aku sangka Mas Bara kemudian malah menyunggingkan senyumnya dan begitu mudah menghentikan desakannya, tidak lagi mencecarku dengan pertanyaan yang menyudutkan.
“Ayo sekarang ikut aku, aku akan menunjukkan sesuatu sama kamu,” ucap Mas Bara sembari meraih tanganku untuk ia gandeng, yang sontak membuat kedua pipiku terasa memanas karena menahan malu karena sekarang teman-temanku yang kebetulan sedang melintas melihat apa yang sedang dilakukan suamiku.
“Cie ... cie, pengantin baru, mesra sekali!” celetuk teman-teman sekolahku yang sekarang kebanyakan sudah mulai merencanakan hari pernikahan mereka.
Kebanyakan para gadis di desa ini lebih memilih langsung menikah daripada melanjutkan kuliah atau bekerja di luar kota. Kalaupun ada itu hanya segelintir orang saja.
Aku sendiri, tak pernah menyangka akan mengikuti juga jejak teman-temanku di kampung ini padahal aku sudah gigih berencana ingin melanjutkan kuliah dengan dukungan penuh dari bapak yang membuatku, sempat begitu yakin sebelumnya.
“Rindu beruntung banget ya, punya suami yang ganteng dan mapan seperti Pak Mandor,” timpal salah seorang temanku lagi.
Tak ada kata yang bisa aku lontarkan untuk menanggapi ucapan mereka. Aku hanya mengulas senyumku seperti yang juga dilakukan Mas Bara kepada mereka.
Karena setelah itu Mas Bara lebih memilih memintaku untuk mempercepat langkah kami hingga akhirnya kami sampai di rumah besar yang setahuku ditempati oleh Mas Bara selama menjadi mandor karena memang letaknya yang berdekatan dengan jembatan yang masih belum kelar pembangunannya itu.
Mulutku langsung membulat menjadi sangat terpukau ketika untuk pertama kalinya memasuki rumah yang dulu hanya bisa aku lihat luarnya saja.
Rumah ini ternyata begitu megah dengan lantai keramik yang tampak sangat bersih juga indah.
“Ayo masuk Rindu, aku akan tunjukkan sama kamu kamar kita.”
Mataku langsung menyergap sosok pria maskulin yang sudah berstatus sebagai suamiku itu. Ketika Mas Bara menyebut tentang ‘kamar kita’, entah mengapa darahku malah terasa berdesir panas.
Pikiranku menjadi tak bisa aku cegah untuk membayangkan tentang apa yang sudah kami lalui semalam, penyatuan kami yang penuh gairah yang jelas menggambarkan kekuatan suamiku yang begitu mendominasi.
Sekarang aku malah berpikir apa Mas Bara ingin mengajakku melakukan itu lagi?.
Bila mengingat itu hatiku malah menjadi bergidik, dengan perasaan yang kemudian menjadi tidak menentu.
Mendapati aku hanya terbengong diam, Mas Bara kemudian menghampiri dan menggandeng tanganku lagi untuk dia tuntun memasuki kamar luas yang kembali membuatku terpukau karena melihat kemewahan yang jelas masih begitu asing untukku.
Aku nyaris tidak percaya ternyata di kamar ini Mas Bara tidur di atas kasur pegas yang pastinya sangat empuk dengan busanya yang terlihat begitu tebal.
Bahkan baru pertama kali aku melihat kasur seperti itu secara langsung bukan hanya sekedar aku saksikan di tayangan iklan televisi saja.
Selama ini orang-orang di kampungku sudah cukup bersyukur tidur beralaskan kasur kapuk karena itu sudah sangat empuk dan sangat membuat kami tidur nyenyak.
“Apa kamu ingin mencoba ranjang kita?” tanya Mas Bara lembut ketika dia melihatku terus memandang kasur berukuran besar yang benar-benar membuatku terpukau itu.
Tanpa banyak bicara aku ikuti saja gandengan tangan Mas Bara yang menuntunku untuk duduk di sisi kasur yang ternyata memang sangat empuk itu.
Tanpa aku sadari bibirku mengulum senyum sembari tanganku terus mengelus sprei katun yang begitu halus dan adem terasa itu.
Setelah itu aku mulai memandang penuh arti ke arah Mas Bara yang sejak tadi memandangi dengan tanpa jenuh entah apa yang sedang dia lihat dariku saat ini.
“Mas, pasti Mas selalu bisa tidur nyenyak ya di sini, soalnya kasur ini sangat empuk.”
“Kenapa tidak kamu coba saja?” ungkap Mas Bara sembari mulai menghempaskan punggungnya di atas kasur yang kemudian membuat tubuhnya terlihat seakan berayun-ayun di atas kasur.
Aku benar-benar ingin mencobanya tapi aku masih saja terlalu canggung.
Namun sebelum aku menyadari semuanya mendadak tangan Mas Bara lalu meraih pinggangku yang membuatku ikut terseret dan berbaring di sampingnya, bahkan tubuhku menjadi tertarik untuk berada di dalam pelukannya, yang segera menerbitkan jerit kekagetan dari mulutku yang malah ditanggapi dengan kekehan gembira dari Mas Bara.
“Bagaimana rasanya? Empuk kan kasurnya?”
Aku hanya mengangguk menjawabnya tak bisa berkata apapun karena saat ini aku menjadi sibuk mengendalikan rasa gugupku karena harus kembali berdekatan dengan pria menarik dengan pesonanya yang luar biasa yang sungguh tak terbayangkan sudah menjadi suamiku itu.
“Rindu siang ini kita tidur di sini saja ya?” ajak Mas Bara tanpa ragu.
Aku terperangah gembira ketika mendengar ajakannya. Jelas aku bahagia bisa dengan segera merasakan keempukan kasur pegas yang dulu tak pernah aku rasakan.
Aku kemudian kembali mengangguk.
Mas Bara kemudian tersenyum penuh arti.
“Tapi kalau aku minta kita melakukan yang lain juga di sini, apa kamu akan mengabulkannya Rin?”
Aku sedikit mengernyitkan dahi sembari memandang wajah tampan suamiku yang saat ini begitu dekat denganku itu dengan rasa penasaran.
“Mas Bara mau minta apa?”
***
Meski aku sedikit bisa menduga kalau Mas Bara memintaku melayani hasratnya, tapi tetap aku tidak menyangka kalau suamiku akan menggempurku sedahsyat ini hingga menjelang saat maghrib.Jika saja aku tidak mengatakan kalau aku harus datang ke acara pengajian tujuh harinya bapak, pasti Mas Bara tetap akan mengurungku di kamar megah ini dengan kasurnya yang sangat empuk.Saat berada di kamar mandi lagi-lagi aku terpukau dengan berbagai perangkat modern yang ada di dalamnya. Ada kran yang dilengkapi dengan wajah keramik halus dan berkilau, yang dikatakan Mas Bara sebagai wastafel, juga ada kran besar lubang-lubang kecil yang disebut dengan shower, yang bisa mengucurkan air dengan deras. Belum lagi ada bak besar yang sekarang kami masuki bersama yang membuat Mas Bara kembali menjahiliku saat dia memaksa untuk mengusapkan gelembung-gelembung sabun di sekujur tubuhku.Aku sendiri tidak mengerti Mas Bara sangat suka sekali mengel
Aku semakin gusar kian terseret dalam sikap yang serba salah saat Mas Hilman terang-terangan mengajakku untuk mengobrol dan saling bercerita seperti dulu.Bahkan tatapan Mas Bara sudah terlihat nyalang sekarang. Pastinya Mas Bara sudah terlihat tersinggung sekarang karena ajakan Mas Hilman padaku.“Tapi tentu saja kamu harus mengajak suami kamu juga, karena aku juga ingin bisa mengenal suami kamu lebih dekat.”Kali ini Mas Hilman mulai menyunggingkan senyumnya pada suamiku, tapi tetap saja Mas Bara masih menunjukkan sikapnya yang cenderung dingin.Ibu yang melihat jika suasana sudah menjadi kurang nyaman, akhirnya mulai melerai kami.“Sepertinya kamu sudah mengantuk ya Rindu? Ya sudah kamu pulang saja, ke rumah suami kamu. soal baju-baju kamu besok saja kamu ambil, nanti biar Mbak Murni yang menyiapkannya.”“Benar Rindu memang me
“Kenapa kamu mendadak bertanya tentang manusia iblis itu?” sergah Mas Bara yang sekarang bahkan ekspresi wajahnya berubah menjadi dingin dan tegas.Aku mulai merutuki pertanyaan sendiri yang membuat wajah manis suamiku berubah dalam sekejap.“Maaf, Mas,” gumamku gusar.Jika melihat perubahan sikap Mas Bara aku menjadi enggan untuk mendesak meski hatiku masih saja diliputi rasa ingin tahu.“Kamu cukup tahu kalau mereka tidak akan bisa mendekati kamu lagi. Aku sudah mengatakan padamu kalau sekarang aku adalah pelindung kamu,” tegas Mas Bara lagi.Aku hanya bisa mengangguk tanpa berkata-kata lagi.“Sudahlah, mulai sekarang jangan pernah kamu tanyakan tentang mereka.”Mas Bara kemudian menarik nafas panjang seakan ingin mentralisir segala emosinya yang sempat terpantik tadi.
“Apa ini?”Dahiku langsung mengernyit lugas sembari tanpa sadar aku mulai memandang penasaran pada Mas Bara yang malah tersenyum simpul padaku.“Aku ingin kamu mencobanya sekarang,” ucap Mas Bara tegas.Sudah lebih dari seminggu kami menikah, aku mulai sedikit hafal dengan karakter suamiku. Jika nada bicara Mas Bara sudah seperti itu, jelas dia tak akan bisa ditolak.Tapi aku sendiri masih tak yakin, karena memang aku tak pernah memakai pakaian seterbuka ini.Gaun berbahan halus itu semuanya tanpa lengan dengan belahan dada rendah dan begitu pendek. Ada banyak warna dan model, ada yang polos tapi kebanyakan dipenuhi renda yang cantik.“Tapi apa ini Mas?”“Itu namanya lingerie, dan aku ingin kamu memakainya setiap malam saat kita tidur bareng.”Aku langsung disergap gelis
Walau awalnya sulit pada akhirnya aku mendapatkan ijin dari suamiku untuk mengajar mengaji di mushola meski waktunya harus aku ubah. Yang awalnya sehabis ashar menjadi sehabis maghrib.Untunglah anak-anak tak ada yang keberatan. Yang lebih penting Mas Bara juga malah semakin aktif menjalankan sholat berjamaah di mushola juga.Jelas aku merasa begitu bahagia sekarang. Karena setiap sore aku akan selalu diantar Mas Bara dengan sepeda motor keluaran terbaru yang selalu akan memancing perhatian para tetanggaku yang menjadi terpukau dengan perubahan diriku setelah dipersunting oleh mandor proyek yang ternyata cukup kaya itu, bahkan mampu menyaingi juragan Mukti yang seorang pengepul hasil panenan di desa kami, yang nyatanya keberadaannya kini tak ada yang mengetahui, tak lama setelah percobaan perkosaannya padaku.Saat aku sibuk mengajar, maka Mas Bara akan duduk di teras mushola setia memusatkan perhatian pada gawai di tanga
Aku tak pernah menyangka kalau suamiku mengajak untuk pindah ke kota lebih cepat dari yang aku sangka.“Kita pindah ke kota Mas? Kenapa begitu cepat?”“Tentu saja kita harus segera pindah ke kota, karena aku sudah berjanji pada seseorang untuk mengkuliahkan kamu,” ungkap Mas Bara datar dengan tatapannya yang terus memindai pada kaleng sarden yang sedang ia genggam.Sontak aku menyergap wajah tampan suamiku dengan tatapan lugas.“Apa yang Mas bilang tadi?”Mas Bara malah melirikku sekilas.“Apa kamu lupa kalau aku pernah bilang sama kamu, untuk menanggung biaya kuliah kamu?”Aku langsung menarik nafas sesaat, karena ternyata kalimat Mas Bara memiliki pengertian lain karena aku sempat mengira Mas Bara memiliki hutang janji pada seseorang untuk mengkuliahkan aku, yang aku pikir adalah orang lai
Sebelum pergi Mas Bara mewanti-wanti aku untuk tinggal di rumah ibu saja, dan tidak sembarangan keluar rumah.Jelas aku sedih sekarang karena harus berjauhan dengan Mas Bara, pria asing yang sekarang mulai mengambil perhatian dariku.Selama sebulan ini kami terbiasa bersama, menghabiskan malam-malam kami dengan gairah yang seolah tak pernah berakhir. Tapi kini kami harus tinggal berjauhan, tanpa aku tahu jelas apa yang sedang dikerjakan Mas Bara hingga memaksanya untuk pergi meninggalkan aku.Walau awalnya pernikahan kami bukanlah mauku sendiri tapi nyatanya kini aku merasa hampa saat Mas Bara tak berada di sisiku. Meski kami masih bisa saling bertukar kabar lewat ponsel yang sudah Mas Bara belikan untukku tetap saja rasanya tak sama, karena jika kami berjauhan seperti ini, aku tak bisa merasakan hangat dekapannya yang sekarang sudah membuatku terlalu terbiasa, dan menjadi aku butuhkan.
“Melakukan apa ya Mbak?” tanyaku sangat ingin tahu.Mbak Yuni kemudian menatapku penuh arti.“Kamu minta sama suami kamu untuk menghutangi kami,” tegas Mbak Yuni tanpa basa-basi.“Jangan, jangan susahkan Rindu, Rindu baru saja menikah dengan Pak Mandor, nanti apa kata Pak Mandor kalau keluarga Rindu sudah merecoki rumah tangga mereka?”Ibu langsung mencegah dengan tegas.“Aku nggak mau Pak Mandor menganggap keluarga kita ini sebagai keluarga benalu.” Ibu terlihat semakin gelisah sekarang.“Tapi katanya selama ini Pak Mandor suka ngasih uang buat Rindu? Pasti Rindu sendiri memiliki simpanan sendiri. Kami hanya akan meminjamnya sebentar, nanti kalau dagangan kami sudah berjalan lancar, kami pasti akan mengembalikannya.”Aku tercenung sejenak, mulai memikirkan tentang uang pemberian